BERSAMA HUJAN 34

 BERSAMA HUJAN  34

(Tien Kunalasari)

 

 

Pak Harsono menatap nanar siapa yang datang. Sepertinya ia mengenal wajah itu, walau samar. Tapi ia masih ragu memastikannya. Ia berdiri di tangga teras, sampai lelaki itu sampai di depannya.

“Selamat .. pagi.” sapanya pelan. Ada rasa takut menyelimutinya.

“Pagi. Kamu siapa?” tanyanya dingin. Tanpa ia sadari, ia tidak suka melihat kedatangan lelaki itu. Entah karena apa.

“Saya, Romi,” masih lirih suara itu.

“Sudah kuduga."

 Waktu itu sudah diambang malam, Gelap disekelilingnya, sehingga ia tidak bisa begitu jelas melihat wajahnya. Saat dia menghajarnya, ia juga hanya sekilas melihat wajahnya, karena laki-laki itu hanya berguling-guling tanpa mampu sesambat.

“Jadi masih kurang aku menghajar kamu waktu itu, sehingga seberani ini kamu datang kembali kemari?” hardiknya keras.

“Saya belum mendapatkan maaf yang saya harapkan, saya benar-benar menyesal.”

“Jadi kamu masih mau aku hajar lagi seperti dulu?” suara pak Harsono semakin keras.

“Kalau itu adalah ujud pemberian maaf dari keluarga ini, saya akan menerimanya.”

“Kamu benar-benar tidak takut mati?”

“Saya ingin meminta Andin agar menjadi isteri saya,” lirih sekali suara itu, tapi pak Harsono mendengarnya. Matanya semakin berkilat, bagai memancarkan api. Ia turun dari tangga dan dengan sekali pukulan ia menghantam wajah Romi, yang karena tidak siap maka dia terjengkang ke belakang lalu jatuh terduduk.

“Saya bersungguh-sungguh. Saya sudah menyelesaikan kuliah saya, dan akan menebus semua kesalahan saya dengan_”

Sebelum kalimat itu selesai diucapkan, pak Harsono mengayunkan sebelah kakinya untuk menendang kepala Romi. Romi jatuh tertelentang dengan wajah lebam. Tapi sedikitpun ia tidak mengeluh.

Pak Harsono ingin menendangnya lagi, tapi urung ketika sebuah teriakan keluar dari dalam rumah.

“Baapaaaak, hentikan!”

Romi berusaha duduk dan menatap Andin yang datang sambil menarik lengan sang ayah.

“Andin, aku sudah selesai kuliah, aku ingin menikahimu untuk menebus dosaku,” teriaknya tertahan.

“Orang gila! Mana sudi Andin menikah sama laki-laki bejat seperti kamu! Minggat atau aku hajar lagi kamu!!” teriak marah pak Harsono yang kemudian melepaskan cengkeraman Andin di lengannya.

“Jangan Pak.”

“Andiin,” rintih Romi.

Tapi tiba-tiba seseorang muncul dihadapannya. Romi tentu saja mengenalnya. Ia adalah dokter Faris yang pernah menyelamatkan nyawanya.

“Beraninya kamu datang kemari lagi, Romi,” tegur dokter Faris yang berdiri tanpa sedikitpun ingin membangunkan Romi yang masih terduduk dengan wajah babak belur.

“Saya belum puas kalau belum mendapatkan maaf dari keluarga ini. Saya ingin menebusnya dengan menikahi Andin.”

Dokter Faris tersenyum kaku.

“Apa kamu tahu, Andin adalah bakal istri aku?”

Mata bengkak itu terbelalak.

“Kamu sungguh tidak tahu malu mengatakan itu, sementara kamu sudah melukainya, membuatnya menderita.”

“Saya justru ingin menebusnya dengan_”

“Hentikan. Keinginan kamu akan sia-sia. Lebih baik sekarang pulang dan jangan pernah menginjakkan kaki di rumah ini lagi.”

