BUNGA UNTUK IBUKU 24

 BUNGA UNTUK IBUKU  24

(Tien Kumalasari)

 

Suri berdebar, lalu ia ke belakang, pura-pura tidak mendengar. Tapi Baskoro semakin kencang berteriak, dan semakin keras dia menggedor-gedor pintu kamar.

“Suri! Apa kamu tuli? Aku bisa terlambat masuk ke kantor.”

Tak sabar, Baskoro menghampiri istrinya yang sedang menyiapkan dagangannya.

“Kamu tidak tahu ya, kalau aku harus segera masuk ke kantor?”

“Sebentar, kenapa nggak sabaran amat sih. Mas mandi dulu sana, aku ambilkan bajunya di kamar.”

“Kamu ini aneh. Kenapa kamar harus dikunci segala?”

“Soalnya aku mau pergi.”

“Pergi ke mana?”

“Mencari uang lah. Aku nggak mau makan uang kamu lagi.”

“Keterlaluan kamu Suri. Cepat buka pintunya, sudah siang nih. Nanti sepulang kantor, kita bicara lagi.””

Suri beranjak ke kamar, pura-pura sibuk mencari kunci. Ia berharap Nilam mendengar keributan itu, lalu mencari tempat sembunyi.

“Cepat, Suri!”

“Sebentar, aku lupa menaruh kuncinya di mana,” kata Suri sambil pergi ke arah belakang lagi.

“Heran aku pada kelakuan kamu pagi ini,” omel Baskoro.

“Mas ke sana dulu, biar aku ambilkan bajunya.”

“Aku mau memilih baju aku sendiri.”

“Sebentar, kenapa ini kuncinya susah sekali masuk ya.”

Bunyi kelutak kelutek itu memang membuat Nilam panik. Ia sudah mendengar bahwa laki-laki mesum itu akan masuk ke dalam kamar. Bersembunyi dimana enaknya? Di kolong tempat tidur? Tidak mungkin. Tempat tidurnya terlalu rendah. Hanya tikus yang bisa masuk ke dalamnya. Apakah dia bisa masuk ke dalam almari? Nilam mendekati salah satu almari, dan membukanya. Ada ruang di tempat gantungan. Tanpa berpikir panjang ia masuk dan bersembunyi diantara baju-baju yang digantungkan. Ia berharap, laki-laki yang dibencinya itu tidak membuka almari dimana dia bersembunyi. Tapi sungguh celaka, ketika pintu kamar terdengar terbuka, justru almari tempat dia sembunyi yang dibuka. Nilam menahan napas, hatinya tinggal sebutir menir. Keringat membasahi telapak tangannya. Ia merasa seseorang membalik-balikkan baju di gantungan itu.

“Mana, biar aku ambil sendiri,” kata laki-laki itu.

“Kamu itu gimana sih Mas, dilayani istri kok susah amat. Ini lho, ini kan baju kerja kamu.”

“Bukan itu. Ini hari apa, coba? Aku harus memakai batik.”

“Oh, batik ya, aduuh Mas, agak ke sana kenapa sih, biar aku ambilkan.”

Rupanya Suri sudah tahu kalau Nilam bersembunyi di antara gantungan baju-baju itu. Suri menahan senyumnya, karena lutut Nilam sesungguhnya kelihatan saat dia menarik salah satu baju. Itu sebabnya dia mati-matian menahan suaminya agar tidak mengambil sendiri bajunya.

“Ini. Ini batik yang baru, kamu suka kan? Celananya aku ambilkan dulu. Agak ke sana, gerah dekat-dekat sama kamu,” kata Suri sambil mendorong tubuh suaminya, lalu mengunci almari  di bagian gantungan.

“Kok dikunci lagi sih?"

“Kan bajunya sudah diambilkan. Aku tuh juga mau pergi, semua harus dikunci. Kalau kesiangan daganganku nggak akan laku,” ia mendorong lagi tubuh suaminya, dan dengan cekatan mengambil celana dan perangkat baju yang akan digunakan suaminya.

“Sudah, sana. Ini hanya kamarku, kamarmu di sebelah.”

“Kamu benar-benar ingin pisah ranjang, sama suami kamu?”

“Sudah lama kita pisah ranjang. Aku membersihkan kamar yang satu itu agar kalau kamu pulang tidak mengganggu aku.”

“Huh, sok penting. Kamu itu tidak pernah menimbulkan selera aku, berdekatan atau tidak, nggak ada bedanya,” gerutunya sambil masuk ke kamar yang ditunjukkan istrinya.

