BERSAMA HUJAN 42

 BERSAMA HUJAN  42

(Tien Kumalasari)

 

Romi melangkah ke arah parkiran, dan baru beberapa langkah, tiba-tiba hujan turun bagai tercurah dari langit. Romi membalikkan tubuhnya, kembali ke lobi. Ia ingat jacketnya tertinggal di ruangan rawat inap Kinanti. Walau baru beberapa saat hujan mengguyurnya, tapi bajunya lumayan basah. Ia bergegas untuk segera mengambil jacketnya.

Ketika masuk, dilihatnya bayi kecilnya sudah tak ada lagi di ruangan itu. Pastinya perawat sudah mengembalikannya ke kamar bayi. Tapi ia melihat Kinanti sedang berdiri dan memegangi jacket itu.

“Jacketku ketinggalan,” ujarnya sambil mendekat.

Kinanti mengulurkan jacket yang dibawanya, lalu menatap Romi yang bajunya basah kuyup.

“Bajumu basah,” ucapan itu meluncur begitu saja dari mulut Kinanti, tapi membuat Romi berdebar. Bukankah hal itu menunjukkan bahwa Kinanti memperhatikannya?

Rupanya setelah perawat membawa bayinya keluar dari ruangan, Kinanti yang sedang membenahi barang-barangnya karena esok hari sudah boleh pulang, melihat jacket Romi. Dengan tersipu ia mencium jacket itu, lalu sebuah wangi yang dikenalnya, menyerbu penciumannya. Ada sebuah kenangan pada aroma jacket itu. Ia terus memeganginya sampai Romi masuk ke dalam ruangannya.

Kinanti bersyukur, Romi datang bukan pada saat ia sedang mencium jacket itu.

“Aku pergi dulu,” kata Romi yang tidak tahu harus mengatakan apa.

“Diluar masih hujan.”

Romi tertegun. Apakah Kinanti ingin menahan aku agar jangan pulang dulu? Tapi ketika ia menatap Kinanti, wanita itu sedang mengalihkan pandangannya ke arah lain.

“Sudah kepalang basah. Besok aku akan menjemputmu,” katanya sambil berlalu.

Ketika pintu itu kembali tertutup, Kinanti merasa lagi seperti sedang kehilangan. Semuanya kosong, dan senyap, kecuali suara hujan yang semakin deras terdengar dari luar jendela. Diam-diam Kinanti memikirkannya. Mengapa hujan begini dia nekat pergi? Lalu Kinanti memarahi dirinya sendiri.

“Mengapa aku begitu lemah? Harusnya aku tidak memikirkannya. Biarkan kehujanan, biarkan basah, memangnya dia siapa?” gumamnya perlahan, sambil memasukkan baju-baju dan perkakas yang dibawanya. Ia hanya sendiri, tak ada keluarga yang menemani. Dia sudah terbuang, dan semua gara-gara Romi. Sakit hati kembali menggigitnya. Tapi geledeg yang menyambar, membuatnya teringat Romi yang nekat pulang disaat hujan. Huh, memangnya peduli apa aku? Kata batinnya, tapi kata batin itu bertentangan dengan perasaan yang sebenarnya ada di dalam hatinya.

Hari sudah sore ketika Andin muncul di hadapannya. Wajah Kinanti berseri.

“Andin? Hujan-hujan begini kamu nekat datang?”

“Hujannya sudah berhenti. Maaf baru menengok Mbak, masih sibuk membantu di pernikahan Aisah.“

“Tidak apa-apa, aku mengerti."

“Kok sudah menata tas-tas di situ?”

“Besok aku sudah boleh pulang.”

"Syukurlah.”

Andin menatap ke sekeliling kamar. Ia sudah mendengar dari dokter Faris, bahwa Romi yang mengatur semuanya. Kamar dan segala keperluannya, bahkan beaya saat melahirkan. Andin ikut bersyukur, karena tampaknya Romi sudah benar-benar ingin menebus kesalahannya.

“Romi memesankan kamar ini untuk aku,” katanya datar, tak menampakkan wajah senang sedikitpun.

“Aku sudah mendengar dari dokter Faris tentang dia. Aku harap, Mbak memaafkannya, dan mau menerimanya.”

Kinanti menghela napas berat.

“Entahlah, bagaimanapun aku tak pernah mengharapkannya.”

“Eh, mana keponakanku?” tiba-tiba Andin sadar bahwa ia belum melihat bayi Kinanti.

“Tadi, sudah dibawa ke ruang bayi. Belum lama dia minum ASI di sini.”

“Ah, aku terlambat. Tapi nanti aku harus melihatnya.”

Kinanti mengangguk.

“Mbak sehat kan?”

“Aku dan bayiku, sehat. Dia banyak minum.”

“Baguslah, pasti dia akan tumbuh sehat.”

Ketika Andin melihat-lihat bayi Kinanti dengan perasaan senang, tiba-tiba dokter Faris mendekatinya.

“Pengin ya? Kalau begitu ayolah,” goda dokter Faris.

