BUNGA UNTUK IBUKU 18
(Tien Kumalasari)
Suri pulang dengan perasaan gundah. Ada perempuan yang malam-malam menelpon, tapi bukan bu Raharjo. Baskoro menamai akun itu ‘DIA’. Pasti seseorang yang istimewa. Hatinya terasa sakit. Sudah sejak lama ia merasa Baskoro menjadi jauh darinya. Sejak sering lembur, bahkan saat libur, lalu sikapnya berubah dingin. Lalu hubungannya tidak lagi seperti suami istri. Lebih bisa dikatakan seperti majikan dan pembantunya.
Hari sudah siang. Perutnya terasa lapar, lalu ia membuka tudung saji di atas meja. Baskoro tak lagi pernah menyentuhnya. Ia hanya memerintah dan minta semuanya beres. Memang sih, akhir-akhir ini ia benar-benar menambah uang belanja, tapi tidak dengan hatinya.
Suri mengambil piring dan mulai makan. Sisa ayam panggang masih ada beberapa potong. Suri menikmati makan siangnya sendirian. Tiba-tiba terbersit keinginan seperti tadi dikatakan bu Raharjo. Jualan. Mengapa tidak?
Kalau pada suatu hari dia harus berpisah dari Baskoro, ia tak harus menangisinya karena tak punya penghasilan. Ia bisa mendapatkan penghasilan dari berjualan ayam panggang.
Suri mengunyah makanannya dengan bersemangat. Ia tak peduli badannya bertambah gembur. Memang salah, perempuan bertubuh tambun? Yang penting sehat. Ia menghabiskan makan siangnya, kemudian membersihkan meja makan dan dapur, lalu menghitung-hitung modal yang diperlukannya. Ia tak keberatan menjajakan dagangannya, masuk dari rumah ke rumah. Suri tersenyum senang, saat dia sudah punya penghasilan, maka Baskoro tak akan diperlukannya lagi. Apakah cinta begitu berpengaruh pada kehidupannya? Nyatanya ia tidak benar-benar menikmatinya. Barangkali karena Baskoro juga tidak mencintainya, karena dulu menikah juga karena dijodohkan.
***
Hasti bangun sudah siang, tapi Rusmi belum pergi dari rumah. Seharian kemarin dia tak ketemu Baskoro, karena siangnya Baskoro tidak bisa keluar, dan malamnya Rusmi yang pergi. Nanti saat istirahat siang ia harus ketemu. Ia sudah sangat kangen pada rayuan laki-laki bercambang yang memang pintar menjatuhkan hati itu. Tapi tidak, lebih baik malam, tidak usah keluar. Baskoro bisa diajaknya datang ke rumah. Bukankah suaminya tak ada? Di rumah bisa lebih leluasa dan sesukanya. Rusmi tersenyum senang Ia ingin mengabari Baskoro tentang keinginannya untuk mengundang ke rumah, malam nanti. Tapi ketika dilihatnya Hasti keluar dari kamarnya, Rusmi teringat akan tali sepatu itu.
Ia menghentikannya ketika Hasti akan beranjak keluar.
“Tunggu, Hasti.”
Hasti berhenti, lalu mendekati sang ibu.
“Apa kamu punya sepatu bertali?” pertanyaan itu membuat heran Hasti. Ia sama sekali tidak tahu maksud ibunya. Tapi hatinya sedikit keder melihat wajah ibunya penuh rasa curiga.
“Mengapa ibu bertanya begitu? Hasti tidak pernah membeli sepatu bertali.”
“Tapi aku menemukan tali sepatu di depan kamar kamu. Semalam, saat aku pulang.”
Hasti terkejut. Tali sepatu? Apakah Baskoro mengenakan sepatu bertali lalu talinya tertinggal di depan pintu? Hasti segera memutar otaknya untuk menjawab.
“Tali sepatu? Aaah, ya … itu tali sepatu ya? Ya ampun, semalam nggak tahu kenapa, ketika pulang, Hasti merasa ada sesuatu yang melekat di alas sepatu Hasti. Sebelum Hasti masuk ke kamar, Hasti mengibaskan kaki karena risih. Entah apa yang kemudian terlepas dari alas sepatu Hasti. Tali sepatu itu ya? Nggak tahu aku Bu, mungkin benda itulah yang tadi malam melekat di alas sepatu Hasti,” kata Hasti yang kemudian berlalu, keluar dari ruangan. Rupanya dia sudah bersiap untuk pergi.
