BERSAMA HUJAN 26
(Tien Kumalasari)
Luki melangkah menjauh dari tempatnya berdiri, kemudian keluar dari ruangan. Ada hal yang tak ingin disampaikannya kepada pak Harsono, seperti pesan ayahnya, dan iapun tak ingin ayahnya berbicara dengannya.
“Luki, kamu masih di situ?” kata sang ayah.
“Ya, Pak. Ini sedang menjauh dari om Harsono, karena Luki tak mau mengganggu tidurnya.”
“Tidur? Tadi kamu tidak bilang tidur. Sebenarnya aku ingin bicara.”
“Sekarang ini beliau sedang bisa tidur, dan siapapun tak berani mengganggunya.”
“Apa sebaiknya besok aku datang menemuinya?”
“Tidak usah Pak, bukankah Bapak harus mengurusi usaha yang ada di sini, sementara Luki pergi?”
“Sebenarnya aku ingin melihat keadaannya. Prihatin sekali mendengar dia sakit. Dia sudah seperti saudara bagi bapakmu ini.”
“Iya, Luki mengerti.”
“Ya sudah, jangan lupa bicara sama Andin mengenai kelanjutan hubungan kalian.”
“Kami sudah bicara, tapi tampaknya Andin belum ingin bicara tentang perjodohan. Pendidikannya lebih penting, katanya.”
“Kamu kan bisa bilang, setelah menikah dia boleh melanjutkan kuliahnya kok.”
“Luki sudah bicara, tapi dia tidak mau.”
“Kamu kelihatannya memang tidak tertarik sama dia,” kesal pak Istijab.
“Kalau kami memang berjodoh, pasti akan dipersatukan. Bapak jangan terlalu memikirkan hal itu.”
“Harsono itu sahabat aku, lebih dari saudara.”
“Bersaudara tidak harus berbesan, bukan?”
Pak Istijab menutup pembicaraan itu tanpa mengatakan apapun lagi. Tampaknya dia kesal atas jawaban Luki yang tidak tertarik dengan perjodohan itu.
Luki memasuki kembali ruangan itu, dan melihat Andin sedang ngobrol dengan sahabatnya.
Luki segera mendekat dan duduk diantara mereka, tapi tiba-tiba terdengar suara pak Harsono memanggil.
“Luki, bukankah itu tadi telpon dari ayahmu?”
“Benar, Om.” jawab Luki sambil mendekat.
“Mengapa tidak kamu berikan sama aku, aku kan ingin bicara.”
“Sebenarnya tadi mau Luki berikan pada Om, tapi rupanya bapak sedang tergesa-gesa, sepertinya ada tamu datang ke kantor.” Luki berbohong.
“O, bapakmu menelpon dari kantornya?”
“Iya Om.”
“Ya sudah,” kata pak Harsono yang kemudian memejamkan matanya. Tampaknya dia kecewa.
“Lagipula apa yang akan aku bicarakan? Masalah perjodohan itu tampaknya tak akan bisa terlaksana,” kata batinnya.
Luki segera kembali mendekati Andin dan Aisah, setelah melihat pak Harsono memejamkan mata. Luki berharap pak Harsono benar-benar akan tidur.
“Lagi ngomongin apa nih?” tanya Luki.
“Ini, tentang rencana kamu ingin jalan-jalan besok Sabtu, aku pikir Andin tak bisa ikut. Ia tak mungkin meninggalkan ayahnya yang sedang sakit,” kata Aisah.
“Benar, Mas. Menurut aku, biar Aisah saja yang menemani Mas jalan-jalan. Aku minta maaf,” sambung Andin.
“Aku mengerti. Tidak apa-apa kalau Aisah mau menemani aku jalan-jalan. Soalnya aku sudah lama sekali tidak menginjakkan kaki di kota ini.”
“Sebenarnya nggak enak jalan tanpa Andin.”
“Mau bagaimana lagi. Kan Bapak lagi sakit,” kata Andin, yang kemudian juga ingat permintaan dokter Faris yang ingin mengajaknya jalan di hari Sabtu itu. Diam-diam Andin ‘mensyukuri’ keadaan ayahnya ini sehingga dia tak perlu bingung memberi jawaban kepada yang satu dan lainnya.
