BUNGA UNTUK IBUKU 08

 BUNGA UNTUK IBUKU  08

(Tien Kumalasari)

 

Nilam melompat berdiri, menatap ke arah laju mobil ibunya.

Wijan meraih tangannya dan memintanya kembali duduk. Wajah Nilam gelap bagai mendung.

“Ibu bersama siapa tadi?”

Wijan sudah pernah melihat ketika ibu tirinya bergayut manja di lengan seorang laki-laki, jadi dia tidak terkejut seperti Nilam ketika melihat pemandangan yang mirip. Hanya bedanya adalah, ketika itu mereka sedang berjalan memasuki rumah makan, tapi yang baru saja mereka lihat, keduanya ada di dalam mobil. Iya, terlihat jelas, karena kaca mobil depan belum ditutup sempurna, pengemudinya seorang laki-laki. Dia juga kah? Laki-laki bercambang yang pernah Wijan melihatnya?

“Itu benar, mobil ibu bukan?”

“Banyak mobil berwarna sama,” jawab Wijan santai.

“Tidak, itu mobil ibu. Yang membawa mobil itu adalah seorang laki-laki, disampingnya adalah ibuku,” kata Nilam sambil memekik-mekik.

“Nilam, kita hanya melihat dari kejauhan.”

“Tapi mataku masih bisa melihat jelas. Ayo kita ke sana,” kata Nilam sambil menarik tangan Wijan.

“Ke mana?”

“Kita ikuti mobil itu.”

“Jangan bercanda, Nilam. Mana ada sepeda mengikuti lajunya mobil?”

“Ayolah Mas,” Nilam merengek sambil menarik tangan Wijan.

“Kita tak mungkin bisa mengejarnya Nilam. Lagipula kenapa kamu harus tahu tentang ibu? Barangkali ibu sedang ada keperluan yang mengharuskan dia pergi bersama entah itu siapa.”

“Pokoknya aku ingin ke sana, aku harus tahu apa yang ibu lakukan.”

“Mana mungkin kita bisa mengejarnya, Nilam.”

Wajah Nilam mulai memerah, matanya sembab oleh air mata yang nyaris tumpah. Runtuh hati Wijan melihat wajah adik tirinya. Walau merasa bodoh, dengan sepeda harus mengejar lajunya mobil, tapi dia menurutinya, agar Nilam terpuaskan, walau nantinya juga akan kecewa.

Wijan berdiri lalu mendekati sepedanya, mempersilakan Nilam untuk duduk di boncengan, sambil mengusap air matanya dengan jari jempolnya.

“Nggak usah nangis, jelek,” ledek sang kakak, yang dibalas pukulan pelan pada punggungnya.

Wijan mengayuh sepedanya, ke arah dimana mobil ibu tirinya melaju.

***

Nilam yang merasa kasihan karena Wijan mengayuh sepedanya dengan sangat kencang, kemudian menepuk punggungnya dan meminta agar mereka kembali saja. Lagipula saat itu mereka sudah berada di luar kota.

“Sudah Mas, ayo kita kembali saja.”

Wijan tersenyum, walau agak kesal terhadap kerewelan adik tirinya. Ia memutar sepedanya kembali ke arah semula.

“Kamu sekarang tahu kan, bahwa sepeda kayuh tidak akan bisa mengejar lajunya mobil?”

“Aku hanya penasaran karena melihat ibu bersama orang lain yang aku belum pernah melihatnya.”

“Biarkan saja. Kamu masih kecil, mana tahu kebutuhan orang tua?”

“Aku bukan anak kecil. Aku sudah hampir SMA, tidak sampai dua tahun lagi, tahu.”

Wijan tertawa. Tapi kemudian di sebuah warung dia melihat mobil itu. Tadi dia tak menoleh ke kiri dan kanan karena maksudnya mengejar, dan tak mengira bahwa mobil itu ada di situ. Rupanya mereka kelaparan dan mencari makan di warung.

“Itu dia ! Berhenti Mas!” teriak Nilam.

Tapi Wijan malah mengayuh lebih cepat.

“Maaas.”

“Tidak usah berhenti, kita sudah tahu bahwa mereka mencari makan. Lalu apa yang akan kamu lakukan?”

“Aku ingin tahu, siapa teman ibu itu.”

“Lalu kenapa?”

“Mas Wijan kok gitu. Ibu tidak boleh pergi sama laki-laki lain. Kalau bapak tahu, pasti ibu dimarahi.”

