BERSAMA HUJAN 25
(Tien Kumalasari
Andin sedang duduk di tepi pembaringan, dimana sang ayah terbaring di rumah sakit itu. Wajahnya sudah tidak sepucat kemarin, dan sudah tidak panas lagi. Ia ingin pulang untuk mandi dan berganti pakaian, karena sejak semalam dia berada di kamar itu untuk menunggui ayahnya.
“Andin ….” panggilnya, lalu terbatuk sebentar.
“Ya Pak.”
“Aku di mana ini? Kamarnya tampak bersih. Ini tempat yang sangat asing.
“Bapak di rumah sakit.”
“Ah, iya …. semalam aku sudah menanyakannya kepada dokter itu, dan dijawab bahwa aku berada di rumah sakit. Berapa kamu mengeluarkan uang untuk membayar kamar yang begini bagus? Ini mahal, Andin.”
“Bapak tidak usah memikirkannya. Yang penting adalah, Bapak segera sembuh, lalu bisa pulang ke rumah.”
“Bawa aku pulang sekarang.”
“Bapak masih sakit. Kata dokter, hari ini Bapak akan diperiksa lebih dalam, agar ketahuan apa penyakit yang Bapak derita.”
“Aku sudah merasa lebih enak, batuknya juga sudah berkurang banyak. Mengapa orang batuk harus dirawat di rumah sakit?”
“Bapak tidak hanya sekedar batuk. Kata dokter ada infeksi di saluran napas. Tapi untuk meyakinkan, akan diadakan pemeriksaan yang lebih teliti.”
“Tapi aku sudah merasa sehat. Kamu jangan main-main Andin. Bapak punya uang, tapi itu persediaan untuk kuliah kamu, bukan untuk membayar rumah sakit.”
“Bapak tidak perlu membayar apapun.”
“Maksud kamu, kamu yang akan membayarnya?”
“Juga bukan.”
“Lalu apa? Adakah rumah sakit gratis?”
“Kata dokter, Bapak dianggap sebagai keluarga dokter, jadi tidak bayar,” kata Andin menirukan apa yang dikatakan dokter Faris, biarpun dia tidak begitu yakin pada kata-katanya.
“Aku tidak mengerti. Aku ini keluarga dokter yang mana?” lalu pak Harsono terbatuk lagi.
Andin tidak bisa menerangkannya. Kalau jawabannya salah dan tidak bisa meyakinkan kebenarannya di depan sang ayah, pasti sang ayah akan memaksa meminta pulang.
“Pak, bukankah Andin bekerja di tempat praktek dokter Faris?”
Pak Harsono menatap Andin. Memangnya kalau bekerja di tempat praktek dokter Faris, kenapa?
“Karena Andin bekerja di sana, maka ketika keluarga Andin ada yang sakit, maka mendapat fasilitas seperti keluarga dokter,” kata Andin hati-hati.
Pak Harsono menatapnya tak percaya. Tapi barangkali ada sedikit kebenaran dalam keterangan itu. Hanya saja, bukankah kamar ini terlalu mewah untuk keluarga seorang pembantu dokter?
“Benarkah?”
“Bapak jangan memikirkan masalah itu, Bapak harus tenang dan tetap bersemangat, agar segera sembuh.”
Pak Harsono terdiam. Kadang-kadang batuk itu masih terdengar.
“Kamu tidak kuliah?”
“Saya menunggui Bapak di sini dulu. Kalau Bapak sudah dinyatakan sembuh, Andin akan mulai kuliah.”
“Mana bisa begitu? Kamu jangan main-main soal kuliah. Kamu sudah berjanji akan menekuninya, bukan?”
“Iya, tentu saja.”
“Kalau begitu pergilah kuliah, nanti aku akan bicara sama dokternya, tentang kemungkinan untuk aku segera pulang.”
“Baiklah, tapi tidak hari ini. Besok pagi Andin akan mulai kuliah.”
“Bagaimana dengan … Luki?”
“Baik-baik saja.”
“Apa dia tahu kalau aku sedang dirawat?”
“Belum, Pak. Andin belum bisa memikirkan hal itu. Nanti akan Andin kabari.”
“Kenapa nanti? Tidak bisa sekarang?”