“Uuups, maaf Bapak, kenapa Andin mensyukurinya? Tidak, aku sama sekali tidak mensyukuri sakitnya Bapak, hanya mensyukuri rasa ketidak bingungan aku untuk memberi alasan kepada mereka,” kata batin Andin sambil menutup mulutnya.
“Kamu kenapa?” tanya Aisah heran melihat Andin tiba-tiba menutup mulutnya.
“Apa?”
“Kamu sedang memikirkan apa? Tiba-tiba kamu menutup mulut kamu.”
“Tidak, aduh … aku melupakan … melupakan sesuatu … di rumah, tapi tidak penting kok. Baiklah, kalian bersenang-senanglah,” kata Andin sambil tersenyum.
“Karena masih ada yang harus aku kerjakan, aku pamit dulu ya, besok kalau pekerjaanku beres, aku ke sini lagi,” kata Luki sambil berdiri.
“Tidak usah dipaksakan, kalau memang masih repot,” kata Andin.
Luki perlahan mendekati pak Harsono, tapi melihat pak Harsono sepertinya tertidur, Luki mundur pelan-pelan, lalu membalikkan badannya.
“Luki.”
Luki terkejut, ternyata pak Harsono bukannya tidur.
“Saya kira Om tidur. Saya mau pamit dulu.”
“Kemarilah sebentar.”
Luki lebih mendekatkan badannya, agak membungkuk untuk bisa mendengar jelas, karena pak Harsono bicara sangat pelan.
“Tentang keinginan ayah kamu untuk menjodohkan kamu dan Andin, jangan dulu dimasukkan ke hati, karena tampaknya Andin belum ingin memikirkannya.”
Luki bernapas lega. Rupanya pak Harsono tidak akan memaksakan kehendak, berbeda dengan ayahnya yang sangat berharap punya menantu Andin.
Luki mengangguk sambil menepuk tangan pak Harsono pelan.
“Om jangan khawatir. Bukankah jodoh itu ditangan Allah?” bisiknya.
Pak Harsono tersenyum. Senyuman yang sebenarnya sangat pahit, karena gugurnya sebuah harapan.
***
Dokter Faris memasuki ruangan pak Harsono, ketika Andin sedang mengantarkan Luki dan Aisah ke depan. Dokter Faris terkejut ketika melihat pak Harsono sedang mengusap air matanya. Ia mendekat perlahan, lalu memegangi tangannya dengan lembut.
“Bagaimana perasaan Bapak?”
“Saya … baik-baik saja.”
“Hasil pemeriksaan memang menunjukkan ada infeksi di saluran napas. Memerlukan waktu beberapa hari lagi agar Bapak bisa segera pulang,” kata dokter Faris pelan.
Pak Harsono menatap sang dokter dengan tatapan sendu. Dokter ganteng ini teramat lembut saat bicara, dan teramat teduh saat matanya mamandang. Hal yang membuatnya tenang dan tidak banyak membantah apa yang dikatakannya. Tapi toh keinginannya untuk segera bisa pulang tak pernah surut.
“Tidak bisakah rawat jalan saja?”
“Pak, kalau di sini, semua perkembangan kesehatan Bapak akan terus diawasi. Berbeda kalau di rumah. Di sana hanya ada Andin, yang juga memerlukan pergi untuk kuliah. Kalau sudah begitu siapa yang akan mengawasi Bapak?”
“Aku kan bisa menjaga diri aku sendiri.”
“Benar, kalau Bapak sedang dalam keadaan sehat. Kalau saat ini, Bapak masih perlu diawasi dan dilayani. Obat teratur, makan dan tidur teratur. Ya kan? Memang sih, tidur di rumah sakit, sebagus apapun kamarnya, tetap saja tidak nyaman, tapi kami akan berusaha agar Bapak tetap bisa merasa nyaman walau tidak di rumah sendiri. Hal itu perlu, seperti yang tadi saya katakan, yaitu bahwa Bapak masih perlu pengawasan. Jadi Bapak harus sabar ya.”
Pak Harsono terdiam.
“Bapak jangan memikirkan apapun. Bapak harus bangga karena memiliki putri yang sangat baik dan sangat menyayangi Bapak.”