Rusmi menatap punggung anaknya. Penjelasan yang agak panjang itu bisa diterimanya. Lalu ia mendiamkan saja Hasti pergi seperti biasanya. Rusmi tidak menanyakannya, apakah Hasti akan kuliah di hari sesiang itu, atau entah akan pergi ke mana.
Ia kembali meraba ponselnya. Tadi ia belum sempat menelpon Baskoro. Hari mendung, nanti malam pasti hujan. Dan saat hujan dengan Baskoro di dekatnya, pasti lebih menghanyutkan.
***
Baskoro sedang menunggu ajakan Rusmi, yang disaat makan siang pastinya akan mengajaknya makan diluar bersama. Tapi pak Rangga tiba-tiba memanggilnya.
“Bas, kamu mau keluar?”
“Belum tahu nih Pak, mau makan keluar atau ke kantin saja.”
“Makan di kantin saja. Hari ini pak Raharjo akan pulang. Semua laporan sudah harus disiapkan, barangkali pak Harjo memerlukan untuk memeriksanya begitu pulang, nanti.”
“Oh ya? Hari ini pulang? Syukurlah. Saya sudah mempersiapkan semuanya.”
“Ayuk makan di kantin saja,” ajak pak Rangga.
Baskoro menurut. Rusmi tidak menelponnya, dan ia tak ingin menanyakannya, apalagi karena ada pak Rangga bersamanya.
Mereka duduk di bangku yang biasa mereka duduki. Baskoro kemudian berpamit untuk ke toilet sebentar.
“Bapak pesan saja seperti biasa, saya mau ke toilet sebentar,” katanya sambil meletakkan ponselnya di atas meja begitu saja.
“Aku pesan nasi pecel ya,” kata pak Rangga.
“Ya, saya ngikut saja,” kata Baskoro sambil berlalu.
Pak Rangga segera memanggil pelayan kantin dan mengatakan pesanannya, kemudian menunggu.
Tiba-tiba ponsel Baskoro berdering. Agak lama tidak diangkat, karena Baskoro belum kembali, Pak Rangga mengambil ponsel itu, dan melihat nama si pemanggil.
“DIA? Siapa dia? Namanya Dia, atau diberi nama Dia sebagai seseorang yang dirahasiakan?” gumam pak Rangga.
Panggilan itu berhenti karena lama tidak diangkat. Ketika Baskoro datang, barulah pak Rangga mengatakannya.
“Ada telpon tadi, bertubi-tubi.”
“Oh ya,” Baskoro meraih ponselnya.
“Siapa yang kamu beri nama DIA ? Kata pak Rangga sambil tertawa. Ia yakin dia pasti seorang wanita teman kencan Baskoro.
“Oh, itu istri saya kok Pak.”
“O, istri kamu?”
Pembicaraan tentang DIA itu tidak berlanjut, karena pesanan mereka sudah dihidangkan. Nasi pecel dengan telur ceplok, dan es jeruk.
Baskoro makan sambil memikirkan, kenapa Rusmi menelponnya di saat waktu makan siang sudah tiba. Bukan sebelum waktu makan, seperti biasanya. Ia ingin bertanya, tapi sungkan, karena ada pak Rangga yang mencurigai nama DIA di ponselnya.
Ketika itu ponsel pak Ranggalah yang berdering.
“Ha, ini dari pak Raharjo,” kata pak Rangga yang segera mengangkat panggilan itu.
“Assalamu’alaikum, Pak.”
“Wa’alaikumussalam. Sedang apa pak Rangga.”
“Sedang makan bersama Baskoro. Bapak sudah dalam perjalanan pulang?”
“Belum, aku dan Barno baru dalam perjalanan mencari oleh-oleh untuk Wijan.”
“Oh, jadi belum pulang?”
“Lusi baru berkemas, sementara aku jalan sama Barno. Hujan deras ini, pak Rangga.”
