BERSAMA HUJAN 13
(Tien Kumalasari)
Andin sudah sampai di kampus. Matanya mencari-cari, barangkali bisa menemukan Aisah untuk berbagi, walau sebentar saja. Tapi yang dicarinya tak kelihatan. Ingin mendekati ruang kelasnya, tapi takut malah ketemu yang lain. Jadi akhirnya dia masuk ke dalam ruangannya sendiri. Baru beberapa temannya yang masuk ke dalam kelas itu, lalu Andin membuka bungkusan pisang gorengnya, yang langsung diserbu oleh mereka. Untunglah belum banyak yang datang, sehingga sepuluh biji pisang goreng itu tidak menjadi kurang. Bahkan ada yang sempat makan sampai dua biji. Andin tersenyum melihat ulah mereka, tapi tak banyak yang dikatakannya. Bahkan ucapan terima kasih dari mereka yang bersahutan pun hanya dijawabnya sambil tersenyum. Pikirannya masih tertuju pada dokter Faris, yang terang-terangan menyatakan suka.
Batin Andin justru merasa sakit. Harusnya pernyataan suka dari seorang dokter Faris itu membahagiakan. Dia muda, sukses, ganteng, baik hati, apa yang kurang? Gadis mana yang mampu menolak sebuah ‘anugerah’ seperti itu? Lalu apa yang akan dikatakan Andin? Dia merasa tak berharga. Mana mungkin dia berani menerimanya? Adakah seorang laki-laki mau memperistri seorang gadis yang bukan perawan?
“Hei, ngelamunin apa? Dosen sudah datang tuh,” tegur temannya yang duduk di belakangnya.
Andin terkejut, kemudian menoleh ke belakang. Ia mengulaskan senyum, lalu ketika melihat ke arah depan, sang dosen sudah berdiri di depan para mahasiswanya.
***
Sampai saat pulangpun Andin tak bisa menemukan Aisah. Ketika ia sedang berjalan ke arah jalan raya untuk menunggu angkot, dilihatnya sebuah mobil memasuki halaman kampus. Mobil yang sangat dikenalnya, dan membuat debar jantungnya semakin tak beraturan.
Mobil itu berhenti begitu saja. Pengemudinya, dokter Faris, membuka jendela dan tersenyum ke arahnya.
“Dokter?”
“Ayo naik,” perintahnya.
Andin menghela napas, tapi ia berjalan juga ke arah pintu samping, lalu dokter Faris sudah membukakan pintu dari tempat duduknya.
Andin masuk dan kemudian menutup pintunya.
“Mengapa dokter melakukannya?” tanya Andin setelah mobil itu melaju.
“Kebetulan saja aku juga sudah pulang. Pas sekali saat itu kamu juga sudah pulang. Ini kan namanya jodoh,” kata sang dokter seenaknya.
Andin merinding mendengarnya. Jodoh. Lagi-lagi perkataan itu membuat hatinya ciut. Ia tak berani menatap ke samping, karena lebih banyak menata perasaannya yang tidak karuan. Ada bahagia, tapi lebih banyak sakit dan dukanya.
“Pacar kamu tidak pernah menjemput?”
“Pacar apa?”
“Kamu punya pacar?” itu pertanyaan semalam yang diulangnya.
“Tidak ada yang mau sama saya,” kata itu meluncur begitu saja dari mulut Andin.
“Hei, mengapa berkata begitu? Bukankah aku mau?” sang dokter nekat sekali.
“Dokter, hentikan. Tolonglah.”
“Ada apa sebenarnya dirimu, Andin? Aku seorang laki-laki lajang, kamu seorang gadis, apa salah kalau aku jatuh cinta sama kamu?”
“Saya kan sudah bilang bahwa saya bukan gadis yang pantas. Masih banyak gadis lain yang lebih pantas dokter cintai, bukan saya.”
“Kamu selalu mengatakan tidak pantas, apanya yang tidak pantas? Kamu merasa diri kamu berasal bukan dari keluarga kaya, dan menganggap aku adalah laki-laki kaya? Apakah saat cinta itu datang, ia harus bertanya dulu seperti apa orang yang dicintai, atau pantaskah dia dicintai?”
