1. Pengertian Tasawwuf
a. Pengertian
Etimologi
Istilah tasawuf,
menurut Amin Syukur adalah istilah yang baru di dunia Islam. Istilah
tersebut belum ada
pada zaman Rasulullah saw,
juga pada zaman
para sahabat namun prakteknya
sudah dijalankan pada masa itu. Bahkan, tasawuf sendiri tidak ditemukan dalam
dalam Al-Qur’an. Tasawuf adalah
sebutan untuk mistisisme Islam. Dalam
pandangan etimologi kata suϔi mempunyai pengertian yang berbeda. Menurut Haidar
Bagir, kata suϔi berasal bahasa Arab yang merujuk pada beberapa kata dasar. Di
antaranya adalah: 1. Kata shaff (baris, dalam shalat), karena dianggap
kaum suϐi berada
dalam shaff pertama. 2. Kata Shuf, yakni bahan wol atau bulu domba
kasar yang biasa mencirikan pakaian kaum suϐi. 3. Kata Ahlu as-Shuffah, yakni
parazahid(pezuhud), dan abid (ahli ibadah) yang tak punya rumah dan tinggal di
serambi masjid Nabi, seperti Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifary, Imran ibn
Husein, Abu Ubaidah bin Jarrah,
Abdullah ibn Mas’ud,
Abdullah ibn Abbas,
dan Hudzifah bin Yaman. 4. Ada
juga yang mengaitkannya dengan nama sebuah suku Badui yang memiliki gaya hidup
sederhana, yakni Bani Shufah. Dan yang paling tepat pengertian tasawufberasal
dari kata suf (bulu domba), baik dilihat dari konteks kebahasaan, sikap
sederhana para suϐi maupun aspek kesejarahan.
b. Pengertian
Terminologi
1)
Imam Junaid dari Baghdad (w. 910) mendeϐinisikan
tasawuf sebagai mengambil setiap
sifat mulia dan meninggalkan setiap
sifat rendah. Atau
keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk kepada
budi perangai yang terpuji.
2) Syekh Abul
Hasan Asy Syadzili
(w.1258), syekh suϐi
besar dari Arika
Utara, mendeϐinisikan tasawuf sebagai praktik dan latihan diri melalui
cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan.
3) Ibn
Khaldun mendiϐinisaikan tasawuf adalah semacam ilmu syar’iyah yang timbul
kemudian dalam agama. Asalnya ialah bertekun ibadah dan memutuskan pertalian
dengan segala selain
Allah, hanya menghadap
kepada Allah semata.
Menolak hiasan-hiasan dunia, serta membenci perkara-perkara yang
selalumemperdaya orang banyak, kelezatan harta-benda, dan kemegahan. Dan
menyendiri menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan ibadah”.
4) Ibnu
Maskawayh mengatakan akhlak ialah suatu keadaan bagi diri atau jiwa yang
mendorong (diri atau jiwa itu) untuk melakukan perbuatan dengansenang tanpa
didahului oleh daya pemikiran dan pertimbangan kerana sudah melekat dalam
dirinya.
5) Harun
Nasution dalam bukunya falsafat dan Mistisme dalam Islammenjelaskan bahwa,
tasawuf merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari cara dan jalan
bagaimana seorang Islam bisa sedekat mungkin dengan Tuhan.
6) Amin
syukur mendeϐinisikan tasawuf sebagai sistem latihan dengan kesungguhan
(riyadhah mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi dan memeperdalam
aspek kerohanian dalam
rangka mendekatkan diri
kepada Allah (taqarrub) sehingga segala perhatian hanya
tertuju kepada Nya.
Jadi, tasawuf adalah
ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlaq,
membangun dhahir dan batin, untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi. Dari deϐinisi tentang
tasawuf di atas
diperhatikan dan dipahami
secara utuh, maka akan tampak
selain berorientasi spiritual, tasawuf juga berorientasi moral. Dan dapat disimpulkan
bahwa basis tasawuf
ialah penyucian hati
dan penjagaannya dari setiap cedera, dan bahwa produk akhirnya
ialah hubungan yang benar dan harmonis antara manusia dan Allah. Dengan
demikian, suϐi adalah orang yang telah dimampukan Allah untuk menyucikan hati
dan menegakkan hubungannya dengan Dia dan ciptaan-Nya dengan melangkah pada
jalan yang benar, sebagaimana dicontohkan dengan sebaik-baiknya oleh Nabi
Muhammad saw.
b.Dasar-dasar
Tasawwuf
Diantara
ayat-ayat Al-Qur'an yang menjadi landasan munculnya kezuhudan dan menjadi jalan
kesuϐian adalah ayat-ayat yang berbicara tentang rasa takut kepadan Allah dan
hanya berharap kepada-Nya dan berusaha mensucikan jiwa (QS. As Sajadah [32]:
16, QS. Asy Syams [91]: 7-10), ayat yang berkenaan dengan kewajiban seorang
mu’min untuk senantiasa bertawakkal dan berserah diri hanya kepada Allah SWT
semata serta mencukupkan bagi dirinya cukup Allah sebagai tempat menggantungkan
segala urusan. (QS. At Thalaq [65]: 2-3). ayat
yang berkenaan dengan
urgensi kezuhudan dalam
kehidupan dunia (QS. Asy Syuraa [42]: 20) dan ayat-ayat yang
mememerintahkan orang-orang beriman agar senantiasa berbekal untuk akhirat.
1)
“lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan
mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta
mereka menaϔkahkan apa apa rezki yang Kami berikan.” (QS. As Sajadah [32]: 16).
2) 7.
dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), 8. Maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. 9. Sesungguhnya beruntunglah orang
yang mensucikan jiwa itu, 10. dan Sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya.(QS. Asy Syams [91]: 7-10)
3) 2.
Bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat dan orang yang bertakwa
kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. 3. dan
memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya
Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (QS. At Thalaaq [65]:
2-3)
4) “
barang siapa yang menghendaki Keuntungan di akhirat akan Kami tambah Keuntungan
itu baginya dan barang siapa yang menghendaki Keuntungan di dunia Kami berikan
kepadanya sebagian dari Keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu
bahagianpun di akhirat.” (QS. Asy Syuraa [42]: 20)
5) “ketahuilah,
bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbanggabanggaan
tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan
Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning
kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan
dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu.” (QS. Al Hadid [57]: 20)
a.
Pandangan tentang Asal Usul Tasawwuf
1)
Suϔisme berasal dari bahasa Arab suf, yaitu
pakaian yang terbuat dari wol pada kaum
asketen (yaitu orang
yang hidupnya menjauhkan
diri dari kemewahan dan kesenangan). Dunia Kristen, neo
platonisme, pengaruh Persi dan India ikut menentukan paham tasawuf sebagai arah
asketis-mistis dalam ajaran Islam
2) Suϔisme
yaitu ajaran mistik
yang dianut sekelompok
kepercayaan di Timur terutama Persi dan India yang
mengajarkan bahwa semua yang muncul di dunia ini sebagai sesuatu yang khayali
(als idealish verschijnt), manusia sebagai pancaran (uitvloeisel) dari Tuhan
selalu berusaha untuk kembali bersatu dengan Dia.
3) Tasawuf dan
suϐi berasal dari
kota Bashrah di
negeri Irak. Dan
karena suka mengenakan pakaian
yang terbuat dari
bulu domba (Shuuf), maka
merekadisebut dengan Suϔi. Soal hakikat Tasawuf, ia itu bukanlah ajaran
Rasulullah dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib ra. Menurut Asy
Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir berkata: “Tatkala kita telusuri ajaran Suϔi periode
pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari
lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka,
maka sangat berbeda dengan ajaran Al-Qur'an dan As Sunnah. Dan kita tidak
pernah melihat asal usul ajaran Suϔi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia
Muhammad SAW, dan juga dalam sejarah para shahabatnya yang mulia, serta
makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya,
kita melihat bahwa ajaran Suϔi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban
Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha”
b.