“Ya sudah, kita tidak usah bilang apa-apa sama bapak. Tidak akan ada yang marah, bukan? Ayo kita belok saja ke jalan kecil itu. Nanti kalau ibu tahu bahwa kita ada di sini, justru ibu yang akan marah kepada kita.”

Tanpa menunggu jawaban Nilam, Wijan membelokkan sepedanya melewati jalan kampung yang ada di depannya. Setelah kira-kira tidak akan lagi bertemu mobil itu, Wijan mengajak Nilam berhenti di sebuah warung kecil.

“Ngapain ke sini Mas?”

“Haus, tahu,” kesal Wijan karena dia telah menguras tenaganya demi mengejar mobil hijau lumut itu.

Nilam terkekeh.

“Iya, ternyata aku juga haus. Adakah es dawet di situ?”

“Entahlah, aku hanya ingin minum teh panas.”

“Minum panas? Hawanya sudah panas, kenapa minum panas?”

“Justru di saat kita kepanasan, dilarang minum minuman dingin,” kata Wijan sambil menghentikan sepedanya.

Mulut Nilam cemberut bagai kerucut. Wijan menggandengnya masuk ke dalam warung sambil tersenyum lucu. Nilam ini terkadang bandel, tapi sering menurut setiap kali diberi tahu.

Keduanya duduk sambil menunggu pesanan mereka, minuman hangat. Tubuh Wijan berkeringat, demikian juga Nilam. Tapi mereka menghirup minuman hangat itu dengan nikmat. Nilam tersenyum.

“Ternyata enak.”

Wijan tertawa.

“Mau pesen makanan?”

“Nggak mau, masih kenyang. Aku mau pisang goreng itu,” katanya sambil menunjuk ke arah pisang goreng yang ada di dalam ruang kaca. Si penjual mengambil piring dan mengisinya dengan beberapa pisang goreng, yang disodorkannya ke arah kedua pembeli yang masih muda itu.

“Silakan. Ini pisang raja yang sudah matang, rasanya legit.”

“Iya Bu, kelihatannya enak.”

“Tentu saja enak. Kalau pisangnya pisang muda, walaupun kelihatan matang, kalau digoreng pasti ada rasa sepat-sepatnya, begitu.”

Nilam menggigit sebuah pisang, dan mengunyahnya sambil manggut-manggut.

“Iya, enak, manis, legit.”

Sejenak wajah kuyu kesal itu lenyap, dengan seri yang manis, Nilam menggigit pisang gorengnya sampai habis.

“Mau makan, Nak?” si penjual warung menawarkan. Tapi keduanya menggelengkan kepalanya.

“Tidak Bu, ini saja.”

Ketika Wijan ingin mengajak Nilam untuk melanjutkan perjalanan, tiba-tiba dilihatnya wajah Nilam kembali muram. Wijan menyentuh bahunya lembut.

“Kita pulang?”

“Nanti aku mau bilang pada bapak.”

“Apa?”

“Bahwa tadi ketemu ibu.”

“Jangan, Nilam. Itu tidak baik.”

“Supaya bapak mengingatkan ibu. Itu kan tidak baik.”

“Jangan. Belum jelas baik buruknya, nanti malah membuat suasana rame dan tidak enak didengar. Diam saja. Anggap kita tak pernah melihat apapun.”

“Tapi … “

“Dengar kataku, Nilam. Aku membenci keributan. Itulah sebabnya aku selalu diam. Biarlah semuanya berjalan seperti biasa. Biarlah yang baik dan yang buruk itu terbuka dengan sendirinya. Jangan sampai kita ikut campur tentang apapun yang tidak kita pahami.”

Nilam tidak sepenuhnya bisa menerima anjuran Wijan, tapi dia berusaha mengangguk, sambil kemudian berdiri.

“Ayo pulang.”

Wijan membayar apa yang mereka makan dan minum, kemudian menghampiri sepedanya. Wajah Nilam masih cemberut. Wijan menjewer kupingnya pelan.

“Ingat apa yang mas katakan, ya.”

Wijan mengayuh sepedanya pelan. Udara panas semakin menyengat. Mereka harus segera sampai di rumah.

***

Bu Rusmi dan Baskoro ternyata masih kembali ke bungalow yang tadi ditinggalkannya, hanya untuk mengisi perut yang sejak pagi belum terisi, karena sibuk mengayuh kesenangan yang sudah ditahannya sejak mereka bisa ketemuan di jalan.

