BERSAMA HUJAN 15
(Tien Kumalasari)
Pak Harsono menatap dokter Faris tajam, bagai mata serigala yang sudah sebulan tidak mendapat mangsa. Ada api memercik di sana, membuat dokter Faris merinding. Tapi sedikitpun sang dokter tidak merasa takut. Ia bahkan membalas tatapan itu dengan kemarahan yang hampir sama. Tatapan laki-laki tua itu adalah tatapan menuduh, dan dia sama sekali tidak melakukannya. Tapi dokter Faris berusaha mengendapkan kemarahan itu. Banyak hal yang memicu kecurigaan pak Harsono, dan itu pasti karena pemikirannya sendiri, karena tak mungkin Andin mengadu kepada ayahnya dengan aduan palsu.
“Apa jawabmu, Dokter? Kamu sangat melukai hati saya. Permata yang aku jaga dengan segenap jiwa, kamu telah merusaknya begitu saja. Kamu mencabik-cabiknya menjadi kepingan debu.”
Dokter Faris mengangkat wajahnya. Tapi berusaha mengendapkan kemarahannya karena sedang berhadapan dengan jiwa yang sedang mengamuk.
“Apakah Bapak yakin bahwa saya yang melakukannya?”
Pak Harsono semakin marah. Ia merasa sedang berhadapan dengan seorang pesakitan yang ingin mengingkari perbuatannya. Tapi sebelum mulutnya terbuka, dokter Faris menambah lagi ucapannya.
“Apakah Andin mengatakan pada Bapak bahwa saya yang melakukannya?”
“Tentu saja tidak. Ia bahkan tak tahu kalau aku sudah mengetahui tentang keguguran itu,?’
“Apa? Bapak sudah tahu, tapi tidak menanyakannya pada Andin?”
“Andin masih sangat muda. Jiwanya rapuh. Ia menyimpan penderitaannya dari ayahnya, karena takut ayahnya terluka. Sekarang setelah semuanya terbuka, apa aku tega menyakitinya dengan mengatakan bahwa aku mengetahui rahasia yang disimpannya? Sungguh aku tak tega, bahkan untuk bertanya, apalagi mendesaknya.”
Dokter Faris merasa iba tiba-tiba. Mata laki-laki tua itu tampak tergenang air mata. Ia tahu, sesungguhnya laki-laki itu terluka teramat dalam.
“Pak, kalau Bapak mau mempercayai saya, bukan saya pelakunya. Mana mungkin saya tega melakukannya, sementara saya mencintainya?”
“Apa?”
“Saya bahkan baru tahu kalau Andin mengandung, setelah dia keguguran.”
“Apa?”
“Beberapa bulan yang lalu, Andin diperkosa.”
“Apa?”
Tubuh pak Harsono luruh ke tanah. Ia pasti akan terjatuh apabila dokter Faris tidak menangkapnya, kemudian mengajaknya duduk di teras. Tapi di tangga teras itu, pak Harsono menjatuhkan tubuhnya, kemudian menutupi wajahnya dengan kedua belah tangannya.
“Maafkan saya Pak. Saya juga baru tahu tentang kejadian itu setelah Andin keguguran. Andin sangat menutupi rahasia itu. Bahkan dia menolak ketika saya menyatakan cinta, tanpa mengatakan apa sebabnya.”
“Anakku … kenapa dia memendam derita itu seorang diri?” suaranya bergetar, menahan perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya.
“Siapa laki-laki itu?”
“Anak seorang keluarga kaya.”
“Aku akan melaporkannya pada polisi.”
Dokter Faris bisa mengerti. Barangkali itu hal terbaik yang harus dilakukan.
“Saya akan membantu Bapak.”
“Tapi kalau itu aku lakukan, Andin akan tahu bahwa aku mengetahui rahasia yang disimpannya,” lanjutnya sedih.
“Maksud Bapak bagaimana?”
“Saya tidak ingin Andin melihat saya mengetahui semuanya. Dia sangat menjaga perasaan saya dengan menyimpannya sebagai rahasia. Kalau tiba-tiba dia tahu bahwa saya mengetahuinya, pasti dia akan kecewa.”