Andin tersipu.

“Bayinya cakep sekali.”

“Dia mirip ayahnya.”

Andin tak menanggapi, tapi ia merasa tak bosan menatap bayi mungil yang terlelap dibalik kaca jendela.

***

Kinanti terkejut ketika bagian administrasi menolak menerima uangnya.

“Semuanya sudah dibayar lunas, Bu.”

“Oh.”

“Pak Romi juga sudah minta agar kami mengurus akte kelahirannya. Begitu sudah jadi kami akan mengirimkannya.”

“Terima kasih.”

Kinanti membalikkan tubuhnya, tak ingin menunjukkan rasa gusarnya ketika mengetahui apa yang dilakukan Romi. Ia kembali ke kamar, dan dengan terkejut ia melihat Romi dan ibunya sudah ada di sana. Romi sedang menggendong bayinya, yang sudah berganti dengan pakaian yang sangat bagus.

Kinanti menatapnya bingung, tak tahu harus bagaimana.

“Tadi Romi memilihkan baju itu untuk anaknya. Lucu kan?” kata bu Rosi dengan mata berbinar.

“Terima kasih, atas semuanya. Aku akan menggantinya, berapa banyak kamu mengeluarkan uang untuk persalinan ini,” katanya terbata.

“Kami tidak meminjamkannya. Ini kewajiban Romi,” kata bu Rosi lagi, sementara Romi asyik mendekap bayinya.

“Saya mau pulang, sekarang.”

“Kami datang untuk menjemput kamu. Kamu sudah siap?” kata Romi kemudian.

“Aku akan memanggil taksi.”

“Jangan. Ksatria akan merasa nyaman pulang dengan mobil sendiri,” kata Romi enteng.

“Apa? Mobil sendiri? Terlalu pede,” gumam Kinanti pelan, tapi Romi menanggapinya dengan tersenyum.

“Ayo kita pulang,” kata bu Rosi sambil mengambil salah satu tas yang sudah siap di atas meja.

“Jangan Bu, biar saya saja.”

“Biar ibu membantu, ayolah.”

Romi sudah berjalan mendahului, dan tak bisa tidak, Kinanti mengikutinya.

Tatapan para perawat yang mengantarkannya membuat Kinanti tak bisa menolak ketika bu Rosi mengajaknya masuk ke dalam mobil. Sungguh memalukan kalau sampai pertentangan antara dirinya dan Romi dilihat oleh para petugas rumah sakit itu. Lalu Romi menyerahkan bayinya kepada Kinanti, dan dia sendiri duduk di sampingnya. Di depan, ada sopir dan bu Rosi duduk, lalu mobil itu berjalan, keluar dari halaman rumah sakit itu.

***

Hujan deras mengguyur di sepanjang perjalanan. Kinanti mendekap bayinya erat. Bayi yang bernama Ksatria Adhyaputra, yang diberikan Romi, sudah melekat padanya, karena semua surat-surat yang diberikan rumah sakit, nama anak itu adalah Ksatria seperti pemberian Romi. Dan yang membuat Kinanti kesal, disitu tertera nama suaminya adalah Romi Adyaputra. Kinanti bingung, tak tahu bagaimana harus menolaknya.

Tapi Kinanti lebih terkejut lagi ketika mobil yang ditumpanginya berhenti di depan sebuah teras. Bukan rumah kost nya, juga bukan rumah Romi yang pernah didatanginya.

Romi lebih dulu turun, kemudian meminta Kinanti agar ikut turun bersamanya.

“Aku mau pulang,” kata Kinanti sengit.

“Iya, ini rumah kamu,” kata Romi.

“Jangan memaksakan kehendak. Mentang-mentang kamu kaya, lalu kamu mengguyurku dengan semua kemewahan ini? Ruang rumah sakit yang mewah, lalu kata cinta yang kamu semburkan, dan sekarang sebuah rumah? Kamu kira dengan ini semua aku akan menuruti kemauan kamu? Tidak. Antarkan aku ke rumah kost yang semula aku tempati.”

Romi tersentak. Tak mengira hati Kinanti masih sekeras batu.

“Tolong turunlah dulu, ada tamu-tamu untuk kamu,” kata Romi dengan lembut, sambil mengulurkan tangannya.

“Kinantiiii!” sebuah pekikan yang terdengar nyaring, dan sangat dikenalnya. Suara ayah tirinya? Apakah dia bermimpi? Bagaimana ayahnya bisa ada di sini? Ayah yang pernah mengusirnya gara-gara tak ada laki-laki yang mau bertanggung jawab atas kehamilannya. Bagaimana dia bisa ada di sini?

“Mbak Kinanti…”

Kinanti lebih terkejut lagi. Ada Andin, dan ada Aisah dan seorang laki-laki berkumis, juga ada dokter Faris. Ia masih terpaku di tempat duduknya, ketika sebuah tangan tua terulur, menarik tangannya, memintanya untuk turun.