“Tentu saja dok. Sebuah perbuatan harus dilakukan dengan banyak pertimbangan. Bukan asal suka, atau asal merasa pilihannya baik.”
“Tapi aku tidak asal mengatakannya. Cintaku sudah tahu akan sebuah kebenaran yang dirasakannya.”
“Tidak. Dokter akan menyesal.”
“Baiklah, maukah kamu mengatakan, mengapa kamu berkata seperti itu? Atau … menurut kamu, aku ini bukan laki-laki yang pantas untuk kamu?”
“Tidak. Bukan begitu,” Andin secepatnya menjawab.
“Lalu apa?”
“Dokter, tolonglah, jangan mendesak saya. Ada sesuatu yang bisa dikatakan, tapi ada yang tidak bisa dikatakan,” kata Andin hati-hati.
Kepalanya menunduk, sesungguhnya Andin memang merasa sedih. Dokter Faris melihat setitik air mata menetes dari sepasang mata indah itu, lalu runtuhlah rasa ibanya. Ia yakin gadis yang sangat dicintainya sedang memendam sesuatu yang menyedihkan. Ia tak ingin mendesaknya, walau ia juga tak ingin menghapus rasa cinta itu dari dalam hatinya.
***
Aisah juga sudah pulang kuliah. Tapi lebih sorean, karena dia masih saja sibuk mencari buku-buku yang diperlukan di perpustakaan kampus. Aisah juga belum ingin pulang, karena ia ingin menemui Kinanti yang sudah dua hari ini tak memberi kabar apapun padanya. Ia pergi ke toko batik dimana Kinanti bekerja, lalu merasa lega ketika melihat Kinanti masih ada di sana.
Aisah sedang menunggu Kinanti di luar, di bawah sebuah pohon rindang, ketika ponselnya berdering. Dari dokter Faris.
“Ya Mas?”
“Kamu sudah di rumah?”
“Tidak, masih di jalan, mau ketemu teman.”
“Segera setelah selesai, datanglah ke rumah.”
“Memangnya ada apa? Mas kan tahu bahwa aku_”
“Pokoknya datang ke rumah dulu. Ada hal penting yang akan aku katakan sama kamu.”
“Masalah apa sih Mas?”
“Pokoknya datang, segera. Aku tunggu.”
Lalu Aisah terhenyak ketika dokter Faris tiba-tiba menutup ponselnya.
“Ada apa sih ini?” gumam Aisah tak mengerti. Tumben-tumbenan kakak misannya berkata begitu tegas, seperti tak ingin dibantah. Apakah ada masalah dengan Andin? Tapi Aisah tak bisa berpikir lebih banyak, karena dilihatnya Kinanti sudah keluar dan menghampirinya.
“Mbak Aisah? Tidak kuliah?”
“Sudah pulang. Aku ingin melihat keadaan kamu.”
“Saya baik-baik saja. Maaf Mbak, baju mbak belum sempat aku setrika.”
“Hei, siapa menanyakan baju itu? Aku hanya ingin melihat keadaan kamu. Kamu baik-baik saja?”
“Ya, seperti yang Mbak lihat, saya baik.”
“Aku khawatir kamu tidak lagi boleh bekerja di sini.”
Kinanti menghela napas.
“Saya sedang berpikir untuk mencari pekerjaan lain, karena pegawai di toko ini harus yang masih gadis. Jadi wanita hamil tidak boleh lanjut bekerja. Ya kan?”
“Mereka belum tahu?”
“Sejauh ini belum. Saya sedang bersiap-siap untuk berterus terang saja, daripada dikeluarkan setelah mendengar dari orang lain. Tapi saya kan harus memikirkan pekerjaan lain. Sekarang saya ini kan sendirian, lalu harus merawat bayi yang saya kandung ini, dan itu juga membutuhkan biaya. Ya kan?”
“Ya, aku mengerti. Sekarang ayuk, aku antarkan kamu ke rumah kost kamu.”
“Mbak Aisah kok begitu susah payah memikirkan saya.”
“Sejak melihat kamu tampak menderita karena ulah bedebah itu, aku merasa dekat sama kamu. Biarlah kita menjadi sahabat. Siapa tahu pada suatu hari aku bisa menolong mencarikan pekerjaan untuk kamu.”