Dokter Faris agak bingung memikirkannya. Sang anak menutupi kejadian yang menimpanya untuk menjaga perasaan ayahnya, dan sekarang sang ayah tak ingin menunjukkan bahwa dia tahu tentang kejadian itu, untuk menjaga perasaan sang anak. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Lalu dilihatnya pak Harsono berdiri.
“Bapak mau ke mana? Biar saya mengantarkan Bapak,” kata dokter Faris sambil mengikuti pak Harsono yang mendekati motornya.
“Bapak sedang tidak tenang, Jalanan sedang ramai-ramainya. Saya akan mengantarkan Bapak, kemanapun Bapak akan pergi.”
“Motor saya, bagaimana?”
“Saya akan mengantarkannya.”
Pak Harsono mengangguk, karena dia memang merasa badannya sangat lemas.
“Antarkan saya pulang saja. Saya juga ingin tahu keadaan Andin bagaimana setelah kemarin pulang dari rumah sakit.”
“Baiklah, saya antarkan Bapak pulang ke rumah.”
***
Disepanjang perjalanan, pak Harsono tampak hanya terdiam. Ia benar-benar merasa terpukul mendengar betapa menderitanya anak gadis yang dicintainya.
“Pak, bolehkah saya bertanya?”
Pak Harsono menoleh ke arah laki-laki ganteng di sebelahnya.
“Dari mana Bapak tahu bahwa Andin sebenarnya keguguran?”
“Ketika Nak Dokter menjemput saya dan mengantarkan ke rumah sakit, saya bertemu dengan anak kenalan saya yang menjadi perawat di sana. Waktu itu nak dokter sedang memarkir mobil. Dia terkejut ketika saya mengatakan ingin menjemput Andin, Tapi saya terkejut ketika mendengar dia berkata, bahwa sangat prihatin Andin sampai keguguran.”
Dokter Faris membelalakkan matanya. Ia mengetahui apa yang terjadi, tapi dia bersikap biasa saat bertemu Andin. Ia bahkan tidak bertanya tentang penyakit Andin, yang pastinya semua orang mengira, ayah Andin sudah puas dengan keterangan bahwa Andin hanya sakit perut saja.
“Bapak sangat luar biasa.”
“Apa?”
“Bapak sudah mengetahui semuanya, tapi Bapak bersikap biasa saja.”
“Karena saya menjaga perasaan Andin. Dia sudah sangat menderita dengan menyimpan rahasia itu dari hadapan saya, dan selalu bersikap tak terjadi apa-apa. Jadi saya melakukan hal yang sama untuk dia.”
Dokter Faris menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Saya minta maaf karena tadi dengan membabi buta menuduh Nak Dokter yang melakukannya.”
“Saya bisa mengerti. Jadi lebih baik sekarang Bapak melupakan semuanya. Hal yang sudah terjadi tidak bisa diulang kembali. Hal terbaik yang harus kita jalani adalah melupakan semuanya dan memperbaiki langkah selanjutnya.”
“Nak Dokter masih muda, tapi sangat bijaksana.”
Pak Harsono menghela napas panjang.
“Entah bagaimana nanti nasib anak saya setelah dia ternoda. Tak mungkin dia berani melangkah ke depannya. Apakah ada laki-laki yang mau memperistri gadis yang sudah ternoda?”
Dokter Faris berdebar. Ia mencintai Andin, walau ia tahu bagaimana keadaannya, tapi cinta itu masih ada. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi tiba-tiba pak Harsono bergumam sendirian.
“Biarlah Andin menyelesaikan dulu kuliahnya. Aku harus selalu mendukungnya agar cita-cita itu tak kandas di tengah jalan.”
Dokter Faris tersenyum senang, perlahan, tapi pasti, pak Harsono akan berhasil menata batinnya, dan menjalani semuanya dengan baik.
***
Pak Harsono turun dari mobil, lalu mengucapkan terima kasih kepada dokter Faris yang mengantarnya.
“Saya tidak ikut turun, karena harus ke rumah sakit, Pak.”