Keringat yang mengucur, tak membuat mereka gerah. Bu Rusmi sangat bahagia selalu bisa meneguk kesenangan dengan laki-laki bawahan suaminya, yang masih tampak perkasa dan memesona.

“Bas, kamu tahu apa yang aku pikirkan?”

“Apa, tuh?”

“Aku ingin bercerai dari suami aku.”

“Eh, jangan.”

“Aku juga ingin kamu menceraikan istri kamu, lalu kita menikah. Nggak enak begini terus, seperti maling. Apa kamu suka?”

“Bukan masalah suka atau tidak suka. Setiap langkah harus kita pertimbangkan.”

“Apa maksudmu? Kamu keberatan meninggalkan istri kamu yang gemuk tambun itu?”

“Bukan itu. Dengar. Kamu kan tahu bahwa aku ini laki-laki miskin. Apa kamu siap menerima laki-laki miskin sebagai suami kamu, sementara selama ini kamu hidup bersama seorang bos yang kaya raya?”

“Tapi aku tidak mau pertemuan kita harus dilakukan seperti maling. Kamu tahu, Bas. Aku sangat membutuhkan kamu. Hanya kamu yang bisa membuat aku bahagia.”

“Bahagia, tapi miskin? Kalau kamu bercerai dengan pak Raharjo, maka kamu tak akan bisa menikmati kesenangan seperti ini. Dari mana kita dapat uang, sedangkan kalau kita menikah, sudah pasti pak Raharjo akan memecat aku.”

“Jadi apa yang harus aku lakukan?”

“Nanti kita akan memikirkan mana yang terbaik. Tapi untuk sementara ini, biarlah begini saja dulu. Tidak apa-apa seperti maling. Kita ini pasangan yang sama-sama membutuhkan, karena semua itu tak bisa kita dapatkan di rumah, dan hanya ini jalan untuk mendapatkan kesenangan. Kamu mengerti?”

“Tapi sampai kapan, Bas?”

“Nanti pasti ada jalan. Kita tetap bersama, tapi kita tetap bisa menikmati harta suami kamu.”

Bu Rusmi terdiam. Diam-diam sebuah pikiran melintas di benaknya, lalu senyumnya mengembang. Dengan mesra dia kembali memeluk Baskoro, sebelum kemudian mereka harus pulang karena hari sudah menjelang sore.

***

Ketika Wijan memasukkan sepedanya ke garasi belakang, didengarnya ayahnya sedang menyapa Nilam. Ibunya belum terlihat pulang. Dan seperti biasa, Hasti pun tak ada di rumah.

“Main ke mana saja tadi?”

“Pokoknya jalan-jalan saja. Terus tiba-tiba Nilam melihat_”

“Sawah dan perkebunan jagung,” sahut Wijan yang tiba-tiba menyela, khawatir Nilam mengatakan tentang mobil berwarna hijau lumut itu.

“Kamu suka ya, main ke tempat-tempat yang penuh pohon-pohon dan persawahan?”

“Iya, soalnya udara di sana sangat sejuk.”

Wijan melihat Nilam yang wajahnya cemberut, pergi ke kamarnya. Tapi Wijan merasa lega, karena Nilam tak jadi mengatakan apa yang mereka lihat tentang mobil ibunya. Wijan harus selalu mengingatkan, agar Nilam mengerti, bahwa mengadukan hal buruk akan berakibat tidak baik bagi keluarganya.

Ketika Wijan hendak berdiri untuk segera membersihkan diri, tiba-tiba sang ayah menahannya.

“Tunggu Wijan. Jangan pergi dulu. Ada sesuatu yang ingin bapak berikan ke kamu,” kata pak Raharjo sambil menunjukkan sebuah bungkusan yang sudah sejak tadi berada di atas meja, di depan ayahnya.

“Ini untuk kamu, Jan.”

Wijan terkejut. Ia tahu bahwa itu sebuah ponsel. Ayahnya pernah mengatakan bahwa akan membelikan ponsel untuknya, dan dia menolaknya. Tapi sang ayah tetap saja membelikannya.

“Mengapa Bapak belikan ini untuk Wijan?”

“Kamu sudah dewasa, dan komunikasi itu perlu. Terimalah, sudah ada nomor bapak, nomor ibu dan kakak kamu.”

