BUNGA UNTUK IBUKU 14

 BUNGA UNTUK IBUKU  14

(Tien Kumalasari)

 

Raharjo tercekat. Perasaannya sangat tak enak. Ia belum tahu berita tentang siapa yang ditabrak Baskoro, dan sekarang sang anak benar-benar mengalami kecelakaan. Apakah Baskoro yang menabrak?

“Mana Wijan? Apa dia ada di rumah?”

“Di rumah, Pak, sedang ganti baju di kamar mandi.”

“Apa lukanya parah?”

“Kepalanya diperban, tangannya juga diperban. Lutut sebelah kiri terluka, hanya diplester. Nilam sedih Pak, kasihan mas Wijan,” Nilam kembali menangis.

“Kalau Wijan selesai, suruh menelpon bapak ya.”

“Itu sudah keluar dari kamar mandi. Mas, telpon dari bapak,” katanya kemudian kepada Wijan.

“Bapak,” sapa Wijan.

“Bagaimana keadaan kamu? Kecelakaan bagaimana kamu?”

“Seorang pengendara sepeda motor melanggar lampu merah karena tergesa-gesa, lalu menabrak saya Pak.”

“Keterlaluan. Kamu tahu siapa yang menabrak? Ada polisi tidak, waktu itu?”

“Dia membawa saya segera ke rumah sakit, dan membayar semua pengobatannya.”

“Siapa nama penabrak itu?”

“Katanya bernama Baskoro. Tapi dia mengenal Bapak.”

“Dia?” Raharjo berteriak.

Pengendara sepeda motor melanggar lampu merah karena tergesa-gesa. Pasti karena dia sudah terlambat kembali ke kantor.

Raharjo menutup ponselnya dengan marah.

“Betul Baskoro?” tanya pak Rangga.

“Iya. Dia tergesa-gesa, melanggar lampu merah, dan menabrak anakku.”

“Bagaimana keadaan mas Wijan?”

“Luka-luka. Aku akan segera pulang untuk melihatnya.”

“Saya antarkan Bapak pulang.”

“Tidak, aku kan membawa mobil sendiri.”

Raharjo bergegas pulang karena mengkhawatirkan keadaan anak semata wayangnya. Semua urusan diserahkannya kepada pak Rangga.

Tapi di lobi ia melihat Baskoro baru saja masuk, wajahnya kemerahan dan keringat bercucuran.

“Maaf Pak. Saya salah. Saya tidak mengira, dia adalah putra Bapak. Baru setelah selesai mengurusnya saya tahu, dari alamat yang dikatakannya.”

“Itu karena kamu melanggar lampu merah.”

“Iya Pak.”

“Dan karena kamu sudah terlambat untuk menghabiskan waktu istirahat kamu.”

“Maaf, Pak. Ada urusan.”

“Ada urusan lagi? Urusan yang tidak pernah selesai,” kata Raharjo sambil bergegas menghampiri mobilnya.

Ketika ia membuka pintu mobilnya, satpam berlari-lari dengan membawa bungkusan jacket.

“Pak, takut kelupaan lagi. Ini jacket Bapak.”

“Bukan jacketku. Masa jacketku bau. Lempar saja ke bagasi,” perintahnya dengan wajah muram.

Sementara Baskoro menatap bungkusan itu dengan mata nanar. Ia tahu itu adalah jacketnya, tapi dia tidak berani memintanya. Karenanya dia biarkan satpam itu memasukkannya ke bagasi mobil Raharjo.

Baskoro memasuki kantor dengan perasaan tak menentu. Sudah jelas Raharjo tidak suka kepada dirinya, dan itu bukan karena keterlambatannya saja. Barangkali benar apa yang dikatakan Rusmi, bahwa atasannya sudah menyimpan rasa curiga yang belum dilampiaskannya melalui kata-kata.

Sebelum masuk ke ruangannya, pak Rangga juga menatapnya tak senang. Bukan karena dia telah menabrak anak atasannya saja, tapi juga keterlambatannya yang memang sangat terlambat. Baskoro menghela napas panjang. Ia masuk ke ruangannya dan melihat pekerjaan sudah menumpuk. Baskoro membayangkan akan lembur sampai malam, hari itu.

***

Raharjo sangat kesal, begitu pulang ia melihat Wijan sedang menyirami tanaman. Segera ditariknya tangan anaknya untuk masuk ke dalam rumah.