“Suruh Barno berhati-hati. Memangnya mau mencari oleh-oleh apa? Di toko oleh-oleh ya Pak?”
“Tidak, Barno mengajak ke luar kota untuk ke kebun buah.”
“Aduh Pak, itu kan di luar kota.”
“Memang, tapi ini hampir sampai, sayangnya hujan deras. Tapi setelah ini kami akan langsung pulang. Tunggu saya di kantor.”
“Baik, saya akan menunggu di kantor, sampai Bapak kembali.”
Raharjo hanya ingin mengatakan itu, lalu pembicaraan ditutup.
“Pak Raharjo akan pulang, aku nanti menunggu di kantor sampai beliau kembali.”
“Bagus sekali, jadi tidak terlalu lama perginya. Saya dengar rencananya sampai tiga hari atau lebih.”
“Kalau semuanya cepat selesai, pasti bisa segera pulang.”
Baskoro mengangguk, sambil menghabiskan makanannya.
***
Begitu masuk di ruangannya, Baskoro langsung menelpon Rusmi, yang dijawab dengan nada kesal.
“Kenapa menghubungi aku? Capek aku menelpon kamu.”
“Maaf, Bu, tadi aku baru ke toilet. Ada apa? Bukan mengajak makan siang kan?”
“Tidak, aku punya rencana, lebih baik nanti malam saja kamu datang ke rumah.”
“Nanti malam? Ke rumah?”
“Kita tidak perlu keluar. Kamu naik taksi saja, karena tampaknya hari mau hujan. Lebih nyaman bersenang-senang di kamar aku.”
Baskoro terkejut. Ia ingat ketika datang ke rumah dan memasuki kamar Hasti atas undangan gadis itu.
“Mau kan?”
“Barusan, di kantor, pak Raharjo mengabari kalau akan pulang hari ini.”
“Oh ya? Kamu yakin dia benar-benar akan pulang?”
“Entahlah. Tergantung Barno yang akan melakukannya.”
“Kalau begitu nanti sore saja kamu ke rumah aku. Maksudku sore sepulang dari kantor. Mau kan? Kamu bisa sampai malam di rumahku, kalau rencana kita berhasil. Motor kamu tinggalkan di kantor saja, kamu naik taksi. Repot kalau bawa motor.”
“Baiklah, kalau begitu, tapi aku mau mampir ke toko sepatu dulu.”
“Apa? Kamu mau beli sepatu?”
“Bukan, hanya ingin beli tali sepatu.”
“Beli tali sepatu?” Rusmi meraba tali sepatu yang tergeletak di atas nakas. Memang dia menyimpannya ketika dia ingin menanyakan tentang tali itu kepada Hasti. Tapi jawaban Baskoro membuatnya tercengang.
“Iya, entah kenapa, tali sepatuku hilang satu, jadi aku memakai sepatu bertali sebelah. Mau beli sebelum sampai di kantor, toko-toko masih tutup.”
“Kamu tidak usah beli Bas,” suara Rusmi bergetar menahan marah. Tiba-tiba dia membayangkan apa yang terjadi semalam. Baskoro dan Hasti. Benarkah Hasti berani mengundang Baskoro ke kamarnya?
“Kenapa kamu melarang aku beli tali sepatu?”
“Aku akan memberi kamu nanti, tali sepatu.”
Rusmi langsung menutup panggilan itu, dengan tangan gemetar, sementara Baskoro tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Rusmi keluar dari kamar, mencari bibik. Dilihatnya bibik sedang menyiapkan makan siang di ruang makan.
“Bik, ketika aku pergi semalam, apakah ada tamu?”
“Tamu?” bibik tampak mengingat-ingat.
“Ada tamu, tidak?” Rusmi tak sabar menunggu jawaban bibik.
“Kalau tamu, tidak ada. Tapi ada dokter datang kemari.”
“Dokter?”
“Iya. Yang menemui pertama kali mas Wijan. Dokter itu datang atas undangan mbak Hasti, katanya kakinya keseleo habis terjatuh, jadi dokternya disuruh langsung ke kamarnya.”
Darah Rusmi mulai panas.