“Senang sekali mendengarnya Mbak.”
“Ayo aku antarkan dulu. Sebenarnya aku masih ingin berlama-lama bicara sama kamu, tapi kakak misan aku meminta agar aku segera menemuinya. Jadi aku hanya akan menurunkan kamu di rumah kost, lalu aku pamit. Ya.”
“Sebenarnya saya tidak usah diantar juga tidak apa-apa.”
“Sudahlah, jangan membantah, kan aku sudah sampai di sini, dan memang ingin ketemu kamu.”
***
Saat sepeda motor Aisah memasuki halaman rumah dokter Faris, dilihatnya sang dokter duduk di teras, tampak sedang menunggunya. Hal penting apa sih yang ingin dikatakannya.
Aisah menstandartkan sepeda motornya, lalu naik ke teras, duduk begitu saja di depan kakak misannya, tanpa menunggu dipersilakan.
“Ada apa sih?”
“Kamu kan sahabatan sama Andin?”
“Iya lah. Kenapa? Dia keluar tiba-tiba?”
“Jangan ngarang. Dengarkan dulu aku bicara.”
Aisah mengangguk. Ia melihat kakak misannya menatapnya sangat serius.
“Apa Andin punya pacar?”
Astaga, hanya bertanya soal itu? Jadi sang kakak misan ini benar-benar jatuh cinta sama sahabatnya? Senyuman Aisah mengembang.
“Jangan cengengesan begitu, aku serius.”
“Ya ampun Mas, siapa yang cengengesan sih? Tapi aku senang, Mas tertarik sama dia.”
“Kamu bicara apa? Pertanyaanku adalah, apakah dia punya pacar, kok kamu ngomong yang lain-lain.”
“Iya … baik, aku jawab, tidak punya.”
“Jangan bohong.”
“Suwer deh.”
“Kenapa dia menolak perasaan cinta aku?”
“Apa? Jadi Mas sudah mengatakan cinta, lalu dia menolak?”
“Dia bilang tidak pantas … tidak pantas … terus itu saja jawabnya. Intinya adalah … dia menolak aku kan?”
Aisah bisa mengerti apa yang dirasakan sahabatnya. Pastilah, Andin takut menerimanya setelah si tengik itu menodainya.
“Kamu tahu kenapa? Dia tampak sedih, bahkan sempat menitikkan air mata. Dia tampak sangat menderita.”
Aisah terdiam. Masalah kejadian di malam penuh jahanam itu, mana mungkin Aisah berani mengatakannya? Ia sudah berjanji pada Andin bahwa hanya mereka berdua saja yang tahu.
“Hei, kenapa bengong? Kamu sedang menyembunyikan sesuatu? Kamu mengetahui sesuatu tapi tak mau mengatakannya?”
Aisah menghela napas berat. Dan memang berat untuk mengatakannya.
“Aisah, aku sedang bicara sama kamu,” kata dokter Faris yang mulai kesal.
“Maaf Mas, kalau itu aku tidak tahu.”
“Jangan bohong kamu.”
“Mas tanya sendiri saja sama dia.”
“Aku sudah menanyakannya, dan jawabnya adalah, ada hal yang bisa dikatakan, dan ada yang tidak bisa.”
“Kalau begitu berarti dia merahasiakan sesuatu.”
“Kamu tidak tahu, sesuatu itu apa?”
Aisah menggeleng pelan.
Dokter Faris menatap penuh selidik, berharap Aisah mau mengatakan sesuatu.
“Mas Faris benar-benar jatuh cinta sama dia?”
“Ngomong apa, kamu itu. Susah payah aku memanggil kamu, hanya untuk mengetahui alasannya, mengapa dia menolak aku.”
“Orang jatuh cinta itu kan harus mau menerima segala kelebihan dan kekurangannya. Ya kan Mas.”
“Kok kamu malah ngajarin aku sih. Kamu itu anak kemarin sore. Tanpa kamu mengatakannya juga, sudah pasti aku sudah tahu.”
Aisah memeletkan lidahnya, melihat kakak misannya melotot menatapnya, dan pastinya sangat kesal karena tidak mendapatkan jawaban yang diinginkannya.