“Apa yang kamu lakukan? Kamu terluka dan kamu bekerja di kebun?”

“Ibu sudah melarangnya Pak, tapi dia nekat,” sambung Rusmi yang tadinya bermaksud menyambut kedatangan suaminya.

“Wijan tidak apa-apa, hanya sedikit luka,” jawab Wijan ketika ayahnya mengajaknya duduk di sofa ruang tengah.

“Kepalamu terbalut, lenganmu terbalut, kakimu juga, dan kamu mengatakan tidak apa-apa? Bapak bahkan masih melihat noda darah di perban itu.”

“Iya Pak, tapi.”

“Jangan membantah apa yang dikatakan Bapak. Diamlah dan beristirahat. Kamu tahu siapa yang menabrak?”

Tanpa sengaja, Wijan menatap ibu tirinya yang ikut duduk di sofa itu.

“Namanya Baskoro,” katanya lirih.

“Dia pegawai di kantor bapak.”

Wijan baru mengetahuinya. Jadi ia melihat ibu tirinya beberapa kali bepergian dengan bawahan ayahnya?

“Mas Wijan …” tiba-tiba Nilam mendekat dan duduk di samping Wijan. Ia menatap kakak tirinya dengan iba.

“Tadi Nilam melarang mas Wijan menyiram tanaman, tapi dia nekat,” kata Nilam. Nilam tidak tahu bahwa itu adalah tugas yang diberikan ibunya setiap sore, dan Wijan tak mau membantahnya. Tapi dia tak mengatakan apapun.

“Bagaimana rasanya? Mana yang sakit?” tanya Nilam lagi.

“Tidak sakit. Kan sudah diobati. Kamu yang sakit, harusnya tidur di kamar,” balas Wijan.

“Aku sudah sembuh.”

Raharjo menatap keakraban kedua saudara tiri itu dengan terharu. Nilam sangat menyayangi Wijan, demikian juga sebaliknya. Sikap berbeda yang dilihatnya, kebalikan dari sikap istrinya yang sekarang diketahuinya hanya berpura-pura menyayangi anak tirinya.

Tiba-tiba Raharjo teringat akan jacket itu.

“Jacket teman ibu ada di bagasi, ambillah,” perintahnya dengan wajah datar.

“Oh iya, biar ibu ambil, lalu akan ibu antarkan ke rumah Pingkan,” katanya sambil berdiri dan keluar mendekati mobilnya.

“Wijan, besok tidak usah masuk sekolah dulu. Kamu harus istirahat di rumah.”

“Tidak bisa Pak, Wijan harus masuk karena sebentar lagi ujian.”

“Tapi kamu seperti ini. Dan mana sepeda kamu?”

“Kata pak Baskoro, soal sepeda akan diurusnya. Sekarang sudah dibawanya ke bengkel, katanya.

“Bapak belikan sepeda motor saja.”

“Asyiiik,” yang berteriak senang adalah Nilam.Tapi Wijan menggelengkan kepalanya.

“Sepedanya masih bagus. Dan Wijan suka.”

“Sepeda sudah ditabrak motor, sudah cacat.”

“Kan bisa diperbaiki.”

Terkadang Raharjo juga kesal pada kesederhanaan Wijan. Ia sering sekali menolak pemberian ayahnya, walau sebenarnya dia membutuhkannya.

“Belikan sepeda motor saja, Pak, nanti Nilam ke sekolah dengan membonceng sepeda motor itu. Ya kan Mas?”

Wijan hanya tersenyum.

“Kalau kamu nekat mau masuk sekolah, besok bapak antarkan. Tapi benar, kamu tidak apa-apa?”

“Wijan baik-baik saja.”

“Besok kita ke rumah sakit dulu. Bapak harus memastikan bahwa kamu benar-benar baik-baik saja.”

“Tapi Wijan mau sekolah.”

“Ke sekolah setelah dari rumah sakit. Nanti bapak bilang pada guru kamu. Kalau saatnya pulang, telpon bapak, biar sopir kantor menjemput kamu.”

“Besok Nilam juga mau sekolah.”

“Nilam diantar mbak Hasti saja, karena mobilnya masih akan dipakai bapak. Mobil bapak masih di bengkel.”

Nilam merengut, tapi dia tak berani membantahnya.

***

Hari sudah malam ketika Baskoro memasuki rumahnya. Sang istri yang menyambutnya dengan segelas teh hangat, tidak bertanya apapun, karena Baskoro sering pulang sampai malam.