Sejarah Perkembangan Tasawuf
1)
Abad I dan II Hijriyah
Fase abad pertama dan kedua Hijriyah
belum bisa sepenuhnya disebut sebagai fase tasawuf tapi
lebih tepat disebut
sebagai fase kezuhudan.
Tasawuf pada fase
ini lebih bersifat amaliah dari
pada bersifat pemikiran. Bentuk amaliah itu seperti memperbanyak ibadah,
menyedikitkan makan minum, menyedikitkan tidur dan lain sebagainya.
Kesederhanaan kehidupan Nabi diklaim sebagai panutan jalan para zahid. Banyak
ucapan dan tindakan Nabi s..a.w. yang mencerminkan kehidupan zuhud dan
kesederhanaan baik dari segi pakaian maupun makanan, meskipun sebenarnya
makanan yang enak dan pakaian yang bagus dapat dipenuhi. Pada masa ini,
terdapat fenomena kehidupan spiritual yang cukup menonjol yang dilakukan oleh
sekelompok sahabat Rasul s.a.w yang di sebut dengan ahl al- Shuffah.Kelompok
ini dikemudian hari dijadikan sebagai tipe dan panutan para shuϐi. Dengan
anggapan mereka adalah para sahabat Rasul s.a.w. dan kehidupan mereka adalah
corak Islam. Di antara mereka adalah Abu Dzar al-Ghifari, Salman
al-Fartsi, Abu Hurairah, Muadz Ibn Jabal,
Abd Allah Ibn Mas’ud, Abd Allah ibn umar, Khudzaifah ibn al-Yaman, Anas ibn
Malik, Bilal ibn Rabah, Ammar ibn Yasar, Shuhaib al-Rumy, Ibn Ummu Maktum dan
Khibab ibn al-Arut.
2) Fase
Abad III dan IV Hijriyah
Abad
ketiga dan keempat
disebut sebagai fase
tasawuf. pada permulaan
abad ketiga hijriyah mendapat
sebutan shuϐi. Hal itu dikarenakan tujuan utama kegiatan ruhani mereka tidak
semata-mata kebahagian akhirat yang ditandai dengan pencapaian pahala dan
penghindaran siksa, akan tetapi untuk menikmati hubungan langsung dengan Tuhan yang
didasari dengan cinta. Cinta Tuhan membawa konsekuensi pada kondisi tenggelam
dan mabuk kedalam yang dicintai ( fana ϔi al-mahbub ). Kondisi ini tentu
akanmendorong ke persatuan dengan yang dicintai ( al-ittihad). Di sini telah
terjadi perbedaan tujuan ibadah orang-orang syariat dan ahli hakikat.Pada fase
ini muncul istilah fana`, ittihad dan hulul. Fana adalah suatu kondisi
dimana seorang shuϐi
kehilangan kesadaran terhadap
hal-hal ϐisik ( al-hissiyat). Ittihad adalah kondisi
dimana seorang shuϐi
merasa bersatu dengan
Allah sehingga masingmasing bisa memanggil dengan kata aku (
ana ). Hulul adalah masuknya Allah kedalam tubuh manusia yang dipilih.Di antara
tokoh pada fase ini adalah Abu yazid al-Busthami (w.263 H.) dengan konsep
ittihadnya, Abu al-Mughits al-Husain Abu Manshur al-Hallaj ( 244 – 309 H. )
yang lebih dikenal dengan al-Hallaj dengan ajaran hululnya.
3) Fase
Abad V Hihriyah
Fase ini disebut sebagai fase konsolidasi
yakni memperkuat tasawuf dengan dasarnya yang
asli yaitu al-Qur`an
dan al-Hadis atau
yang sering disebut
dengan tasawuf sunnyyakni tasawuf
yang sesuai dengan tradisi (sunnah) Nabi dan para sahabatnya. Fase ini
sebenarnya merupakan reaksi terhadap fase sebelumnya dimana tasawuf sudah mulai
melenceng dari koridor syariah atau tradisi (sunnah) Nabi dan sahabatnya. Tokoh
tasawuf pada fase ini adalah Abu Hamid al-Ghazali (w.505 H) atau yang lebih
dikenal dengan al-Ghazali. Tokoh lainnya adalah Abu al-Qasim Abd al-Karim bin
Hawazin
Bin Abd al-Malik Bin Thalhah al-Qusyairi atau yang lebih
dikenal dengan al-Qusyairi ( 471 H.), al-Qusyairi menulis al-Risalah
al-Qusyairiyahterdiri dari dua jilid.
4) Fase
Abad VI Hijriyah
Fase ini ditandai dengan munculnya
tasawuf falsaϐi yakni tasawuf yang memadukan antara rasa (dzauq)dan rasio
(akal), tasawuf bercampur dengan ϐilsafat terutama ϐilsafat Yunani.
Pengalaman-pengalaman yang diklaim sebagai persatuan antara Tuhan dan
hamba kemudian diteorisasikan dalam
bentuk pemikiran seperti
konsep wahdah al-wujud yakni bahwa wujud yang sebenarnya adalah Allah
sedangkan selain Allah hanya gambar yang bisa hilang dan sekedar sangkaan dan
khayali. Tokoh-tokoh pada fase ini adalah Muhyiddin Ibn Arabi atau yang lebih
dikenal dengan Ibnu Arabi (560 -638 H.) dengan konsep wahdah al-Wujudnya. Ibnu
Arabi yang dilahirkan pada tahun 560 H. dikenal dengan sebutan as-Syaikh
al-Akbar(Syekh Besar). Tokoh lain adalah al-Syuhrawardi(549-587 H.)
dengan konsep Isyraqiyahnya. Ia
dihukum bunuh dengan tuduhan telah melakukan kekufuran dan kezindikan
pada masa pemerintahan Shalahuddin al-Ayubi.
Diantara kitabnya adalah Hikmat al-Israq. Tokoh berikutnya
adalah Ibnu Sab’in (667 H.) dan Ibn al-Faridl (632 H.)
c.
Pembagian Ilmu Tasawuf
1) Tasawuf
Akhlaki
Tasawuf akhlaki
adalah tasawuf yang sangat menekankan nilai-nilai etis (moral) atau taswuf yang
berkonsentrasi pada perbaikan akhlak. Ajaran tasawuf akhlaki membahas tentang
kesempurnaan dan kesucian jiwa yang di formulasikan pada pengaturan sikap
mental dan pendisiplinan
tingkah laku yang
ketat, guna mencapai
kebahagiaan yang optimal. Dengan
metode-metode tertentu yang
telah dirumuskan,tasawuf bentuk
ini berkonsentrasi pada upaya-upaya menghindarkan diri dari akhlak yang
tercela (Mazmumah)sekaligus mewujudkan akhlak yang terpuji(Mahmudah)didalam
diri para suϐi.Dalam diri manusia ada potensi untuk menjadi baik dan potensi
untuk menjadi buruk. Potensi untuk
menjadi baik adalah al-‘Aql dan al-Qalb.Sementara potensi
untuk menjadi buruk adalah an-Nafs. (nafsu) yang dibantu oleh syaithan.
Sebagaimana digambarkan dalam QS. As-Syams : 7-8 sebagai berikut:Dan jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya.
Tasawuf akhlaqi
mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:
a)
Takhalli
Takhalli adalah usaha mengosongkan diri
dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang paling
banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan
kepada urusan duniawi.
b)
Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan
menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap,
perilaku, dan akhlak
terpuji. Tahapan tahalli
dilakukan kaum suϐi setelah mengosongkan jiwa dari
akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat
eksternal (luar) seperti sholat, puasa, haji, maupun internal (dalam) seperti
keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Allah.
c) Tajalli
Kata tajalli bermakna terungkapnya nur
ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa
yang telah membiasakan
melakukan
perbuatan-perbuatan yang
luhur, maka rasa keTuhanan perlu
dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan
rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu
kepada-Nya.
Para sufi yang
mengembangkan taswuf akhlaki antara lain : Hasan al-Basri (21 H – 110 H),
al-Muhasibi (165 H – 243 H), al-Qusyairi (376 H – 465 H), Syaikh al-Islam
Sultan al-Aulia Abdul Qadir al-Jilani (470 – 561 H), Hujjatul Islam Abu Hamid
al-Gajali (450 H – 505 H), Ibnu Atoilah as-Sakandari dan lain-lain.