 Ucapan itu membuat hati Suri bertambah sakit. Tapi ia tak menjawab. Ia berharap suaminya segera pergi dan diapun akan meninggalkan rumah itu.

“Nilam, baik-baik dulu disitu ya, aku buka pintunya sedikit biar kamu bisa bernapas lega, atau kamu keluar saja dari situ, aku akan mengunci kamarnya lagi, dia tak akan masuk kemari,” kata Suri yang membuka almari gantung itu, kemudian ia keluar dari kamar dan kembali menguncinya.

Beberapa saat kemudian Baskoro sudah berpakaian rapi. Ia pergi ke ruang makan, dan dengan heran dia tidak melihat apapun di atas meja yang bisa dimakan.

“Suriii, mana sarapan untuk aku?”

“Tidak ada sarapan,” jawab Suri dari arah dapur.”

“Apa katamu?”

“Tidak ada sarapan. Kamu lembur sampai pagi, apa majikan kamu tidak memberi kamu makan?”

“Apa maksudmu Suri?” kata Baskoro sambil melotot.

“Berhari-hari tidak pulang, untuk apa aku menyiapkan makan untuk kamu?”

Baskoro menggebrak meja makan dengan keras, sampai gelas satu-satunya yang ada diatas meja itu terguling. Untunglah tidak sampai jatuh.

Suri tak peduli.

“Kamu benar-benar ingin menentang suami kamu? Ini seperti bukan kamu. Biasanya kamu patuh dan penurut."

“Sekarang tidak lagi. Aku akan minta cerai dari kamu.”

“Apa?”

“Cerai. Kamu tidak mendengarnya? Aku tidak sudi berbagi dengan perempuan lain. Lebih baik kita berpisah.”

“Kamu menuduh yang tidak-tidak, Suri. Nanti kita bicara lagi, sekarang aku harus buru-buru ke kantor,” katanya sambil beranjak ke samping rumah untuk mengambil motornya.

Suri bernapas lega ketika melihat suaminya keluar dari halaman. Ia segera membuka kamar dan dengan iba menatap Nilam yang duduk di tepi ranjang dengan wajah pucat.

“Nilam, sayang. Maafkan ibu ya Nak. Kamu ketakutan ya?” katanya sambil mengelus kepala Nilam.

Nilam sangat terharu. Ibunya sendiri tidak pernah memperlakukannya selembut ini. Bagi ibunya, menyayangi adalah memberinya makan enak, pakaian bagus, dan itu cukup. Itu sebabnya Nilam lebih dekat dengan bibik yang lebih sering memeluknya dan mengelus kepalanya.

“Terima kasih Bu, saya benar-benar tak ingin bertemu dia.”

“Memang kamu tak usah bertemu dia. Ayo ikut ibu. Eh, tidak. Kamu belum sarapan. Sebentar, ayo sarapan dulu, lalu berangkat. Kita akan tinggal di sebuah rumah yang lain, mulai hari ini.

Nilam mengangguk. Ia sudah memakai bajunya sendiri yang kemarin sore sudah dicuci Suri, dan disetrika pagi tadi. Agak lembab sih, tapi tak apa, daripada memakai baju bu Suri yang kedodoran. Suri berjanji akan membelikannya baju, nanti.

Suri makan pagi dengan rasa lebih nyaman. Lauk sayur sederhana yang tadi disembunyikan Suri agar suaminya tak ikut memakannya. Suri benar-benar ingin lepas dari suaminya yang mengabaikannya.

***

Rusmi bangun agak siang, lalu menjenguk ke arah kamar Hasti. Ia langsung masuk ke dalam, dan menggoyang tubuh Hasti yang masih meringkuk dalam tidurnya yang nyenyak, Entah jam berapa Hasti pulang, Rusmi tak mengetahuinya.

“Hei, bangun. Kamu tidak kuliah?”

“Mmmh,” Hasti hanya menggeliat lalu menjauh dari jangkauan ibunya.

“Heeiii, ini sudah siang. Kemana kamu semalam, jam berapa pulang? Apa kamu tidak kuliah?”

“Nggak ada kuliah,” katanya  lalu menutupi wajahnya dengan bantal.

“Bantu bersih-bersih rumah Hasti, tak ada pembantu di rumah ini,” kata Rusmi sambil menarik bantal yang menutupi kepala Hasti. Hasti mempertahankannya, sehingga terjadi tarik menarik bantal diatas tempat tidur itu. Karena tak berhasil, maka Rusmi membiarkan Hasti menjauh darinya, tapi karena ranjang Hasti tidak sebesar ranjangnya sendiri, maka tubuh Hasti terjatuh di sisi yang lain. Terdengar benturan keras antara kepala Hasti dan lantai. Dhuggg!

