1. Aliran Khawarij
a. Pengertian
Khawarij secara bahasa diambil dari Bahasa Arab khawaarij,
secara harfiah berarti mereka yang keluar. Aliran Khawarij dipergunakan
oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar dari barisan
Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah
menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Mu’awiyyah yang
dikomandoi oleh Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin (37H/657) dan mereka juga
tidak mendukung barisan Mu’awiyah ra. Menurut kelompok Khawarij, semua yang
telah mengikuti proses tahkim, termasuk Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah
telah melanggar ketentuan syara’, dan dihukumi kair karena telah melakukan dosa besar, yakni
tidak berhukum dengan hukum Allah. Berdasar kejadian tahkim tersebut
kelompok Khawarij mencetuskan pokok pemikiran bahwa setiap keputusan berada
pada kekuasaan Tuhan (lâ hukma illa lillâh).
b. Dasar Ajaran
Kaum Khawarij menganggap bahwa
nama itu berasal dari kata dasar kharaja yang terdapat pada QS. An Nisa’
[4]; 100. yang merujuk pada seseorang yang keluar dari rumahnya untuk hijrah di
jalan Allah dan Rasul-Nya.
وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ
مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً ۚ وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى
اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى
اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya
mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang Luas dan rezki yang
banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah
dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju),
Maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Selanjutnya kaum khawarij
menyebut kelompoknya sebagai Syurah yang berasal dari
kata yasyri (menjual), yakni menjual diri
untuk memperoleh ridha Allah. Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al Baqarah [2]:
207.
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ
مَرْضَاتِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ
“dan di antara manusia ada orang yang
mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan
Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada
hamba-hamba-Nya.”
Selain itu mereka juga disebut
“Haruriyah” yang merujuk pada “Harurah’ sebuah tempat di
pinggiran sungai Furat dekat kota Riqqah. Di tempat ini mereka memisahkan diri
dari barisan pasukan Ali ra. saat pulang dari perang Sifin. Kelompok ini
juga dikenal sebagai kelompok “Muhakkimah”. Sebagai kelompok dengan
prinsip dasar “lâ hukmailla lillâh”.
c. Doktrin Ajaran
Secara umum, ajaran-ajaran
pokok golongan ini adalah kaum muslimin yang berbuat dosa besar adalah kafir.
Berdasar ajaran pokok tersebut kemudian aliran Khawarij mengembangkan
pokok-pokok doktrin keimanan:
1) Setiap umat Muhammad yang terus menerus
melakukan dosa besar hingga matinya belum melakukan tobat, maka dihukumkan
kafir serta kekal dalam neraka.
2) Membolehkan tidak mematuhi aturan-aturan
kepala negara, bila kepala negara tersebut khianat dan zalim.
3) Ada faham bahwa amal soleh merupakan bagian
essensial dari iman. Oleh karena itu, para pelaku dosa besar tidak bisa lagi
disebut muslim, tetapi kafir. Dengan latar belakang watak dan karakter
kerasnya,-dengan atas nama Agama- mereka selalu melancarkan jihad (perang suci)
kepada pemerintah yang berkuasa dan masyarakat pada umumnya.
4)
Keimanan itu tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalahnya
sendiri. Namun demikian, karena pada umumnya manusia tidak bisa memecahkan
masalahnya, kaum Khawarij mewajibkan semua manusia untuk berpegang kepada
keimanan, apakah dalam berfikir, maupun dalam segala perbuatannya. Apabila
segala tindakannya itu tidak didasarkan kepada keimanan, maka konsekwensinya dihukumkan
kafir.
Kaum Khawarij juga memiliki
pemikiran (doktrin-doktrin) dalam bidang sosial yang berorientasi pada teologi,
diantaranya :
1) Seorang yang berdosa besar tidak lagi disebut
muslim, sehingga harus dibunuh.
Lebih anarkis lagi, mereka menganggap seorang
muslim bisa menjadi kair apabila
tidak mau membunuh muslim lain yang telah
dianggap kair dengan resiko ia
menanggung beban harus dilenyapkan pula.
2) Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung
dengan golongan mereka, bila tidak
ia wajib diperangi karena dianggap hidup di
negara musuh, sedangkan golongan
mereka dianggap berada dalam negeri Islam.
3) Seseorang harus menghindar
dari pimpinan yang menyeleweng.
4) Adanya wa’ad dan wa’id
(orang yang baik harus masuk kedalam surga, sedangkan
orang yang jahat harus masuk
neraka).
5) Amar ma’ruf nahi munkar.
6) Bebas memutuskan
perbuatannya bukan dari Tuhan.
7) Al-Qur’an adalah makhluk.
8) Memalingkan ayat-ayat
Al-Qur'an yang bersifat mutasyabihat (samar)
Dengan doktrin diatas kaum khawarij mempropagandakan
pemikiran-pemikiran
politis berikut ini:
1) Mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar;
sedangkan Utsman dan Ali, juga orang-orang yang ikut dalam Perang Unta,
dipandang telah berdosa.
2) Dosa dalam pandangan mereka sama dengan
kekufuran. Mereka mengka firkan setiap pelaku dosa besar apabila ia tidak
bertobat. Dari sinilah muncul istilah takfir dalam faham kaum Khawarij.
3) Khalifah tidak sah, kecuali melalui pemilihan
bebas di antara kaum muslimin. Oleh karenanya, mereka menolak pandangan bahwa
khalifah harus dari suku Quraisy.
4) Ketaatan kepada khalifah adalah wajib, selama
berada pada jalan keadilan dan kebaikan. Jika menyimpang, wajib diperangi dan
bahkan dibunuhnya.
5) Menerima Al-Qur'an sebagai salah satu sumber
di antara sumber-sumber hukum Islam.
6) Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, dan
Ustman) adalah sah, tetapi setelah tahun ke-7 kekhalifahannya Utsman r.a.
dianggap telah menyeleweng.
7) Khalifah Ali adalah sah, tetapi setelah
terjadi arbitrase (tahkim) ia dianggap telah menyeleweng.
8)
Mu’awiyah dan Amr bin Al-Asy dan Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap
menyeleweng dan telah kafir.