“Jadi kamu tidak tahu apa-apa tentang dia?”
“Kalau yang dia menyimpannya sebagai rahasia, maaf saja Mas.”
“Ya sudah, pulang saja sana,” kesal dokter Faris.
Tapi bukannya pergi, Aisah malah bergegas ke belakang.
“Heiii, mau apa kamuuu?” teriak dokter Faris.
“Cari bibik, mau minta jus buah,” jawabnya dari arah dapur.
Dokter Faris tersenyum. Mana ada jus di belakang. Bibik saja belum pulang dari kampung.
“Bibik mana?” tanya Aisah yang tak berhasil menemukan bibik di belakang, apalagi jus di kulkas.
“Pulang kampung, sudah dua hari.”
“Ya ampuun, kenapa nggak bilang.”
“Kamu ngomong saja nggak, bagaimana aku bilang.”
“Ya sudah, aku pulang ya Mas.”
“Pulang saja sana.”
“Mas jangan patah semangat. Kalau memang jodoh, pasti tak akan ke mana,” serunya sambil menstarter sepeda motornya, menjauh dan keluar dari halaman.
Dokter Faris menarik napas panjang dengan kecewa. Ia memasuki rumah dan bersiap untuk praktek di sore hari itu.
***
Andin sudah selesai mandi dan bersiap pergi ke tempat kerja, beruntung sepeda motor dokter Faris sudah dibawanya pulang saat dokter itu menjemputnya di kampus. Ketika itulah Aisah menelponnya.
“Ya ampun Ais, aku ingin ketemu kamu sejak kemarin,” sapa Andin begitu mengangkat ponselnya.
“Kenapa tidak menelpon?”
“Takut mengganggu. Kamu kan sedang sibuk mengerjakan skripsi kamu.”
“Kan ada saatnya beristirahat, masa aku terus- menerus memelototi laptop aku?”
“Kalau yang menelpon kamu kan beda.”
“Kamu belum berangkat kerja?”
“Baru mau berangkat.”
“Apa yang terjadi antara kamu dan mas Faris?”
Andin tertegun. Kenapa sahabatnya tiba-tiba mengatakan tentang dokter Faris? Apakah dokter itu sudah menceritakan semuanya pada Aisah?
“Kok diam?”
“Dokter Faris cerita apa sama kamu?” Andin balas bertanya.
“Dia mengatakan cinta sama kamu, tapi kamu menolaknya.”
“Ais, kamu kan tahu sebabnya. Hei, apakah kamu mengatakan tentang kejadian buruk itu?” tanya Andin curiga.
“Tidak, tenang saja. Dia bertanya, mengapa kamu menolaknya tanpa alasan yang kamu tidak mau mengatakannya.”
“Jawab kamu apa?”
“Aku jawab saja bahwa aku tidak mengerti apa-apa.”
“Terima kasih, Ais.”
“Andin, apa tidak sebaiknya kamu berterus terang saja sama dia?”
“Apa? Menceritakan aib itu? Perasaan kamu di mana Ais,” Andin menjawab kesal.
“Maaf … maaf. Bukan maksudku membuat kamu malu. Tapi kalau dia tulus, pasti dia mau menerima kamu apa adanya.”
“Tidak … tidak, sudah, biarkan begini saja. Dan ini sudah terlambat untuk bekerja Ais, nanti kita ngomong lagi ya,” kata Andin yang menutup ponselnya tiba-tiba.
Hampir jam lima, Andin bergegas bersiap dan memacu sepeda motornya ke tempat kerja.
Ketika memasuki halaman, dia melihat beberapa pasien sudah menunggu. Ia juga melihat dokter Faris baru saja melongok keluar, barangkali bertanya-tanya, mengapa dirinya belum datang.
Setengah berlari Andin naik ke teras, tapi sial, kakinya terantuk tangga, lalu membuatnya jatuh tertelungkup.
Jeritan beberapa pasien terdengar, dan dokter Faris bergegas mendekat. Tanpa ragu ia mengangkat tubuh Andin, dan ketika membaringkannya di ruang praktek, dokter Faris melihat darah mengalir di kakinya.
***
Besok lagi ya.