BUNGA UNTUK IBUKU 10

 BUNGA UNTUK IBUKU  10

(Tien Kumalasari)

 

Mendengar kakaknya memarahi Wijan dengan kata kasar, Nilam ikut naik pitam. Ia mendekati sang kakak dan menarik tangannya.

“Kenapa Mbak Hasti begitu jahat sama mas Wijan? Memang kenapa kalau mas Wijan punya ponsel baru?”

“Kamu anak kecil tahu apa? Minggir. Bodoh kalau kamu selalu membela dia,” kata Hasti sambil mengibaskan tangan Nilam.

“Yang bilang pada bapak bahwa Mbak ingin menukar ponsel itu aku. Bukan mas Wijan.”

“Kamu?”

“Iya, aku. Aku dengar ketika Mbak menelpon mas Wijan,” kata Nilam dengan berani.

“Dasar anak bodoh. Kamu jahat kepada kakak kamu sendiri.”

“Mbak Hasti yang jahat. Aku tidak mau membela yang jahat.”

“Sudah … sudah … jangan ribut, nanti bapak sama ibu mendengar, kalian akan dimarahi. Kalau mau menukar ponsel aku_”

“Jangan. Jangan mengalah sama mbak Hasti, dia akan semakin menindas, nanti.”

“Dasar anak bodoh. Dia itu bukan siapa-siapa.”

“Dia itu saudara kita, karena ayahnya juga ayah kita.”

“Diam, bodoh! Awas nanti aku bilang sama ibu atas kelakuan kamu itu,” kata Hasti yang kemudian beranjak pergi. Wijan menatapnya sedih. Bukan karena ponsel itu, tapi karena melihat saudara tirinya selalu jahat kepada dirinya. Wijan selalu bertanya, apa salahku? Belum ada jawab yang ditemukannya. Ia merasa sudah sangat patuh dan menuruti apa kata mereka, mengapa selalu salah dan dianggap buruk?

Nilam mendekatinya dengan tersenyum manis.

“Jangan sedih. Aku akan selalu membela mas Wijan.”

Wijan mengelus kepala adik tirinya dengan sayang. Kalau tidak ada Nilam, barangkali dunia akan menjadi semakin gelap baginya, karena ia jauh dari kasih sayang.

“Ayo lanjutin, nanti aku mau memetik mawar. Satu untuk mas Wijan, satu untuk aku,” katanya riang, seolah tak terjadi apa-apa yang menyakiti kakak tirinya. Nilam hanya ingin menghiburnya. Tapi ketika ia benar-benar akan memetik mawarnya, Wijan mencegahnya.

“Jangan dipetik. Biarkan mekar di tempatnya. Kalau dipetik, dia akan lebih cepat layu.”

“Benarkah? Tapi aku ingin memetiknya, untuk aku dan untuk mas Wijan.”

“Baiklah, untuk kamu dan untuk aku, kita titipkan saja di pohonnya. Biar dia merawatnya lebih lama.”

Nilam tersenyum. Kepada bunga saja Wijan juga menyayanginya. Benar-benar kakak yang luar biasa. Kasih sayangnya semakin besar kepadanya. Kasih sayang yang entah dari mana datangnya, yang membuatnya tak rela Wijan disakiti. Wijan yang baik, yang lembut dan penuh kasih sayang. Hanya dia yang ditemukannya di rumah ini. Bahkan bukan dari ibu kandungnya, serta kakak kandungnya sendiri, yang tak pernah memberikan kasih sayang begitu manis dan lembut.

“Nilaaam.”

Sebuah teriakan dari jendela kamar ibunya terdengar. Nilam menoleh dan wajahnya berubah murung ketika melihat tangan ibunya melambai. Pasti kakaknya sudah mengadu, dan sekarang dia akan dimarahinya.

“Cepat ke sana, ibu memanggil kamu,” kata Wijan.

Nilam yang sudah siap mengambil kembali selang airnya, terpaksa meletakkannya, dan melangkah ke dalam rumah.

Ia melihat ayahnya duduk sendirian di ruang tengah. Nilam dengan manis menyapanya.

“Bapak kok sendirian?”

“Iya, duduk sini, temani bapak.”

“Sebentar, ibu memanggil Nilam,” kata Nilam yang terus naik ke atas tangga, menuju ke kamar ibunya yang ada di lantai atas. Dari sana tadi sang ibu memanggilnya.

Ia membuka pintu kamarnya pelan, dan melihat sang ibu sedang bersama kakaknya.

“Ibu memanggil Nilam?”

“Dengar. Ibu tidak suka kamu membela Wijan,” kata ibunya sebelum Nilam kemudian disuruhnya duduk di depannya.

“Apa maksud ibu? Mas Wijan selalu di salahkan, padahal dia tidak bersalah. Mengapa ibu dan mbak Hasti sangat membencinya?”

“Bukan membencinya. Dia memang orang lain bagi kita.”

“Kalau orang lain, mengapa kita hidup di sini? Bukankah mas Wijan bagian dari keluarga ini?”

“Bodoh. Dia memang anak dari suami ibu, tapi dia bukan anakku, dan juga bukan saudara kamu.”

“Memangnya kalau bukan saudara, maka kita harus membencinya?”

“Kenapa kamu bisa berkata begitu? Apa dia sudah meracuni kamu?”

“Meracuni bagaimana? Nilam hanya membela yang tidak bersalah. Mbak Hasti selalu menindasnya. Dia begitu baik dan penurut, apa yang salah? Dia bahkan tidak pernah punya niat jahat. Racun apa yang dimiliki dia untuk meracuni Nilam?”

“Heh, anak kecil ini, bagaimana bisa bicara sepintar ini?” sambung Hasti sambil menjewer kuping Nilam.

Tentu saja Nilam berteriak kesakitan.

“Aduuh, sakit , tahu.”

“Dengar Nilam, kamu boleh saja berbaik-baik pada dia, tapi satu pesan ibu, jangan suka mengadu kepada ayah kamu. Kakakmu kena marah karena kamu mengadukannya tentang ponsel itu. Ya kan?”

“Memang mbak Hasti keterlaluan kan?”

“Sejak kapan kamu berani membantah kata-kata ibumu? Baiklah, dengar kata ibu. Jangan sekali-kali mengadu apapun pada ayahmu.”

Terdengar langkah menjauh dari depan pintu. Hasti terkejut. Ia segera membuka pintunya, tapi tak melihat siapapun di sana.

“Ada apa?” tanya Rusmi.

“Seperti ada suara di balik pintu, ternyata tidak ada,” jawab Hasti sambil kembali duduk.

“Apakah Nilam juga harus menutup mulut ketika melihat ibu bersama seorang laki-laki?”

“Apa?” Rusmi berteriak. Tapi Nilam sudah berdiri dan melangkah menuju pintu.

Hasti menarik tangannya.

“Kamu bilang apa?”

“Lepaskaaan! Atau aku benar-benar mengadu pada bapak,” pekik Nilam.

Hasti melepaskannya.

“Anak itu benar-benar berbahaya.”

“Mengapa dia tadi berkata begitu?”

“Ibu pergi sama siapa? Dan Nilam melihatnya?”

Rusmi hanya mengangkat bahu.

“Kamu turunlah, dengarkan, apa Nilam mengadu sesuatu pada ayahmu.”

***

Nilam turun dari tangga dan melihat ayahnya masih duduk di ruang tengah sambil mengotak atik ponselnya.

“Bapak,” kata Nilam sambil menggelendot manja. Baginya, Raharjo adalah ayah pengganti yang baik. Dia sangat melindungi, dan mengasihi ibu dan anak-anaknya.

Raharjo mengelus kepala Nilam.

“Ada apa ibu memanggil kamu?”

Mulut Nilam hampir saja terbuka untuk mengatakan sesuatu, tapi ia teringat pesan Wijan bahwa dia tak perlu mengatakan apa-apa tentang ibunya yang sedang bersama seorang laki-laki. Karena itulah Nilam diam.

“Ibu memarahi kamu?”

“Tidak. Hanya menyuruh Nilam segera mandi,” kata Nilam berbohong.

“Iya nih, Nilam belum mandi. Ayo mandi sana, bau lhoh,” canda ayahnya.

“Benarkah?” Nilam mencium ujung lengan bajunya.

Raharjo tertawa. Nilam masih kanak-kanak. Gadis yang baik, yang diharapkan akan terus menjadi baik. Itulah yang terbaca oleh Raharjo, melihat keseharian Nilam.

“Tidak, bapak hanya bercanda.”

“Tadi Bapak bilang bau,” cemberut Nilam.

“Bau wangi kok.”

Nilam terkekeh, kemudian berlari meninggalkan ayahnya.

Raharjo tersenyum, dan ketika itulah ia melihat Hasti berdiri di tangga .

Raharjo melihatnya sekilas, kemudian kembali memegangi ponselnya. Rupanya ada yang belum selesai dilakukannya karena kedatangan Nilam.

“Bapak, mau Hasti buatkan minum?” tiba-tiba kata Hasti. Raharjo mengangkat kepalanya, menatap Hasti sekilas, kemudian menunduk lagi ke arah ponselnya.

“Tidak, tadi sudah diberikan bibik.”

“Hasti minta maaf ya Pak,” tiba-tiba Hasti mendekat. Raharjo kembali mengangkat kepalanya, menatap anak tirinya.

“Untuk apa?”

“Memang tadi sebenarnya Hasti yang minta tukar ponsel.”

“O, tidak apa-apa. Bapak perlu memberi dia ponsel, karena berharap bisa berkomunikasi setiap saat. Kalian, kamu dan ibumu sudah ada, tapi Wijan kan belum.”

“Iya, benar. Hasti minta maaf kalau tadi ingin menukar ponsel Wijan, karena menganggap Wijan masih kecil.”

“Wijan sudah besar. Dia sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Nanti kalau Nilam sudah SMA, barangkali bapak juga akan membelikannya.”

Hasti mengangguk, tapi senyum yang diperlihatkannya tampak tidak tulus. Raharjo membiarkannya ketika Hasti pamit untuk mandi.

***

Pagi hari itu anak-anak sudah berangkat ke sekolah dan kuliah. Raharjo sedang berkutat dengan mobilnya yang susah untuk distarter. Ia kemudian keluar dari mobil dan mendekati istrinya yang sedang mengantarkannya di teras.

“Bu, sepertinya aku harus membawa mobil ibu."

”Apa? Memangnya mobil Bapak kenapa?”

“Agak rewel tuh. Beberapa hari yang lalu sudah dibawa ke bengkel, tapi sepertinya belum bener juga.”

“Dibawa ke bengkel lagi saja.”

“Ya, nanti aku suruhan orang kantor untuk mengurusnya. Sekarang aku pinjam mobil kamu dulu.”

“Lhoh Pak, aku nanti akan ada acara sekitar jam sebelas an.”

“Masih jam sebelas kan? Setelah sampai di kantor, aku suruhan orang mengantarkan pulang, kemudian biar dia menelpon bengkel sekalian.”

“Tapi bener lho ya, segera dikirim pulang.”

“Iya, jangan khawatir."

Rusmi mengambil kunci mobil, dan menyerahkannya kepada suaminya.

“Aku juga akan membawa mobil itu ke tukang cuci mobil, nanti.” kata Rusmi.

Raharjo tak menjawab, ia langsung mengambil mobilnya yang ada di gudang, dan mengeluarkannya, langsung dibawanya berangkat ke kantor.

Rusmi baru saja masuk ke kamarnya, ketika tiba-tiba ponselnya berdering.

“Hei, pagi-pagi sudah menelpon? Sudah sangat kangen ya?” sambut Rusmi dengan riang ketika melihat siapa yang menelpon.

“Bu, aku sedang bergegas ke kantor nih, hampir telat.”

“Iya, kenapa menelpon?”

“Aku cuma mau bilang, tolong sembunyikan, jacket aku ketinggalan di mobil.”

“Apa?” Rusmi berteriak keras sekali.

“Kok berteriak, tolong selamatkan jacket itu, takutnya ketahuan pak Raharjo.”

“Kamu memang gila Bas, kenapa bisa ketinggalan?”

“Yah, namanya ketinggalan, berarti ya tidak sengaja. Kenapa berteriak?”

“Masalahnya, pagi ini mobilnya dibawa suami aku,” kata Rusmi masih dengan berteriak.

“Apa?” kali ini Baskoro yang berteriak.

“Kenapa kamu begitu bodoh, Bas!”

“Celaka kalau pak Raharjo melihatnya.”

“Ada apa Mas, kok berteriak?” terdengar suara perempuan dari seberang sana. Rupanya Suri heran mendengar suaminya pagi-pagi sudah berteriak saat menelpon.”

“Tidak, tidak apa-apa. Ya sudah, aku mau berangkat kerja,” katanya, yang kemudian tak mempedulikan lagi pada Rusmi yang masih memegangi ponselnya dengan tangan gemetar, lalu begitu saja menutupnya.

“Bagaimana Baskoro ini, jacket pakai di lepas segala. Bagaimana nanti kalau dia tahu, lalu bertanya tentang jacket itu?”

Rusmi yang merasa tidak tenang, berjalan mondar mandir di kamar sambil memikirkan jawaban apa yang akan dikatakannya kalau suaminya bertanya.

***

Suri heran ketika melihat sang suami kelihatan seperti orang kebingungan. Katanya harus buru-buru kerja, tapi malah mondar mandir saja di dalam rumah.

“Mas kenapa sih? Dari tadi seperti orang bingung begitu?”

“Jacketku … jacketku …”

“Jacketnya di mana? Perasaan ketika turun dari mobil kemarin itu, Mas tidak mengenakan jacket deh."

“Ya, itulah yang aku pikirkan?”

“Kalau ketinggalan di mobil ya tinggal nanti bertanya pada yang punya mobil, apa jacket mas ketinggalan di situ, apa tidak. Gitu saja kok repot.”

“Dasar bodoh!”

“Yah, kok Mas kasar begitu. Aku cuma mengingatkan, malah dibilang bodoh.”

“Kamu itu tidak tahu apa-apa,” katanya sambil menghampiri motor yang sudah disiapkannya di depan.

“Kalau sampai pak Raharjo tahu, mati lah aku,” gumamnya miris.

“Orang aneh!” hanya itu yang dikatakan Suri, ketika sang suami akhirnya pergi dengan sepeda motornya.

Suri masuk ke dalam rumah, siap belanja ke pasar karena kemarinnya diberi uang lumayan banyak oleh sang suami, tanpa sadar bahwa sang suami sedang ketakutan saat ini.

“Semoga yang dikatakannya benar, akan menambah uang belanja sehingga aku tak perlu kebingungan mencukupi semua kebutuhan,” gumam Suri, istri penurut yang tak pernah menuntut itu.

***

Sementara itu Raharjo yang sedang mengendarai mobil istrinya merasa aneh. Pewangi yang ada di dalam mobil, terkalahkan oleh bau tak sedap yang entah dari mana datangnya. Ia heran kepada istrinya. Kenapa wajahnya yang cantik terawat, tidak bisa merawat mobil yang dimilikinya dengan baik.

Lalu Raharjo teringat bahwa tadi istrinya mengatakan ingin mencuci mobilnya.

Ketika turun di halaman kantornya, tak terlihat satpam menyambutnya lalu membawakan tas kerjanya sampai masuk ke dalam ruangan kantornya seperti biasa. Pasti karena mobil yang dipakainya bukan mobil biasanya, dan belum seorangpun tahu bahwa yang dipakai adalah mobil istrinya.

Raharjo turun, dan barulah salah seorang satpam berlari menyambutnya.

“Maaf, Pak. Saya tidak tahu bahwa ini mobil Bapak,” kata satpam sambil terbungkuk hormat, lalu meminta tas kerja yang dibawa Raharjo.

“Ini mobil istriku,” jawabnya sambil tersenyum.

“Oh, saya tidak tahu.”

“Tolong bawa mobil ini ke tempat cucian mobil, buat agar wangi dan menyegarkan,” perintah Raharjo sambil memberikan kunci mobilnya, lalu masuk ke dalam ruangan.

Tapi saat masih ada di lobi, pak Rangga tampak berlari-lari mengejarnya.

“Bapak pakai mobil baru?”

“Itu mobil istriku,” jawab Raharjo sambil tersenyum, lalu berjalan berdampingan dengan orang kepercayaannya.

“Sepertinya saya pernah melihat mobil ini.”

“Di mana? Istriku suka jalan ke mana-mana, temannya banyak.”

“Di depan kantor itu. Saya melihat Baskoro turun dari dalam mobil itu.”

Pak Raharjo tertegun. Ditatapnya pak Rangga dengan heran.

***

Besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

أحدث أقدم