BERSAMA HUJAN 16

 BERSAMA HUJAN  16

(Tien Kumalasari)

 

Andin membiarkan sang ayah menjauh, untuk menerima telpon dari temannya. Andin berdebar-debar, apakah teman ayahnya yang bernama pak Tijab itu sangat mengharapkan dirinya agar jadi menantu? Bagaimana kalau ayahnya akan tetap memaksanya? Bagaimanapun Andin tak akan berani melangkah. Kemarin-kemarin, saat dirinya belum tahu bahwa ternyata dia hamil, dia sudah sangat ingin menolaknya, apalagi sekarang. Bagaimana kalau sampai Luki mengetahui keadaannya lalu protes kepada ayahnya, lalu ayahnya akan sedih karena musibah yang menimpanya?

Andin perlahan mendekati ayahnya yang sedang menelpon, ia berdiri di balik pintu, agar bisa mendengarnya dengan jelas.

“Benar Mas, aku juga sudah bicara sama Andin, tapi kan dia harus menyelesaikan kuliahnya dulu…. tidak bisa begitu Mas, Andin juga belum mau memikirkan masalah perjodohan…. bukan aku menolak, dan Andin juga belum mengatakan kalau menolak, dia bilang ingin fokus pada kuliahnya dulu. Saya harap mas Tijab mengerti. Baiklah, oh … minggu depan? Hari Minggu … oh .. ya, Minggu depan, iya Mas, sekalian tugas? Tidak apa-apa, benar, biar saling mengenal satu sama lain, bagus sekali Mas …. ada di rumah, nanti aku suruh dia menunggu di rumah, biar bisa ketemu. Oh, tidak bersama Mas Tijab? Sendirian? Ya, tentu saja … tidak  apa-apa Mas, saya senang … baik … baiklah … terima kasih Mas … wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.”

Andin sudah menjauh dari dekat pintu, tapi ia sudah mendengar sebagian pembicaraan inti itu. Ia senang ayahnya tidak langsung mengatakan setuju. Rupanya sang ayah masih teringat ketika dirinya menolak halus, dengan alasan kuliah lebih utama. Mana tahu Andin apa yang dipikirkan ayahnya, karena sang ayah bersikap biasa saja.

“Dari pak Istijab,” kata pak Harsono sambil duduk di dekat Andin.

“Bicara soal perjodohan lagi?”

“Ya, pastinya, tapi aku tidak berani mengatakan ‘iya’. Bukankah kamu masih ingin memikirkan kuliah kamu lebih dulu?”

“Benar Pak, terima kasih Bapak bisa mengerti.”

“Bapak selalu bisa mengerti apa yang kamu inginkan. Kamu tahu, bapak sangat mencintai kamu. Bapak tak ingin kamu kecewa dan terluka,” katanya lembut sambil mengelus kepala anak gadisnya, dan berusaha menahan air mata yang ingin membasahi pelupuknya.

Andin menyandarkan kepalanya di dada sang ayah. Masing-masing menutupi derita demi membahagiakan satu dan lainnya. Dan tangis itu membuncah, tapi hanya di dalam dada.

“Saya ambil minum dulu untuk Bapak,” kata Andin sambil berdiri. Ia melangkah ke dapur sambil mengusap setitik air matanya, sementara demikian juga dengan pak Harsono. Ia meraih tissue yang tersedia di meja, dan mengusap matanya.

Semuanya seperti mimpi. Harapan yang selalu menjadi mimpinya, tiba-tiba menipis menjadi serpihan mimpi yang entah akan apa nanti jadinya hidup sang anak. Akankah dia menemukan suami yang bisa menjaga dan mencintainya, sehingga kalau sewaktu-waktu Allah memanggilnya, ia bisa memejamkan mata dengan perasaan tenang?

Pak Harsono sedang mengusap lagi matanya, ketika Andin datang dengan membawa segelas wedang jahe.

“Bapak kenapa?” tak urung Andin curiga.

“Oh, ini … nggak tahu kenapa, mata bapak seperti kemasukan debu,” jawab pak Harsono sekenanya.

“Debunya masih terasa mengganjal?”

“Tidak … tidak. Wah, harum sekali wedang jahe buatan kamu.”

