BERSAMA HUJAN 36

 BERSAMA HUJAN  36

(Tien Kumalasari)

 

Gemetar tangan Elisa ketika memegangi ponselnya. Ia tidak tahu itu suara siapa, dan dia tidak ingin tahu. Daripada akan mempersulit hidupnya, lebih baik ia tak mengacuhkannya. Maka segera ponselnya dimatikan.

Tak ada suara panggilan lagi, tapi dalam hati Elisa bertanya-tanya, siapa dia dan dari mana mendapatkan nomor kontaknya. Teman-temannya diluar negri tak ada yang tahu bahwa dia sudah mengganti nomornya, dan tak seorangpun bisa menghubunginya. Darimana orang itu mendapatkannya.

“Mamah?”

Elisa merasa geram, harusnya mamanya tak gegabah dengan memberikan nomor kontaknya kepada siapapun. Elisa membuka kembali ponselnya, sebelum kemudian membuangnya agar orang tadi tak menelponnya lagi.

“Ada apa, Elis?”

“Mama, apakah Mama memberikan nomor kontak Elis kepada orang?”

“Tidak, eh … tapi … tunggu, barusan ada yang menelpon mama, menanyakan nomor kontak kamu, lalu mama berikan karena_”

“Mengapa Mama berikan,” belum selesai sang mama bicara, Elisa sudah memotongnya.

“Tunggu dulu, dia bilang dari kantor asuransi. Kamu mengasuransikan apa? Dia tidak bisa menghubungi kamu karena kamu tidak memberikan nomor kontak kamu, katanya. Makanya mama berikan.”

“Omong kosong Ma, dia pembohong. Elisa tidak mengasuransikan apapun. Tidak pernah berhubungan dengan asuransi manapun.”

“Tapi ….”

“Dia hanya ingin minta nomor kontak Elisa. Habis ini nomor Elisa akan Elisa buang, mama catat nanti nomor baru Elisa, tapi jangan pernah mama memberikan nomor baru Elisa kepada siapapun, dan dengan alasan apapun.”

“Baiklah. Tapi siapa orang yang menelpon kamu, dan untuk apa?”

“Dia bilang bayi yang Elisa kandung adalah anaknya.”

“Orang gila dari mana itu?”

“Pasti salah satu dari teman-teman Elisa di sini. Elisa tidak mau berhubungan dengan mereka lagi. Mereka bisa merusak semuanya. Romi akan lebih membenci Elisa dan semuanya akan kacau.”

“Baiklah. Maaf, mama juga tidak berpikir sampai ke situ.”

Elisa segera membuang simcard nya, kemudian dia keluar untuk membeli yang baru. Sebelum sampai di gerbang, ia melihat bibik masuk dengan membawa belanjaan.

“Non mau ke mana? Kok jalan kaki?”

“Cuma mau beli sesuatu.”

“Jalan kaki, Non?”

“Dekat kok,” katanya sambil berlalu.

Elisa berjalan kaki, berharap ada toko yang menjual simcard yang dibutuhkannya. Tanpa disangka, saat itu Aisah lewat saat dia baru bepergian.

“Bukankah itu Elisa, istri Romi? Kenapa ia berjalan kaki? Perutnya sudah kelihatan besar. Sepertinya sebesar perut mbak Kinanti,” kata batin Aisah, sambil mengendarai motornya memasuki halaman rumahnya. Mereka tak saling menyapa walau sempat saling pandang, karena memang tidak saling mengenal. Tapi setelah beberapa langkah kemudian, Elisa sempat menoleh, dan baru tahu kalau gadis yang melewatinya memasuki sebelah rumah mertuanya.

***

Bibik sedang membuat bumbu keremes, setelah mengungkep ayam yang akan digorengnya. Itu adalah kesukaan sang tuan muda ganteng, yang sejak kemarin bersikap sangat manis dan menyenangkan. Bibik bahkan melihat saat pagi buta, sang tuan muda shalat di kamarnya, saat ia akan mengambil gelas kotor yang ada di kamar momongannya. Kembali waktu itu, rasa haru menyesak dadanya, lalu ia mengucap syukur berkali-kali.