2) Tasawuf
Amali
Tasawuf amali adalah tasawuf yang lebih mengutamakan kebiasaan
beribadah, tujuannya agar diperoleh
penghayatan spiritual dalam
setiap melakukan ibadah. Keseluruhan rangkaian amalan lahiriah
dan latihan olah batiniah dalam usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah,
yaitu dengan melakukan macam-macam amalan
yang terbaik serta
cara-cara beramal yang
paling sempurna. Tasawuf
Amali berkonotasi dengan tarekat. Tokoh tasawuf ini antara lain, Rabiah
Al Adawiyah dan Dzun Nun Al Misri.Pengalaman tasawuf amali dibagi kedalam empat
bidang sebagai berikut:
a)
Syari’at
Syari’at adalah hukum-hukum formal yang
dijadikan sandaran amalan lahir yang ditetapkan
dalam ajaran agama
melalui Al-Qur’an dan
Sunnah. Sehingga seorang pengamal suϐi tidak mungkin
memperoleh ilmu batin tanpa mengamalkan secara sempurna amalan lahiriahnya.
b)
Thariqot
Kalangan suϐi mengartikan thariqat
sebagai seperangkat serial moral yang menjadi pegangan pengikut tasawuf dan dijadikan
metode pengarahan jiwa dan moral.
c) Hakikat
Dalam dunia suϐi hakikat diartikan
sebagai aspek batin yang paling dalam dari setiap amal
atau inti dan
rahasia dari syariat
yang merupakan tujuan
perjalanan menuju Allah.
d) Ma’rifat
berarti pengetahuan atau pengalaman.
Dalam istilah tasawuf,diartikan sebagai pengenalan langsung tentang Tuhan yang
diperoleh melalui hati sanubari sebagai hikmah langsung dari ilmu hakikat.
3)
Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi yaitu tasawuf yang
menekankan pada masalah-masalah pemikiran mendalam/metafisik. Dalam upaya mengungkapkan
penglaman rohaninya, para para
suϐi falsaϐi sering menggunakan ungkapan-ungkapan yang samar-samar yang dikenal
dengan syathahat yaitu suatu ungkapan
yang sulit di
pahami, yang sering mengakibatkan
kesalahpahaman. Tokoh tasawuf ini antara lain, Abu Yazid Al Bustami, Al Hallaj,
Ibnu Arabi, Suhrawardi.Dalam tasawuf falsaϐi, tentang bersatunya Tuhan dengan
makhluknya,setidaknyaterdapat beberapa term
yang telah masyhur
beserta para tokohnya
yaitu ; hulul,wadah al~wujud,
insan kamil, Wujud Mutlak.
a)
Hulul
Hulul
merupakan salah satu
konsep didalam tasawuf
falsaϐi yang meyakini
terjadinya kesatuan antara kholiq dengan makhluk. Paham hululini disusun
oleh Al-hallajKata hulul berimplikasi kepada bahwa Tuhan akan menempati dan
memilih tubuh manusia untuk ditempati, bila manusia dapat menghilangkan sifat
nasut( kemanusiaannya) dengan cara fana (menghilangkan sifat-sifat tercela
melalui meniadakan alam duniawi menuju kesadaran keTuhanan).
b)
Wahdah Al-Wujud
Istilah wahdah Al-wujud adalah paham yang
mengatakan bahwa manusia dapat bersatu padu dengan Tuhan, akan tetapi Tuhan
disini bukanlah tapi yang dimkasud tuahn bersatu padu disini bukanalh Dzat yang
Tuhan yang sesungguhnya, melainkan sifat-sifat Tuhan yang memancar pada manusia
ketika manusia sudah melakukan proses fana’
c)
Ittihad
Pembawa
faham ittihad adalah
Abu Yazid Al-busthami.
Menurutnya manusia adalah
pancaran Nur Ilahi,oleh karena itu manusia hilang kesadaranya [sebagai manusia]
maka padadasarnya ia telah menemukan asal mula yang sebenarnya, yaitu nur
ilahiatau dengan kata lain ia menyatu dengan Tuhan.
d) Sumber-sumber
Tasawwuf
Sebagaimana
layaknya ilmu tauhid, ilmu ϐiqih, ilmu akhlaq, ilmu kalam, ulumul AlQur’an, ulumul
hadis dan ilmu-ilmu lain dalam Islam yang penamaannya baru muncul setelah Rasul
wafat, demikian juga dengan ilmu tasawuf, eksistensi namanya baru dikenal jauh
setelah Rasul wafat. Namun esensi ilmu tasawuf sesungguhnya bersumber dari
Allah, Rasul, ijma’ sufi, ijtihad suϐi dan qiyas sufi.
(1)
Allah
Allah merupakan Zat sumber ilmu tasawuf,
tidak ada seorangpun yang mampu menciptakan ilmu tasawuf dari selain Zat Allah.
Namun Allah mengajarkan secercah ilmu-Nya
kepada para sufi
lewat hidayah (ilham)
baik langsung maupun
dengan perantaraan lain selain Allah yang Allah kehendaki. Ada kalanya
lewat Al-Qur'an dengan
metode iqro’ul Qur’an (membaca,
menyimak, menganalisa isi
kandungan Al-Qur'an), ada
pula melalui alam
dengan cara perenungan suϐi
dan lain sebagainya
yang pada intinya
merupakan hidayah dari Allah, kemudian berwujud menjadi ide
tercerahkan dalam nuansa pemikiran dankeyaqinan terunjam di hati untuk
dimanifestasikan dalam realita kehidupan nyata sebagai bentuk pengabdian diri
kepada Allah.
(2)
Rasulullah SAW
Rasul
merupakan sumber kedua
setelah Allah bagi
para suϐi dalam
mendalami dan pengambangkan ilmunya, karena hanya kepada Rasul sajalah
Allah menitipkan wahyu-Nya, tentulah Rasul pula yang lebih banyak tahu tentang
sesuatu yang tersirat di balik yang tersurat dalam Al-Qur'an. Semua keterangan
tersebut hanya ada di hadis Rasulullah, maka sumber yang kedua ilmu tasawuf
adalah Hadis (Sunnah Rasul).
(3) Pengalaman
Sahabat
Setelah merujuk pada referensi Al-Qur'an
dan Hadis, referensi selanjutnya bagi aktivitas
tasawuf adalah pengetahuan
dan tindakan para
pengikut setia Rasulullah Muhammad saw. Pengalaman spiritual
yang diperolehnya sebagai penunjang semuanya itu.
(4) Ijma’
Sufi
Ijma’
Suϐi (kesepakatan para
‘ulama tasawuf ) merupakan
esensi yang sangat penting dalam ilmu tasawuf, karenanya
mereka dijadikan sebagai sumber yang ke tiga dalam ilmu tasawuf setelah
Al-Qur'an dan Hadis.
(5) Ijtihad
Sufi
Dalam kesendiriannya, para suϐi banyak
menghadapi pengalaman aneh, pengalaman itu merupakan guru terbaik, namun Allah
memberi akal untuk berfikir semaksimal mungkin sebagai alat pembeda antara
kepositifan dengan kenegatifan dalam pengalaman.
(6) Qiyas
Sufi
Qiyas merupakan penghantar suϐi untuk
dapat berijtihad secara mandiri jika sedang terpisah dari jama’ahnya.
(7) Nurani
Sufi
Setiap sufi positif, memiliki nurani yang
tajam di hatinya, ada yang menyebutnya dengan istilah firasat, rasa, radar
batin dan sebagainya merupakan anugerah Allah terhadap kaum sufi, bias dari
keikhlashan, kesabaran dan ketawakkalannya dalam beribadah kepada Allah tanpa
kenal lelah.