“Minuman ini menghangatkan, dan bisa melegakan tenggorokan.”

“Iya, kamu benar. Sering-sering meminum wedang jahe juga bagus untuk kesehatan. Iya kan?” kata pak Harsono sambil menyeruput wedang jahenya.

“Kurang manis ya Pak?”

“Tidak, ini sudah pas. Gula batu bukan?”

“Iya, Pak,” kata Andin yang ikut-ikutan menyeruput minumannya.

***

Sore itu Kinanti pergi menemui dokter Faris dengan diantar Aisah.. Agak trenyuh sang dokter melihat perutnya yang membuncit, tapi laki-laki yang melakukannya tak mau bertanggung jawab. Dokter Faris heran, kenapa dia mendapatkan asisten yang semuanya perempuan korban keganasan nafsu laki-laki tak bertanggung jawab. Dan laki-laki itu hanya satu satunya, yaitu yang bernama Romi. Geram rasanya mengingat apa yang dilakukannya, apalagi salah satu yang tertimpa musibah itu adalah gadis yang dicintainya.

“Bagaimana Mas? Apakah akan mulai sekarang?” tanya Aisah.

“Apakah Andin masih sakit? Kamu sudah menengoknya?”

“Belum Mas, barangkali masih minggu depan, soalnya jadwalku padat sampai empat hari ke depan.”

“Kalau bisa ya telpon saja, kalau kamu sudah longgar.”

“Kenapa tidak Mas saja yang menelponnya?”

“Aku khawatir dia sungkan. Sebenarnya ingin sih.”

“Telpon saja Mas, sekedar menanyakan kesehatannya. Atau kapan dia mulai bekerja.”

“Baiklah. Tapi maksud aku, kalau Kinanti mulai bekerja saat Andin sudah masuk kerja, kan dia bisa mengajarinya.”

“Iya juga sih.  Lalu bagaimana? Oh ya Kinanti, apa kamu sudah keluar dari pekerjaan kamu?”

“Sebenarnya sampai akhir bulan ini, tapi kalau Dokter mau, saya bisa mulai sekarang juga.”

Dokter Faris menimbang-nimbang. Dia memang membutuhkan asisten, tapi harus mengajarinya dari awal seperti dulu dia melakukannya pada Andin. Kenapa ya, waktu itu dokter Faris sangat bersemangat, tapi saat menerima Kinanti rasanya biasa-biasa saja? Apakah cinta sudah merambah di hatinya sejak pertama kali melihat Andin?

“Ya sudah Mas, kalau begitu Kinanti aku tinggal di sini dulu, barangkali Mas harus menunjukkan apa yang harus dilakukannya.”

“Baiklah.”

Lalu dengan sekilas dokter Faris memberitahu apa yang harus dilakukan ketika ada pasien mendaftar, seperti dulu kepada Andin.

Kinanti melakukannya sambil mengucapkan syukur, karena dia akan bisa mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhannya sendiri, dan juga bayi yang dikandungnya.

***

Malam itu Andin sudah berada di kamarnya. Hari memang masih belum terlalu malam. Tapi sang ayah yang kelihatan capek sudah masuk juga ke dalam kamarnya, jadi Andin bersiap untuk tidur, agar besok bisa bangun pagi-pagi, karena dia akan mulai masuk kuliah.

Tapi tiba-tiba ponselnya berdering. Dari dokter Faris. Dia tak ingin mengangkatnya, tapi merasa berdosa, karena sang dokter sudah berbuat banyak untuk dirinya.

“Assalamu’alaikum, Dokter.”

“Wa’alaikumu salam, Andin. Kamu sudah tidur?”

“Baru mau tidur.”

“Bagaimana kesehatan kamu?”

“Saya sudah sangat baik. Besok akan mulai kuliah.”

“Syukurlah. Apakah kamu juga siap untuk kembali bekeja?”

“Saya ….”

Andin ragu-ragu menjawabnya. Ada rasa ingin bekerja, tapi sungkan bertemu dokter gantengnya, tapi kelihatannya dokter Faris membutuhkannya.

“Tapi kalau kamu masih merasa berat untuk bekerja, tidak apa-apa. Kamu harus sehat dulu, dan kuat untuk kembali bekerja.”

