BUNGA UNTUK IBUKU 05

 BUNGA UNTUK IBUKU  05

(Tien Kumalasari)

 

Pak Raharjo menatap bawahannya, yang sedang mengamati mobil berwarna hijau lumut itu, dan rasa curiga mulai merayapinya.

“Ini bagus Pak, warnanya menumbuhkan rasa teduh.”

“Ini warna kesukaan istriku? Dari mana kamu tahu bahwa istriku menyukai warna seperti ini?”

“Lho, Pak … Bapak harus tahu bahwa wanita suka warna yang adem-adem seperti ini. Bener lho Pak.”

“Dari mana kamu tahu?”

“Soalnya istri saya juga suka warna hijau lumut. Jadi saya kira istri Bapak pun pasti juga suka. Sama-sama wanita, masa berbeda Pak,” jawab Baskoro yang sebenarnya bingung untuk menjawabnya, karena tadi ia terpeleset mengatakan warna yang disukai bu Rusmi.

“O, jadi karena istri kamu suka warna hijau lumut, lalu istriku juga pasti suka warna itu, begitu kah?”

“Memangnya tidak, Pak?” Baskoro pura-pura bodoh.

Diam-diam pak Raharjo merasa lega, karena ternyata dugaannya salah. Dia mengira Baskoro lebih mengenal istrinya, tidak hanya sekedar istri atasannya, tapi lebih dekat lagi.

“Namanya manusia itu, walau sama-sama perempuan, pasti kesukaan warnanya juga berbeda. Masak semua perempuan suka warna hijau lumut?”

“Enggak ya Pak?” Baskoro malah kelihatan cengengesan.

“Ya enggak. Ngawur, kamu itu.”

“Tapi ini warnanya bagus lho Pak. Hijau lumut.”

“Itu karena kamu membayangkan warna kesukaan istri kamu.”

Baskoro tertawa keras. Tapi sesungguhnya ia sudah tahu warna yang diinginkan bu Rusmi, yang sudah beberapa hari ini dekat dengan dirinya. Baskoro teringat, ketika dia sedang keluar makan, lalu melihat bu Rusmi juga sedang makan bersama teman-temannya. Baskoro menyapanya dengan ramah, sambil mengagumi kecantikan istri bos yang tidak kelihatan tua karena tampaknya wajah dan tubuhnya dirawat dengan sangat baik.

“Selamat siang Bu.”

“Eh, ini kan Baskoro? Kamu lagi makan juga?”

“Sudah selesai Bu.”

Bu Rusmi menatap Baskoro tak berkedip. Bawahan suaminya yang bernama Baskoro itu tampak sangat gagah, dengan berewok tipis di wajahnya, dengan mata tajamnya, dan tubuh gempalnya yang menurutnya sangat menawan. Diam-diam bu Rusmi membayangkan suaminya sendiri, yang sudah setengah tua, dan terlalu sibuk bekerja, sehingga terkadang membuatnya kesal karena setiap kali ia menemaninya tidur, sang suami lebih suka tidur terlebih dulu, dan susah dibangunkan. Alangkah menyenangkan punya suami seperti Baskoro.

“Bu, saya pamit dulu, mau balik ke kantor.”

“Oh ya, sebentar, aku juga mau pulang. Bareng saja yuk,” kata bu Rusmi sambil pamit kepada teman-temannya, dan langsung mengajak Baskoro keluar bersama-sama dari rumah makan itu.

“Tapi …  ini, Bu … saya hanya naik sepeda motor.”

“Kamu tidak punya mobil?”

“Ya ampun Bu, saya kan hanya bawahan pak Raharjo, mana bisa punya mobil?”

“Nggak apa-apa deh, sekali-sekali bonceng sepeda motor.”

“Bener, Bu? Ibu mau membonceng sepeda motor saya?”

“Iya, gimana sih kamu? Mana sepeda motornya?”

“Itu, akan saya ambil dulu, ibu menunggu di sini ya?”

Dan sejak hari itu, mereka sering bepergian berdua. Ketemuan saat makan siang, dan bahkan bepergian seharian saat pak Raharjo sedang ke luar kota.

