1.
Fatimiyah Az-zahra
a.
Riwayat Hidup Singkat
Fatimah
Az-Zahra adalah putri Nabi Muhammad saw dan Khadijah. Ketika sudah ewasa dia
menikah dengan Ali bin Abi Thalib. Dari pernikahan tersebut melahirkan Hasan
dan Husein. Fatimah sangat terkenal di dunia Islam, karena hidupnya paling
dekat dan paling lama dengan Rasulullah Saw. Rasulullah sendiri sangat
menyayanginya. Dari dialah keturunan Nabi Muhammad saw berkembang dan tersebar
di hampir seluruh negeri Islam. Fatimah dilahirkan di Makkah pada tanggal 20
Jumadil Akhir, 18 tahun sebelum Nabi Saw. hijrah (tahun ke-5 dari kerasulan).
Dia adalah putri bungsu Rasulullah saw setelah berturut-turut Zainab, Ruqayyah,
dan Ummu Kulsum. Saudara laki-lakinya yang tertua, Qasim dan Abdullah, meninggal
dunia pada usia muda. Kehidupan Fatimah dibagi ke dalam dua periode, masa
kanak-kanak di Makkah dan masa remaja serta masa dewasa di Madinah. Pada
periode masa kanak-kanak di Mekah, keluarganya hidup dalam keadaan menyedihkan,
banyak tekanan dan penyiksaan, karena pada masa itulah babak baru perjuangan
Rasulullah saw pada periode remaja dan dewasa di Madinah, sebagai putri
pimpinan kota Madinah, Fatimah tinggal di pusat kota yang paling berpengaruh.
Fatimah telah memperkaya sejarah wanita selama masa itu.
b.
Teladan yang bisa diambil
Kehidupan rumah tangga Fatimah sangatlah
sederhana. Bahkan sering juga kekurangan, sehingga beberapa kali harus
menggadaikan berang-barang keperluan rumah tangga mereka untuk membeli makanan.
Sampai-sampai kerudung Fatimah pernah digadaikan kepada Yahudi Madinah untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Namun demikian, mereka tetap saja
bahagia, lestari sebagai suami istri sampai akhir hayat. Memang nabi Muhammad
saw sangat sayang kepada Fatimah. Sewaktu Nabi Muhammad saw sakit keras
menjelang wafatnya, Fatimah tiada henti menangis. Nabi saw memanggilnya dan
berbisik kepadanya, tangisannya makin bertambah. Kemudian Nabi saw berbisik
lagi, dan ia pun tersenyum. Kemudian hal tersebut ditanyakan kepada Fatimah. Dia
manjawab bahwa dia menangis karena ayahnya memberitahukan kepadanya bahwa tak
lama lagi ayahnya akan meninggal, tetapi kemudian ia tersenyum karena, seperti
kata ayahnya, dialah yang pertama yang akan memjumpainya di akhirat nanti. Fatimah
adalah seorang wanita yang agung, seorang ahli hukum Islam. Dari Fatimah inilah
banyak diriwayatkan hadis Nabi saw. Dialah tokoh perempuan dalam bidang
kemasyarakatan. Orangnya sangat sabar dan
bersahaja, akhlaknya sangat mulia. Fatimah Az-Zahra tumbuh menjadi seorang
gadis yang tidak hanya merupakan putrid dari Rasulullah, namun juga mampu
menjadi salah satu orang kepercayaan ayahnya pada masa Beliau. Fatimah Az-Zahra
memiliki kepribadian yang sabar dan penyayang karena tidak pernah melihat atau
dilihat lelaki yang bukan mahromnya. Rasullullah sering sekali menyebutkan nama
Fatimah, salah satunya adalah ketika Rasulullah pernah berkata: “Fatimah
merupakan bidadari yang menyerupai manusia”. Demikian kisah Fatimah Az-Zahrah,
seorang wanita yang selalu mendukung perjuangan ayahnya dan suaminya. Walaupun
anak seorang yang sangat disegani namun Fatimah tidak pernah sombong. Ia adalah
seorang istri yang sangat sederhana hidupnya
tanpa banyak menuntut pada suaminya. Fatimah
sangat patut kita jadikan jadikan teladan utama.
Dari pernikahannya dengan Ali bin Abi Thalib,
Fatimah Az Zahra memiliki empat anak, dua putra yaitu Hasan dan Husain dan dua
putri yaitu Zainab dan Ummu Kulsum. Hasan dan Husain sangat disayangi oleh
Rasulullah saw. Sebenarnya ada satu lagi anak Fatimah Az Zahra bernama Muhsin,
tetapi Muhsin meninggal dunia saat masih kecil.