“Baiklah, saya akan memikirkannya.”

“Kamu tidak boleh terpaku pada kejadian di masa lalu. Hidup terus berjalan, dan kamu berhak menentukan apa yang harus kamu lakukan.”

“Terima kasih, Dokter.”

Ketika ponsel itu telah ditutup, Andin termenung agak lama. Ia tak ingin mengecewakan dokter Faris, yang telah menyelamatkannya.

***

Pak Harsono sudah selesai sarapan, dan bersiap untuk berangkat ke kantor. Andin juga bersiap untuk berangkat kuliah.

“Kamu benar-benar siap untuk masuk kuliah?”

“Iya Pak, takut tidak bisa mengejar ketertinggalan Andin selama beberapa hari tidak kuliah.”

“Baiklah, hati-hati dan jangan memaksakan diri.”

“Nanti sore Andin juga mau masuk bekerja, Pak,” kata Andin hati-hati, karena sebenarnya sang ayah melarangnya.

“Kamu? Benar-benar mau bekerja?”

“Iya Pak.”

“Baiklah, kalau itu membuatmu senang, hanya pesan bapak, jangan sampai kamu kecapekan.”

“Iya, Andin mengerti, Pak.”

Sang ayah sudah berangkat, dan Andin segera menyiapkan barang-barang yang akan dibawanya, ketika sebuah sepeda motor memasuki halaman. Apakah ayahnya kembali? Tapi itu bukan suara sepeda motor ayahnya.

Andin melangkah keluar kamar dan melongok ke halaman. Betapa terkejutnya ketika ia melihat dokter Faris turun dari sepeda motor. Andin bergegas menyambut. Ia masih saja berdebar setiap kali menatap dokter ganteng itu.

“Dokter, kok naik sepeda motor?”

“Ini sepeda motor yang biasa kamu pakai. Pakailah lagi.”

“Tapi Dokter ….”

“Kita berboncengan ke rumah sakit dulu, apa kamu akan terlambat?”

“Tidak, tapi ….”

“Kamu tinggalkan aku di rumah sakit, lalu bawalah motornya ke kampus.”

Andin termangu. Mengapa dokter Faris begitu repot mengantarkan motor untuknya.

“Apa nanti saya harus menjemput dokter di rumah sakit?”

Dokter Faris tertawa.

“Tidak. Banyak mobil di rumah sakit, nanti mereka akan mengantarkan aku. Bawa saja motornya pulang.”

Andin tersenyum sungkan, tapi dokter Faris mengangguk memaksa.

Pagi itu ia ke rumah sakit dulu untuk mengantar dokter Faris. Debarnya semakin kencang ketika ia duduk hampir merapat di belakang dokter majikannya. Ia meletakkan tasnya di depan dada, sehingga dia tidak harus bersinggungan dengannya.

***

 Aisah sudah mengendarai motornya, dan hampir keluar dari halaman rumahnya ketika tiba-tiba bu Rosi menghentikannya.

“Aisah, tunggu sebentar, Nak.”

Aisah turun dari sepeda motornya, agak kesal karena ibu Romi menghentikannya. Tapi ia berusaha ramah, karena mereka tetanggaan.

“Ya Bu, ada apa?”

“Kamu itu ke mana saja, berkali-kali aku datang kemari, selalu saja nggak ketemu. Ini aku kesini pagi-pagi, hampir saja kamu sudah pergi lagi.”

“Ya, mau ke kampus, Bu.”

“Begini Ais, minggu depan itu kan Romi mau menikah.”

Aisah tak menampakkan wajah terkejut. Ia sudah tahu, tapi dia tak peduli.

“Aku mau minta tolong, agar kamu mau menjadi pendamping penganten. Kalau orang jawa namanya patah.”

“Patah kan biasanya anak kecil Bu?”

“Ini aku membuat acara sendiri. Biar saja berbeda. Kalau anak kecil kan susah diatur. Aku ingin pendampingnya nanti gadis-gadis seusia kamu. Coba cari satu lagi teman kamu. Ini malah Romi yang mengusulkan agar kamu yang mendampingi.”

“Tapi saya minta maaf Bu, saya besok mau pergi.”

“Bukan besok, masih minggu depan.”