Wijan menerimanya dengan segan. Ponsel itu sangat bagus. Dan meskipun ia belum pernah memilikinya, tapi dia tahu bahwa ponsel itu bukan ponsel yang murah. Ia pernah melihat punya teman sekolahnya. Temannya yang suka pamer itu bilang bahwa harganya lebih dari sepuluh juta. Wijan mengamatinya dengan seksama.

“Kenapa? Kamu tidak suka?”

“Sangat suka, tapi untuk apa Bapak membelikan ini untuk Wijan? Ponsel yang biasa saja kan cukup untuk Wijan.”

Pak Raharjo tertawa. Ia tahu anak laki-lakinya tidak menyukai barang-barang mewah, meskipun dia anak seorang pengusaha kaya. Wijanarko sangat santun dan sederhana, tak pernah menginginkan yang aneh-aneh, seperti layaknya anak orang kaya. Barangkali sang ayah tidak tahu sama sekali, bahwa sikap Wijan yang seperti  itu dipicu oleh hardikan-hardikan ibu tirinya setiap saat, bahwa dia tidak pantas memiliki barang-barang bagus seperti yang diminta Hasti, kakaknya.

“Simpan baik-baik, dan bawa kemanapun kamu pergi. Setiap saat pasti bapak ingin menghubungi kamu, menanyakan keadaan kamu, sekolah kamu, melalui ponsel itu. Karena bapak tahu bahwa bapak sering tidak berada di rumah, sehingga kita jarang bisa berkomunikasi.”

Wijan mengangguk. Ketika ia akan berdiri, pak Raharjo memberikan lagi selembar uang ratusan ribu.

“Ini untuk apa?”

“Uang saku kamu. Beberapa hari ini bapak lupa memberikannya.”

“Masih ada kok Pak.”

“Tidak apa-apa, simpan atau tabung saja. Barangkali suatu hari kamu memerlukan sesuatu. Masih ada berapa uang kamu?”

Wijan tersipu. Ia tak pernah membelanjakan uang sakunya secara berlebihan, atau kalau memang tidak sangat diperlukan.

“Masih banyak kok Pak, Wijan jarang membeli sesuatu.”

“Kalau begitu tabung di bank saja, lebih aman.”

Wijan mengangguk, Lalu ia berdiri.

“Wijan mau ganti baju dulu.”

“Baiklah, dan bilang bibik, bahwa bapak mau makan. Pastinya kalian belum makan juga kan?”

Wijan mengangguk, lalu beranjak ke belakang, mengatakan kepada bibik tentang apa yang diminta ayahnya.

“Baik Mas, bibik sudah siapkan, karena bapak memang belum mau makan, katanya menunggu mas Wijan pulang,” kata bibik.

Wijan tersenyum, lalu masuk ke dalam kamarnya. Ia mengeluarkan ponselnya, mengamatinya sebentar, lalu memasukkan ponsel itu ke dalam tasnya, dan menyimpan bungkusnya ke dalam almari.

Ketika keluar setelah selesai bersih-bersih badan dan berganti pakaian, ia belum juga melihat Nilam. Ia masuk ke ruang makan, dan melihat ayahnya sudah duduk di sana.

“Ayo makan, bapak menunggu kamu. Mana Nilam?”

Wijan membalikkan tubuhnya, kemudian memasuki kamar Nilam yang tidak terkunci. Dilihatnya Nilam sedang duduk di atas sofa, menaikkan kedua kakinya ke atas dan memeluk lututnya.

“Hei, ayo makan. Bapak menunggu kamu. Bukankah kamu lapar?”

“Mengapa mas Wijan melarang aku mengatakannya pada bapak?”

“Mengapa kamu harus mengatakannya? Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin ibu sedang ada keperluan yang kita tidak tahu. Apa jadinya kalau tiba-tiba bapak marah sedangkan ternyata ibu tidak bersalah? Runyam kan? Jadi rame, jadi ada ribut-ribut dan pertengkaran.

“Aku tidak suka melihat itu.”

“Jangan bandel, ayo makan dan dilarang melakukan apa yang mas Wijan larang,” kata Wijan sambil menarik tangan adik tirinya.

Ketika menuju ke ruang makan dan melewati kamar Wijan, didengarnya suara dering ponsel. Dari arah kamar Wijan. Wijan tertegun, kok sudah ada yang menghubunginya?”

***

Besok lagi ya.

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

أحدث أقدم