Ia sedang mengambil sayur yang tadi dibelinya, ketika ponselnya berdering. Dari tuan muda gantengnya.

“Assalamu’alaikum Bibik,” sapanya manis.

“Wa’alaikumussalam, Tuan Muda ganteng.”

“Kok pakai ganteng sih Bik?”

“Emang Tuan Muda itu kan ganteng. Ada apa? Kalau mencari non Elisa, dia sedang keluar, nggak tahu ke mana, jalan kaki saja.”

“Siapa yang nanyain dia? Aku mau makan di rumah nih Bik, sudah mateng belum?”

“Ya ampun Tuan, ini baru jam sepuluh. Bibik baru mulai memasak.”

“Iya, aku tahu. Maksud aku, agar Bibik bersiap-siap setelah matang, aku akan mengajak mama pulang untuk makan di rumah.”

“Tumben tidak makan di restoran.”

“Bibik gimana sih? Nggak suka ya, kalau aku makan di rumah?”

‘Eh, Tuan … ya suka dong, hanya bilang tumben saja kok tidak boleh.”

“Mulai sekarang, aku hanya mau makan masakan bibik. Tidak di restoran, tidak di warung-warung di luar rumah.”

“Bibik senang mendengarnya. Baik, Tuan, sudah ya, bibik harus melanjutkan masaknya, nanti ketika Tuan pulang, ternyata belum matang, bagaimana?”

“Baiklah, masak yang enak ya Bik.”

“Siap, Tuan Muda.”

“Kok nggak pakai ganteng?”

“Tuan Muda Ganteng,” kata bibik sambil tertawa.

Romi menutup ponselnya setelah tertawa lepas. Bibik sangat senang. Banyak perubahan yang dilihat pada tuan mudanya ini. Lebih manis dalam berkata-kata, lebih bersahabat, lebih menampakkan sikap yang riang dan bersemangat. Bibik kembali mengusap air matanya, lalu melanjutkan acara masaknya dengan lebih bersemangat pula.

***

Bu Rosi yang sudah selesai berbicara dengan bagian keuangan, menoleh ke arah Romi yang sedang membuka-buka file di laptopnya. Banyak yang dia pelajari karena dia baru mulai menjalankan amanah almarhum ayahnya.

“Kamu tadi menelpon siapa? Pakai tertawa-tawa segala? Yang pasti bukan istrimu kan?”

“Wajah Romi langsung gelap.

“Masa Romi menelpon dia sambil tertawa-tawa? Romi tadi menelpon bibik.”

“Ada apa? Pesan masakan?”

“Bukan, pesen supaya bibik menyiapkan makan siang untuk kita.”

“Memangnya nanti kamu ingin makan siang di rumah?”

“Iya Ma, tiba-tiba Romi merasa bahwa masakan bibik lebih enak dari masakan di luar rumah. Mulai sekarang, kalau tidak sangat terpaksa, kita selalu pulang setiap saat makan siang, ya.”

“Baiklah. Bagi ibu tidak masalah. Hanya saja, kalau lagi ada tamu atau ada sesuatu dimana kita tidak bisa meninggalkan kantor, ya tidak bisa pulang untuk makan di rumah.

“Iya, kan Romi bilang kalau tidak terpaksa?”

“Baiklah. Sekarang sudah kamu baca semua file yang tadi ibu tunjukkan?”

“Sudah, tapi ada beberapa yang Romi kurang mengerti. Nanti Romi harus bertanya pada Mama.”

“Baiklah. Mama tanda tangani dulu berkas-berkas yang ada di meja mama, nanti kita bicarakan mana yang kamu tidak mengerti.”

Romi kembali menatap ke arah layar laptop, dan memperhatikan semua yang tadi ditunjukkan oleh sang Mama.

Sejak semalam Romi merasa hatinya sangat nyaman. Ia tidak tahu kenapa, tapi yang jelas dia melakukan apapun dengan perasaan riang, dan sangat bersemangat.

Satu jam berlalu, lalu tiba-tiba Romi berdiri.