Romi mengusap darah yang meleleh dari kepalanya, lalu mencoba bangkit.

“Aku hanya ingin minta maaf sekarang.”

“Andin sudah memaafkannya.”

“Ayahnya sangat membenciku.”

“Seperti juga Andin, beliau pasti juga akan memaafkannya. Jadi lebih baik sampeyan segera pergi dan jangan membuat huru-hara lagi."

Sementara itu Andin sedang sibuk menenangkan ayahnya yang masih saja panas darahnya menggelegak sampai ke ubun-ubun.

“Dasar orang tidak punya malu. Tidak punya etika. Tidak punya tata susila.”

“Bapak, sudahlah, ini, minum dulu, Andin membuat jus jeruk, tadi dokter Faris yang membeli jeruknya. Pasti segar dan menenangkan.”

“Tidak tahu malu, sudah berbuat jahat, masih ingin memperistri, apa dunia ini milik dia sehingga dia bisa berbuat semaunya?”

“Ayuh, diminum dulu dong Pak,” sekarang Andin menyodorkan gelas dan sedotan ke depan ayahnya, sehingga mau tak mau ia menyedotnya.

“Wah, enak sekali jus jeruknya,” tiba-tiba dokter Faris masuk ke dalam.”

“Ini, buat dokter,” kata Andin sambil menyodorkan segelas lainnya kepada dokter Faris.

“Kemana orang itu sekarang?”

“Sudah pergi, Pak, dijamin tidak akan kembali lagi ke sini,” kata dokter Faris sambil meneguk jus jeruknya, segelas dihabiskannya.

Pak Harsono sudah merasa lebih tenang. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, setelah menghabiskan juga jus jeruknya.

Andin beranjak ke belakang, karena bau ayam ungkep menusuk hidungnya, mengingatkan dirinya bahwa ia belum selesai memasak. Dokter Faris mengikutinya, karena sejak awal dia bertekat untuk membantunya.

Melihat hal itu, pak Harsono menerbitkan senyuman, yang menandakan bahwa dirinya sudah bisa mengendapkan segala rasa yang tadi menyulut amarahnya.

***

Bu Rosi sedang duduk di ruang tengah, ketika melihat Romi datang, langsung naik ke lantai atas menuju kamarnya. Tapi ada yang membuatnya terkejut, ketika melihat wajah Romi matang biru, dan ada darah mengering di dahinya. Bu Rosi mengejarnya naik, lalu masuk begitu saja ke dalam kamar anaknya, yang belum sempat dikunci.

“Romi, apa yang terjadi?”

“Tidak apa-apa Ma.”

“Tidak apa-apa bagaimana? Wajahmu matang biru seperti itu? Berdarah pula ini?” katanya sambil menyibakkan rambut anaknya.

“Romi hanya terjatuh.”

“Tidak, jangan membohongi Mama, kamu berantem? Apa ini ada hubungannya waktu kamu terluka dan dibawa ke rumah sakit?”

“Tidak ada.”

“Elisaaa!” bu Rosi berteriak, membuat Romi kesal.

“Mengapa Mama memanggil dia?”

“Biar dia merawat luka kamu, dia kan istrimu?”

“Tidak. Romi tidak mau.”

Romi segera beranjak ke kamar mandi dengan cepat, lalu menutupkannya dengan keras dan menguncinya.

“Mama memanggil Elisa?” tiba-tiba Elisa muncul.

“Ambil obat luka, dan handuk kecil untuk mengompres wajahnya.”

“Memangnya siapa yang luka Ma?”

“Tentu saja suami kamu. Katanya jatuh, tapi mama tidak percaya. Pasti dia berantem. Cepat ambilkan, dan mangkuk yang agak besar isi dengan air hangat,” perintah sang ibu mertua.

Elisa kembali keluar, lalu turun. Ketika kembali naik ke atas, ia sudah membawa obat dan mangkuk berisi air hangat seperti yang diminta ibu mertuanya.

“Letakkan di meja itu saja.”