“Hijau lumut?”

Baskoro terkejut, itu suara pak Raharjo yang sedang bertelpon dengan istrinya. Rupanya pak Raharjo bertanya kepada sang istri, tentang pilihan warna mobil. Dan kebetulan mobil dengan merk yang dipilihnya, adanya hanya warna abu-abu silver dan hijau lumut.

“Nggak usah, ngapain ke sini? Aku sudah mau balik ke kantor,” kata pak Raharjo sambil menutup ponselnya.

“Ya sudah, bilang pada petugasnya, aku pilih yang hijau lumut," katanya kemudian kepada Baskoro.

Baskoro hampir bersorak girang, karena ternyata pak Raharjo menuruti keinginan istrinya dengan memilih warna hijau lumut.

Hari itu juga transaksi pembelian mobil sudah selesai. Mobil itu atas nama Raharjo, bukan istrinya. Baskoro agak kecewa, tapi lumayanlah. Dengan demikian dia bisa naik mobil setiap kali berkencan dengan ibu bosnya.

***

Hari itu Nilam juga tidak mau dijemput kakaknya. Begitu keluar dari kelas, dia langsung pulang berjalan kaki bersama teman-temannya yang rumahnya dekat, sehingga tidak usah menunggu jemputan.

Nilam berharap bisa bertemu Wijan, karena pagi tadi ketika membonceng, dia sudah berpesan kalau pulangnya juga mau bersama Wijan.

Dan benar saja, begitu sampai di sekolah Wijan yang memang tak jauh dari sekolahnya sendiri, dia melihat Wijan menuntun sepedanya keluar dari halaman.

“Mas Wijan!” teriak Nilam girang.

“Beneran, kamu mau membonceng sepeda lagi?”

“Iya. Kan tadi aku sudah bilang?”

“Apa mbak Hasti tidak menjemput?”

“Nggak tahu, aku lagi kesel sama dia. Kalaupun dijemput aku nggak mau ikut,” sungutnya.

“Eh, nggak baik marahan sama saudara sendiri.”

“Biar saja. Aku nggak suka mbak Hasti. Dia jahat sama mas Wijan.”

“Kata siapa mbak Hasti jahat sama aku? Nggak kok,” Wijan yang baik selalu berusaha menutupi keburukan orang lain, apalagi dia adalah kakak tirinya.

“Iih, Mas Wijan nih, dijahatin kok nggak ngerasa. Ayo kita pulang,” kata Nilam yang langsung bersiap naik ke boncengan.

“Baiklah, pegangan ya, yang kenceng.”

“Jangan ngebut.”

Wijan terkekeh. Adik tirinya ini sangat menggemaskan. Tapi Wijan senang, karena Nilam selalu menyayanginya. Berbeda dengan kakaknya yang sangat membencinya. Wijan sendiri tak tahu, kenapa Hasti, apalagi ibunya, sangat membencinya.  Padahal dia selalu bersikap baik pada mereka.

“Mas, kamu lapar nggak?” tiba-tiba Nilam bertanya, saat Wijan sedang mengayuh sepedanya pelan.

“Nggak tuh. Apa kamu lapar?”

“Lapar.”

“Kamu tadi dibawain bekal kan?”

“Aku lupa memakannya.”

“Ya sudah, kita berhenti dulu, kamu makan bekalmu ya, kita cari tempat  yang teduh.”

“Nggak asyik, ayo makan di warung.”

“Apa? Kita sebentar lagi sampai rumah, kenapa makan di warung?”

“Aku pengin ….”

“Nggak mau, nanti ibu marah kalau kita pulang terlambat.”

“Sebentar saja. Di depan situ kan ada warung soto.”

“Kenapa beli soto? Bibik sudah sering masak soto.”

“Di situ ada es cincau, enak deh. Aku pengin cincaunya.”

“Kalau begitu beli es cincau saja, kita minum di rumah.”

“Nggak mau nanti ibu marah. Minum di situ saja.”

“Hanya minum ya, habis itu pulang.”

Karena terus merengek, Wijan menghentikan sepedanya di depan warung itu. Nilam segera berlari masuk, dan langsung memesan dua gelas es cincau. Wijan hanya geleng-geleng kepala.