“Mau ke mana?”

“Ke mushola dulu Ma, lalu kita pulang untuk makan ya.”

Bu Rosi mengangguk sambil tersenyum. Seperti bibik, rasa haru pun menyesak dadanya. Ia segera menyelesaikan pekerjaannya, kemudian menyusul sang buah hati.

***

“Pak Romi mau ke mana?” beberapa karyawan wanita yang melihat Romi menyapanya dengan manis.

Pagi tadi begitu bu Rosi datang, ia memperkenalkan putranya kepada seluruh staf dan karyawan, bahwa kelak sang putra lah yang akan menggantikannya. Para karyawan, terutama gadis-gadisnya, berdecak kagum melihat calon bos baru mereka yang sangat tampan. Tapi kemudian terdengar bisik-bisik yang sempat didengar pula oleh Romi.

“Jangan main-main, dia sudah punya istri.”

Romi hanya tersenyum menanggapinya.

“Pak Romi mau ke mana?” ada yang mengulang pertanyaan itu, karena Romi belum menjawab.

Romi tersenyum menyambut sapaan itu. Ia baru tahu, kantor sang mama memiliki karyawan yang cantik-cantik. Tapi Romi tidak melupakan pesan ibunya. Tutup Mata. Dan Romipun benar-benar menutup matanya, walau sesaat, baru kemudian menjawabnya.

“Ke mushola,” lalu Romi melanjutkan langkahnya.

“Eh, ya ampun, calon bos kita itu bukan hanya ganteng, tapi juga seorang muslim yang taat.”

“Bukan main. Senangnya punya suami seperti dia.”

“Hei, kalian ngapain? Lagi ngomongin pak Romi ya?”

Mereka terkejut karena ternyata bu Rosi melewati mereka, dan tentu saja mendengar celetukan mereka. Tapi mereka lega, tak tampak ada kemarahan diwajah bos cantik yang selama ini menjadi pemimpin mereka.

“Maaf, Bu Rosi, ngomongin yang baik-baik kok,” jawab mereka bersahutan, membuat bu Rosi tersenyum.

Memang bu Rosi adalah bos yang sabar walaupun tegas dalam menegakkan peraturan, sehingga mereka menghormatinya.

“Ayo, ke mushola, sudah saatnya shalat lhoh,” ajak bu Rosi.

Lalu apa yang terjadi? Mereka berbondong-bondong mengikuti sang bos cantik pergi ke mushola. Entah memang sadar akan kewajibannya, atau karena ingin dekat-dekat dengan calon bos muda yang rupawan itu.

***

 Elisa sudah mempergunakan nomor barunya, dan mengabari sang mama. Ia kemudian beranjak ke ruang makan, karena aroma ayam goreng menusuk hidungnya.

“Yah, bibik sangat pengertian deh, tahu aja kalau aku pulang dari jalan-jalan trus terasa lapar.”

Elisa duduk dan membalikkan piring yang sudah ditata. Sebelum menyendok nasi, dia mencomot sepotong paha, dimakannya sampai habis. Bibik yang masuk ke ruang makan sambil meletakkan dua gelas jus jeruk kesukaan tuan muda gantengnya, terkejut ketika melihat nyonya muda sudah duduk sambil memegangi paha ayam yang hanya tinggal tulangnya.

“Kok non Elisa makan?” tanpa sadar bibik mengucapkan kata teguran, yang sebenarnya tidak dilakukannya, karena Elisa juga menantu keluarga ini. Pertanyaan itu membuat Elisa mengangkat alisnya dan melotot ke arah bibik.

“Bibik kenapa? Apa aneh kalau aku makan? Bukannya Bibik menata ini untuk aku, karena mama dan Romi pergi ke kantor?”

“Iya Non, mm … maaf, tapi … tuan muda dan Nyonya akan pulang untuk makan siang.”

“O, jadi bibik masak begini istimewa, ada ayam goreng kremes dan sayur asem, ada pula mie, dan … mm..banyak sekali Bibik masak, ternyata karena mereka mau pulang makan  siang? Lalu Bibik nggak rela kalau aku ikut makan juga? Apa Bibik lupa kalau aku ini menantu keluarga ini, dan boleh dibilang nyonya di keluarga ini?”