Tokoh aliran ini adalah
‘Abdullah bin Wahhab Ar Rasyidi, Urwah bin Hudair, Mustarid bin Sa’ad, Hausarah
Al-Asadi, Quraib bin Maruah Nafi’ bin Al-Azraq, Abdullah bin Basyir, Najdah bin
Amir Al-Hanafi.
d. Sekte
1) Sekte Al Azariqah
Nama ini diambil dari Nai Ibnu Al Azraq,
pemimpin utamanya. Dalam pandangan teologisnya, Al Azariqoh tidak menggunakan
istilah kafir, tetapi menggunakan istilah musyrik atau politheis.
Istilah musyrik bagi sekte Al-Azariqoh adalah semua orang yang tidak sepaham
dengan ajaran mereka. Bahkan, orang Islam yang tidak ikut hijrah kedalam
lingkungannya, dihukumkan musyrik.
Karena kemusyrikannya itu, kaum ini membolehkan
membunuh anak-anak dan
istri yang bukan golongan Al-Azariqoh.
2) Sekte Al Ibadiah
Nama golongan ini diambil dari
Abdullah Ibnu Ibad, yang pada tahun 686 M. memisahkan diri dari golongan
Al-Azariqoh. Adapun faham-fahamnya yang dianggap moderat itu, antara lain :
a) Orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka
bukanlah mukmin dan bukan pula musyrik, tetapi kafir. Orang Islam demikian,
boleh mengadakan hubungan perkawinan dan hukum waris. Syahadat mereka diterima,
dan membunuh mereka yang tidak sefaham dihukumkan haram.
b) Muslim yang melakukan dosa besar masih
dihukumkan ‘muwahid’, meng-esakan Tuhan, tetapi bukan mukmin. Dan yang
dikatakan kafir, bukanlah kafir agama, tetapi kafir akan nikmat. Oleh
karenanya, orang Islam yang melakukan dosa besar tidak berarti sudah keluar
dari Islam.
c) Harta kekayaan hasil
rampasan perang yang boleh diambil hanyalah kuda dan senjata. Sedangkan harta
kekayaan lainnya, seperti emas dan perak, harus dikembalikan kepada pemiliknya.
4). Daerah orang Islam yang
tidak sefaham dengan mereka, masih merupakan “darat-tauhid”, dan tidak
boleh diperangi. Sekte ini lebih lembut dari pada sekte al Zariqoh.
Namun secara umum aliran khawarij merupakan aliran yang sangat keras
dalam beragama. Aliran inilah yang
ditengarahi menjadi cikal
bakal terorisme di dunia islam. Hal ini dikarenakan pemahaman yang kurang
konprehensip dan lengkap dalam beragama.
2. Aliran Murji’ah
a. Pengertian
Kata
Murji’ah berasal dari kata bahasa Arab arja’a, yarji’u, yang
berarti menunda atau menangguhkan. Aliran ini disebut Murji’ah
karena dalam prinsipnya mereka menunda penyelesaian persoalan konflik politik
antara Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Khawarij ke hari
perhitungan di akhirat nanti. Karena itu mereka tidak ingin mengeluarkan
pendapat tentang siapa yang benar dan siapa yang dianggap kafir diantara ketiga
golongan yang tengah bertikai tersebut. Alasannya, keimanan merupakan keyakinan
hati seseorang dan tidak berkaitan dengan mukmin, bukan kair. Murji’ah
mengacu kepada segolongan sahabat Nabi SAW, antara lain Abdullah bin Umar,
Sa’ad bin Abi Waqqas, dan Imran bin Husin yang tidak mau melibatkan diri dalam
pertentangan politik antara Utsman bin Affan (khalifah ke-3; w. 656)
dan Ali bin Abi Thalib (khalifah ke-4; w. 661).
Menurut Syahristani orang pertama yang membawa paham Murji’ah adalah Gailan ad
Dimasyqi. Tokoh aliran ini adalah Abu Hasan Ash-Shalihi, Yunus bin An-Namiri,
Ubaid Al-Muktaib, Ghailan Ad-Dimasyqi.
a.
Doktrin
Ajaran
Menurut Harun Nasution
menyebutkan, bahwa Murji’ah memiliki empat ajaran
pokok, yaitu:
1) Menunda hukuman atas Ali, Mu’awiyah, Amr bin
Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ari yang terlibat tahkim dan menyerahkannya
kepada Allah di hari kiamat kelak.
2) Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang
muslim yang berdosa besar.
3) Meletakkan (pentingnya) iman dari amal.
4) Memberikan pengharapan kepada muslim yang
berdosa besar untuk memperoleh
ampunan dan rahmat Allah.
b.
Sekte
Menurut Harun Nasutuion,
aliran Murji’ah, terbagi menjadi 2, yakni “golongan
moderat” dan “golongan ekstrim”.
1) Golongan Murji’ah moderat berpendapat bahwa
orang yang berdosa besar bukanlah kair dan tidak kekal
dalam neraka, tetapi akan di hukum sesuai dengan besar kecilnya dosa yang
dilakukan.
2) Golongan Murji’ah ekstrim, yaitu pengikut
Jaham Ibnu Sofwan, berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan
kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena iman
dan kufur tempatnya dalam hati.
Golongan ekstrim dalam Murji’ah terbagi menjadi
empat kelompok, yaitu :
1) Al-Jahmiyah, kelompok Jahm bin Syafwan
dan para pengikutnya, berpandangan bahwa orang yang percaya kepada Tuhan
kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman
dan kufur itu bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain dalam tubuh
manusia.
2) Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash
Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan, sedangkan kufur tidak
tahu Tuhan. Sholat bukan merupakan ibadah kepada Allah, demikian pula zakat,
puasa dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan.
3) Yumusiah dan Ubaidiyah,
melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah
merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan jahat yang
dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini Muqatil
bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit tidak
merusak iman seseorang sebagai musyrik.
d) Hasaniyah, jika seseorang mengatakan
“saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang
diharamkan itu adalah kambing ini”, maka orang tersebut tetap mukmin, bukan
kafir.
3. Aliran Syi’ah
a. Pengertian
Istilah Syi’ah berasal dari
kata Bahasa Arab Syı̄`ah. Syi’ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna:
pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: kaum yang berkumpul
di atas suatu perkara. Syi’ah adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah
Syi`ah `Ali artinya “pengikut Ali”. Muslim Syi’ah percaya bahwa Keluarga
Muhammad (yaitu para Imam Syi’ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang
Al-Qur’an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad saw dan
pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah. Muslim Syi’ah berpendapat
bahwa Ali bin Abi Thalib (sepupu, menantu Muhammad dan kepala keluarga Ahlul
Bait), adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad. Muslim Syi’ah percaya
bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad, dan perintah
Nabi berarti wahyu dari Allah.