“Mana Romi?”

“Masih di kamar mandi, duduklah dulu.”

Elisa duduk di sofa, dekat ibu mertuanya. Sebenarnya ia penasaran, apa yang sebenarnya terjadi pada suaminya. Beberapa minggu yang lalu dia terluka, bahkan sampai dirawat di rumah sakit, sekarang terjadi lagi? Apakah ini ada hubungannya dengan peristiwa yang telah lalu? Elisa diam menunggu, membiarkan wajah ibu mertuanya gelap seperti tersapu mendung.

“Lama sekali Romi, sih,” kata bu Rosi sambil beranjak ke kamar mandi, lalu mengetuk pintunya keras.

“Romi … Romi …!

“Ada apa sih Ma, Romi lagi mandi nih,” teriak Romi dari dalam.

“Kenapa lama sekali? Ditungguin Elisa nih mau ngobatin luka kamu. Cepat keluar.”

“Siapa suruh dia mengobati luka? Romi tidak mau Suruh dia pergi.”

“Romi, jangan keterlaluan. Cepatlah.”

“Romi masih akan lama, suruh dia pergi, Romi bisa melakukannya sendiri.”

Bu Rosi menarik napas kesal, lalu kembali mendekati Elisa yang menunggu dengan wajah kusut. Ia sudah tahu, Romi tak akan mau dibantu olehnya.

“Ayo kita keluar saja.”

“Sudah Elisa duga, Romi tak akan mau dibantu,” gerutu Elisa sambil berdiri.

Keduanya keluar, lalu turun ke ruang tengah,.

“Sebenarnya apa yang terjadi dengan anak itu. Mama yakin dia berantem. Tapi dengan siapa?”

Bu Rosi hanya duduk termangu, dan Elisa menemaninya tanpa mengucapkan apapun.

***

 Setelah tak ada suara apapun dari ibunya, Romi keluar dari kamar mandi. Darah yang mengering sudah bersih, tapi lebam di pelipisnya masih kelihatan. Ketika ia selesai berganti pakaian, ia melirik ke atas meja, dan melihat barang-barang yang tadi disiapkan Elisa. Romi merasa geram. Elisa benar-benar nekat dalam kepalsuannya. Entah apa yang akan dilakukannya nanti setelah ketahuan bahwa bayi yang dikandung bukan darah dagingnya.

Ia duduk di sofa itu tanpa mengacuhkan apapun. PIkirannya tertuju pada kejadian yang baru saja dialaminya. Ia benar-benar merasa gila karena tiba-tiba merasa bahwa ketenangan jiwanya adalah apabila Andin mau menjadi istrinya. Ia merasa sakit ketika mengetahui bahwa dokter Faris adalah calon suami Andin.

Sekarang yang membebaninya adalah Kinanti. Sudah lama dia bertanya-tanya tentang Kinanti, tapi tak seorangpun memberitahunya. Padahal ia tahu bahwa Kinanti sedang mengandung anaknya. Apakah Kinanti benar-benar menggugurkannya seperti sarannya waktu itu? Tapi Kinanti sepertinya menolak dengan marah. Ia bahkan tak mau menerima uang yang diberikannya.

Romi merebahkan tubuhnya di sofa, bingung apa yang harus dilakukannya. Kalau ia tak bisa menemukan Kinanti juga, dosa-dosa  itu akan terus menggayutinya. Romi hampir merasa putus asa. Beban yang disandangnya serasa tak tertanggungkan. Bukan beban sembarang beban, tapi beban dosa. Dengan apa ia bisa menebusnya?

Hari sudah malam ketika bibik mengambil semua barang-barang yang tadi disiapkan Elisa untuk membersihkan luka Romi. Bibik melirik ke arah wajah majikan mudanya, dan merasa iba. Ia mendekat, menyentuhnya pelan.

“Tuan muda, apakah Tuan tidak ingin makan?”

Romi membuka matanya, menatap wajah teduh yang sejak ia kecil menjadi pengasuhnya. Ia bangkit dan duduk termangu.