“Saya perginya lebih dari seminggu, mungkin sepuluh hari atau lebih.”

“Ya ampun, apa tidak bisa ditunda, saya minta tolong Ais. Memang terkesan terburu-buru, tapi aku berhari-hari mencari kamu tidak ketemu.”

“Sungguh saya minta maaf Bu, saya tidak bisa merubah rencana saya. Masih banyak gadis cantik teman Romi yang lain.”

“Kita kan bertetangga Ais, aku pikir kamu tidak keberatan.”

“Soalnya bersamaan dengan keperluan lain yang tidak bisa saya tunda Bu, minta maaf. Sekarang saya permisi, hampir terlambat,” katanya sambil kembali menaiki sepeda motornya.

Bu Rosi menatapnya kecewa. Ia membiarkan saja ketika Aisah menganggukkan kepalanya kemudian berlalu menjauh.

Bu Rosi pulang dengan perasaan kesal. Banyak gadis cantik, mengapa harus Aisah? Pikirnya. Ia agak kesal kepada Elisa yang begitu bersemangat dan ingin segera menikah, padahal keluarga ingin agar Romi menyelesaikan kuliahnya terlebih dulu.

***

Aisah baru saja memarkir sepeda motornya, ketika melihat Andin memasuki area parkir itu.

“Andin!”

Setengah berlari Aisah mendekatinya.

“Kamu sudah sehat?” katanya sambil merangkul sahabatnya.

“Ya, aku baik-baik saja.”

“Syukurlah. Mas Faris menyuruh aku menengok kamu, tapi belum sempat juga. Acaraku padat, aku ngebut nih, supaya segera selesai.”

“Iya, aku tahu. Tak apa-apa. Aku doakan kamu segera selesai.”

“Demikian juga doa untuk kamu.”

“Banyak yang aku ingin cerita, tapi belum sempat juga. Aku benar-benar tak berani mengganggu kesibukan kamu.”

“Terima kasih atas pengertian kamu Ndin. Oh ya, cerita sebentar nih ya. Tadi bu Rosi menemui aku.”

“Bu Rosi itu ….”

“Ibunya si brengsek itu. Dia minta aku menjadi pendamping pengantin. Aku ogah lah, enak aja.”

“Alasan kamu apa?”

“Aku bilang besok mau pergi agak lama. Aduh, tapi aku harus benar-benar tak ada di rumah nih.”

“Tidur di rumah aku saja.”

“Boleh?”

“Tentu saja boleh. Besok ya. Aku senang ada temannya.”

“Sip lah, nanti aku pulang dulu, menyiapkan baju-baju dan buku, lalu aku harus kabur dari rumah sampai perhelatan itu selesai.”

“Baiklah. Ayuk, aku sudah terlambat.”

Kedua sahabat itu berpisah dengan wajah riang. Aisah senang bisa menemukan tempat untuk ‘sembunyi’ dan Andin senang akan mendapat teman.

***

Perhelatan itu sudah usai. Tentulah perhelatan yang megah dan mewah karena keduanya adalah anak keluarga kaya.

Elisa begitu bahagia karena keinginannya tercapai. Ia tak usah khawatir tentang kandungannya yang tanpa diketahui siapa ayahnya, karena ia sudah menemukan laki-laki yang bisa menjadi ayah anaknya dengan begitu mudah.

Malam itu Romi dan Elisa kelelahan, terkapar di tempat tidurnya dengan wajah letih, karena seharian melayani tamu yang tak henti-hentinya.

Elisa lebih dulu terlelap, dengan pakaian tidur yang teramat tipis. Romi yang terbangun di tengah malam itu tanpa sengaja merangkulnya dan mendekatkan tubuh istrinya ke tubuhnya sendiri. Tapi Romi merasa agak aneh. Ia meraba perut istrinya pelan. Dan terus merabanya, sehingga Elisa pun terbangun.

Ia menggeliat dengan malas.

“Romi, besok saja ya, aku sangat lelah.”

“Aku hanya heran, kenapa perut kamu agak membuncit?”

Elisa terkejut bagai disambar petir. Ia menjauhkan tubuhnya dari tubuh sang suami, dan menyingkirkan tangannya.

***

Besok lagi ya.

 

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

Previous Post Next Post