“Aaaauuwwww, Ibuuuu.”

Rusmi terkejut. Suara benturan itu keras. Rusmi naik dan melihat Hasti memegangi kepalanya.

“Kamu sih, disuruh bangun susah sekali. Sakit ya?”

Hasti berusaha bangkit dan Rusmi melihat kepala anak gadisnya benjol sebesar telur ayam.

“Ibu keterlaluan!” sentak Hasti yang kembali membaringkan tubuhnya di ranjang.

Rusmi turun dari ranjang itu, lalu beranjak keluar dari kamar dengan wajah kusut.

Ia pergi ke ruang makan. Tak ada minuman hangat terhidang. Apa boleh buat. Rusmi membuat susu coklat sendiri, dengan air termos yang kebetulan masih tersisa. Ia merasa tak berdaya. Ketika bibik ada, semuanya sudah disiapkan dan dia tinggal menikmatinya.

Tiba-tiba ponselnya berdering, Rusmi melihat di layar, itu panggilan dari pak Rangga. Rusmi memasang isak tangis yang digunakannya untuk menjawab panggilan itu.

“Halloowww, pak Rangga,” isaknya.

“Ibu menangis?”

“Pak Rangga ini bagaimana? Saya ini, pagi, siang, malam selalu menangisi kepergian bapaknya anak-anak. Bagaimana Pak, apakah sudah ada berita tentang suami saya?”

“Saya justru ingin mengabarkan bahwa pencarian atas pak Raharjo sudah dihentikan, karena sampai kemarin belum ada tanda-tanda pak Raharjo ditemukan.”

Rusmi menangis keras.

“Dihentikan? Apakah dengan begitu suami saya dianggap mati?”

“Bukan begitu Bu, penyelidikan akan tetap dilakukan, walau pencarian belum mendapatkan hasil.”

“Bapaaaak,” tangis Rusmi menjadi-jadi.

“Hari ini bagian keuangan akan mentransfer uang gaji seperti biasa, sampai ada kejelasan tentang hilangnya pak Raharjo.

“Gaji saya?” sejenak Rusmi menjawab bersemangat, tapi kemudian sadar bahwa ia harus tetap menangis.

“Apakah itu penting bagi saya? Uang tidak masalah, yang penting adalah kembalinya suami saya,” Rusmi kembali terisak.

“Teruslah berdoa ya Bu. Semoga bapak segera diketemukan dalam keadaan selamat.”

Pak Rangga menutup ponselnya. Apakah isak tangis bu Raharjo bisa membuatnya iba? Tampaknya pak Rangga masih belum kehilangan rasa curiganya atas hubungan sang nyonya dengan Baskoro. Ia belum bisa membuktikannya.

Sementara itu Rusmi begitu gembira karena uang gaji suaminya masih bisa diterimanya.

“Baiklah, sementara ini kamu masih berhak menstransfer gaji aku, tapi tak lama lagi perusahaan itu akan menjadi milikku. Akulah penguasa, dan kamu adalah bawahanku, tapi kalau memang kamu masih layak memegang jabatan itu,” Rusmi terkekeh sendiri, sambil membawa gelas minumnya yang sudah kosong, lalu mencucinya sekalian. Apa boleh buat.

Lalu ia menelpon Baskoro, tapi Baskoro tidak mengangkatnya. Satu jam kemudian Baskoro menelpon kembali.

“Maaf Bu, pekerjaan sedang banyak. Jangan menelpon saat jam kerja, supaya tidak menimbulkan kecurigaan,” kata Baskoro pelan.

“Baiklah, aku hanya ingin bilang bahwa aku letih sekali.”

“Memangnya mengerjakan apa, sampai letih begitu?”

“Bibik pergi, aku mengerjakan sendiri pekerjaan rumah, sementara Hasti enak-enak tidur, sampai sekarang belum keluar dari kamarnya.

Baskoro tersenyum. Ia tahu, Hasti pasti lelah, seperti juga dirinya. Hampir semalaman mereka tidak tidur, menghabiskan malam bersama setan-setan yang girang sambil bertepuk tangan.

“Kita ketemu nanti malam ya, eh sepulang dari kantor langsung kerumahku saja.”

“Tidak dulu Bu, aku akan pulang dan menyelesaikan urusanku dengan istri.”

“Oh iya, sambil memberikan gaji untuk istri, aku tahu ini saatnya menerima gaji, kan?”

“Ya, kecuali itu tadi dia agak marah, dan menantang meminta cerai.”

“Haaa, bagus sekali, bukankah itu yang kita harapkan?”