(8) Amalan
Sufi
Kaum sufi memegang teguh tradisi rahasia
(menyembunyikan) nurani dan amalinya,
karena jika dua
hal tersebut diketahui
umum dapat menimbulkan
kesalah fahaman, hal ini disebabkan dimensi tariqat (perjalanan) suϐi
merupakan dimensi batin (roh, rohani, jiwa, sesuatu esensi tersembunyi, gaib)
yang tidak semua orang mampu
menjalaninya, namun para
suϐi amat merindukannya
disebabkan semata karena cinta
kepadaNya.
d. Istilah-istilah
Tasawuf
1)
Al-Maqamat
a)
Pengertian
Definisi Al maqamatsecara etimologis
adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang berarti kedudukan spiritual (English
: Station). Maqam arti dasarnya adalah tempat berdiri, dalam terminologi suϐistik
berarti tempat atau martabat seseorang hamba di hadapan Allah pada saat dia
berdiri menghadap kepada-Nya.Menurut
Al Qusyairi (w.
465 H) maqam adalah tahapan
adab (etika) seorang hamba dalam
rangka wushul (sampai) kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu
tujuan pencarian dan ukuran tugas. Dalam pandangan Abu Nashr Al Sarraj (w. 378
H) yaitu kedudukan atau tingkatan seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh
melalui serangkaian pengabdian (‘ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan
penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah)dan
mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah.
b)
Tingkatan Al-Maqamat
Imam Ghazali dalam kitab Ihya
Ulumudinmembuat sistematika maqamatdengan taubat, sabar, faqir, zuhud, tawakal,
mahabah, ma’rifat dan ridha.
(1)
Taubah
Dalam ajaran tasawuf konsep taubat
dikembangkan dan memiliki berbagai macam
pengertian. Secara literal
taubat berarti kembali. Dalam
perspektif tasawuf, taubat
berarti kembali dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak
mengulanginya lagi dan kembali kepada Allah. Menurut Abu
Nashr Al Sarraj taubah terbagi pada
beberapa bagian.
Pertama,taubatnya orang-orang yang
berkehendak (muridin), muta’arridhin, thalibin dan qashidin. Kedua,
taubatnya ahli haqiqat
(kaum khawwas). Pada
bagian ini para ahli haqiqat tidak ingat lagi akan
dosa-dosa mereka karena keagungan Allah telah memenuhi hati mereka dan mereka
senantiasa berzikir kepadaNya. Ketiga, taubat ahli ma’rifat (khusus al-khusus).
Adapun taubatnya ahli ma’rifatyaitu berpaling dari segala sesuatu selain
Allah.“ dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya
nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat
oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS.
Yusuf [12]: 53). “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah
dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu
akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah …” (QS. At
Tahrim [66]: 8).
(2)
Wara’
Kata wara’secara etimologi berarti
menghindariatau menjauhkan diri. Dalam perspektif tasawuf bermakna menahan diri
hal-hal yang sia-sia, yang haram dan hal-hal yang meragukan (syubhat).Hal ini
sejalan dengan hadis nabi, “Diantara (tanda) kebaikan ke-Islaman seseorang
ialah meninggalkan sesuatu yang tidak penting baginya”. Adapun 2 perkara yang
wajib ditinggalkan dalam wara’ adalah :
(a)
Meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah dan
terkait denganhati (kesesatan, bid’ah, kefanatikan dan berlebih-lebihan)
(b) Meninggalkan
segala sesuatu yang terkait dengan syubhat, yang dikhawatirkan akan jatuh
pada keharaman, dan
meninggalkan kelebihan meskupun
berupa bagian dari kehalalan.
(3) Zuhud
Menurut Imam Ghazali, makna kata
zuhudadalah mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauh darinya dengan penuh
kesadaran. Menurut Abu Bakr Muhammad saw Al-Warraq (w. 290/903 M ) kata zuhud
mengandung tiga hal yang mesti ditinggalkan yaitu huruf z berarti zinah(perhiasan
atau kehormatan), huruf h berarti hawa(keinginan), dan d menunjuk kepada
dunya(materi). Dalam perspektif tasawuf, zuhuddiartikan dengan kebencian hati
terhadap hal ihwal keduniaan padahal terdapat kesempatan untuk meraihnya hanya
karena semata-mata taat dan mengharapkan ridha Allah SWT. Inti darizuhdadalah
keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa bahagia dengan kenikmatan dunia yang
didapat, dan tidak bersedih dan putus asa atas kenikmatan dunia yang tidak
didapat.Menurut Syaikh Syihabuddin ada tiga jenis kezuhudan yaitu : pertama,
Kezuhudan orang-orang awam dalam peringkat pertama. Kedua, kezuhudan
orang-orang khusus (kezuhudan dalam
kezuhudan). Hal ini
berarti berubahnya kegembiraan yang merupakan hasil daripada
zuhud hanyalah kegembiraan akhirat, sehingga nafsunya benar-benar hanya
dipenuhi dengan akhirat. Ketiga, Kezuhudan orang-orang khusus dikalangan kaum
khusus. Dalam peringkat ketiga ini adalah kezuhudan bersama Allah. Hal ini
hanyalah dikhususkan bagi para Nabi dan manusia suci. Merekatelah merasa fana’
sehingga kehendaknya adalah kehendak Allah. Sedangkan menurut Abu Nashr Al
Sarraj ada tiga kelompok zuhud:
(a)
Kelompok pemula (mubtadiin), mereka adalah
orang-orang yang kosong tangannya dari harta milik, dan juga kosong kalbunya.
(b) Kelompok para
ahli hakikat tentang
zuhud (mutahaqqiqun ϔi Al zuhd). Kelompok
ini dinyatakan sebagai orang-orang yang meninggalkan
kesenangan-kesenangan jiwa dari apa-apa yang ada di dunia ini, baik itu berupa
pujian dan penghormatan dari manusia.
(c) Kelompok yang
mengetahui dan meyakini
bahwa apapun yang
ada di dunia
ini adalah halal bagi mereka, namun yakin bahwa harta milik tidak
membuat mereka jauh dari Allah
dan tidak mengurangi
sedikitpun kedudukan mereka,
semuanya semata-mata karena Allah.“… Kesenangan di dunia ini hanya
sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orangorang yang bertakwa…” (QS. An
Nisa [4]: 77), “…dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka
terhadap apaapa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka
mengutamakan (orangorang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka
dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka
Itulah orang orang yang beruntung”. (QS. Al Hasyr [59]: 9).
(4) Al
Shabr
Al Sabr secara etimologi
berarti tabah hati.
Dalam Mu’jam Maqayis Al
Lughahdisebutkan bahwa kata sabar memiliki tiga arti yaitu menahan, sesuatu
yang paling tinggi dan jenis bebatuan. Menurut terminologi adalah menahan jiwa
dari segala apa tidak disukai baik itu berupa kesenangan dan larangan untuk
mendapatkan ridha Allah.Dalam perspektif tasawuf Al shabrberarti menjaga
menjaga adab pada musibah yang menimpanya, selalu tabah dalam menjalankan
perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya serta tabah menghadapi segala
peristiwa. Sabar merupakan kunci sukses orang beriman. Sabar itu seperdua dari
iman karena iman terdiri dari dua bagian. Setengahnya adalah sabar dan
setengahnya lagi syukur baik itu ketika bahagia maupun dalam keadaan susah.
Makna Al Shabrmenurut ahli suϐi pada dasarnya sama yaitu sikap menahan diri
terhadap apa yang menimpanya.Ibn ‘Ata’illah membagi sabar menjadi 3 macam sabar
terhadap perkara haram, sabar terhadap kewajiban, dan sabar terhadap segala
perencanaan(angan-angan) dan usaha. Sabar terhadap perkaraharam adalah sabar
terhadap hak-hak manusia. Sabar terhadap kewajiban adalah sabar terhadap
kewajiban dan keharusan untuk menyembah kepada Allah. Segala sesuatu yang
menjadi kewajiban ibadah kepada Allah akan melahirkan bentuk sabar yang ketiga
yaitu sabar yang menuntut saling untuk meninggalkan segala bentuk angan-angan
kepada-Nya.Sabar bukanlah suatu
maqam yang diperoleh
melalui usaha manusia
sendiri. Namun, sabar adalah suatu anugerah yang diberikan Allah kepada
salik dan orangorang yang dipilih-Nya. Maqam sabar itu dilandasi oleh keimanan
yang sempurna terhadap kepastian dan ketentuan Allah, serta menanggalkan segala
bentuk perencanaan (angan-angan) dan usaha.“bersabarlah (hai Muhammad SAW) dan
Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu
bersedih hati terhadap (kekaϔiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada
terhadap apa yang mereka tipu dayakan.” (QS. An Nahl [16]: 127).