“Bukankah mas Luki sedang bertugas mengurus usahanya? Setiap hari dia harus menemui rekan bisnisnya untuk membicarakan hal penting, mana berani Andin mengganggu?”
“Ambilkan ponsel Bapak.”
“Bapak mau apa?”
“Aku harus menelpon mas Istijab. Aku belum bicara apa-apa tentang kedatangan Luki kemari, nanti aku dikira menyepelekan dia.”
“Ponsel Bapak ketinggalan di rumah, nanti Andin ambilkan. Tapi kalau Bapak ingin segera menelpon, ada ponsel Andin. Tapi … oh ya, ternyata mati, semalam lupa ngecas batery nya,” kata Andin sambil meraih ponselnya yang sejak semalam tergeletak di atas meja.
Mana bisa aku memakai ponsel berbeda, aku nggak hafal nomor kontaknya.
“Ya sudah, bapak sabar dulu ya, nanti kalau ponsel Andin bisa menyala, Andin akan menelpon mas Luki.”
Pak Harsono terdiam. Sesungguhnya ia sangat khawatir tentang hubungan Andin dengan Luki, karena dengan keadaannya yang seperti sekarang ini, kecil kemungkinan Andin mau menerima, dan Luki pun belum tentu mau. Adakah laki-laki menerima gadis yang tidak perawan untuk dijadikan istri? Tiba-tiba wajah pak Harsono menjadi muram, lalu ia terbatuk-batuk lagi.
Andin mengelus dadanya pelan dengan obat gosok yang tadi dibelinya di apotek.
“Bapak jangan banyak pikiran ya?”
Pak Harsono tidak menjawab. Ia tak ingin membuat anaknya juga menjadi sedih.
“Aku tidak memikirkan apa pun.”
Tiba-tiba dokter Faris masuk ke ruangan itu.
“Andin, kamu masih di sini?”
“Iya Dok, belum bisa ninggalin bapak.”
“Bagaimana Pak, apa yang Bapak rasakan sekarang?”
“Saya merasa lebih baik. Bolehkah saya minta pulang?” kata pak Harsono yang sebenarnya sudah mengenal dokter Faris sejak beberapa waktu yang lalu.
Dokter Faris tersenyum, sambil memegangi tangan pak Harsono, kemudian memeriksanya.
“Bapak kan baru saja dibawa ke rumah sakit ini, dalam keadaan sakit. Sekarang ini, kami akan melakukan pemeriksaan yang lebih teliti.”
“Tapi saya tidak enak, berada di sini, tidak jelas bagaimana saya harus bayar. Mana enak, mendapat gratisan?” keluh pak Harsono.
Dokter Faris tertawa pelan. Ia sudah menduga, bahwa fasilitas ruang rawat inap yang bagus akan menimbulkan banyak tanda tanya. Tidak semua orang mau menerima pemberian begitu saja. Termasuk kemarin Andin juga menanyakannya, dan sekarang ayahnya juga memprotesnya. Tapi dokter Faris kan sudah punya jawaban,
“Pak Harsono, Andin itu bukan orang lain bagi saya, sedangkan Bapak adalah orang tuanya. Sudah semestinya kalau Bapak mendapat pelayanan khusus, karena Bapak dianggap keluarga saya.”
Pak Harsono terdiam. Jawaban ini mirip dengan jawaban Andin.
“Bapak tidak usah memikirkannya, yang penting Bapak segera sembuh dan boleh pulang dalam keadaan sehat. Ya, Pak?”
Perkataan dokter Faris begitu lembut, pak Harsono tak mampu menjawabnya, kecuali menatapnya dengan penuh perasaan terima kasih.
“Terima kasih,” pelan suara itu keluar dari bibirnya.
“Sebentar lagi Bapak akan dibawa ke ruang rontgen, diperiksa darah di laboratorium. Setelahnya, Bapak akan mendapatkan pengobatan yang semoga akan lebih cepat membuat Bapak sehat kembali.”
Tak lama kemudian, perawat yang bertugas membawa pak Harsono sudah datang. Dokter Faris menatap Andin yang berdiri termangu.
“Andin, sebaiknya kamu pulang dulu, barangkali kamu memerlukan istirahat atau ganti pakaian.”