“Entahlah, aku akan memikirkannya.”

“Apa maksudmu Bas? Kamu tidak menyukaiku lagi? Bukankah kamu juga ingin agar kita resmi menjadi suami istri?”

“Iya, nanti kita juga bisa membicarakannya. Sudah dulu, ada pak Rangga datang kemari,” kata Baskoro yang kemudian menutup ponselnya.

***

Sudah setengah hari Nilam mengikuti Suri menjajakan dagangan. Suri menyuruh Nilam tinggal di rumah saja, tapi Nilam menolak. Kehidupan Suri membuat Nilam tertarik untuk merasakannya. Nilam yang biasa hidup enak, nyaman dan penuh kemewahan, sekarang menjalani kehidupan yang penuh bermandikan peluh.

“Letih kan?” tanya Suri ketika mengajak Nilam istirahat dan makan di sebuah warung.

“Nggak kok. Nilam senang.”

“Kamu tahu, gara-gara aku mengajak kamu menjajakan dagangan, maka daganganku di tengah hari ini sudah ludes. Setelah makan ini, kita mampir ke toko pakaian untuk membeli baju, lalu pulang dan istirahat.”

“Ibu repot karena aku.”

“Mengapa kamu berkata begitu? Aku senang sekali ketemu kamu. Kamu bukan hanya cantik, tapi juga manis budi.”

Nilam tersenyum. Ia menghabiskan nasinya dan menyandarkan kepalanya di pundak Suri. Suri mengelusnya.

“Kamu ingin melanjutkan sekolah?” tiba-tiba kata Suri.

“Nanti tambah merepotkan Ibu.”

“Tidak. Aku akan berusaha untuk mencarikan sekolah untuk kamu. Besok aku akan ke sekolah kamu sebelum ini.”

“Aku tidak ingin kembali ke sekolah itu lagi, nanti mbak Hasti bisa menemukan aku dan memaksa aku pulang.”

“Tidak, hanya minta surat keterangan pindah. Nanti ibu carikan sekolah yang murah ya.”

“Terserah Ibu saja, asalkan tidak menyusahkan.”

“Tidak, aku bahagia bertemu kamu. Akan aku jadikan kamu anakku.”

***

Baskoro pulang dari kantor, langsung pulang ke rumah. Ucapan Suri yang ingin meminta cerai, tak urung membuatnya khawatir. Memang sih, Suri walaupun cantik, tapi tubuhnya tidak menarik. Lama kelamaan ia kehilangan selera untuk mendekati, apalagi merayu sang istri. Apalagi dia mendapatkan kesenangan bersama bu Raharjo yang tampaknya sangat menyukainya. Ia bukan hanya mengajaknya bersenang senang, tapi juga memanjakannya dengan uang. Namun Suri bukan wanita yang harus dilupakannya begitu saja. Ia istri yang patuh dan melayani semua kebutuhan suami dengan tanpa ada celanya. Dari makan, menyiapkan semua kebutuhan, membuat rumahnya asri walau hanya rumah kontrakan. Mengurus pembayaran rumah kontrakan dengan mengelola uang gajinya. Kecuali satu, tidak bisa memuaskannya di ranjang.

Itulah sebabnya ketika mendengar kata cerai yang terucap dari mulut Suri, Baskoro merasa sedikit cemas. Sore nanti Baskoro ingin merayu Suri, agar meredakan keinginannya untuk bercerai. Semoga ucapan yang tadi didengarnya, hanyalah pelampiasan amarahnya karena dia tak pulang selama seminggu.

Baskoro menunggu di teras. Ia sudah tahu kalau Suri pulang dari berdagang setelah maghrib. Itu kata tetangganya, karena dia belum bicara banyak dengan Suri sendiri.

Tiba-tiba seseorang muncul. Dia adalah pemilik rumah.

“Untunglah, pak Baskoro sudah ada di rumah,” katanya sambil duduk di depan Baskoro, tanpa dipersilakan.

“Ya Bu, baru saja saya pulang. Ada apa ya Bu, Suri baru akan pulang setelah maghrib.”

“Saya bisa dengan pak Baskoro kok, tidak harus dengan bu Suri. Saya hanya ingin mengingatkan, bahwa perjanjian kontrakan sudah selesai awal bulan ini. Tapi bu Suri baru membayar separuhnya dari pembayaran yang seharusnya. Jadi saya ingin menagih sisanya, sekalian minta pembayaran berikutnya, kalau kontrak rumah ini akan diperpanjang.”

Baskoro terkejut. Biasanya uang kontrakan rumah, Suri yang mengaturnya.

***

Besok lagi ya.

 

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

أحدث أقدم