Untuk lebih jelasnya berikut diketengahkan contoh Shabr
(a)
Sabar dalam menghadapi sesuatu yang menyakitkan
seperti musibah, bencana, atau kesusahan.Adapun
contohnya apa yang
terjadi pada nabi
Ayyub, beliau ditinggalkan
oleh istri dan anak-anaknya tercinta meninggal dunia, kemudian ditambah
lagi dengan harta bendanya yang melimpah habis karena tertimpa bencana.
(b) Sabar
dalam meninggalkan perbuatan maksiat.
Adapun contohnya, sebagaimana yang terjadi pada nabi Yusuf,
Allah SWT menguji kesabaran Yusuf dengan ujian yang lebih berat, yaitu rayuan
Siti Zulaikha, seorang wanita cantik lagi terpandang. Namun, dengan kesabaran
dan keteguhan iman, Nabi Yusuf pun mampu melewati ujian ini dengan selamat.
Padahal, saat itu Yusuf pun menyukai Zulaikha, dan suasana pun sangat mendukung
untuk melakukan maksiat.
(c) Sabar
dalam menjalankan ketaatan.
Sedangkan contoh yang ketiga adalah kesabaran yang di miliki
oleh nabi Ibrahim dan anaknya Ismail,
beliau berdua dengan
tetap sabar dan
taat atas perintah Allah, meskipun
saat itu sang
ayah akan menyembelih
anaknya sendiri. Inilah bukti kesabaran dalam menjalani
ketaatan atas perintah-Nya.
(5) Syukur
Syukur secara terminology
berasal dari kata
bahasa Arab, syakara yang berarti membuka segala nikmat, yakni gambaran
dalam benak tetang nikmat dan menampakkannya ke permukaan.Syukur berarti rasa terima
kasih atas nikmat yang telah diberikan, sembari menggunakan nikmat tersebut di
jalan yang diridhaiAllah SWT. Syukur tersusun dari ilmu, hal, dan amal
perbuatan. Ilmu berarti mengetahui nikmat yang diberikan dan pemberi nikmat.
Hal berarti gembira atas nikmat yang telah diberikan.Syukur dalam pandangan Ibn
‘Ata’illah terbagi menjadi 3 macam; pertama shukur dengan lisan, yaitu
mengungkapkan secara lisan, menceritakan nikmat yang didapat. Kedua, shukur
dengan anggota tubuh, yaitu shukur yang diimplementasikan dalam bentuk
ketaatan. Ketiga, shukur dengan hati, yaitu dengan mengakui bahwa hanya Allah
Sang Pemberi Nikmat, segala bentuk kenikmatan yang diperoleh dari manusia
semata-mata dari-Nya. Dengan akal ini manusia dapat berpikir, berangan-angan,
dan berkehendak. Sehingga manusia memiliki potensi untuk mengangan-angankan dan
menginginkan suatu bentuk kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah. Hal inilah
yang harus ditiadakan dalam pengejawantahan syukur.“dan (ingatlah juga),
tatkala Tuhanmu memaklumkan; «Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan
menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka
Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih».(QS. Ibrahim : 7)
(6) Tawakkal
Tawakkalbermakna berserah diri. Tawakkal
dalam tasawuf dijadikan washilahuntuk memalingkan dan menyucikan hati manusia
agar tidak terikat dan tidak ingin
dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah. Pada
dasarnya makna atau konsep tawakkal dalam
dunia tasawuf berbeda
dengan konsep agama. Tawakkal
menurut para sufi bersifat fatalis/majbur yakni menggantungkan segala
sesuatu pada takdir dan kehendak Allah. Syekh Abdul Qadir Jailany
menyebut dalam kitabnya bahwa semua yang menjadi ketentuan Tuhan sempurna
adanya, sungguh tidak berakhlak seorang jika ia meminta lebih dari yang telah
ditentukan Allah.“… Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan
Mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah
akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang
(dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap
sesuatu.” (QS. At Thalaaq [65]: 2-3), “ Katakanlah: «Sekali-kali tidak akan
menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah
pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orangorang yang beriman harus
bertawakal.» (QS. At Taubah [9]: 51)
(7) Ridha
Ridha berarti sebuah
sikap menerima dengan
lapang dada dan
senang terhadap apapun
keputusan Allah kepada
seorang hamba, meskipun
hal tersebut menyenangkan atau tidak. Sikap ridhamerupakan
buah dari kesungguhan seseorang dalam menahan hawa nafsunya.Imam Ghazali mengatakan
bahwa hakikat ridha adalah tatkala hati senantiasa dalam keadaan sibuk
mengingatnya. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa seluruh
aktivitas kehidupan manusia hendaknya selalu berada dalam kerangka mencari
keridhaan Allah.Orang yang ridhaterhadap ketentuan dan kepastian Allah, dia
akan menjadikan Allah sebagai penuntun dalam segala urusannya, dia akan
berpegang teguh kepadaNya, dan yakin bahwa Dia akan menentukan yang terbaik
bagi dirinya. Allah berϔirman: "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi
orang-orang yang benar kebenaran mereka. bagi mereka surga yang dibawahnya
mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha
terhadapNya. Itulah keberuntungan yang paling besar”.(QS. Al Maaidah [5]: 119).
Untuk lebih jelasnya berikut
diketengahkan contoh Ridla Segala sesuatu yang menimpa kita adalah
kehendak-Nya. Tugas kita sebagai manusia hanyalah berusaha dan bertawakal
kepada-Nya. Kita selayaknya senantiasa bersikap ridha kepada qadhadan
qadarn-Nya walaupun terkadang pahit dan menyakitkan. Sikap
ridha adalah cerminan
kepaTuhan hamba kepada
Penciptanya. Apapun bentuk pemberian-Nya merupakan yang terbaik untuk
kita.
2)
Al Ahwal
a)
Pengertian Al Ahwal
Al ahwalbentuk jamak dari kata dalam
bahasa Arab hal, biasanya diartikan sebagai keadaan mental (menthal states)yang
dialami oleh para suϐi di sela-sela perjalanan spiritualnya. Ibn Arabi menyebut
halsebagai setiap sifat yang dimiliki seorang salik pada suatu waktu dan tidak
pada waktu yang lain, seperti kemabukan dan fana’. Eksistensinya bergantung
pada sebuah kondisi. Ia akan sirna manakala kondisi tersebut tidak lagi ada.
Hal tidak dapat dilihat dilihat tetapi dapat dipahami dan dirasakan oleh orang
yang mengalaminya dan karenanya sulit dilukiskan dengan ungkapan kata.
b)
Tingkatan Al Ahwal
Menurut Al Thusi sebagai item yang
termasuk di dalam kategori halyaitu: Al Murâqabah(rasa selalu diawasi oleh
Tuhan), Al Qurb(perasaan dekat kepada Tuhan), Al Mahabbah(rasa cinta kepada
Tuhan), Khauf wa Rajâ’(rasa takut dan pengharapan kepada Tuhan), Al Dzauq(rasa
rindu), Al Uns(rasa berteman), Al Thuma’ninah(rasa tenteram), Al
Musyâhadat(perasaan menyaksikan Tuhan dengan mata hati), dan Al Yaqîn(rasa
yakin).