“Saya juga harus mengambil ponsel Bapak.”
“Kalau begitu kamu bisa pulang sekarang. Jangan khawatirkan Bapak, karena sudah ada yang bertugas menjaganya.”
Andin mengangguk pelan. Ia segera berpamit kepada ayahnya yang sudah diangkat ke atas brankar.
“Aku sudah memanggil taksi online, yang pastinya sudah menunggu,” lanjut dokter Faris sambil tersenyum.
“Terima kasih, dokter.”
***
Begitu sampai di rumah dan mengecas ponselnya, Andin melihat ada banyak panggilan tidak terjawab. Rupanya Aisah berkali-kali menghubunginya.
Andin mandi lalu berganti pakaian, kemudian dia menghubungi Aisah, yang tentu saja sangat terkejut mendengar bahwa pak Harsono sakit. Andin menceritakan semuanya membuat Aisah ikut menjadi sedih.
“Ya ampun Ndin, aku nggak nyangka, ternyata Bapak sakit. Nanti aku mau mengajak mas Luki membezoeknya.”
“Terserah kamu saja, asalkan tidak mengganggu kegiatan kamu.”
“Tidak, aku sudah selesai. Sebenarnya siap untuk jalan-jalan bersama mas Luki besok Sabtu ini.”
“Kamu jalan sendiri saja Ais, kamu kan tahu, mana mungkin aku meninggalkan bapak dalam keadaan masih sakit?”
“Iya, aku tahu, nanti aku bilang sama mas Luki.”
“Kalau ketemu bapak nanti, jangan sampai mas Luki bicara soal perjodohan itu. Tampaknya bapak masih berharap. Tapi sungguh aku tak bisa menerimanya.”
“Kamu memilih mas Faris?”
“Bukan begitu. Aduh, sudah dulu Ais, aku bingung. Banyak yang harus aku pikirkan.”
“Aku mengerti, kesampingkan dulu soal cinta, karena bapak butuh perhatian kamu. Sebentar lagi aku akan mengabari mas Luki.”
“Baiklah, aku juga harus segera kembali ke rumah sakit.”
***
Ketika Elisa memasuki kamar, dilihatnya Romi sedang mencari sesuatu di almari. Tampaknya ia sedang mencari baju ganti, karena akan pergi lagi.
“Kamu mencari apa Rom? Baju ganti kamu aku tata di almari kamu yang ada di kamar sebelah, bukankah kamu tak mau tidur di sini?”
“Siapa menyuruh kamu memindahkannya?” hardik Romi.
“Aku hanya ingin merapikannya, dan memudahkan kamu untuk mengambil sendiri baju-baju kamu.”
Wajah Romi gelap bagai mendung. Sudah sejak pernikahan itu ia tak pernah bertegur sapa dengan sang istri, walau sikap sang istri selalu tampak manis dan seperti tak pernah terluka.
“Romi, jangan pergi dulu, aku mau bicara,” kata Elisa menghadang di pintu ketika melihat Romi mau keluar dari kamar.
“Minggir. Mau apa kamu?”
“Tadi aku periksa ke dokter kandungan langganan aku. Kandungan aku sudah menginjak tiga bulan. Memang … kita_”
“Aku tidak peduli,” potong Romi yang segera menyingkirkan tubuh Elisa dari hadapannya, dan membuat Elisa terhuyung hampir jatuh.
“Ya ampun Romi, kamu hampir membuat aku jatuh. Kalau anak kamu terluka bagaimana?”
Tapi Romi sudah keluar dari kamar dan menutupkannya dengan keras.
Elisa menghela napas, tapi tak tampak wajah marah terlukis di sana. Ia masuk ke kamar mandi sambil tersenyum manis, lalu mandi dan berganti pakaian, kemudian membaringkan tubuhnya di ranjang.
“Persetan kalau kamu tak peduli. Bagi aku, nama baik keluarga aku tidak tercemar karena bayi yang aku kandung memiliki ayah, walaupun bukan kamu yang meneteskannya,” gumamnya sambil memeluk guling dan berusaha memejamkan matanya.
***
“Bibik, aku mau makan,” teriak Romi dari arah ruang makan.
