BUNGA UNTUK IBUKU 11
(Tien Kumalasari)
Ketika Raharjo tertegun, pak Rangga pun tertegun. Ada banyak pertanyaan, bagaimana istri pak Raharjo mengantarkan Baskoro ke kantor. Atau, ada sopir yang mengantarnya? Masa bu Raharjo sendiri mengantarkan Baskoro? Ingin ditanyakannya oleh pak Rangga, tapi tak sampai hati mengeluarkan kata-kata itu. Apakah itu sepengetahuan pak Raharjo atau tidak ya. Ia sudah tahu bahwa Baskoro suka main perempuan, tapi masa ia juga berani main-main dengan istri atasannya?
Pak Rangga menepis perasaannya sendiri.
Tapi Raharjo merasa aneh. Kapan Baskoro diantar istrinya ke kantor? Kalau ke kantor mengapa tidak menemuinya? Dan disaat apa sang istri harus mengantarkan Baskoro? Kenapa dia tidak pernah tahu?
Sampai ke depan ruang kerja Raharjo, pak Rangga masih tetap tak mengucapkan apapun tentang mobil itu. Tapi Raharjo justru bertanya.
“Kapan Baskoro diantar mobil istriku?”
“Mm … itu … beberapa hari yang lalu, ketika Baskoro terlambat kembali ke kantor, dengan alasan ada urusan keluarga.”
“Tapi benarkah yang pak Rangga lihat itu benar mobil seperti yang aku bawa?”
“Rasanya saya tidak salah lihat. Plat nomornya adalah plat nomor mobil baru.”
“Oh, mungkin mereka ketemu di jalan,” kata Raharjo sambil meraih gagang pintu ruang kerjanya,
“Tapi Baskoro bilang diantar keponakannya.”
Raharjo hanya menatap pak Rangga, tanpa mengucapkan apapun. Ia masuk ke ruang kerjanya, tapi kemudian ia membuka lagi pintunya.
“Pak Rangga.”
Pak Rangga berhenti melangkah, kembali mendekati atasannya.
“Yang saya bicarakan kemarin, pak Rangga sudah mengerti kan?”
“Sudah Pak, akan segera saya urus.”
“Baiklah, dan ingat. Hanya pak Rangga yang mengetahui semua itu, karena saya hanya mempercayakannya pada pak Rangga.”
“Saya mengerti.”
Raharjo mengangguk, kemudian masuk ke dalam kamar kerjanya.
Ketika ia duduk di kursi kerjanya, ia baru ingat untuk menyuruh sopir kantor untuk menghubungi bengkel karena mobilnya mogok.
Raharjo masih kepikiran tentang Baskoro yang diantar istrinya. Atau ada orang lain yang membawa mobilnya lalu disuruhnya mengantarkan Baskoro kembali ke kantor? Tapi siapa, mengapa?
Raharjo menghubungi ruangan Baskoro melalui interkom. Terdengar jawaban gugup dari sana.
“Ke ruanganku sekarang.”
Baskoro gemetar saat menarik pintu ruangan sang atasan.
Ia langsung duduk di depannya, menatap sang atasan dengan wajah pucat.
“Kamu sakit?” tanya Raharjo. Tak ada nada kemarahan pada ucapan itu.
“Saya, baik-baik saja, Pak.”
“Tapi wajahmu tampak pucat.”
“Hanya sedikit masuk angin.”
Raharjo mengangguk.
Mobilku mogok, tapi masih di rumah. Tolong hubungi bengkel untuk mengambil dan mengurusnya.
Hati Baskoro mencelos. Rupanya Raharjo bukan ingin memarahinya.
“Mobil istriku sedang dicuci, mungkin di tempat cucian yang tidak jauh dari sini. Tolong kalau sudah siap, kamu antarkan ke rumah, ya.”
“Saya?” tanya Baskoro tak percaya
“Kenapa? Bukankah biasanya kamu yang mengetahui bengkel langganan aku? Jadi sekalian saja antarkan mobilnya ke rumah.”
“Ya Pak, benar.”
“Ya sudah, lakukan sekarang. Tunggu mobil Rusmi selesai dicuci.”
“Baik.”
Baskoro bergegas keluar dari ruangan itu, tujuannya satu, menyusul ke tempat cucian mobil untuk mengambil jacketnya. Dia merasa beruntung, Raharjo tidak tahu ada jacket orang lain yang ada di dalam mobil. Baskoro bernapas lega. Buktinya dia tidak mendapat teguran, juga pertanyaan apapun.
***
Ketika sampai di tempat cucian mobil, ia menemukan mobil hijau lumut itu sedang dibersihkan. Petugas sedang menyemburkan air dari selang untuk mengguyur mobil tersebut. Karena buru-buru ingin mengambil jacket yang menurutnya masih ada di dalam itu, maka tanpa sengaja tubuhnya terguyur air. Ia berteriak dan gelagapan.
“Hei, apa kamu tidak melihat ada orang?” teriaknya sambil menghapus wajahnya dari guyuran air, sedangkan pakaiannya pun basah kuyup.
Petugas yang tidak sengaja itupun merangkapkan kedua tangan dengan meminta maaf bertubi-tubi.
“Maaf Pak, sungguh saya minta maaf. Habis bapak datang tiba-tiba, sementara saya sedang membawa selang yang mengucur. Aduh, pakaian Bapak basah kuyup begini. Maaf ya Pak, bagaimana ini?”
“Dasar bodoh! Ceroboh!!”
Tapi tanpa memperhatikan pakaiannya yang basah kuyup, ia melongok ke dalam mobil, mencari keberadaan jacket yang tertinggal.
“Maaf, Bapak mencari apa?”
“Jacket. Kamu melihat jacket di dalam sini?”
“Oh, jacket hitam?”
“Iya, mana?”
“Sudah diambil oleh satpam itu.”
“Apa?”
“Diambil satpam itu. Takutnya jacket bapak direktur basah ketika mobil dibersihkan.”
“Celaka. Kemana dia?”
“Kenapa celaka Pak? Dia sudah kembali ke kantor, nanti katanya akan diambil sekitar satu jam lagi.”
“Celaka …!”
Baskoro setengah berlari kembali ke kantor, yang memang letaknya tidak jauh dari tempat pencucian mobil itu.
Di halaman kantor, di ruang satpam, Baskoro menjadi bahan tertawaan karena badannya basah kuyup.
“Pak Baskoro kenapa?”
“Kalau mandi pakaiannya dibuka dong pak?”
“Ini … gara-gara ke tempat cucian mobil,” jawab Baskoro dengan wajah bingung.
Dan beberapa orang terbahak-bahak.
Baskoro tak peduli, yang dipikirkannya adalah jacket itu.
“Kamu mengambil jacket di mobil pak Raharjo?” tanyanya kepada satpam.
“Iya. Takutnya basah kalau dibiarkan.”
“Mana jacket itu?”
“Sudah aku serahkan ke pak Raharjo.”
“Apa?”
“Memangnya kenapa Pak? Itu bukan punya pak Baskoro kan?”
“Buk … bukan .. Eh, ya sudah, aku mau pulang dulu. Ganti pakaian,” kata Baskoro yang tubuhnya serasa melayang-layang karena ketakutan yang melanda. Ia menuju ke arah parkiran, mengambil motornya dan kabur pulang. Niatnya untuk berganti pakaian. Tapi tentu saja pikiran menjadi tidak tenang.
***
Sementara itu di kantor, pak Raharjo sedang menelpon istrinya, yang dijawab dengan ketakutan juga.
“Jadi jacket siapa yang tertinggal di dalam mobil kamu? Baunya apak sekali.”
“Oh … ya ampun … itu kan … itu kan … tadi ibu jalan … eh … kemarin jalan sama Pingkan, teman arisan, untuk … itu Pak, mencari rumah teman lama kami yang ada di luar kota. Karena harus mencari-cari … Pingkan menyuruh sopirnya untuk membawa mobil ibu. Mm … mungkin itu jacket sopirnya deh.”
”Baunya … huhh, kenapa juga jacketnya dilepas di dalam mobil? Dan karena itu mobil kamu sedang dicuci di tempat cucian mobil.”
Pak Raharjo menutup ponselnya dengan sedikit kesal. Ia segera menyuruh OB untuk membungkus jacket itu rapat-rapat, agar baunya tidak menguar keluar, lalu menyuruh juga meletakkannya di kantor satpam.
“Aneh, dari tadi urusan jacket. Pak Baskoro menanyakan jacket, lalu pak Raharjo menyuruh meletakkan jacket itu di sini setelah dibungkus rapat. Sebenarnya jacket siapa sih ini?”
Sekarang Raharjo sedang mencari Baskoro, yang tiba-tiba menghilang.
“Pak Baskoro pulang Pak, katanya mau ganti pakaian,” jawab satpam jaga yang ditanyainya.
“Pulang? Ganti pakaian?”
“Iya Pak, datang dari tempat cucian mobil, bajunya basah kuyup.”
“Lhoh, kenapa?”
“Saya kurang tahu Pak, mungkin di sana dia keguyur air dari selang semprotan itu.”
Raharjo geleng-geleng kepala. Ada banyak hal aneh yang ditemukannya dan membuat benaknya bertanya-tanya. Ada rasa yang tak mampu diungkapnya karena semuanya terasa tak mungkin, lalu disimpannya saja di dalam hatinya.
Hari itu dia sedang membicarakan sesuatu dengan pak Rangga. Ada seorang notaris berbincang bersama tak lama setelah pak Rangga menelponnya. Rupanya ada hal penting yang harus mereka bicarakan.
***
Suri yang sedang memasak, merasa heran melihat suaminya pulang dengan baju basah kuyup. Ia mendekati sang suami yang sedang berganti pakaian dan menatap wajah sang suami yang tampak pucat.
“Ada apa sih Mas? Kok basah kuyup begini? Mas sakit?”
“Sudah, diam. Bawa baju-baju ini ke tempat cucian, jangan banyak bertanya.”
“Ya ampun, diperhatikan istri kok jawabnya sadis begitu,” kata Suri sambil memungut baju dan semua pakaian Baskoro yang terserak di lantai.
Baskoro tak bisa merasa tenang. Ia sudah berganti pakaian dan siap kembali ke kantor ketika ponselnya berdering. Dari Rusmi. Gemetar tangan Baskoro ketika mengangkatnya. Ia membayangkan sudah terjadi perang diantara atasan dan istrinya.
“Ya, Bu.”
“Bapak menanyakan jacket itu.”
“Ya Tuhan,” Baskoro merasa lemas.
“Sudah aku jawab. Semoga dia percaya.”
“Ibu jawab apa?”
“Jacket sopir teman aku yang tertinggal di mobil.”
“Ah …. syukurlah,” Baskoro bernapas lega. Sekarang dia memacu motornya untuk kembali ke kantor dengan perasaan lega. Ia merasa selamat dari kemarahan Raharjo, luput dari bencana pecat yang sudah dibayangkannya. Mana dia tahu bahwa masih ada sesuatu yang dipikirkan atasannya tentang dirinya.
***
Baskoro memasuki ruang kerjanya, dan memeriksa laporan barang-barang yang masuk dan keluar, karena itu memang tugasnya. Hatinya yang merasa lebih tenang, membuatnya bisa bekerja dengan baik. Ia bahkan punya tugas untuk mengantarkan mobil Rusmi setelah dicuci, bukankah itu menandakan bahwa pak Raharjo tidak mencurigainya?
Satu jam berlalu, tak ada perintah apapun dari Raharjo. Satpam yang mendapat tugas memasuki ruangannya, lalu menyerahkan kunci mobil.
“Pak Baskoro, ini perintah dari pak Raharjo, mobil yang dicuci sudah selesai, pak Bas diminta mengantarkan ke rumahnya.”
“Oh ya, baiklah, taruh saja di situ, aku selesaikan dulu pekerjaan ini.”
Satpam meletakkan kunci dan berlalu. Senyuman Baskoro melebar, sebaiknya diantar saat istirahat saja, pasti Rusmi sekalian mengajaknya makan dan bersenang-senang.
Lalu ia melanjutkan pekerjaannya, dengan senyum mengembang. Wajah cantik Rusmi melintas. Senyuman yang memikat, gaya yang menawan, pelayanan yang menghanyutkan, membuat dadanya berdegup kencang. Ia menengok jam di tangannya, satu jam lagi saat istirahat. Tapi tiba-tiba interkom di ruangannya berbunyi. Baskoro mengangkatnya dengan kesal.
“Ya.”
“Bas, antar mobilnya sekarang. Ibu mau memakainya jam sebelas ini,” perintah pak Raharjo yang membuatnya terkejut.
“Baik Pak, saya antarkan sekarang.”
Baskoro menutup berkas laporan yang sudah diperiksanya, kemudian beranjak pergi. Ini kan namanya pucuk dicinta ulam tiba?
Ia meraih kunci mobil Rusmi dan beranjak keluar ruangan. Lebih cepat ketemu Rusmi, akan lebih menyenangkan. Kalau ia terlambat kembali ke kantor, tak apa-apa, kan ada alasan bahwa sudah saatnya jam istirahat tiba?
***
Tapi ketika sampai di rumah Rusmi, ternyata Rusmi menolak untuk pergi.
“Hari ini lebih baik kita menahan semua keinginan Bas, perasaanku tidak enak.”
“Tidak enak bagaimana?”
“Tentang jacket itu, jangan-jangan bapak mencurigai sesuatu.”
“Bukankah kamu sudah memberikan alasannya? Lalu di mana sekarang jacket itu?"
"Entahlah, aku belum menanyakannya."
"Oh semoga tidak menjadi masalah."
“Aku merasa gugup ketika menjawabnya. Kalau bapak curiga, bagaimana? Jadi sekarang lebih baik kamu tinggalkan saja mobilnya, kembalilah ke kantor segera. Barangkali kita perlu mendinginkan suasana, meredam rasa curiga, barangkali ada. Jadi maksudku, untuk beberapa hari ini lebih baik kita tidak bersama dulu.”
“Kamu membuat aku kecewa, tapi tidak apa-apa, aku bisa menerima maksud baik kamu. Barangkali itu benar, lebih baik kita mendinginkan suasana terlebih dulu, apalagi suasana hati yang sebenarnya sudah mendidih ini,” kata Baskoro sambil tersenyum nakal.
“Sekarang pulanglah.”
“Mobil pak Raharjo sudah diambil orang bengkel?”
“Sudah.”
Baskoro bersiap untuk pulang, tapi sebelumnya dia mencuri elusan di pipi Rusmi. Gemas rasanya kalau belum menyentuhnya. Rusmi terkekeh genit. Tapi tanpa mereka sadar, bibik melihat adegan tak senonoh itu. Bibik berlari cepat ke belakang sambil mengelus dadanya.
“Astaghfirullah … bagaimana mereka bisa melakukannya? Keterlaluan,” gumamnya dengan kaki gemetar.
***
Hari itu seperti biasa, Nilam pulang sekolah dengan membonceng Wijan. Mereka pulang agak sore, karena Nilam mengikuti tambahan ekstrakurikuler di sekolahnya.
Nilam melihat mobil ibunya ada di halaman, agak heran melihat ibunya tidak bepergian hari itu. Tapi ia tak peduli. Ia juga tak melihat ibunya ada di ruangan, pasti sedang berada di kamarnya. Nilam merasa badannya terasa tak enak. Ia segera masuk ke kamarnya dan membaringkan tubuhnya.
Bibik yang sudah menyiapkan makan siang untuk keduanya, terkejut ketika memasuki kamar Nilam untuk memberi tahukan bahwa makan siang sudah siap, dan melihat Nilam tertidur dengan memeluk guling, bahkan tanpa mengganti baju sekolahnya terlebih dulu.
“Mbak Nilam kenapa? Aduh, kok badannya panas sekali?” pekik bibik ketika memegang dahi Nilam. Ia segera bergegas kebelakang. Wijan yang sudah duduk menunggu di ruang makan, terkejut melihat bibik buru-buru masuk ke dapur, tampak seperti gugup.
“Ada apa Bik, mana Nilam?”
“Kelihatannya, mbak Nilam sakit. Badannya panas sekali. Bibik akan mengompresnya.”
Wijan terkejut. Ia bangkit dari kursinya dan bergegas memasuki ruangan adiknya.
“Nilam, kamu kenapa? Ya ampun, badan kamu panas sekali. Pantas sejak tadi kamu diam saja.
“Tidak apa-apa Mas, aku hanya merasa lemas.”
Bibik datang, kemudian mengompres kening Nilam dengan lap dingin.
Saat itulah Rusmi masuk.
“Ada apa?”
“Ini Bu, kelihatannya mbak Nilam sakit, badannya panas."
“Apa? Bagaimana bisa terjadi? Ini akibatnya kalau kamu setiap hari membonceng sepeda seperti gembel!!” teriak Rusmi sambil menyingkirkan tubuh Wijan yang berdiri khawatir di samping ranjang.
Raharjo yang baru pulang dari kantor terpaku dipintu mendengar ucapan istrinya.
***
Besok lagi ya.