Pak Harsono menghela napas. Ada yang terasa berat dirasakannya, yaitu tentang Andini, anak gadis semata wayangnya.
“Bapak sudah tua ….” gumamnya pelan.
“Tapi Bapak masih kuat kok. Jangan berpikir tentang tua. Berpikirlah tentang ‘sehat’.
Tak terasa pak Harsono kembali menitikkan air mata. Dokter Faris meraih selembar tissue, dipergunakannya untuk mengusap mata tua yang tampak sayu itu.
“Apakah ada yang membuat perasaan Bapak terasa berat?”Pak Harsono terdiam.
“Kalau pada suatu hari Allah memanggil bapak, bapak ingin sekali melihat Andin bahagia, hidup tenang disamping seseorang yang menyayangi.”
“Mengapa tidak? Andin gadis yang baik.”
“Bukankah Nak Dokter tahu apa yang terjadi pada anak bapak? Kebahagiaannya masih tampak maya. Masih berujud angan-angan dan mimpi, karena semuanya belum jelas.”
“Mengapa Bapak berpikir begitu? Pemikiran yang buruk, membuat Bapak lebih terbebani, dan akan sulit sembuh dari sakit.”
“Nak Dokter belum pernah merasakan bagaimana rasanya jadi orang tua.”
“Saya mengerti apa yang Bapak pikirkan. Bapak harus percaya, bahwa Andin akan berada di tangan seorang laki-laki yang sangat mencintainya dan menjaganya, juga selalu membahagiakannya.”
“Bagaiman Nak Dokter bisa berpikir begitu, sementara Nak Dokter tahu kekurangan yang ada pada diri Andin?”
“Karena laki-laki itu adalah saya,” kata dokter Faris sambil memegang erat tangan pak Harsono.
Pak Harsono menatapnya tak percaya.
“Nak Dokter bercanda kan?”
“Saya berjanji. Jadi Bapak harus tenang.”
Air mata tua itu semakin deras mengalir.
***
Ketika Andin masuk kembali ke ruang ayahnya, ia terkejut melihat dokter Faris sudah ada di dekat ayahnya.
“Dokter belum pulang?”
“Sebentar lagi pulang, ini sedang melihat keadaan bapak.”
“Apakah bapak akan dirawat lebih lama?”
“Mungkin beberapa hari ke depan baru bisa pulang, dengan catatan kesehatannya sudah benar-benar tidak menghawatirkan.”
“Lama ya? Bapak sudah ingin segera pulang ke rumah tuh.”
“Benar, tadi bapak juga mengatakannya, tapi aku bilang, bapak harus sabar. Kamu juga harus sabar. Tapi keadaannya membaik kok. Percayalah, bapak akan segera sembuh,” kata dokter Faris sambil menatapnya dengan tatapan yang selalu membuatnya berdebar. Andin selalu memerlukan waktu untuk menoleh ke arah lain untuk menghindar dan lebih menenangkan perasaannya.
“Terima kasih, dan maaf, saya belum bisa membantu Dokter saat praktek.
“Tidak apa-apa. Kinanti sudah bisa mengatasi semuanya.”
Andin mengangguk.
“Tapi besok kamu bisa mulai masuk kuliah. Kamu tidak perlu menghawatirkan bapak karena ada yang akan mengurusnya di sini. Dan selama kamu masih kuliah, aku bisa sering menjenguknya.”
“Terima kasih, dokter.”
“Dan maaf, hari Sabtu nanti belum jadi bisa mengajak kamu jalan.”
“Dokter kalau ingin jalan-jalan, bisa sama mbak Kinanti kan?”
Dokter Faris membelalakkan matanya. Ia kesal Andin selalu mengusulkan Kinanti agar mendapat perhatiannya.
“Bapak, saya permisi dulu, soalnya nanti sore harus praktek juga, katanya berpamit pada pak Harsono.
“Baiklah Nak, terima kasih.”
Dokter Faris melangkah keluar, dan memberi isyarat pada Andin agar mengikutinya keluar. Andin melangkah di belakangnya sambil bertanya-tanya dalam hati, apakah ayahnya mengidap suatu penyakit tertentu yang sangat menghawatirkan? Tapi yang dikatakannya lebih membuatnya terkejut.