“Minum cepat, dan segera pulang,” kata Wijan sambil mengeluarkan dompet kecil dari dalam sakunya.

“Eh, biar aku yang bayar. Aku juga punya uang kok.”

“Biar aku saja, sudah, jangan cerewet,” kesal Wijan.

“Cepat minumnya,” Wijan mengingatkannya lagi.

“Tersedak dong. Kan makan sama minum itu tidak boleh tergesa-gesa,” jawab Nilam enteng. Tapi bagi Wijan, apa yang mereka lakukan itu akan mengundang kemarahan ibu tirinya. Pulang terlambat, bonceng sepeda pula.

“Jangan marah dong Mas, sedang aku habiskan nih.”

“Nggak, siapa yang marah.”

“Itu, Mas Wijan cemberut.”

“Mas Wijan hanya takut kalau ibu marah.”

“Ibu nggak akan tahu. Bukankah setiap hari ibu bepergian? Pulangnya sore?”

Wijan segera teringat laki-laki brewok yang memasuki rumah makan bersama ibu tirinya. Agak risih membayangkan bagaimana sang ibu tiri bergelayut di lengan laki-laki itu.

“Mas, aku sudah selesai. Mas malah belum,” seru Nilam membuyarkan lamunannya.

Wijan terkejut, ia melamun terlalu lama. Segera diteguknya es di gelasnya, sampai habis, karena sesungguhnya dia juga haus.

Wijan membayar dua gelas es yang mereka minum, kemudian kembali mengayuh sepedanya, pulang.

“Mas punya uang banyak?” tanya Nilam dalam perjalanan pulang.

“Tidak banyak, ini uang dari bapak setiap hari. Mas nggak pernah jajan.”

“Oh, kalau begitu Nilam juga akan menabung uang jajan yang diberikan ibu. Biasanya, di sekolah Nilam juga beli es sirup, atau es krim di warung sebelah sekolah.

“Jangan suka jajan es sembarangan. Terkadang gulanya bukan gula asli. Itu menyebabkan batuk.”

 “Masa?”

“Kalau dikasih tahu orang tua tuh harus menurut. Karena orang tua kalau memberi tahu, pasti ada alasannya. Jangan begini, nanti apa … jangan begitu … nanti apa … dan seterusnya.”

Nilam terkekeh geli.

“Dikasih tahu kok malah tertawa sih?”

“Mas tahu nggak, kalau Mas ngomong begitu, Mas tuh benar-benar seperti orang tua deh.”

“Memang sih, Mas ini sudah tua. Kamu pikir masih anak-anak seperti kamu?”

“Tuh kan, pasti ngatain Nilam kayak anak kecil. Nilam kan sudah hampir lulus, lalu SMA, sama dengan Mas dong.”

“Kalau kamu SMA, mas juga sudah hampir lulus. Kecuali kalau Mas tinggal kelas. Tapi jangan ah. Masa tinggal kelas, menua di sekolah dong.”

Mengayuh sambil omong-omong, Wijan merasa bahwa inilah hidup yang menyenangkan. Bisa bicara bebas, tertawa bebas, menghirup udara bebas, bersama adik yang menyayanginya pula. Tapi mata Wijan menjadi redup seketika, ketika sepeda yang dikayuhnya sudah memasuki halaman. Apalagi ketika ia melihat mobil Hasti sudah diparkir di halaman.

Dan benar saja, suasana gelap segera menerpa, ketika sebuah semprotan tajam mengguyurnya sampai kuyup.

“Apa maksudmu menjemput Nilam ke sekolah? Apa kamu bangga sudah memiliki sepeda butut yang menjijikkan itu?” Hasti menatap keduanya dengan tatapan mata bengis seperti iblis. Nilam maju ke depan, menatap kakaknya dengan berani.

“Heh, orang jahat. Bukan mas Wijan yang menjemput aku, tapi aku yang menjemput ke sekolahnya.”

“Apa maksudmu menjemput dia? Kamu datang ke sekolah Wijan, gitu?”