“Tuan muda makan ya. Nyonya dan non Elisa sudah makan. Tadi nyonya membangunkan Tuan Muda, tapi tidak mau bangun.”

Bibik bersimpuh di lantai. Ia menatap kesedihan di mata momongannya.

“Makan ya, bibik siapkan di ruang makan, atau di sini saja?”

Suara lembut itu membuat hatinya luluh. Suara yang terdengar manis karena tak banyak menuntut. Tiba-tiba Romi turun dan memeluk bibik erat sekali. Rasanya sangat nyaman ketika berada dalam dekapan seseorang yang sudah jelas sangat menyayanginya. Bibik mengelus punggungnya lembut.

“Aku sedih Bik. Rasanya tak kuat menanggung beban ini.”

“Tuan sedang terbebani oleh apa? Bibik dengar Tuan sudah lulus, dan tidak lama lagi akan menggantikan Nyonya memimpin perusahaan peninggalan tuan besar. Apakah itu membebani Tuan?”

Romi melepaskan pelukannya, duduk didepan bibik, bersandar pada sofa yang semula ia tidur di atasnya.

“Duduklah di atas, tuan,” pinta bibik.

“Bukan itu yang membebani perasaanku, Bik. Aku terlalu banyak dosa. Dosa itu tak tertanggungkan olehku. Aku tak kuat menanggungnya, Bik,” pelan Romi mengatakannya. Bibik trenyuh mendengarnya. Tuan muda yang sejak kecil adalah anak yang lucu dan periang, tapi setelah dewasa menjadi laki-laki tampan yang sangat menawan, manja kepada orang tuanya, dan berteriak marah kalau keinginannya tak terpenuhi. Laki-laki yang semula terlihat garang, kali ini terduduk lesu di hadapannya. Bibik merasa tak akan mampu menyibakkan duka itu. Ada apa gerangan sang tuan muda ini, pikir bibik sambil meraih tangan Romi dan menepuknya lembut.

“Apakah Tuan Muda tahu, bahwa ada Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Murah dan Pengampun? Kalau Tuan Muda merasa berdosa, mohon ampunlah kepada Nya. Hanya kepada Nya, Tuan,” kata bibik tanpa menanyakan dosa apakah gerangan yang telah diperbuatnya.

Romi diam membisu.

“Selama ini bibik tidak pernah melihat Tuan Muda bersujud kepadaNya, padahal saat bersujud itu, kita akan merasa dekat denganNya, dan dengan demikian jiwa kita akan terasa tenang. Mohonlah ampun setelah bersujud, maka Tuan akan merasakan sesuatu yang nyaman dalam hati Tuan.”

Bersujud? Baru kali ini Romi ingat bahwa dia punya kewajiban untuk bersujud, dan tidak pernah dilakukannya. Lama sekali ia tidak pernah melakukannya, seperti pernah diajarkan oleh almarhum ayahnya, dan gurunya di sekolah.

Bibik berdiri, membuka almari Romi dan di rak paling bawah, dibawah tumpukan handuk, ada selembar sajadah terlipat rapi. Sangat rapi karena tidak pernah dibukanya. Bibik memberikannya kepada Romi.

“Berwudhu, dan bersujudlah, Tuan,” bibik menggelar sajadah itu ke arah kiblat, lalu menarik tangan momongannya, dituntunnya ke kamar mandi.

Bibik menutupnya, menunggunya di pintu.

Bibik tersenyum melihat Romi keluar dari kamar mandi, dengan wajah basah, lalu melangkah ke arah sajadah. Bibik menungguinya tak jauh dari sana, melihat momongannya shalat, lalu berlinanglah air matanya. Air mata bibik semakin deras mengalir, ketika mendengar Romi menangis terguguk saat bersujud.

“Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, Sesembahanku,” bibik tak tahan lagi, ia bangkit kemudian keluar dari kamar sambil mengusap air matanya.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

أحدث أقدم