Perbedaan antara pengikut
Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara
Syi’ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadis, mengenai Sahabat, dan
hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadis dari Muslim Syi’ah berpusat pada
perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak
dipergunakan. Menurut Abu Zahrah Aliran Syi’ah
mulai muncul pada akhir dari masa jabatan Utsman bin Affan kemudian tumbuh dan
berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Sedangkan menurut
Mongomary Watt Aliran Syi’ah mulai muncul ketika berlangsung peperangan antara
Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sofyan yang dikenal dengan Perang
Siffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan ali terhadap
tahkim atau arbitrase yang ditawarkan Mu’awiyah, pasukan Ali bin Abi Thalib
terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali bin Abi Thalib yang
kemudian dikenal dengan istilah Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali bin
Abi Thalib yang kemudian dikenal dengan istilah Khawarij.
Di
antara tokoh Aliran Syiah adalah Abu Dzar al Ghiffari, Miqad bin Al aswad,
Ammar
bin Yasir dan sejumlah ulama yang menyatakan
diri sebagai keluarga Nabi Muhammad saw (Ahlul Bait).
b. Doktrin Ajaran
1) Tauhid, bahwa Allah SWT adalah Maha Esa.
2) Al ‘Adl, bahwa Allah SWT adalah Maha Adil.
3) An Nubuwwah, bahwa kepercayaan
Syi’ah meyakini keberadaan para nabi sebagai pembawa berita dari Tuhan kepada
umat manusia.
a) Jumlah nabi dan rasul Allah ada 124.000.
b) Nabi dan rasul terakhir ialah Nabi Muhammad
saw.
c) Nabi Muhammad saw suci dari segala aib dan
tiada cacat apa pun. Ialah nabi paling utama dari seluruh Nabi yang ada.
d) Ahlul Baitnya, yaitu Ali, Fatimah, Hasan,
Husain dan 9 Imam dari keturunan Husain adalah manusia-manusia suci.
e) Al-Qur'an ialah mukjizat kekal Nabi Muhammad
saw.
4) Al Imamah, bahwa Syiah meyakini adanya
imam-imam yang senantiasa memimpin
umat sebagai penerus risalah kenabian.
1)
Al Ma’ad,
bahwa akan terjadinya hari kebangkitan.
3. Sekte
Syi’ah terpecah menjadi 22
sekte. Dari 22 sekte itu, hanya tiga sekte yang masih ada
sampai sekarang, yakni:
1) Dua Belas Imam
Disebut juga Imamiah atau Itsna ‘Asyariah (12
Imam). Dinamakan demikian sebab mereka percaya yang berhak memimpin muslimin
hanya imam, dan mereka yakin ada dua belas imam. Aliran ini adalah yang
terbesar di dalam Syiah. Urutan imam mereka yaitu:
a) Ali bin Abi Thalib (600-661), juga dikenal
dengan Amirul Mukminin.
b) Hasan bin Ali (625-669), juga dikenal dengan
Hasan al-Mujtaba.
c) Husain bin Ali (626-680), juga dikenal dengan
Husain asy-Syahid.
d) Ali bin Husain (658-713), juga dikenal dengan
Ali Zainal Abidin.
e) Muhammad bin Ali (676-743), juga dikenal
dengan Muhammad al-Baqir.
f) Jafar bin Muhammad (703-765), juga dikenal
dengan Ja’far ash-Shadiq.
g) Musa bin Ja’far (745-799),
juga dikenal dengan Musa al-Kadzim.
h) Ali bin Musa (765-818),
juga dikenal dengan Ali ar-Ridha.
i) Muhammad bin Ali (810-835),
juga dikenal dengan Muhammad al-Jawad atau Muhammad at Taqi.
j) Ali bin Muhammad (827-868),
juga dikenal dengan Ali al-Hadi.
k) Hasan bin Ali (846-874),
juga dikenal dengan Hasan al-Asykari.
l) Muhammad bin Hasan (868),
juga dikenal dengan Muhammad al-Mahdi.
2) Ismailiyah
Disebut juga 7 Imam. Dinamakan
demikian sebab mereka percaya bahwa imam hanya 7 orang dari ‘Ali bin Abi
Thalib, dan mereka percaya bahwa imam ketujuh ialah Isma’il. Urutan imam mereka
yaitu:
a) Ali bin Abi Thalib (600-661), juga dikenal
dengan Amirul Mukminin.
b) Hasan bin Ali (625-669), juga dikenal dengan
Hasan al-Mujtaba.
c) Husain bin Ali (626-680), juga dikenal dengan
Husain asy-Syahid.
d) Ali bin Husain (658-713), juga dikenal dengan
Ali Zainal Abidin.
e) Muhammad bin Ali (676-743), juga dikenal
dengan Muhammad al-Baqir.
f) Ja’far bin Muhammad bin Ali (703–765), juga
dikenal dengan Ja’far ash-Shadiq.
g) Ismail bin Ja’far (721 – 755), adalah anak
pertama Ja’far ash-Shadiq dan kakak Musa al-Kadzim.
3)
Zaidiyah
Disebut 5 Imam. Mereka merupakan pengikut Zaid
bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin
Abi Thalib. Urutan imam mereka yaitu:
a) Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal
dengan Amirul Mukminin.
b) Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan
Hasan al-Mujtaba.
c) Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan
Husain asy-Syahid.
d) Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan
Ali Zainal Abidin.
e) Zaid
bin Ali (658–740), juga dikenal dengan Zaid bin Ali asy-Syahid, adalah anak Ali
bin Husain dan saudara tiri Muhammad al-bad.
4. Aliran Jabariyah
a. Pengertian
Secara bahasa jabariyah (fatalism)
berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan
mengharuskannya melakukan sesuatu. Menurut Harun Nasution jabariyah
adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan
dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya, setiap perbuatan yang diker
jakan manusia tidak berdasarkankehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan
dan dengan kehendak-Nya, manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat,
manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur). Sejarawan
Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani
Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan
kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan. Tokoh yang
mendirikan aliran ini adalah Jahm bin Safwan, Al-Ja’ad Bin Dirham, Husain Bin
Muhammad Al Najjar, Dirar Ibn ‘Amr.
b. Dasar Ajaran
Dasar pemahaman pada aliran
jabariyah ini dijelaskan Al-Qur'an diantaranya: QS. Al Shaffat [37]: 96 dan QS.
al Insan[76]: 30
“Padahal Allah-lah yang
menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
“Dan kamu tidak mampu
(menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah”.
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ
يَشَاءَ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Di samping itu, fakta sejarah menyatakan
bahwa:
1) Suatu ketika Nabi menjumpai
sabahatnya yang sedang bertengkar dalam masalah Takdir Tuhan, Nabi melarang
mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan
penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
2) Khalifah Umar bin
al-Khaththab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu
berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri”. Mendengar itu Umar kemudian marah
sekali dan menganggap orang itu telah berdusta. Oleh karena itu Umar memberikan
dua jenis hukuman kepada orang itu, yaitu: hukuman potongan tangan karena
mencuri dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
3) Ketika Khalifah Ali bin Abu Thalib ditanya
tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang tua
itu bertanya, "apabila perjalanan (menuju perang sifin) itu terjadi
dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya”. Kemudian
Ali menjelaskannya bahwa Qadha dan Qadhar Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Pahala
dan siksa akan didapat berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau itu
sebuah paksaan, maka tidak ada pahala dan siksa gugur pula janji dan ancaman
Allah, dan tidak ada pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi
orang berbuat dosa.
c. Doktrin Ajaran
1) Aliran Ekstrim.
Aliran ini dikenal juga dengan
nama Jahmiyyah karena mendasarkan pemikiran kepada tokoh utamanya yakni,
Jahm bin Shofwan. Doktrin ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa
manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak
mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah.
Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan
kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam
perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah. Di antara ajaran kelompok
ini adalah:
a) Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia
tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai
pilihan.
b) Surga dan neraka tidak kekal, dan yang kekal
hanya Allah.
c) Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak
mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat,
dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat kelak.
2) Aliran Moderat
Tokoh yang berpaham seperti
ini adalah Husain bin Muhammad An Najjar. Ia menjadi
pelopor aliran moderat yang menyatakan bahwa
Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian
atau peran dalam mewujudkan perbuatanperbuatan itu. Menurut aliran Jabariyah
moderat, Tuhan tidak dapat dilihat di akherat.
4.
Aliran
Qadariyah
a. Pengertian
Pengertian Qadariyah secara
etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan
dan kekuatan. Adapun secara terminologi adalah suatu aliran yang percaya
bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Allah. Aliran ini
lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan. perbutan-perbutannya.
Aliran Qadariyah berpendapat bahwa tiap-tiap. orang adalah pencipta bagi
segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya. atas
kehendaknya sendiri. Menurut Ahmad Amin, orang-orang yang berpaham
Qadariyah adalah mereka. yang mengatakan bahwa manusia memiliki.
kemampuan dalam melakukan
perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni
baik dan buruk. Menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan
bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al Juhaini dan Ghilan ad
Dimasyqi sekitar tahun 70 H/ 689M. Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab
Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran
Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman
Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya
untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu
tertampung dalam aliran Muktazilah.
b. Dasar Ajaran
Dalam Al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang
dijadikan dasar paham qadariyah, seperti QS. ar Ra’ad [13]: 11,
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ
يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka merubah
keadaan diri mereka sendiri”
c. Doktrin Ajaran
Menurut Dr. Ahmad Amin dalam
kitabnya Fajrul Islam, menyebut pokok-pokok ajaran qadariyah sebagai
berikut :
1) Orang yang berdosa besar
itu bukanlah kafir, dan bukanlah mukmin, tapi fasik dan orang fasik itu masuk
neraka secara kekal.
2) Allah SWT. Tidak
menciptakan amal perbuatan manusia, melainkan manusia lah yang
menciptakannyadan karena itulah maka manusia akan menerima pembalasan baik
(surga) atas segala amal baiknya, dan menerima balasan buruk (siksa Neraka)
atas segala amal perbuatannya yang salah dan dosa karena itu pula, maka
Allahberhak disebut adil.
3) Kaum Qadariyah mengatakan
bahwa Allah itu Maha Esa atau Satu dalam arti bahwa Allah tidak memiliki
sifat-sifat azali, seprti ilmu, kudrat, hayat, mendengar dan melihat yang bukan
dengan zat nya sendiri. Menurut mereka Allah SWT, itu mengetahui, berkuasa,
hidup, mendengar, dan meilahat dengan zatnya sendiri.
4) Kaum Qadariyah berpendapat bahwa akal manusia
mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun Allah tidak
menurunkan agama. Sebab, katanya segala sesuatu ada yang memiliki sifat yang
menyebabkan baik atau buruk.
6. Aliran Mu’tazilah
a. Pengertian
Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata “i’tizal”
yang artinya “memisahkan diri”. Mu’tazilah adalah salah satu aliran
pemikiran dalam Islam yang banyak terpengauruh dengan filsafat barat sehingga
berkecenderungan menggunakan rasio sebagai dasar argumentasi. Latar belakang
munculnya Aliran Mu’tazilah adalah sebagai respon persoalan teologis yang
berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim.
Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan
Murjiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Pada
mulanya nama ini di berikan oleh orang dari luar mu’tazilah karena pendirinya,
Washil bin Atha’, tidak sependapat dan memisahkan diri dari gurunya, Hasan
Al-Bashri. Dalam perkembangan selanjutnya, nama ini kemudian di setujui oleh
pengikut Mu’tazilah dan di gunakan sebagai nama dari bagi aliran teologi
mereka. Tokoh aliran Mu’tazilah diantaranya adalah Washil bin Atha’, Abu Huzail
Al Allaf, Al Nazzam, Abu Hasyim al Jubba’i.
b. Doktrin Ajaran
1) Al Tauhid (keesaan Allah)
Ini merupakan inti akidah madzhab mereka dalam membangun
keyakinan tentang mustahilnya melihat Allah di akhirat nanti, dan sifat-sifat
Allah itu adalah substansi Dzatnya sendiri serta Al Qur`an adalah makhluq. Dalam
buku Ahmad Hanafi M.A., Theology Islam (Ilmu Kalam) dikutip pandangan al-Asy’ari
yang menyebutkan bahwa kaum Mu’tazilah menafsirkan Tauhid sebagai berikut: “Tuhan
itu Esa, tidak ada yang menyamainya, bukan benda (jisim), bukan orang
(syakhs), bukan jauhar, bukan pula aradh, tidak
berlaku padanya, tidak mungkin mengambil tempat (ruang), tidak bisa disifati
dengan sifat-sifat yang ada pada makhluq yang menunjukkan ketidak azalian-Nya.
Tidak dibatas, tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan, tidak dapat dicapai
pancaindera, tidak dapat dilihat mata kepala dan tidak bisa digambarkan akal
pikiran. Ia Maha Mengetahui, berkuasa dan hidup, tetapi tidak seperti orang
yang mengetahui, orang yang berkuasa dan orang yang hidup hanya Ia sendiri yang
Qadim, dan tidak ada lainnya yang Qadim. Tidak ada yang menolong-Nya dalam
menciptakan apa yang diciptakan-Nya dan tidak membikin makhluq karena contoh
yang telah ada terlebih dahulu.”
2) Al-‘Adl (keadlilan Tuhan)
Paham keadilan yang dikehendaki Mu’tazilah
adalah bahwa Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan
manusia dan manusia dapat mengerjakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan
larangan-larangan-Nya dengan qudrah (kekuasaan) yang ditetapkan Tuhan pada diri
manusia itu. Tuhan tidak memerintahkan sesuatu kecuali menurut apa yang
dikehendaki-Nya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkan-Nya
dan tidak tahu menahu (bebas) dari keburukan-keburukan yang dilarang-Nya. Dengan
pemahaman demikian, maka tidaklah adil bagi Tuhan seandainya Ia menyiksa
manusia karena perbuatan dosanya, sementara perbuatan dosanya itu dilakukan karena
diperintah Tuhan. Tuhan dikatakan adil jika menghukum orang yang berbuat buruk
atas kemauannya sendiri.
3)Al-Wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman)
Al-Wa’du Wal-Wa’id (janji dan
ancaman), bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi
pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam surga, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id)
bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam
neraka, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk
menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.
4) Al-Manzilah bain al Manzilatain (posisi diantara
posisi)
Secara harfiah, berarti posisi diantara dua
posisi. Menurut Mu’tazilah maksudnya adalah suatu tempat antara surga dan
neraka sebagai konsekwensi dari pemahaman yang mengatakan bahwa pelaku dosa
besar adalah Fasiq; tidak dikatakan beriman dan tidak pula dikatakan kair, dia tidak
berhak dihukumkan Mu’min dan tidak pula dihukumkan Kafir, begitu pula dihukum
munafiq, karena sesungguhnya munafiq berhak dihukumkan kafir seandainya telah
diketahui kenifaqkannya. Dan tidaklah yang demikian itu dihukumkan kepada
pelaku dosa besar.
5)Amar ma’ruf nahi mungkar
Dengan berpegang kepada QS. Ali Imran; 104 dan
QS. Luqman; 17, seperti halnya golongan lain bahwa perintah untuk berbuat baik
dan larangan untuk berbuat jahat adalah wajib ditegakkan. Dalam pandangan
Mu’tazilah; dalam keadaan normal pelaksanaan al-amru bil ma’rûf wan nahyu
‘anil munkar itu cukup dengan seruan saja, tetapi dalam keadaan tertentu
perlu kekerasan.
7. Aliran Ahu Sunnah Wal Jamaah/ Sunni
Ahlussunnah berarti penganut atau pengikut
sunnah Nabi Muhammad SAW, dan jamaah berarti sahabat nabi. Jadi Ahlussunnah
wal jama’ah mengandung arti “penganut Sunnah (ittikad) nabi dan
para sahabat.
a. Aliran Asy’ariyah
1)
Pengertian
Asy`ariyah adalah sebuah paham
akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah
Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin
Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al Asy’ari.
Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia
menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah. Abu Hasan Al Asya’ari dilahirkan pada tahun
260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M.
Ia berguru kepada Abu Ishaq Al Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid
Al Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al Jubba’i, seorang ketua
Muktazilah di Bashrah. Al Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya
berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama
bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan
keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya
ialah perdebatan antara dirinya dengan Al Jubba’i seputar masalah ash-shalah
dan ashlah (kemaslahatan). Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai
pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase
ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya.
Dalam kitab Al Ibanah, ia
menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal. Abul Hasan
menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Rafidhah,
dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur'an, Sunnah Nabi, dan apa
yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadis. Munculnya
kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik
terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah
di mata Al Asy’ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan-manusia,
bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan. Akidah ini menyebar luas pada
zaman wazir Nizhamul Muluk pada Dinasti Bani Saljuk dan seolah menjadi akidah
resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan
madrasah An Nidzamiyah, baik yang ada di
Baghdad maupun di kota Naisabur.
Madrasah Nizhamiyah yang di
Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi
negeri itu seperti Al Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan
Shalahuddin Al Ayyubi. Pandangan Asy’ariyah juga didukung fuqaha mazhab Asy Syafi’i
dan mazhab Al Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila
dikatakan bahwa akidah Asy’ariyah ini adalah akidah yang paling popular dan
tersebar di seluruh dunia.Diantara tokoh aliran Asy’ariyah adalah, Abu Hasan Al
Asy’ary, Imam Ghazali (450-505 H/
1058-1111M), Imam Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210), Abu Ishaq Al Isfirayini (w
418/1027), Abu Bakar Al Baqilani (328-402 H/950-1013 M), dan Abu Ishaq Asy
Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M.
b. Doktrin Ajaran
1) Sifat-sifat Tuhan.
Menurutnya, Tuhan memiliki
sifat sebagaiman disebut di dalam Al-Qur'an, yang di sebut sebagai sifat-sifat
yang azali, Qadim, dan berdiri di atas zat Tuhan. Sifatsifat itu
bukanlah zat Tuhan dan bukan pula lain dari zatnya.
2) Al-Qur'an.
Menurutnya, Al-Qur'an adalah qadim dan
bukan makhluk diciptakan.
3) Melihat Tuhan.
Menurutnya, Tuhan dapat dilihat dengan mata oleh
manusia di akhirat nanti.
4) Perbuatan Manusia.
Menurutnya, perbuatan manusia di ciptakan Tuhan,
bukan di ciptakan oleh manusia itu sendiri.
5) Keadlian Tuhan
Menurutnya, Tuhan tidak mempunyai kewajiban
apapun untuk menentukan tempat manusia di akhirat. Sebab semua itu marupakan
kehendak mutlak Tuhan sebab Tuhan Maha Kuasa atas segalanya.
6) Muslim yang berbuat dosa.
Menurutnya, yang berbuat dosa dan tidak sempat
bertobat diakhir hidupnya tidaklah kafir dan tetap mukmin. Pengikut Asy’ari
yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahli
sunnah wal jamaah ialah Imam Al Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung
kembali pada paham-paham Asy’ari. Al Ghazali meyakini bahwa:
1) Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak
identik dengan zat Tuhan dan mempunyai wujud di luar zat.
2) Al-Qur'an bersifat qadim dan tidak diciptakan
3) Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang
menciptakan daya dan perbuatan
4) Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang
mempunyai wujud pasti dapat dilihat.
5) Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan
(ash-shalah wal ashlah) manusia, tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan
bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tak dapat dipikul kepada manusia.
b. Aliran Maturidiyah
1) Pengertian
Maturidiyah adalah aliran
pemikiran kalam yang berpegang pada keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang
tidak bertentangan dengan syara’. Sebaliknya jika hal itu bertentangan dengan
syara’, maka akal harus tunduk kepada keputusan syara’. Al-Maturidy mendasarkan
pikiran-pikiran dalam soal-soal kepercayaan kepada pikiran-pikiran Imam Abu
Hanifah yang tercantum dalam kitabnya fiqh-ul Akbar dan fiqh-ul
Absath dan memberikan ulasan-ulasannya terhadap kedua kitab-kitab tersebut.
Maturidiyah lebih mendekati golongan Muktazillah. Berdasarkan prinsip pendiri
aliran Maturidiyah mengenai penafsiran Al-Qur'an yaitu kewajiban melakukan
penalaran akal disertai bantuan nash dalam penafsiran Al-Qur’an. Dalam
menfsirkan Al-Qur'an Al Maturidi membawa ayat-ayat yang mutasyabih (samar
maknanya) pada makna yang muhkam (terang dan jelas pengertiannya). Ia
menta’wilkan yang muhtasyabih berdasarkan pengertian yang ditunjukkan oleh
yang muhkam. Jika seorang mikmin tidak mempunyai kemampuan untuk menta’wilkannya,
maka bersikap menyerah adalah lebih selamat. Aliran Maturidiyah lahir di
samarkand, pertengahan kedua dari abad IX M. pendirinya adalah Abu Mansur
Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al Maturidi, di daerah Maturid Samarqand,
untuk melawan mazhab Mu`tazilah. Abu Manshur Maturidi (wafat 333 H) menganut
mazhab Abu Hanifah dalam masalah fikih. Oleh sebab itu, kebanyakan pengikutnya
juga bermazhab Hanafi. Al Maturidi dalam pemikiran teologinya banyak
menggunakan rasio. Hal ini mungkin banyak dipengaruhi oleh Abu Hanifa karena
Al-Maturidi sebagai pengikat Abu Hanifa. Dan timbulnya aliran ini sebagai
reaksi terhadap mu’tazilah. Dalam Ensiklopedia Islam terbitan Ichtiar Baru Van
Hoeve, disebutkan, pada pertengahan abad ke-3 H terjadi pertentangan yang hebat
antara golongan Muktazilah dan para ulama. Sebab, pendapat Muktazilah dianggap
menyesatkan umat Islam. Al-Maturidi yang hidup pada masa itu melibatkan diri
dalam pertentangan tersebut dengan mengajukan pemikirannya. Pemikiran-pemikiran
Al-Maturidi dinilai bertujuan untuk membendung tidak hanya paham Muktazilah,
tetapi juga aliran Asy’ariyah. Banyak kalangan yang menilai, pemikirannya itu
merupakan jalan tengah antara aliran Muktazilah dan Asy’ariyah. Karena itu,
aliran Maturidiyah sering disebut “berada antara teolog Muktazilah dan
Asy’ariyah”. Namun, keduanya (Maturidi dan Asy’ari) secara tegas menentang
aliran Muktazilah.
2) Doktrin Ajaran
a) Akal dan Wahyu
Al Maturidi dalam pemikiran
teologinya berdasarkan pada Al-Qur'an dan akal, akal banyak digunakan di
antaranya karena dipengaruhi oleh Mazhab Imam Abu Hanifah. Menurut Al-Maturidi,
mengetahui Allah dan kewajiban mengetahui Allah dapat diketahui dengan akal.
Jika akal tidak memiliki kemampuan tersebut, maka tentunya Allah tidak akan
memerintahkan manusia untuk melakukannya. Orang yang tidak mau menggunakan akal
untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti ia telah meninggalkan
kewajiban yang diperintahkan Allah.
b) Perbuatan Manusia
Perbuatan manusia adalah
ciptaan Allah, karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya.
Mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Allah
mengharuskan manusia untuk memiliki kemampuan untuk berbuat (ikhtiar) agar
kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakan. Dalam hal ini Al
Maturidi mempertemukan antara ikhtiar manusia dengan qudrat Allah sebagai
pencipta perbuatan manusia. Allah mencipta daya (kasb) dalam setiap diri
manusia dan manusia bebas memakainya, dengan demikian tidak ada pertentangan
sama sekali antara qudrat Allah dan ikhtiar manusia.
c) Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Allah memiliki kehendak dalam
sesuatu yang baik atau buruk. Tetapi, pernyataan ini tidak berarti bahwa Allah
berbuat dengan sewenang-wenang, tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu
berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya
sendiri.
d) Sifat Tuhan
Sifat-sifat Allah itu mulzamah (ada
bersama) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain adz-dzāt wa lā hiya
ghairuhū). Sifat tidak berwujud tersendiri dari dzat, sehingga
berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada bilangannya Dzat Allah.
e) Melihat Tuhan
Menurut Al-Maturidi, manusia dapat melihat
Tuhan, sebagaimana firman Allah QS. Al-Qiyamah: 22-23.
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ
إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu
berseri-seri. Kepada Tuhannyalah
mereka melihat.”