“Tidak apa-apa. Pergilah. Sekali lagi, terima kasih.”
Pak Harsono melangkah memasuki halaman, sementara dokter Faris melajukan mobilnya.
Di teras, Andin berdiri menyambutnya.
“Mengapa Bapak pulang? Mana motor Bapak?” tanyanya sambil mengambil tas kerja ayahnya, dan mengikutinya masuk.
“Mengapa kamu tidak beristirahat saja di kamar? Kamu kan habis sakit?”
“Saya sudah tidak apa-apa. Saya sedang menunggu tukang sayur, karena ingin memasak untuk Bapak.”
Pak Harsono tak bisa lagi menahan air matanya. Ia merangkul Andin dan membiarkan air matanya terburai.
“Mengapa Bapak menangis?” tanya Andin heran.
“Bapak sangat terharu. Kamu habis sakit, tapi masih juga memikirkan bapakmu ini.”
“Andin tidak tahan untuk tiduran saja di kamar.”
“Kamu harus beristirahat, jangan memikirkan bapak.”
“Tapi mengapa Bapak pulang?” tanya Andin sambil mengamati wajah ayahnya. Wajah itu sedikit pucat.
“Apa Bapak sakit?” lanjutnya khawatir.
“Bapak naik apa? Mana motor Bapak?”
Pak Harsono tak menjawab, ia langsung masuk ke dalam kamar, lalu melepas baju kerjanya. Andin membantu melepaskan sepatunya.
“Andin, sudahlah, kamu istirahat saja.”
“Bapak kan belum menjawab pertanyaan saya. Kok Bapak pulang lagi, apa Bapak sakit, Di mana motor Bapak?”
“Bapak itu tadi merasa pusing tiba-tiba, kebetulan lewat di rumah dokter Faris, terus Bapak mampir, dan diperiksa, katanya cuma kecapekan. Tapi Bapak diantar pulang, motor Bapak masih di sana.” rupanya pak Harsono juga harus berbohong demi menjaga perasaan anaknya.
“Bapak bekerja terlalu keras sih. Mulai sekarang jangan bekerja terlalu keras.”
“Tidak kok, biasa saja. Mungkin hanya masuk angin. Bapak hanya ingin istirahat saja sehari ini.”
“Baiklah, Andin akan membeli sayur sebentar, lalu memasak buat Bapak.”
“Tidak usah Nak, kamu kan habis sakit.”
“Tidak apa-apa. Bapak istirahat saja. Nanti kalau Andin sudah selesai masak, Bapak saya bangunin,” katanya sambil melangkah keluar kamar.
“Andin,” tiba-tiba pak Harsono memanggil.
Andin menghentikan langkahnya, lalu berbalik mendekati ayahnya, karena sang ayah melambaikan tangannya, menyuruhnya mendekat.
“Bapak ingin apa? Andin buatkan minum hangat ya?”
“Tidak, bapak ingin kamu peluk bapak saja.”
Andin merasa aneh, tapi ia tak kuasa menahan air matanya ketika memeluk ayahnya, dan sang ayah membalas memeluknya erat.
“Permata hatiku,” bisik sang ayah lembut, lalu melepaskan pelukannya.
Andin mengusap air matanya.
“Ya sudah, Bapak istirahat dulu. Kamu jangan terlalu capek.”
Andin mengangguk, lalu membalikkan tubuhnya, keluar dari kamar. Ada perasaan aneh ketika menyaksikan sikap ayahnya yang tak biasa. Tapi Andin menganggapnya, mungkin sang ayah agak sedih ketika dia harus menginap di rumah sakit, kemarin.
***
Aisah berada di rumah kakak misannya sepulang dari kampus. Dokter Faris mengatakan pertemuannya dengan pak Harsono, dan membuat Aisah heran ketika kakak misannya itu menceritakan semuanya.
“Jadi antara Andin dan ayahnya itu saling menutupi rasa sedihnya, demi menjaga perasaan antara satu dan lainnya?”