Kinanti turun, dan melihat ayah tirinya menyambut dengan linangan air mata. Sang ayah tiri, memang hanyalah ayah tiri, tapi sejak ibunya meninggal, dia merawat dirinya dengan kasih sayang seorang ayah. Sangat terharu ketika kemudian tangan itu menuntunnya turun.

“Ini adalah cucuku?” katanya dengan mata basah.

"Iya Pak.”

“Maafkan bapak Nak, ketika kamu pergi, bapak mencari kamu ke mana-mana. Bapak sedih dan menyesal ketika menyuruh kamu pergi,” katanya sambil mengusap air matanya.

“Pada suatu hari, Nak Romi datang meminta maaf, dan berjanji akan menikahi kamu. Bapak bahagia, dia laki-laki yang bertanggung jawab."

Kinanti terdiam. Andin sudah lebih dulu meminta Ksatria kecil dari gendongannya, lalu mereka duduk di sofa yang tertata rapi di rumah itu.

“Maafkan Kinanti, Pak. Kinanti takut pulang karena Bapak marah-marah.”

Kinanti heran, semuanya seperti sudah diatur. Dari dalam, seorang wanita gemuk keluar dengan membawa nampan berisi gelas-gelas berisi minuman. setelah itu ia keluar lagi membawa baki berisi cemilan.

“Ksatria kecil masih nyenyak dalam gendongan Andin.

“Nak, tidurkan saja bayinya, ini kamarnya,” kata bu Rosi, lalu Andin membawanya ke sebuah kamar yang lengkap dengan perlengkapan bayi. Ada box kecil yang cantik, ada ranjang yang agak besar, dan beberapa mainan terletak di meja.

Ketika Andin keluar dari kamar itu, Kinanti menatapnya, dan seperti sudah menduga bahwa Kinanti bertanya tentang anaknya, ia menunjuk ke arah sebuah kamar. Kinanti terkejut, melihat kamar bayi yang mewah dan banyak mainan-mainan berharga mahal. Beberapa mobil-mobilan, lengkap di atas meja, padahal Ksatria pastilah belum bisa bermain. Dilihatnya Ksatria terbaring nyaman dan pulas.

“Kinanti, duduklah di sini dulu. Panggil pak Suroto, ayah Kinanti yang tadinya berbincang dengan tamu lainnya dengan hangat.

Kinanti duduk di dekat ayahnya.

“Kinanti, dua hari yang lalu keluarga nak Romi sudah membicarakannya, dan aku sudah setuju. Ini adalah jalan terbaik untuk hidup kamu.”

Kinanti membelalakkan matanya. Apa yang mereka bicarakan?

“Bulan depan penghulu akan datang, untuk menikahkan kalian,” sambungnya.

“Apa?” Kinanti berteriak. Ia menatap sang ayah, dan seperti biasa, tatapan mata ayahnya adalah tatapan yang memaksa, tak boleh dibantah.

“Nak Romi sudah berjanji akan melindungi dan mencintai kamu dan anakmu. Aku merasa lega, karena kalau kamu hidup nyaman dan bahagia, maka amanah yang dipesankan oleh ibumu sudah aku jalankan,” katanya sambil mengusap air mata.

Mendengar kata ‘ibu’, hati Kinanti tersentuh. Air matanya mengalir di sepanjang pipinya. Ini hidup yang tiba-tiba harus dijalaninya, diluar bayangannya, bahwa ia akan pulang ke rumah kostnya yang sempit, merawat bayinya di situ, lalu banyak orang bertanya-tanya, di mana ayah bayi itu, siapa suami Kinanti, dan pasti akan banyak gunjingan yang membuat hatinya resah. Dia belum pernah memikirkan itu. Dan sekarang, ia sedang berada di sebuah rumah, walaupun kecil, tapi indah, lengkap dengan perabotan yang dibutuhkan setiap orang berumah tangga.

“Kinanti, aku berjanji akan selalu mencintai kamu. Aku sudah berubah, ketenangan yang aku dapatkan adalah ketika aku mengenal Tuhan, Allah sesembahanku, dan selalu bersujud kepadaNya, dan menjalankan semua amalan yang mendapat ridhoNya. Marilah bersama-sama membesarkan Ksatria, membangun sebuah keluarga seperti yang diimpikan oleh orang tua kita,” kata Romi lembut.

Kinanti menatap kearahnya dengan mata masih basah dengan air mata, dan menemukan kesungguhan di sana. Lalu air mata itu kembali tumpah, membasahi pipinya.

“Kamu tidak akan menolak permintaan ayahmu, bukan?”

Apa yang harus dikatakannya? Dia adalah ayahnya, walau ayah tiri tapi dia adalah pengganti orang tuanya. Kinanti mengangguk pelan. Aisah yang duduk di dekatnya segera mengusap air mata sahabatnya.

“Berhentilah menangis, sambut hari bahagia kamu,” bisik Aisah.

. Kinanti hanya terdiam. Kalau memang ‘cinta yang sebenarnya cinta’ akan menghiasi hidupnya, itu sudah cukup baginya.

“**

Besok lagi ya.

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

أحدث أقدم