3 Permainan yang
Tidak Dimainkan Anakku, Latto-Latto Salah Satunya –
Hingga saat ini, saat si bungsu usianya 13 tahun, ada 3 permainan anak yang
tidak pernah dimainkan olehnya, juga oleh kedua kakaknya (yang sulung semester
7 di kampusnya dan yang tengah kelas 10).
Namanya anak-anak, apapun
bisa jadi bahan mereka bermain. Begitulah anak-anak saya dahulu. Jangankan
permainan yang memang dikhususkan bagi anak, yang bukan termasuk kategori permainan
saja bisa mereka jadikan permainan seperti kertas dokumen penting, sendok
makan, pakaian, dan sebagainya.
Memilih permainan, menurut
saya seharusnya yang ada manfaatnya, misalnya bisa melatih kecerdasan tertentu bukan sekadar untuk bersenang-senang. Tidak apa sih ya,
sesekali saja jika permainan itu membuat anak senang tapi tidak menjadi
permainan yang kemudian menjadi favorit.
Well, langsung saja … inilah 3 permainan
yang tidak dimainkan anak-anak saya:
1. Latto’-Latto’
Ada yang mengatakan
permainan ini masuk ke Indonesia tahun 1990-an, ada yang mengatakan masuk tahun
1970-an. Sepengetahuan saya bukan tahun 1990-an karena sejak tahun 1980-an saat
masih duduk di sekolah dasar, saya sudah melihat permainan ini dimainkan oleh
anak-anak di sekitar saya, baik di sekolah maupun di lingkungan rumah.
Saat masih sangat kecil, awal
1980-an saya melihat kakak sepupu yang saat itu sudah SMA memainkan latto-latto
di rumahnya. Sepertinya yang benar, permainan ini masuk ke Indonesia tahun 1970-an.
Dahulu di Makassar permainan ini hanya dimainkan anak laki-laki. Kalaupun ada
anak perempuan yang memainkannya, tidak banyak yang mau memainkan permainan
ini, saya tidak tahu apa alasannya.
Ketiga anak saya tak ada
yang tertarik memainkannya hingga saat ini padahal tidak pernah saya larang,
apalagi menganjurkan 😁. Saya tidak suka dengan iramanya walaupun saya senang
melihat anak-anak tetangga memainkannya “bersama-sama” tetapi Saya merasa
terganggu dengan bunyinya yang bisa dimainkan anak-anak dalam waktu lama.
Katanya salah satu manfaat
dari permainan ini adalah membuka ruang sosialisasi anak. Anak jadi tidak terpaku
dengan gadget-nya tapi yang saya lihat tidak tuh. Saya pernah
melihat anak-anak tetangga bermain latto-latto tetap sembari memegang gadget.
Dua tangan mereka sibuk memegang latto-latto dan gadget secara
bersamaan. Tangan kanan bergerak naik-turun memainkan latto-latto sementara
tangan kirinya memegang ponsel. Mata mereka tertuju ke gadget.
2. Odong-Odong
Yang saya maksud adalah odong-odong
yang keluar-masuk gang-gang sempit, dibawa oleh penyedia permainan dengan
sepeda motornya. Sewaktu anak sulung masih kecil, odong-odong digerakkan dengan
tenaga mekanis oleh penyedianya, dengan cara dikayuh. Melihat konstruksinya,
saya khawatir dengan kekokohan permainan ini. Selalu saja terlintas ketakutan
kalau-kalau odong-odong model begini bisa terjatuh tiba-tiba.
Untuk odong-odong ini saya
memang menghindarkan anak-anak saya dari memainkannya gara-gara cerita ibu-ibu
yang beredar. Ceritanya, mereka kesulitan mengatasi anak-anak yang mengamuk
hendak naik odong-odong tanpa henti sementara mereka masih punya banyak
pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Itu salah satu alasan, alasan lainnya
adalah, saya tidak menemukan manfaat dari permainan ini.
Sebenarnya anak-anak bukannya
sama sekali tidak memainkan permainan ini, mereka sesekali bermain juga yang
serupa ini yang ada di mal-mal atau game center semacam Timezone. Namun odong-odong yang lalu-lalang di sekitar
rumah kami malah sama sekali tidak
pernah dinaiki anak-anak.
3. Balon Gas
Besar
Saya tak pernah sama
sekali mau membelikan balon gas berukuran besar buat anak-anak. Mainan ini yang
paling absurd, tidak ada manfaatnya. Ukurannya nyaris sebesar anak-anak
berusia di bawah 3 tahun dengan model serupa karakter animasi yang digemari
anak-anak seperti Sponge Bob.
Harga balon gas seperti
ini sewaktu si sulung kecil (tahun 2000-an awal) saja sudah sekitar Rp. 10.000.
Lama-kelamaan harganya naik terus, mungkin sekarang sudah sekitar Rp. 20.000
atau Rp. 25.000. Ogah saya membelikannya meskipun anak merengek-rengek. Suatu saat ada kerabat yang membelikan. Balonnya dimainkan cuma sebentar lalu dibiarkan di sudut rumah sampai kempes sendiri.
Nah, berbeda dengan balon gas
yang ukurannya lebih kecil dan harganya lebih masuk akal – balon gas yang
seperti ini pernah beberapa kali saya belikan untuk ketiga anak saya tapi tidak
sering, sesekali saja. Asal anak-anak bisa seru-seruan bermain dan
bereksplorasi dengan balon gas saja karena balon ini berbeda dengan balon yang
biasa mereka mainkan.
Demikian kisah ringan saya
kali ini. Adakah di antara kalian yang memiliki cerita serupa dengan cerita
saya ini? Share yuk di kolom komentar.
Makassar,
24 Januari 2023
Baca juga: