HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI TERHADAP ISTRI DALAM ISLAM



     






  Hak dan Kewajiban Suami terhadap Istri


Hak-hak istri
yang menjadi kewajiban suami dapat dibagi menjadi dua: hak-hak kebendaan, yaitu
mahar dan nafkah, dan hak-hak yang bukan kebendaan, yaitu berbuat adil diantara
para istri dalam perkawinan poligami, tidak berbuat yang merugikan istri dan
sebagainya.


       1.     
Hak-hak kebendaan


a.      
Membayar mahar


Dalam istilah ahli fiqh di samping
perkataan “mahar” juga dipakai perkataan “sadaq”,“nihlah”, dan
“faridah”
, dalam bahasa Indonesia dipakai perkataan “maskawin”. Secara
istilah mahar didefinisikan sebagai pemberian wajib yang diberikan dan
dinyatakan oleh calon suami kepada istrinya di dalam shighot akad nikah yang
merupakan tanda persetujuan dan kerelaan dari mereka untuk hidup sebagai suami
istri.[1]
Para ulama telah sepakat bahwa tidak ada batasan maksimal bagi seorang
laki-laki dalam memberikan mas kawinnya. Ia boleh memberikan jumlah yang sangat
besar atau lebih besar lagi.


Sedangkan mengenai batas minimal mas
kawin, para ulama mengatakan bahwa berapa saja jumlahnya selama itu berupa
harta atau hal lain yang disamakan dengan harta dan disetujui serta direlakan
oleh si calon mempelai wanita, maka hal demikian boleh-boleh saja. Pendapat ini
adalah pendapat jumhur ulama seperti Imam Syafi’I, Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur,
Imam Auza’I dan lainya. Bahkan Ibnu Hazm membolehkan kurang dari itu. Ibnu Hazm
mengatakan bahwa setiap hal yang dapat dibagi dua, boleh dijadikan mas kawin
sekalipun ia berupa biji gandum selama ada kerelaan dari calon istri.


b.     
Memberikan nafkah, pakaian dan rumah atau tempat tinggal dengan
layak dan baik


Nafkah di sini adalah nafkah yang
diberikan oleh suami untuk istri dan anak-anaknya berupa makanan, pakaian, tempat
tinggal dan lainnya menurut ukuran yang layak berdasarkan kemampuan suami.
Memberikan nafkah kepada istri dan anak-anak wajib hukumnya, hal ini didasarkan
kepada firman Allah berikut ini:


لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ
فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا
آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا


Artinya: hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari
harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
(QS. At-Tallaq: 7)


       2.     
Hak-hak yang bukan kebendaan


a.      
Memperlakukan dan menggauli istri sebaik mungkin


Memperlakukan istri dengan baik
diantaranya dapat berwujud dengan tidak menyakitinya, memperlakukannya sebagai
mitra, teman bukan sebagai pembantu, memberikan semua hak-haknya menurut
kemampuan dan lainnya.


Artinya: ….dan bergaullah dengan
mereka secara patu, kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak.


b.  Mengajarkan kepada istrinya pengajaran-pengajaran agama dan
mengajaknya untuk berbuat taat


Kewajiban suami lainya adalah
mendidik istri dalam beragama dan ketaatan. Hal ini dimaksudkan karena dalam
ajaran Islam, berumah tangga dalam Islam bukan semata untuk di kehidupan dunia,
akan tetapi juga untuk di akhirat kelak. Apabila bekal untuk mengarungi
kehidupan dunia berupa harta dan kekayaan, maka untuk menghadapi akhirat kelak
adalah amal kebaikan dan ibadah.Untuk itu, selaku pemimpin rumah tangga, suami
harus bertanggung jawab kepada keduanya.


Apabila suami tidak mempunyai waktu
cukup atau kurang dengan persoalan agama maka ia boleh menyewa orang lain (guru
perempuan) untuk menjadi guru agama istri dan anak-anaknya.Hal ini didasarkan
pada firman Allah:


يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا
النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ
اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ


Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan
tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
(QS. At-Tahrim: 6)


c.      
Tidak memperpanjang kesalahan istri selama kesalahanya itu tidak
menyangkut syari’at


Apabila dikemudian hari si suami mendapati istrinya tidak sesuai
dengan apa yang diharapkannya atau berbuat kesalahan, maka suami hendaknya
tidak mempersoalkan hal itu dan tidak memperpanjangnya. Kecuali apabila
persoalan dan kesalahan istri tersebut menyangkut masalah agama, misalnya si
istri tidak pernah shalat wajib, sering bolong melakukan puasa Ramadhan, maka
suami berkewajiban untuk menasehati dan mempersoalkannya.[2]














[1] Hendra Ramdani., “Hak dan Kewajiban antara Suami dan Istri dalam Kitab
Syarhu ‘uqudi al-Lujaini fi Bayani Huquqi az-Zaujaini; Studi Komparatif antara
Perspektif Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) dan Lajnah Bahsul Masail (LBM) PP.
Lirboyo, Kediri, Jawa Timur
”, PMH S-1 Kearsipan Fakultas Syari’ah dan
Hukum, UIN Sunan Kalijaga, 2009, hlm. 48.




[2] Ibid.




Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

أحدث أقدم