(1)
Muraqabah
Muraqabahdalam tradisi suϐi adalah
kondisi kejiwaan yang dengan sepenuhnya ada dalam keadaan konsentrasi dan
waspada. Sehingga segala daya pikir dan imajinasinya tertuju pada satu fokus
kesadaran tentang dirinya. Lebih jauh, muraqabah akan penyatuan antara Tuhan,
alam dan dirinya sendiri sebagai manusia. Muraqabah merupakan bentuk hal yang
sangat penting. Karena pada dasarnya segala
perilaku peribadatan adalah
dalam rangka muraqabah
atau mendekatkan diri kepada
Allah. Dengan kata lain muraqabah juga dapat diartikan sebagai kondisi
kejiwaan, di mana seorang individu senantiasa merasa kehadiran Allah, serta
menyadari sepenuhnya bahwa
Allah selalu mengawasi
segenap perilaku hambanya. Dengan kesadaran semacam ini,
seorang hamba akan selalu mawas diri, menjaga diri untuk tetap pada kualitas
kesempurnaan penciptaannya.
(2)
Mahabbah
Mahabbahmengandung arti keteguhan dan
kemantapan. Seorang yang sedang dilanda rasa cinta pada sesuatu tidak akan
beralih atau berpaling pada sesuatu yang lain. Ia senantiasa teguh dan mantap
serta senantiasa mengingatdan memikirkan yang dicinta. Al Junaidi ketika
ditanya tentang cinta menyatakan seorang yang dilanda cinta akan dipenuhi oleh
ingatan pada sang kekasih, hingga tak satupun yang tertinggal, kecuali ingatan
pada sifat-sifat sang kekasih, bahkan ia melupakan sifatnya sendiri.Dilihat
dari segi orangnya, menurut Abu Nashr Al Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi
menjadi tiga macam cinta. Pertama, cinta orang-orang awam. Cinta seperti
inimuncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta
ini adalah ketulusan dan
keteringatan (zikir) yang
terus-menerus. Karena jika orang
mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya. Kedua,
cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini timbul
karena penglihatan mata
hati mereka terhadap
kekayaan, keagungan, kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan.
Ciri-ciri cinta ini
adalah “terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan.
Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat
(kemanusiaan dan keinginan duniawi). Ketiga, cinta orang-orang shiddiqdan arif.
Cinta macam ini timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap
ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa sebab (illat) apapun.
(3) Khauf
Al
Qusyairi mengemukakan bahwa
khauf terkait dengan
kejadian yang akan datang. Yakni akibat datangnya sesuatu yang
dibenci dan sirnanya sesuatu yang dicintai. Takut kepada Allah berarti takut
terhadap hukum-hukumnya baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana firman
Allah“… karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah
kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman.”(QS Ali Imran [3]:
175)Seorang yang diliputi perasaan takut hanya akan melakukan tindakan yang
seharusnya ia lakukan untuk kebaikan dalam jangka panjang ke depan, bukan
sekedar karena keinginan-keinginan nafsunya atau karena kepentingan sesaat.
Seorang yang khauf akan berϐikiran jauh ke depan.
(4) Raja’
Raja’adalah keterikatan hati dengan
sesuatu yang diinginkan terjadi pada masa yang akan datang. Al Qusyairi
membedakan antara harapan dengan
angan-angan (tamanni). Raja’ bersifat
aktif, sementara tamanni
bersifat pasif. Seseorang
yang mengharapkan sesuatu akan
berupaya semaksimal mungkin
untuk meraih dan merealisasikan harapan-harapannya.
Sementara orang yang mengangan-angankan sesuatu hanya berdiam diri dan tidak
melakukan apapun yang dapat mengantarkannyauntuk mendapatkan yang
diangan-angankannya. Harapan akan membawa seseorang pada perasaan optimis dalam
menjalankan segala aktiϐitasnya, serta menghilangkan segala keraguan yang
menyelimutinya. Dengan
Demikian,
ia akan melakukan segala aktifitas terbaiknya dengan penuh kayakinan.
(5) Syauq
Rindu (syauq)merupakan luapan perasaan
seseorang individu yang mengharapkan untuk senantiasa bertemu dengan sesuatu
yang dicintai. Luapan perasaan kerinduan terhadap sesuatu akan menghapuskan
segala sesuatu selain yang dirindukan.
Begitu pula seorang
hamba yang dilanda
kerinduan kepada Allah
SWT akan terlepas dari segala
hasrat selain Allah. Oleh karenanya sebagai bukti dari perasaan rindu adalah
terbebasnya diri seseorang dari hawa nafsu.Secara psikologis, seseorang yang
dilanda perasaan rindu, adalah mereka yang segala aktiϐitas baik perilaku
maupun gagasannya tertuju pada satu titik tertentu, sesuai dengan apa yang
dianggapnya sebagai kebenaran yang hakiki. Dan tidak akan tergoyahkan dengan
segala keinginan yang semu yang dapat mengalihkan perhatian dan konsentrasinya.
Sehingga ia akan senantiasa terjaga dari segala hal yang tidak seharusnya ia
lakukan atau ia pikirkan. Ia akan melakukan segala tindakan terbaiknya dengan
penuh kesenangan dan kegembiraan, tanpa rasa keraguan atau kecemasan.
(6) Uns
Perasaan suka cita (uns)merupakan kondisi
kejiwaan, di mana seseorang merasakan
kedekatan dengan Tuhan.
Atau dengan pengertian
lain disebut sebagai pencerahan dalam
kebenaran. Seseorang yang
ada pada kondisi uns akan merasakan
kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan
serta suka cita
yang meluap-luap. Kondisi
kejiwaan seperti ini dialami oleh seorang sufi ketika merasakan kedekatan
dengan Allah. Yang mana, hati dan perasaannya diliputi oleh cinta, kelmbutan
serta kasih sayang yang luar biasa, sehingga sangat sulit untuk
dilukiskan.Keadaan seperti ini dapat dialami oleh seorang sufi dalam situasi
tertentu, misalnya ketika menikmati
keindahan alam, keluasan
bacaan atau merdunya
alunan musik, yang mana dalam situasi tersebut seorang suϐi benar-benar
merasakan keindahan Allah. Tentu saja antara antara individu satu dengan yang
lain memiliki pengalamannya sendiri-sendiri dengan muatan dan rasa yang
bersifat pribadi, sehingga tidak dapat digambarkan dengan jelas oleh orang
lain.
(7) Tuma’ninah
Tuma’ninahadalah keteguhan atau
ketentraman hati dari segala hal yang dapat mempengaruhinya. Hal ini didasarkan
pada firman Allah SWT,27. Hai jiwa yang tenang. 28. Kembalilah kepada Tuhanmu
dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. 29. Maka masuklah ke dalam jama›ah
hamba-hamba-Ku, 30. masuklah ke dalam syurga-Ku. (QS. Al Fajr [89]: 27-30).Ibnu
Qayim membagi tuma’ninahdalam tiga tingkatan: pertama, ketenangan hati dengan
mengingat Allah. Kedua, ketentraman jiwa pada kashf, ketentraman perindu pada
batas penantian. Ketiga, ketentraman menyaksikan Tuhan pada kelembutan
kasihnya. Ketiga tingkatan
ini berkaitan dengan
konsep fana’ dan baqa’. Menurut pandangan sejumlah suϐi, fana’adalah
gugurnya sifat-sifat tercela, sedangkan baqa’adalah jelasnya sifat-sifat
terpuji.
(8) Musyahadah
Musyahadah adalah kehadiran
Al Haqq dengan tanpa dibayangkan.
Menurut Al Junaid, orang yang ada pada puncak musyahadahkalbunya
senantiasa dipenuhi oleh cahaya keTuhanan,
sehingga ibarat kilatan
cahaya di malam
hari yang tiada putus sama sekali, sehinggga malampun
laksana siang yang nikmat.
(9) Yaqin
Al Yaqin dalam terminologi
sufi adalah merupakan
perpaduan antara ‘ilmu al yaqin, ’ain al yaqindan haqq al
yaqin. ‘Ilm al Yaqinadalah sesuatu yang ada dengan syarat adanya bukti.
sedangkan ‘Ain al Yaqin, sesuatu yang ada dengan disertai kejelasan. Haqq al
Yaqinadalah sesuatu yang ada dengan sifat-sifat yang menyertai kenyataannya.