“Ya, dan jangan menyalahkan mas Wijan karena dia memang tidak bersalah.”

“Anak kecil kurangajar kamu ya. Kamu sudah mulai berani pada kakak kamu sendiri? Siapa yang mengajari? Dia?”

“Menentang orang jahat tidak perlu belajar.”

“Hei, kamu membuat aku kecewa karena setelah menjemput ternyata kamu tidak ada lagi di sana! Itu sebabnya aku marah.”

“Mulai sekarang jangan mengantar dan jangan menjemput aku lagi. Aku nggak mau,” sentaknya sambil berlalu ke belakang.

Wijan menuntun sepedanya, ketika melewati Hasti, dia meminta maaf.

“Maaf, Mbak. Saya salah karena menuruti kemauan Nilam.”

“Huhh!”

Bukannya menjawab, Hasti malah membalikkan tubuhnya dan masuk ke dalam rumah. Kesal hatinya karena adik satu-satunya berani menentangnya.

Wijan mengangkat bahu, lalu melanjutkan menuntun sepedanya ke garasi belakang. Beruntung bu Rusmi tak ada di rumah, karena kalau ada, pasti keributan akan semakin membahana.

***

Rusmi sedang memasuki dealer mobil, dimana sang suami mengatakan bahwa sudah melakukan transaksi pembelian satu unit mobil. Rupanya Rusmi tak tahan lagi untuk bersabar menunggu di rumah, ingin segera bisa melihat mobil yang dibeli untuk dirinya.

Begitu memasuki ruangan dealer, seorang pramuniaga langsung menyambutnya dengan ramah.

“Ibu, selamat datang.”

“Saya ibu Raharjo. Benarkah suami saya tadi membeli mobil di tempat ini?”

“Oh, pak Raharjo. Benar Ibu, tapi  mobilnya baru dipersiapkan, bersama surat-suratnya. Barangkali besok baru bisa saya kirim ke rumah. Pak Raharjo sudah setuju.”

“Mengapa besok, dan tidak sekarang saja?”

“Tidak bisa Bu, harus menunggu surat-suratnya juga.”

“Hm. Mana mobilnya sih?”

Pramuniaga segera menunjukkan mobil yang dipilih pak Raharjo. Bu Rusmi mendekatinya dengan senyuman lebar. Memang bukan mobil mewah yang sangat mahal, tapi lumayan bagus. Mungil tapi manis. Cukup menyenangkan kalau dipergunakan untuk jalan-jalan. Bersama … Baskoro tentunya. Senyuman bu Rusmi melebar. Kedekatannya dengan Baskoro membuat hidupnya lebih penuh warna. Gaya seorang ibu kalau berada di rumah, berubah menjadi gaya gadis belasan tahun kalau sedang bersama Baskoro. Baskoro bukan laki-laki kaya, tapi dia sangat menyenangkan. Bukan hanya fisiknya, tapi permainannya dikala bercinta, tak ada yang mengalahkannya. Rusmi sadar dia salah, tapi bukankah dosa itu nikmat?

Ketika Rusmi beranjak pulang dengan mencoba bersabar sampai keesokan harinya, di tengah pintu dia bertemu Baskoro. Ia baru saja turun dari mobil. Mobil suaminya. Rusmi sudah berdebar dan ketakutan, kalau sampai suaminya masih menunggu di dalam mobil.

Senyumnya merekah.

“Ibu mencari siapa?” tanya Baskoro sambil memegang tangannya.

Rusmi gemetar. Baru tangannya dipegang, dia sudah merasa gemetar. Aliran darahnya bergerak bagai kilat, ketika Baskoro semakin meremasnya. Pandangannya itu lhoh. Rusmi benar-benar jatuh hati.

“Aku kira sama bapak.”

“Ada, bapak di dalam mobil.”

Rusmi segera melepaskan genggaman Baskoro, dan wajahnya berubah pucat. Sementara Baskoro tertawa terbahak melihat nyonya cantik yang membuatnya terlena itu panik dan ketakutan. Mana mungkin sih, kalau ada pak bos dia berani pegang-pegang tangan istrinya?

***

Besok lagi ya.

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

أحدث أقدم