“Mm … maaf Non, maaf sekali. Bibik tadi kelepasan bicara. Tadi bibik kira yang makan adalah tuan muda atau nyonya, ternyata non Elisa, sehingga tanpa sadar saya mengucapkan itu. Maaf Non, silakan makan, ini jus jeruk, akan saya ambilkan lagi,” kata bibik sambil beranjak ke belakang untuk mengambil lagi segelas jus karena dia tidak mengira Elisa akan ikut makan siang, disaat biasanya dia tidur, apalagi ketika tadi juga melihat Elisa pergi.

Elisa melanjutkan makannya, menghabiskan tiga potong ayam goreng sehingga bibik harus menambahinya lagi supaya tampak lebih pantas terhidang.

Sebelum itu Elisa sudah berdiri, kemudian meneguk jus jeruknya sampai habis, kemudian berlalu untuk pergi ke kamarnya.

Bibik agak kesal karena Elisa meletakkan tulang-tulang ayam di meja begitu saja, membuat bibik harus membersihkannya dan merapikannya lagi.

***

Sore hari itu tidak banyak pasien yang datang. Baru setengah tujuh ketika Kinanti dan Andin sudah selesai merapikan berkas-berkas dan kartu yang tadinya berada di atas meja.

Andin menatap perut Kinanti dengan iba. Perut itu sudah kelihatan membesar, dan agak berat kiranya kalau dia harus memanjat-manjat saat harus mengambil kartu pasien yang letaknya ada di atas.

“Mbak Kinan kandungannya sudah berapa bulan sih?”

“Ini sudah menginjak enam bulan, Ndin.”

“Wah, sebentar lagi ada adik bayi dong. Senangnya.”

“Iya Ndin. Sebentar lagi aku sudah harus menyiapkan semua kebutuhan dia,”

“Lebih baik Mbak minta cuti saja pada dokter Faris. Karena sudah banyak yang harus Mbak siapkan menjelang kedatangan si kecil.”

“Masih lama Ndin, sebentar lagi saja. Aku kan butuh uang lebih banyak,” kata Kinanti berterus terang.

“Apa kamu sudah mau minta cuti?” tiba-tiba dokter Faris sudah berdiri di depan pintu.

“Nanti saja Dok, dua bulanan lagi saja.”

“Tapi kalau kamu sudah mulai berat melakukan pekerjaan ini, sebaiknya memang kamu segera cuti saja. Besok kalau anak kamu sudah lahir, bisa bekerja lagi kok.”

Kinanti terkejut. Kalau bayinya lahir, boleh bekerja lagi? Siapa yang akan menunggui bayinya selama dia bekerja? Tapi dia tak berani mengutarakannya, hanya diam sambil menundukkan kepalanya.

“Apa kamu mengkhawatirkan anak kamu kalau kamu tinggalkan untuk bekerja? Kinanti, di sini ada bibik. Kamu boleh membawa anak kamu, biar bibik menjaga bayi kamu selama kamu bekerja.”

Kinanti mengangkat wajahnya.

“Benarkah?” tanyanya tak percaya.

Dokter Faris mengangguk, Andin menepuk tangannya dengan lembut. Kinanti merasa nyaman melihat senyum-senyum mereka.

“Terima kasih banyak.”

“Kalau kamu masih kuat bekerja, tidak apa-apa, tapi segera setelah kamu merasa lelah, kamu harus berhenti. Kasihan anak kamu,” lanjut dokter Faris.

***

Ketika Andin sudah pulang bersama Kinanti seperti biasanya, dokter Faris bersiap menutup pintu ruang prakteknya. Tapi tiba-tiba dilihatnya sebuah mobil memasuki halaman. Dokter Faris berpikir bahwa ada pasien yang terlambat datang. Walau begitu ia berdiri menunggu. Ia sangat terkejut ketika melihat Romi turun dari mobil.

***

Besok lagi ya.

 

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

أحدث أقدم