‘Ilm al Yaqin, dibutuhkan untuk mereka yang cenderung rasional. ‘Ain al
Yaqinbagi para ilmuwan. Sedangkan haqq al Yaqinbagi orang-orang yang
ma’rifah.Jadi, Al Yaqin adalah
sebuah kepercayaan yang
kuat dan tak
tergoyahkan tentang kebenaran
pengetahuan yang dimiliki, karena penyaksiannya dengan segenap jiwanya dan
dirasakan oleh seluruh
ekspresinya, serta disaksikan
oleh segenap eksistensinya.
e. Peranan
Tasawuf dalam Kehidupan Modern
Prof.
Zakiah Darajat, dalam bukunya Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental,menyatakan
bahwa fungsi agama adalah :
1)
Agama
memberikan bimbingan bagi
manusia dalam mengendalikan
dorongandorongan sebagai konsekuensi dari pertumbuhan ϐisik dan psikis
seseorang.
2) Agama
dapat memberikan terapi mental bagi manusia dalam menghadapi
kesukarankesukaran dalam hidup.
Seperti pada saat
menghadapi kekecewaan-kekecewaan
yang kadang dapat
menggelisahkan batin dan
dapat membuat orang
putus asa. Disini agama berperan
mengembalikan kesadaran kepada sang pencipta.
3) Agama
sebagai
pengendali moral, terutama
pada masyarakat yang
mengahadapi problematika etis, seperti perilaku seks bebas.
Akhlak tasawuf
merupakan solusi tepat dalam mengatasi krisis-krisis akibat modernisasi untuk
melepaskan dahaga dan memperoleh kesegaran dalam mencari Tuhan. Intisari ajaran
tasawuf adalah bertujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan
Tuhan, sehingga seseorang merasa dengan kesadarannya iu brrada di hadiratNya.
Tasawuf perlu dikembangkan dan disosialisasikan kepada masyarakat dengan
beberapa tujuan, antara lain:
a)
Menyelamatkan
kemanusiaan dari kebingungan
dan kegelisahan yang
mereka rasakan sebagai akibat kurangnya nilai-nilai spiritual.
b) Memahami
tentang aspek asoteris Islam, baik terhadap masyarakat Muslim maupun non
Muslim.
c) Menegaskan
kembali bahwa aspek asoteris Islam (tasawuf)adalah jantung ajaran Islam.
Tarikat atau jalan rohani (path of soul) merupakan dimensi
kedalaman dan kerahasiaan dalam Islam sebagaimana syariat bersumber dari
Al-Quran dan As-Sunnah. Betapapun ia tetap menjadi sumber kehidupan yang paling
dalam, yang mengatur seluruh organisme keagamaan dalam Islam. Ajaran dalam
tasawuf memberikan solusi bagi kita untuk menghadapi krisis-krisis dunia.
Seperti ajaran tawakkal pada Tuhan, menyebabkan manusia memiliki pegangan yang
kokoh, karena ia telah mewakilkan atau menggadaikan dirinya sepenuhnya pada
Tuhan.Selanjutnya sikap frustasi dapat diatasi dengan sikap ridla. Yaitu selalu
pasrah dan menerima terhadap segala keputusan Tuhan. Sikap materialistik dan hedonistik
dapat diatasi dengan menerapkan
konsep zuhud. Demikan
pula ajaran uzlah
yang terdapat dalam tasawuf.
Yaitu mengasingkan diri dari terperangkap oleh tipu daya keduniaan.
Ajaran-ajaran yang ada dalam tasawuf perlu disuntikkan ke dalam seluruh
konsep kehidupan. Ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, sosial, politik,
kebudayaan dan lain sebagainya perlu dilandasi ajaran akhlak
tasawuf.Mempelajari tasawuf membawa
manfaat yang sangat
banyak dalam kehidupan
ini, baik secara individu, masyarakat, bangsa dan negara. Para Suϔisangat
menyadari betul akan siapa dirinya dan bagaimana posisinya dihadapan Tuhan dan
mereka sudah mampu menguasai hawa
nafsu mereka, sehingga
dengan demikian segala
apa yang mereka lakukan selalu berada dalam koridor
kepaTuhan, ketaatan dan ketundukan kepada Allah swt. dengan penuh keridhaan,
kecintaan dan mereka pun diridhai dan dicintai oleh Allah, bahkan Allah
mengundang mereka kesebuah perjamuan yang sangat indah. “Wahai jiwa yang
tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka
masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.”(QS.
AlFajr [89]: 27-30). Orang-orang yang diundang oleh Allah tentunya tidak
sembarang orang tetapi yang diundang adalah mereka yang sudah sampai ketingkat
(maqam) insan kamil(manusia paripurna) yang didalam diri mereka sudah tercermin
sifat-sifat Tuhan.
Tujuan akhir dari ajaran tasawufadalah untuk mendekatkan diri
seorang hamba kapada Allah sebagai Khaliknya melalui riyadhahmelewati
stasiun-stasiun atau maqamatmaqamattertentu, dengan selalu mensucikan jiwa
(nafs) lahir dan bathin dalam upaya mempersiapkan diri menggapai ma’rifatullah
sampai pada tingkat bertemu dan menyatu dengan Allah menuju kehidpan yang
abadi.
Apabila seseorang mengalami kebingunagan, kebimbangan, dan
kehampaan dalam mengahrungi bahtera kehidupan ini karena mengahadapi berbagai
problem dan permasalah silakan kembali kepada agama sesegera mungkin,
insyaallah agama akan memberikan
solusi yang terbaik
bagi umatnya. Kehampaan
spiritual yang di
alami orangorang Barat,
karena disebabkan paradigma
perdaban yang mereka
bangun dari awal telah menyatakan adanya pemisahan antara
sains dan agama, padahal seharunya keduanya
harus saling bersinergi. Tasawuf Islam tidak
menaϐikan sains, bahkan
tasawuf Islam banyak menyumbangkan pemikiran dalam bidang ϐilsafat,
sastra, musik, tarian, psikologi, dan sains modren. Dalam konteks ajaran Islam,
untuk mengatasi keterasingan jiwa manusia dan membebaskan dari derita
keterasingan, justru harus menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhir, Tuhan yang
Maha Wujud dan Maha Absolut.
f.
Teladan Sufi Nabi dan Sahabat
1)
Pengalaman Sufi Nabi Muhamaad. Saw.
Dalam sejarah Islam, Muhammad saw.
dikenal sebagai pioner yang memiliki peran terpenting dalam proses tumbuh dan
berkembangnya khazanah sufisme Islam dari satu generasi ke generasi yang lain.
Kaum zuhâd atau kaum suϐi sejak masa permulaan Islam dalam menjalani aktivitas
suϐistik mereka selalu merujuk pada Muhammad saw sebagai mursyid tertinggi
dalam Islam. Bahkan, kaum suϐi sendiri menganggap Nabi Muhammad saw. sebagai
sosok manusia sempurna (al-insân al-kâmil) sekaligus mursyid tertinggi yang
harus dijadikan teladan (uswah hasanah) dalam perjalanan suϐistik mereka
menuju kepada Yang
Haq (Allah). Itulah
sebabnya, dalam tulisan
ini penulis tertarik memaparkan kajian seputar pengalaman
suϐistik Muhammad saw. dengan beragam macamnya itu dengan pendekatan
normative-historis.Keparipurnaannya sebagai seorang nabi telah tercermin
melalui beberapa sifat luhur dan keistimewaan spiritual yang terhimpun dalam
dirinya.