“Aku capek menunggu kamu menjawabnya.”
“Apa, Dok?” tanya Andin tak mengerti.
“Aku sudah bilang pada bapak.”
“Tentang….?”
“Aku sudah melamar kamu pada bapak.”
“Apa?” Andin berteriak. Dua orang perawat yang melintas menoleh ke arah keduanya, sambil mengangguk hormat karena ada dokter Faris.
Dokter Faris tertawa lucu. Andin selalu begitu saat dia bicara tentang hubungan mereka yang tak kunjung mendapat jawaban darinya.
“Ya, aku sudah melamar kamu pada bapak, dan sudah diijinkan. Begitu bapak sembuh, aku akan melamar secara resmi.”
Andin terdiam. Sambil berjalan ke arah depan, banyak pikiran berkecamuk dalam hatinya. Mana mungkin ayahnya mengijinkan, sedangkan sang ayah sangat berharap agar dirinya menyelesaikan kuliahnya dulu.
“Hei, kenapa diam?”
“Saya masih kuliah.”
“Lama-lama juga pasti akan selesai.”
“Mengapa Dokter memikirkan saya?”
“Jangan bilang bahwa aku lebih baik melamar Kinanti,” kata dokter Faris dengan nada mengancam. Andin hampir tertawa dibuatnya, tapi ia menahan tawa itu.
Mereka berjalan berdampingan, tanpa berucap satu sama lain, sampai kemudian dokter Faris berpamit untuk mengambil mobilnya.
Andin mengangguk tersenyum, lalu membalikkan tubuhnya. Begitu memasuki ruangan ayahnya lagi, Andin mendekati ayahnya dan ingin bertanya sesuatu, tapi sang ayah tampak tidur pulas. Andin tak ingin mengganggunya.
Ia merebahkan dirinya di sofa, sambil pikirannya melayang ke arah apa yang diucapkan dokter gantengnya. Melamar langsung pada ayahnya? Dan ayahnya menerimanya. Andin berdebar. Ia meraih bantal yang terletak tak jauh dari tempat duduknya, kemudian memeluknya dan berusaha tidur, untuk bermimpi tentang sesuatu. Tentang dokter ganteng berjambang tipis yang dengan gigih mengejar cintanya, yang selalu diterimanya dengan perasaan was-was.
***
Siang itu Aisah memerlukan datang untuk menemui Kinanti di rumah kostnya. Ia melihat Kinanti sedang mencuci pakaian-pakaian bayi yang direntangkannya pada jemuran besi yang terletak di samping kamarnya.
“Mbak Kinan, kirain sudah lahiran, kok mencuci pakaian bayi?”
“Hanya bersiap-siap saja, Ais. Beli sedikit-sedikit, supaya tidak berat ketika benar-benar membutuhkan."
“Boleh aku bantu?”
“Ini sudah selesai. Ayo duduk di kamar aku saja. Kamu dari mana?”
“Dari kampus. Aku sudah selesai menggarap skripsi aku, jadi aku bisa bersantai.”
“Cepat sekali selesainya, syukurlah.”
“Aku ngebut,” kata Aisah sambil duduk di tepi ranjang di kamar Kinanti yang bersih dan rapi, walaupun sederhana.
“Syukurlah, aku ikut senang.”
Aisah terdiam. Ia ingin bercerita pada Kinanti tentang Romi yang sudah berubah.
“Mbak Kinan, masih ingat Romi?”
“Bagaimana aku bisa melupakan laki-laki jahat itu.”
“Dia tampaknya menyesali apa yang pernah dilakukannya.”
“Syukurlah.” kata Kinanti datar.
“Ia pernah menanyakan Mbak Kinan ada di mana?”
“Kamu mengatakannya?”
“Tidak. Tapi kalau Mbak mengijinkan, besok kalau ketemu akan saya katakan.”
“Jangan. Lebih baik tidak usah berhubungan lagi sama dia.”
“Tapi bayi itu membutuhkan seorang ayah.”
“Tidak lagi, kalau ibunya sudah bisa menjaga dan melindunginya. Aku ingin menghapus nama itu dari kehidupan aku.”
“Tapi sepertinya dia menyesal.”
“Tidak … dan tidak!” katanya tandas.
***
Besok lagi ya.v