“Itulah yang aku salut dari pak Harsono. Harusnya dia marah karena dibohongi, tapi ia malah mengingat penderitaan anaknya, dan tak ingin membuatnya lebih menderita. Bahkan untuk melaporkannya pada polisi saja dia takut, kalau nanti Andin bertambah menderita karenanya.”
“Lalu apa yang akan mereka lakukan?”
“Pak Harsono hanya ingin agar Andin melanjutkan kuliahnya sampai selesai.”
“Apa Mas masih mencintainya?”
“Mengapa bertanya begitu?”
“Setelah mengetahui keadaan Andin. Pastilah cinta itu luntur, da_”
“Aku tetap mencintainya.”
“Benar?” mata Aisah berbinar. Ia harus bersyukur Andin tak akan kehilangan masa depannya karena dijauhi oleh laki-laki oleh keadaannya yang tercela.
“Tapi sebaiknya aku biarkan agar mereka tenang dulu, karena pak Harsono ingin agar Andin menyelesaikan kuliahnya terlebih dulu.”
“Baiklah, aku mengerti. Lalu bagaimana dengan pekerjaannya membantu Mas di sini?”
“Kalau dia mau, biarkan saja seperti biasa. Memangnya kenapa? Kamu ingin membantu pekerjaan dia?”
“Bukan aku. Tapi teman aku.”
“Kamu mencarikan pekerjaan untuk teman kuliah kamu yang lain?”
“Bukan.teman kuliah aku. Teman baik, dia juga korban kebuasan Romi.”
“Apa?”
“Dia bahkan sudah hamil tiga bulan dan Romi tidak mau mengakuinya.”
“Bagaimana ada laki-laki sebejat itu?”
“Dia bekerja di sebuah toko batik, tapi dia terancam dikeluarkan karena hamil. Perusahaan itu tidak menerima karyawan yang sudah menikah, apalagi hamil. Lalu dia sudah dibuang oleh orang tuanya karena malu, sehingga dia harus mencari nafkah untuk menghidupi dirinya dan juga bayinya, pastinya.”
Dokter Faris berdiam sejenak, tapi kemudian dia menganggukkan kepalanya.
“Pasien aku banyak. Barangkali Andin akan capek kalau semuanya harus dia yang mengerjakan.”
“Jadi … Mas mau menerima Kinanti bekerja di sini?”
Dokter Faris mengangguk.
“Terima kasih Mas. Mas Faris sungguh baik deh. Aku akan segera mengabari dia tentang kabar baik ini.”
***
Siang hari itu seorang suruhan dokter Faris mengantarkan sepeda motor pak Harsono. Pak Harsono yang merasa lebih tenang, duduk di teras ditemani Andin.
“Kamu berlama-lama duduk, apa tidak capek?”
“Hanya duduk, kenapa bisa capek?”
“Kamu kan habis sakit, dan ...,” pak Harsono hampir mengatakan tentang kuret itu, untunglah bisa mengeremnya.
“Hanya sakit biasa, bapak menganggapnya saya sakit serius. Andin baik-baik saja, besok Andin mau kuliah.”
“Apa kamu benar-benar merasa sehat?”
“Tentu saja Pak.”
“Apa kamu masih ingin bekerja juga? Bagaimana kalau berhenti saja?”
“Jangan Pak, Andin kan bisa meringankan beban Bapak dengan bekerja.”
“Tidak, semua kebutuhan kamu sudah bapak persiapkan, jadi menurut bapak, kamu fokus saja di kuliah kamu, supaya segera selesai.”
Andin terdiam. Sesungguhnya setelah peristiwa keguguran itu, dia merasa sungkan ketemu dokter Faris.
“Pikirkan lagi saja. Bapak pikir lebih baik kamu tidak bekerja dulu, entah besok kalau kamu sudah selesai.”
“Baiklah Pak, akan Andin pikirkan lagi nanti.”
Tiba-tiba ponsel pak Harsono berdering.
“Eh, ini dari mas Tijab,” kata pak Harsono yang kemudian mengangkat ponselnya. Agak berdebar dia, karena pak Tijab pasti akan bicara lagi soal hubungan Andin dan Luki.
***
Besok lagi ya.