Pertama, kehormatan nasabnya dari suku
Quraisy yang merupakan keturunan dari Isma’il ibn Ibrahim, tanda kenabian yang
terdapat di antara kedua pundaknya, penampakan wajah, dan bentuknya yang
memancarkan sinar kejujuran dan kenabiannya. Kedua, sifat dan
akhlaknya yang terpuji;
seperti sifat kasih
sayang, sabar, rendah hati,
dan jujur. Ketiga,
tanda-tanda kenabian dan
pengalaman suϐistik tertinggi
yang telah dialirkan oleh
Allah SWT kepadanya,
seperti benda-benda padat
bisa berbicarakepadanya, dapat
menambah makanan dan minuman, membelah bulan; dan yang paling agung dan abadi
adalah memperoleh wahyu serta menjalani mi’raj untuk bertemu dan berdialog
dengan Allah SWT. Keempat, doanya dikabulkan setiap kali Nabi memohon untuk
seseorang atau umatnya.
a)
Pengalaman Khalwat di Gua Hira
Mendekati
usia 40 tahun,
mulailah tumbuh pada
diri Muhammad saw
kecenderungan untuk melakukan uzlah (menjauhi pergaulan masyarakat
ramai). Uzlah yang dilakukan Muhammad saw menjelang dinobatkan sebagai rasul
ini memiliki makna dan mengandung pelajaran yang sangat besar dalam kehidupan
yakni merasakan pengawasan Tuhan dan merenungkan fenomena-fenomena atau gejala
alam semesta yang menjadi bukti keagungan-Nya. Dari aktivitas uzlah ini, dapat
diambil suatu pelajaran bahwa setiap jiwa manusia memiliki sejumlah penyakit
yang tidak dapat dibersihkan kecuali dengan cara uzlah. Sifat sombong, ujub,
hasud, riya, dan cinta dunia merupakan penyakit yang dapat menguasai jiwa,
merusak hati nurani, sekalipun secara lahiriah seseorang terlihat melakukan
amal-amal saleh. Di samping itu, dengan khalwat seseorang dapat sampai pada
mahabbah (mencintai) kepada Allah SWT. Tafakkur, perenungan, banyak mengingat
keagungan Allah, nampaknya dapat diwujudkan melalui cara khalwat. Khalwat ini
sekaligus menjadi sarana untuk menciptakan dorongan-dorongan spiritual di dalam
hati; seperti rasa takut, cinta, dan penuh harap, yang bisa menjadi motivasi
kuat dalam keimanan maupun keIslaman seseorang. Tetapi khalwat di sini bukan
dipahami sebagai tindakan meninggalkan sama sekali pergaulan sesama manusia dengan
hidup secara terasing.
Karena khalwat yang
dilakukan Muhammad saw bersifat
temporer, menurut kadar tertentu, dan sebagai pencarian obat untuk memperbaiki
keadaan.
b)
Kebenaran Mimpi Nabi saw (ar ru’yâ as sâdiqah)
Mimpi
yang benar juga
dipandang oleh Nabi
Muhammad saw sebagai
suatu peristiwa yang dapat terjadi pada manusia muslim pada umumnya. Bahkan, nabi Muhammad saw
sendiri memandang mimpi
yang benar merupakan
bagian dari empat puluh juz
kenabian. Sekaligus sebagai nikmat dari Allah SWT. kepada orang muslim yang
menerimanya dan juga
pengganti dari sifat
kenabian yang telah
dicabut setelah Nabi Muhammad saw.Pengalaman sufistik
ini sama halnya
dengan pengalaman mimpi
yang dialami Nabi Ibrahim
ketika ia mendapat
perintah dari Allah
SWT. untuk mengorbankan
putranya, Ismail. Pengalaman
sufistik ini merupakan
fenomena umum yang
terjadi di kalangan para nabi terdahulu agar hatinya tenang sebagai
persiapan mentaluntuk mengalami pewahyuan dalam kondisi sadar.Dalam suatu
riwayat dikemukakan bahwa Nabi menuturkan sebuah mimpi kepada pamannya. Nabi
berkata, “Wahai paman, orang (malaikat) yang telah saya tuturkan kemarin
kepadamu memasukkan tangannya ke dalam perutku sehingga aku merasakan hawa
dinginnya”. Ibn Umar meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw pernah
bercerita,“Suatu saat saya sedang tidur, tiba-tiba saya diberi satu gelas air
susu, lalu saya meminum sebagiannya, dan sisanya saya berikan kepada Umar ibn
Khaththab”. Para sahabat lalu bertanya, “Apakah yang kamu tafsirkan wahai
Rasul?”Nabi menjawab, “ilmu”.
c) Masalah
wahyu yang turun kepada Nabi Saw.
Nabi
Muhammad saw, dalam
konteks ini, telah
mengalami pengalaman pewahyuan
dari Allah SWT.
melalui dua bentuk;
langsung dari Allah
Swt dan melalui perantara malaikat Jibril. Pada cara
yang pertama, Nabi saw memperoleh pengalaman
pewahyuan itu dari
Tuhan secara langsung,
tidak melalui malaikat
Jibril, di antaranya mimpi yang
benar di waktu tidur. Bentuk lain dari penyampaian wahyu model ini ialah kalam
Allah SWT. yang diterima dari balik hijab tanpa melalui perantara dan
dalam keadaan terjaga.
Wahyu model ini,
menurut ulama Islam,
terjadi pada Nabi Muhammad saw di malam isrâ’-mi’râj.
Contoh wahyu Allah SWT. yang diturunkan melalui malaikat
Jibril tatkala Nabi sedang bertahanuth di gua Hira dan memperoleh wahyu
Al-Qur'an yang pertama kali. Dalam pengalaman suϐistik itu, ia melihat Malaikat
Jibril tampil menutupi keluasan cakrawala. Pengalaman suϐistik ini dapat
dilihat dan didengar. Malaikat itu
memerintahkan Muhammad saw untuk melafalkan iqra’ yang dalam
bahasa Arab adalah bentuk kalimat perintah dari kata kerja qara’a yang artinya
“membaca” (untuk meneliti). Oleh karena itu, bab pertama (surah) dari Al-Qur'an
adalah Al-Alaq ayat 1-5 diwahyukan kepada umat manusia.
Selama dua puluh tiga tahun sampai meninggal, kapan saja
wahyu datang Nabi selalu merasakan tekanan yang berat. Beliau akan berkeringat
hebat dan andaikan
beliau sedang naik unta atau naik kuda, maka hewan-hewan itu
akan terbungkuk di bawah tekanan ϐirman yang turun dari atas. Nabi Muhammad saw
pernah berkata, “Aku tidak pernah menerima wahyu dalam kesadaran yang lengkap
dengan rohku karena ia sedang dihilangkan dariku”.
d) Pengalaman
Isra’ Mi’raj
Pengalaman spiritual penting itu adalah
perjalanan Nabi pada malam hari naik ke langit untuk menghadap kepada Allah
SWT. Nabi Muhammad saw secara mukjizat dibawa dari Mekah ke Jerussalem dan dari
sana melakukan mi’râj atau naik ke seluruh tingkat sampai mencapai jagat yang
paling ujung (sidrat-ul muntaha)bahkan jauh lagi di atas itu yaitu tiba pada
hadirat Allah SWT, yang digambarkan sebagailingkungan “berjarak dua busur
panah”. Dalam perjalanan itu, ia menunggang kuda mistik; buraq dan didampingi
oleh malaikat Jibril. Al-Qur'an mengungkapkan perjalanan malam ini dengan
mengatakan “Maha suci Allah SWT, yang membawa perjalanan hamba- Nya malam hari
dari Masjid Al Haram ke Masjid Al Aqsha, yang Kami berkati sekitarnya untuk
memperlihatkan kepadanya beberapa tanda (kebesaran) Kami. Sungguh Dia itu Maha
Mendengar, yang Maha Melihat.”
Pengalaman sufistik Nabi Muhammad saw yang demikian penting
dan terpusat pada kedalaman spiritual merupakan contoh kualitas spiritual
tertinggi dan teladan bagi
kedalaman kehidupan beragama.
“Malam kenaikan” disejawatkan
dengan “malam kekuasaan”, karena
Al-Qur'an juga diwahyukan
pada bagian penghujung akhir bulan suci Ramadhan.
Pengalaman isrâ’ mi’râj itu, secara suϐistik merupakan pengalaman rohaniah
tertinggi yang menunjukkan terpilihnya Muhammad saw oleh Allah untuk mushâhadah dengan-Nya. Bagi
para sufi, pengalaman
itu merupakan pengalaman mistik
paling agung dari Nabi Muhammad saw.