2. Uwais al-Qarni
a. Riwayat hidup singkat
Uwais al-Qarni adalah salah seorang penduduk
Yaman, daerah Qarn dari kabilah Murad. Ayahnya sudah tiada dan dia hidup
bersama ibunya dan sangat berbakti kepadanya. Uwais al-Qarni pernah mengidap
penyakit kusta, lau berdoa kepada Allah SWT lalu diberi kesembuhan, tetapi
masih ada bekas sebesar dirham di kedua lengannya. Menurut keterangan, Nabi
Muhammad saw mengatakan bahwa Uwais al-Qarni adalah pemimpin para tabi’in. Suatu
ketika Nabi Muhammad saw berkata kepada Umar bin Khattab, “Jika kamu bisa
meminta kepadanya untuk memohonkan ampun kepada Allah SWT untukmu, maka lakukanlah!”
Ketika Umar bin Khattab telah menjadi Amirul Mukminin, dia bertanya kepada para
jamaah haji dari Yaman di Baitullah pada musim haji, “Apakah di antara warga kalian
ada yang bernama Uwais al-Qarni?” Mereka menjawab, “ada”. Umar kemudian bertanya
lagi, “Bagaimana keadaannya ketika kalian meninggalkannya?” Mereka menjawab tanpa
mengetahui derajat Uwais, “Kami meninggalkannya dalam keadaan miskin harta
benda dan pakaiannya usang.” Umar bin Khattab berkata kepada mereka, “Celakalah
kalian. Sungguh, Rasulullah saw pernah bercerita tentangnya. Kalau dia bisa
memohonkan ampun untuk kalian, lakukanlah!” Dan setiap tahun Umar bin Khattab
selalu menanti Uwais. Dan kebetulan suatu ketika dia datang bersama jamaah haji
dari Yaman, lalu Umar menemuinya. Dia hendak memastikannya terlebih dahulu,
makanya dia bertanya, “Siapa namamu?” Orang itu menjawab, “namaku Uwais.” Umar
melanjutkan pertanyaannya, “Di Yaman daerah mana?” Dia menjawab, “Dari Qarn.”
Umar bertanya lagi, “dari kabilah mana?” Dia menjawab, “Dari kabilah Murad.” Umar
bin Khattab bertanya lagi, “Bagaimana ayahmu?” “Ayahku telah meninggal dunia. Saya
hidup bersama ibuku,” jawabnya. Umar melanjutkan, “Bagaimana keadaanmu bersama ibumu?”
Uwais berkata, “Saya berharap dapat berbakti kepadanya.” Lalu Umar bertanya
lagi, “Apakah engkau pernah sakit sebelumnya?” Uwais menjawab, benar, saya pernah
terkena penyakit kusta, lalu saya berdoa kepada Allah SWT dan saya diberi
kesembuhan.” Umar bertanya lagi, “Apakah masih ada bekas dari penyakit
tersebut?” Dia menjawab, “di lenganku masih ada bekas sebesar dirham.” Dia
memperlihatkan lengannya kepada Umar. Ketika Umar binn Khattab melihat hal
tersebut, maka dia langsung
memeluknya seraya berkata, “Engkaulah orang yang
diceritakan oleh Rasulullah saw. Mohonkanlah ampun kepada Allah SWT untukku!” Uwais
berkata, “Masa saya memohonkan ampun untukmu wahai Amirul Mukminin?” Umar bin
Khattab menjawab, “ya, benar.” Umar radhiyallahu ‘anhu meminta dengan terus
mendesak kepadanya sehingga Uwais memohonkan ampun untuknya. Selanjutnya Umar
radhiyallahu ‘anhu bertanya kepadanya mengenai ke mana arah tujuannya setelah musim
haji. Dia menjawab, “Saya akan pergi ke kabilah Murad dari penduduk Yaman ke
Irak.” Umar berkata, “Saya akan kirim surat ke walikota Irak mengenai kamu?” Uwais
berkata, “Saya bersumpah kepada Anda wahai Amriul Mukminin agar engkau tidak melakukannya.
Biarkanlah saya berjalan di tengah lalu lalang banyak orang tanpa
dipedulikan orang.”
b. Teladan yang bisa diambil
Uwais al-Qarni sosok pribadi yang sangat
sederhana. Hidupnya tidak bergelimang dengan harta. Ujian hidup yang dialami
diterima dengan ikhlas dengan tetap tidak meninggalkan usaha dan kerja keras
untuk keluar dari ujian itu. Termasuk ketika diuji penyakit kusta oleh Allah
SWT. Uwais al-Qarni juga igur yang sangat hormat dan taat kepada ibunya. Sebagian hidupnya digunakan
untuk merawat dan mendampingi ibu yang sangat disayangi. Walaupun ia mendapat
perhatian sang penguasa waktu itu yaitu Umar bin Khattab, tetapi Uwais al-Qarni
tidak memanfaatkan fasilitas dan kesempatan tersebut untuk bersenang- senang.
Justru Uwais al-Qarni tidak mau diperlakukan istimewa, justru sebaliknya dia
ingin diperlakukan sama dengan rakyat yang lain.