“Minum dulu, dan istirahat sebentar. Capek ya Mas?” tanya Suri penuh perhatian.

“Tentu saja capek. Namanya bekerja. Bukan seperti kamu, hanya makan dan tidur sampai badanmu gembur kayak tambur,” katanya sambil menghirup tehnya tanpa duduk terlebih dulu.

“Enak saja. Aku tuh tidur kalau sudah selesai pekerjaan rumah. Bersih-bersih, mencuci, setrika, masak, menyiapkan makan kamu.”

“Tapi benar kan, kamu suka tidur?”

“Nungguin Mas itu capek. Terkadang pulang malam, ya tidur lah, aku,” cemberut sang istri. Tapi kemudian pergi ke belakang untuk menyiapkan makan malam suaminya.

“Aku tidak makan, mau langsung tidur.”

Suri menghentikan langkahnya.

“Padahal aku menggoreng bandeng presto dibalut telur, sama sayur lodeh dan_”

“Besok saja, aku mau mandi lalu tidur,” katanya sambil melangkah ke dalam kamar.

Suri mengikutinya dengan cemberut. Tapi ia tetap meladeni suaminya melepas pakaiannya, lalu menyiapkan pakaian ganti, dan membawa yang kotor ke belakang. Baskoro hanya menatapnya datar. Menurutnya, istri hanyalah yang meladeni semua keperluannya, yang tak harus selalu diajaknya bersenang-senang, karena kesenangan bisa didapatnya diluar. Ia mencium bau wangi dari tubuh sang istri. Ia juga melihatnya berdandan dengan sangat berbeda. Barangkali ada harapan dari Suri untuk menghabiskan malam dengan memetik kidung-kidung cinta, setelah lelah bekerja. Tapi harapan itu sebenarnya sudah pupus sejak melihat wajah suaminya yang dingin. Baskoro pun tampak tak berselera. Apalagi pikirannya sedang terbebani oleh sebuah rencana yang dicetuskan Rusmi siang tadi. Ada sebuah harapan untuk bisa mengayuh cinta bersama Rusmi dengan tenang dan tentu saja senang. Tapi ia harus mempersiapkan semuanya dengan matang. Karenanya ia lebih baik segera beristirahat dan menyusun apa-apa yang harus dilakukannya.

***

Pagi hari itu, Nilam yang nekat masuk sekolah terpaksa mau diantar Hasti. Di sepanjang perjalanan itu Hasti tak henti-hentinya mengomel tentang sikap Nilam yang terlalu baik pada Wijan. Tapi Nilam tak menggubrisnya. Ia tahu bahwa Hasti, dan juga ibunya, sangat jahat kepada Wijan. Padahal Wijan sangat baik dan selalu bersikap santun kepada mereka.

“Jangan diam kalau diberi tahu. Kamu benar-benar bandel,” kesal Hasti karena Nilam mengacuhkannya.

“Kalau aku jawab, Mbak pasti marah. Jadi lebih baik aku diam,” jawab Nilam sambil mengalihkan pandangan ke jendela di sampingnya.

“Mbak marah karena jawaban kamu memang membuat marah.”

“Yang jelas aku tidak setuju dengan apa yang Mbak katakan. Mas Wijan anak yang baik. Dia selalu patuh walau ditindas. Tapi Mbak, apalagi ibu, selalu memperlakukannya dengan buruk.”

“Kamu selalu membela dia.”

“Karena dia tidak bersalah.”

“Mbak ini, seperti juga ibu, berbuat untuk kebaikan kita. Baru tahu rasa kamu kalau nanti Wijan sudah tidak ada.”

“Apa maksudnya?”

“Tunggu saja nanti. Masa kita harus selalu bersama-sama dengan orang yang bukan darah daging kita.”

Nilam menatap kakaknya dengan mengerutkan keningnya.

“Apa maksud Mbak?” desak Nilam.

“Nanti juga kamu akan tahu.”

“Kalian akan mengusir mas Wijan?”

“Lihat saja nanti. Tuh, sudah sampai di sekolah kamu. Awas nanti ya, jangan pulang dulu kalau aku belum menjemput kamu,” kata Hasti dengan nada keras.

Nilam turun dengan perasaan penuh tanda tanya. Apa lagi maksud kakaknya itu, setelah ia juga mendengar ucapan-ucapan ibunya yang aneh saat bertelpon.