Bibik tergopoh mendekat sambil membawa perlengkapan makan, lalu menata nasi beserta lauk pauknya. Romi harus makan sendiri, karena sang ibu dan Elisa sudah makan beberapa saat yang lalu.
“Biar supnya saya panaskan dulu, Tuan.”
Romi duduk sambil menikmati jus mangga yang dihidangkan bibik,
“Kamu mau pergi lagi, Rom?” tiba-tiba bu Rosi muncul di ruang itu.
“Iya Ma, tadi tidak ketemu dosennya, dan janjian ketemu di rumahnya sore ini.”
“Kamu sudah ketemu istri kamu?”
Romi tak menjawab. Ia mengaduk lagi jus mangganya.
“Tadi dia sudah periksa kandungan. Kata dokternya, bayinya sehat. Tapi menurut mama, bayinya itu terlalu besar. Barangkali karena Elisa tidak ngidam dan makan semuanya makanan dengan lahap.”
Romi tetap tak menjawab. Ketika bibik menghidangkan sup yang sudah dipanaskan, Romi segera menyendoknya ke dalam mangkuk.
“Tapi kalau nanti bayinya terlalu besar, lahirnya juga bisa susah. Mama khawatir nanti kelahirannya harus melalui operasi."
Romi mengunyah makanannya.
“Kenapa kamu tampak tidak peduli sih Rom? Bagaimanapun, dia itu darah dagingmu lhoh.”
"Kalau nanti jelas darah daging Romi, Romi akan memperhatikannya. Sekarang jangan dulu. Lagipula Romi sedang fokus untuk ujian skripsi mendatang, Romi mohon Mama juga tidak mengganggu dulu,” katanya tanpa menghentikan acara makannya.
“Baiklah, mama mengerti,” kata bu Rosi sambil berdiri dari tempat duduknya, kemudian pergi menjauh.
“Besok kalau putra tuan Romi sudah lahir, pasti rumah ini akan ramai dengan celoteh lucunya. Bagaimanapun, bayi selalu saja lucu.”
Romi menoleh, dan melihat bibik sedang duduk di pojok pintu, seperti biasa kalau dia sedang menunggui majikannya makan.
“Iya kan, Tuan?”
“Diamlah Bik, aku sedang menikmati sup buatan Bibik. Enak sekali.”
Bibik tersenyum, biarpun senang dipuji, tapi bibik tak bisa mengerti, tuan mudanya sama sekali tak tertarik mendengar pembicaraan tentang anaknya yang bakal lahir.
***
Pak Harsono sangat senang, melihat Luki akhirnya datang. Sejak kedatangannya, dia belum sempat bertemu, apalagi bicara.
“Luki, aku tidak mengira akan bertemu kamu. Kamu lebih ganteng dan lebih gagah dari foto kamu yang dikirimkan ayahmu,” kata pak Harsono pelan.
“Begitu datang, saya disibukkan dengan pekerjaan, sehingga belum sempat menemui Om Harsono.”
“Tidak apa-apa, aku mengerti. Aku juga belum sempat menelpon ayah kamu.”
“Luki sudah menelpon Bapak, yang sangat terkejut mendengar Om sakit. Barangkali satu dua hari lagi beliau akan datang kemari.”
“Bilang sama ayahmu, tidak usah serepot itu, aku baik-baik saja.”
Seperti merasa sedang dibicarakan, tiba-tiba pak Istijab menelpon Luki. Ia tak berani langsung menelpon ke ponsel sahabatnya, karena takut mengganggu sang sahabat yang sedang sakit.
“Luki, kamu di mana?” tanya pak Istijab kepada Luki.
“Luki sedang di rumah sakit, membezoek om Harsono.”
“Bagus. Dia pasti senang melihat kamu datang. Bicarakan sekalian tentang hubungan kamu dengan Andin, agar om Harsono senang. Kalau dia senang, pasti akan segera sembuh. Tapi tidak, jangan kamu. Biar aku saja yang bicara, kalau perlu tak usah menunggu Andin selesai kuliah. Gampang kalau dia ingin melanjutkannya nanti.”
Luki tertegun. Ia tak segera menyerahkan ponselnya kepada pak Harsono.
***
Besok lagi ya.