“Kamu yakin dia dokter? Dia mengaku dokter, begitu?”
“Dia memakai jubah putih seperti dokter. Saya tidak melihat wajahnya dengan jelas, dia memakai topi dan masker. Saya melihatnya ketika dokter itu mau pulang, lalu saya mengunci pintunya.”
Rusmi membalikkan tubuhnya dengan wajah merah padam. Darahnya sudah mendidih. Ia ingin menghajar anak gadisnya, tapi Hasti sedang tidak ada di rumah. Sudah jelas Baskoro datang ke rumah, menyamar sebagai dokter, lalu pulang tergesa sehingga tali sepatunya terlepas dan tak sempat memasangkannya kembali.
Bibik mengangkat bahunya. Ia mengatakan semuanya, karena memang menurut Hasti dia dokter yang dipanggilnya, bahkan melakukan terapi di kamarnya sampai berjam-jam. Tapi ada senyuman miring di bibir bibik. Ia bukan anak kecil, dan ia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tak apa ia mengatakan semuanya kepada sang nyonya. Bukankah dia hanya mengatakan bahwa yang datang itu dokter, dan tak mengatakan apa yang membuatnya curiga?
Tak peduli sang nyonya majikan marah-marah di kamar, bibik melanjutkan pekerjaannya menata makan siang, terutama untuk Wijan dan Nilam yang tak lama lagi akan pulang dari sekolah.
***
Rusmi mengendapkan didih darahnya di atas ranjang. Ia bukan hanya marah karena Baskoro berkhianat, tapi juga marah karena anak gadisnya berani memikat Baskoro dan membiarkannya masuk ke kamar. Rupanya benar dugaan Baskoro bahwa Hasti bukan gadis yang masih hijau. Dia sudah matang dan berpengalaman. Diam-diam Rusmi merasa ngeri. Dia mampu melakukannya, tapi ia tak rela anak gadisnya melakukan hal yang sama. Hasti masih gadis dan pastinya harus bisa menjaga kegadisannya dengan sangat baik. Tapi semalam, tak mungkin tak terjadi sesuatu di kamar itu. Baskoro seorang laki-laki yang gampang terbius kecantikan perempuan. Dia tampan, dan yakin bahwa Hasti terpesona. Tapi tak pernah dibayangkannya Hasti akan melakukannya sejauh itu.
Rusmi melempar-lemparkan bantal dan guling ke lantai, seakan dia sedang menghajar habis-habisan anak gadisnya itu. Ia juga membayangkan seakan dia sedang menghabisi Baskoro dengan pukulan mautnya.
***
Wijan dan Nilam sudah selesai makan, ketika mereka melihat Baskoro datang dan berdiri di depan teras. Baskoro sedang menelpon, rupanya sedang memberi tahu Rusmi kalau dia sudah di rumah.
“Itu kan dia?” pekik Nilam ketika melihat Baskoro.
“Ssst. Jangan berteriak.”
“Mau apa dia kemari? Berani-beraninya datang ketika bapak tidak di rumah.”
Rusmi keluar dari kamar dengan wajah kelam gelap seperti mendung yang terjadi di sore itu. Tapi dia menyambut kedatangan Baskoro, dan mempersilakannya masuk.
Nilam ingin menegurnya, tapi Wijan kemudian menariknya masuk ke dalam kamar.
“Dia karyawan di kantor bapak, mungkin akan bicara penting sama ibu,” kata Wijan.
Ketika melihat tak ada siapapun menatap keduanya, Rusmi segera menarik Baskoro ke lantai atas, mengajaknya masuk ke dalam kamar. Baskoro tertegun melihat kamar Rusmi berantakan.
***
Nilam merengut karena Wijan melarangnya protes tentang kedatangan laki-laki bercambang itu.
Ketika itulah tiba-tiba ponsel Wijan berdering.
“Ini Wijan?”
“Iya, ini siapa?”
“Saya pak Rangga. Nomor kontak kamu diberikan pak Raharjo sebelum berangkat. Ada berita buruk, saya menghubungi bu Raharjo tapi tidak diangkat.
“Berita buruk apa?” tangan Wijan gemetar.
***
Besok lagi ya.