***

Dengan diantar ayahnya, Wijan pergi ke rumah sakit. Ia tidak percaya pemeriksaan sekilas yang dilakukan atas anaknya. Ia terjatuh, dan kepalanya terluka, pasti ada benturan. Ia membawanya ke rumah sakit besar agar diperiksa secara keseluruhan, bukan di klinik kecil seperti dilakukan Baskoro, yang hanya dilihat dari luka luarnya saja.

“Wijan, sebentar lagi kamu akan menyelesaikan SMA kamu kan?” kata sang ayah dalam perjalanan ke rumah sakit.

“Masih setahun lebih. Setelah ini, kalau naik kan Wijan baru kelas tiga. Tapi sebenarnya Wijan ingin mencoba mengikuti percepatan pelajaran, sehingga bisa mengikuti ujian akhir.”

“Wouw, bapak suka. Apa kamu bisa?”

“Akan Wijan coba.”

“Baiklah. Dengar Wijan. Kamu adalah satu-satunya anak bapak. Usaha yang bapak rintis ini, adalah kewajiban kamu untuk mengurusnya.”

“Wah, berat ya Pak?”

“Tidak ada sesuatu yang berat, ketika kita menjalaninya dengan sepenuh hati. Tanggung jawab ini tidak ringan, paling tidak, bisa mempertahankan, tapi lebih bagus bisa mengembangkan. Semua ini membutuhkan ketekunan kamu dalam mempelajari semuanya. Sekarang selesaikan sekolah kamu, lalu kuliah. Bapak akan menyimpan uang dalam tabungan kamu sendiri untuk keperluan sekolah dan kuliah kamu, sehingga kamu bisa mempergunakannya saat kamu membutuhkan. Hati-hati dalam mengelolanya. Kalau bapak sedang tidak ada, kamu bisa menemui pak Rangga untuk bicara. Nanti akan bapak ajak kamu ke kantor, agar bisa mengenal pak Rangga, yang adalah orang kepercayaan bapak.”

Wijan berdebar. Tanggung jawab itu tidak mudah. Tapi Wijan bukan anak muda yang lemah. Biarpun suka mengalah tapi dia punya kepribadian yang kokoh. Apa yang menjadi tanggung jawabnya adalah sesuatu yang harus digenggamnya erat.

“Bapak percaya kamu bisa melakukannya.”

“Wijan selalu memerlukan bimbingan bapak.”

“Kamu masih sangat muda, tapi bapak harus memberi tahu kepada kamu tentang semua ini. Ini kesempatan untuk berbincang, karena selama ini bapak sibuk dengan pekerjaan dan kurang memperhatikan kamu. Kamu tahu, bapak membuka cabang di kota lain. Saat ini bapak sedang merintisnya. Besok minggu depan bapak mau ke sana melihat perkembangannya.”

Wijan sangat kagum kepada ayahnya. Walaupun tidak muda lagi, tapi semangat berbisnis masih sangat kuat.

“Apakah ibu sambung kamu memperlakukan kamu dengan baik?” Raharjo memancing.

Wijan terdiam sejenak, tapi dia mengangguk pelan.

“Sangat baik, Pak.”

Raharjo tersenyum. Anak laki-lakinya luar biasa. Bersedia menyembunyikan kebusukan yang dilakukan kepada dirinya. Sudah beberapa tahun berlalu, dan dia baru menyadari bahwa anak semata wayangnya teraniaya. Raharjo diam-diam memarahi dirinya sendiri.

***

Menyadari bahwa Wijan baik-baik saja, Raharjo merasa lega. Memang benar hanya luka luar, dan tak ada yang membuatnya khawatir.

Hari itu Raharjo pergi ke luar kota, hanya diantar sopir dan juga sekretarisnya. Tak ada yang berbeda ketika Raharjo melangkah keluar dari rumah setelah sopir dan sekretaris menjemputnya.

Hari masih pagi, dan Raharjo berpamit pada keluarganya. Ia juga berpesan kepada Wijan agar selalu berhati-hati. Entah mengapa ia mengatakannya, bahkan dengan mata berkaca-kaca. Ada perasaan berat yang melandanya. Ia memeluk Wijan dengan hangat, dan Wijan pun menyambutnya dengan haru yang menyesak.

***

Besok lagi ya.

 

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

أحدث أقدم