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa Tuhan kelak
di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia
immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya, karena
keadaan di sana beda dengan dunia.
f) Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam yang
tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalām nafsī (sabda yang
sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan
kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baru (hadis). Kalam
nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dari bagaimana Allah bersifat
dengannya, kecuali dengan suatu
perantara. Maturidiyah menerima pendapat
Mu’tazilah mengenai Al-Qur'an sebagai makhluk Allah, tapi Al-Maturidi lebih
suka menyebutnya hadis sebagai pengganti makhluk untuk sebutan
Al-Qur'an.
g) Perbuatan Tuhan
Semua yang terjadi atas kehendak-Nya, dan tidak
ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan, kecuali karena ada hikmah dan
keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Setiap perbuatan-Nya yang
bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak
lepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya. Tuhan tidak akan
membebankan kewajiban di luar kemampuan manusia, karena hal tersebut tidak
sesuai dengan keadilan, dan manusia diberikan kebebasan oleh Allah dalam
kemampuan dan perbuatannya, Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena
merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
h) Pengutusan Rasul
Pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber
informasi, tanpa mengikuti ajaran wahyu
yang disampaikan oleh rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang
berada di luar kemampuan akalnya. Pandangan ini tidak jauh dengan pandangan Mu’tazilah,
yaitu bahwa pengutusan rasul kepada umat adalah kewajiban Tuhan agar manusia
dapat berbuat baik bahkan terbaik dalam hidupnya.
i) Pelaku Dosa Besar
Al Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar
tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat.
Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia
sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang
musyrik. Menurut Al Maturidi, iman itu cukup dengan membenarkan (tashdiq)
dan dinyatakan (iqrar), sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh
karena itu amal tidak menambah atau mengurangi esensi iman, hanya menambah atau
mengurangi sifatnya.
j) Iman
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand
berpendapat bahwa
iman adalah tashdiq bi al qalb, bukan
semata iqrar bi al-lisan.:
قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا ۖ قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا
وَلَٰكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ ۖ
وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا
ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Orang-orang Arab Badui itu berkata: ‘Kami telah
beriman’. Katakanlah:‘Kamu belum beriman, tapi Katakanlah ‹kami telah tunduk›,
karena iman itubelum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan
Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu;
SesungguhnyaAllah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.» (QS. Al Hujurat [49]:
14
3) Madzhab Aliran Maturidiyah
a) Golongan Samarkand.
Golongan ini adalah pengikut Al Maturidi
sendiri, golongan ini cenderung ke arah paham mu’tazilah, sebagaimana
pendapatnya soal sifat-sifat Tuhan,Maturidi dan Asy’ary terdapat kesamaan pandangan. Menurut maturidi, Tuhan mempunyai
sifat-sifat, Tuhan mengetahui bukan dengan zatnya, melainkan dengan
pengetahuannya. Aliran maturidi juga sepaham dengan mu’tazilah dalam soal al-waid
wa al-waid. Bahwa janji dan ancaman Tuhan, kelak pasti terjadi.
b) Golongan Buhara
Golongan Maturidiyah Bukhara adalah
pengikut-pengikut Al Bazdawi dalam aliran Al Maturidiyah, yang mempunyai
pendapat lebih dekat kepada pendapat-pendapat Al Asy’ary. Golongan Bukhara ini
dipimpin oleh Abu Al Yusr Muhammad Al Bazdawi. Dia merupakan pengikut maturidi
yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Al Bazdawi dapat
menerima ajaran Al Maturidi dari orang tuanya. Al Bazdawi tidak selamanya
sepaham dengan Al Maturidi. Ajaran-ajaran teologinya banyak dianut oleh
sebagian umat Islam yang bermazhab Hanafi. Pemikiran-pemikiran Maturidiyah
sampai sekarang masih hidup dan berkembang di kalangan umat Islam.
8. Perbandingan Pemikiran Aliran Kalam
a. Akal dan Wahyu
1) Menurut aliran Mu’tazilah
Bahwa sebelum datang wahyu, akal dapat dijadikan
pedoman dalam menentukan apa yang baik dan apa yang buruk, sehingga melakukan
penalaran adalah wajib, karena dengan penalaran yang mendalam dapat mengetahui
kewajibankewajiban. Dari empat masalah tersebut di atas, bagi aliran Mu’tazilah
dapat diketahui melalui akal.
2) Menurut Aliran Asy’ariyah
Imam Asy’ari menjelaskan bahwa, wahyulah yang
menentukan baik dan buruk, menentukan kewajiban terhadap Tuhan dan kewajiban
melaksanakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Akal tidak berperan dalam hal
tersebut, sehingga kalau dikatakan bohong itu adalah buruk karena wahyulah yang
menetapkannya.
3) Aliran Maturidiyah
Antara Abu Mansur dengan al Bazdawi berbeda. Abu
Mansur menjelaskan, bahwa akal dapat mengetahui Tuhan, baik dan buruk serta
mengetahui kewajiban terhadap Tuhan, akan tetapi wahyulah yang menetapkannya.
Begitu pula tidak semua yang baik dan buruk diketahui akal sehingga sangat
diperlukan wahyu. Termasuk menjelaskan kewajiban melaksanakan yang baik dan
menjauhi yang buruk. Sedangkan al Bazdawi berpendapat bahwa, semua pengetahuan
dapat dicapai oleh akal sedang kewajiban-kewajiban diketahui melalui wahyu.
b. Iman dan Kufur
1) Menurut Aliran Khawarij
Iman dan kufr mulai dipersoalkan ketika aliran
Khawarij memandang semua yang menerima tahkim adalah kafir. Bagi aliran
Khawarij, iman tidak cukup hanya diucapkan atau dibenarkan melainkan harus
dibuktikan dengan perbuatan, karena itulah yang merupakan penentu iman. Maka
dari itu bagi yang melakukan dosa besar adalah kafir.
2) Menurut Aliran Murjiah
Iman adalah ma’rifah sama dengan ikrar dan
tashdiq, amal tidak termasuk unsure iman. Sedang kufr adalah mengingkari. Oleh
karena itu, apapun yang dilakukan oleh seseorang tidak mempengaruhi imannya,
sekalipun berbuat dosa.
3) Menurut Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah mengemukakan bahwa, iman
adalah ketaatan kepada apa yang diwajibkan dan disunatkan. Ini berarti bahwa unsur
iman bagi Mu’tazilah tidak hanya ikrar dan tashdiq, tetapi juga pengamalan
sangat berpengaruh terhadap iman, sehingga seseorang yang beriman melakukan
dosa besar tidak dapat dikatakan kafir, karena masih ada unsur lain yang
dimiliki, yaitu: pengakuan atau ikrar dan tashdiq. Pelaku dosa besar hanya
dikatakan sebagai fasiq, bukan
mukmin secara mutlak dan bukan kafir secara
mutlak. Manusia dikatakan kafir manakala unsur-unsur iman tidak dimiliki.
4) Menurut aliran Asy’ariyah
Aliran Asy’ariyah membedakan antara iman dan
Islam. Iman bersifat khusus, berhubungan dengan hati yakni ikrar dan tashdiq.
Sementara Islam mempunyai ruang lingkup yang luas meliputi syari’at atau
pengamalan, sehingga tidak dapat digolongkan kafir karena melakukan dosa besar.
Hanya saja dalam kehidupan sebagai seorang yang beriman tidak cukup dengan iman
atau Islam saja, melainkan keduanya harus dipadukan, karena iman dan Islam
tidak dapat
dipisahkan. Tentang iman, Imam Asy’ari
menjelaskan bahwa perbuatan manusia dapat
menjadikan iman itu kuat dan lemah. Untuk
memperkokoh iman itu harus menjalankan ketaatan. Iman yang kuat menjadi
penghalang dalam berbuat dosa, sementara iman yang lemah memudahkan untuk
melakukan pelanggaran.
c. Perbuatan Manusia
1) Menurut Aliran Jabariyah
Aliran jabariyah memandang bahwa manusia tidak
merdeka dari mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa (fatalism).
Aliran jabariyah memandang manusia tidak mempunyai pilihan. Manusia dalam
perbuatannya adalah majbur (terpaksa). Manusia digerakkan Allah,
sebagaimana bendabenda yang mati dan tak bernyawa dapat bergerak hanya karena
digerakkan
oleh Tuhan.
2) Menurut Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah memandang bahwa manusia
sendirilah sebenarnya yang mewujudkan perbuatannya, baik perbuatan jahat maupun
perbuatan baik, begitu pula iman dan kufur. Paham ini diperkenalkan pertama
kali oleh Ma’bad ibn al Juwaini dan Ghailan al Dimasyqi. Keduanya merupakan
orang yang paling awal memperkenalkan pembicaraan tentang al qadr, yaitu
kemampuan manusia untuk melakukan perbuatannya. Manusia tidak dikendalikan
tetapi
dapat memilih. Kebebasan manusia dalam
mewujudkan perbuatannya erat kaitannya dengan
kewajibannya untuk mempertanggung jawabkan
perbuatannya. Sedangkan tanggung jawab menghendaki kebebasan. Pemberian siksaan
dan pahala tidak relevan kalau manusia tidak aktif. Jadi nampaknya bahwa
manusia merdekadalam tingkah lakunya. Ia berbuat baik atas kemauannya sendiri,
begitu pulasebaliknya. Keterlibatan Tuhan sama sekali tidak ada dalam
mewujudkan perbuatan manusia.
3) Menurut Aliran Asy’ariyah
Menurut Asy’ariyah manusia lemah, banyak
bergantung kepada kehendak dan kemauan Tuhan. Dalam menggambarkan hubungan
perbuatan manusia dengan kehendak dan kekuasaan Tuhan. Al Asy’ari memakai
istilah kasb (perolehan). Menurut al Asy’ari, inti dari kasb itu
adalah bahwa sesuatu itu timbul dariyang memperoleh dengan perantaraan daya
yang diciptakan Allah. Perbuatanperbuatan manusia oleh Asy’ari pada hakikatnya
diadakan oleh Allah. Semua itu mencakup perbuatan-perbuatan gerakan releks dan
perbuatan-perbuatan manusia.
4) Menurut Aliran Maturidiyah
Dalam perwujudan perbuatan terdapat dua
perbuatan, perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan mengandung
kebijaksanaan (hikmah). Baik dalam cipta-ciptaannya maupun perintah dan
larang-larangannya, perbuatan manusia bukanlah merupakan paksaan dari Allah,
karena itu tidak bisa dikatakan wajib, karena kewajiban itu mengandung suatu
perlawanan dengan iradahnya
d. Kehendak Mutlak dan Keadilan Tuhan
1) Menurut Aliran Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah memandang bahwa Allah itu tidak
berkuasa mutlak. Kemutlakan kekuasaan Allah dibatasi oleh beberapa hal yang
telah ditetapkan oleh Allah sendiri, yang mana Tuhan tidak akan melanggarnya
berdasarkan kemauannya sendiri. Aliran Mu’tazilah sepakat bahwa manusia mampu
menciptakan perbuatannya baik dan buruk. Washil bin ‘Atha berpendapat bahwa
manusia bebas dalam perbuatannya, dia tidak dipaksa, agar dengan demikian
maka keadilan Tuhan terwujud kemauannya sendiri.
Aliran Mu’tazilah sepakat bahwa manusia mampu menciptakan perbuatannya baik dan
buruk. Washil bin ‘Atha berpendapat bahwa manusia bebas dalam perbuatannya, dia
tidak dipaksa, agar dengan demikian maka keadilan Tuhan terwujud. Paham ini
didasari oleh paham mereka tentang keadilan Allah. Sebab tidak benar manusia
diberi beban kemudian dibatasi kebebasannya atau tidak diberikan kemampuan
untuk mewujudkan apa yang dibebankan kepadanya. Tuhan itu adil kalau manusia
diberi kehendak untuk memilih perbuatan yang diinginkannya dan diberi kemampuan
untuk melaksanakan apa yang dikehendakinya. Atas perbuatannya itulah maka Tuhan
memberikannya imbalan pahala atau siksa sesuai dan ancamannya.
2) Menurut Aliran Asy’ariyah
Aliaran Asy’ariyah menyatakan bahwa Allah
mempunyai kekuasaan mutlak dan tidak tunduk kepada siapapun. Kekuasaan mutlak
Allah tidak dapat dibatasi oleh kebebasan manusia. Hal ini dapat dipahami dari
pandangan kaum Asy’ariah yang memahami bahwa manusia tidak bebas berbuat dan
berkehendak. Sebab sekiranya sesuatu terjadi di luar kehendak Allah, atau
sekiranya dalam kekuasaanNya terjadi apa yang tidak dikehendaki-Nya, maka hal
ini akan berarti bahwa Allah itu lemah atau lupa, sedangkan sifat lemah atau
lupa adalah mustahil bagi Allah. Dengan demikian, Allah lah yang menghendaki
segala sesuatu yang terjadi di alam ini, termasuk perbuatan baik atau perbuatan
buruk.