BERSAMA HUJAN 07
(Tien Kumalasari)
Elisa merengut, ia mengaduk minumannya dengan cepat, lalu meneguknya sampai habis. Ia tak mengira Romi akan menolaknya begitu saja.
“Kenapa tiba-tiba kamu ingin menikah? Maksudku … buru-buru menikah,” kata Romi tanpa senyuman.
“Romi, kita sudah bertunangan lama. Kita sudah melakukan banyak hal yang seharusnya belum boleh kita lakukan. Mengapa ketika aku minta agar kita menikah, lalu kamu kelihatan tak suka?”
“Bukankah kamu tahu kalau aku masih kuliah?”
“Aku tahu, tapi kamu kan bisa segera menyelesaikannya? Dan kuliah setelah menikah itu tidak ada yang melarang, bukan?”
“Mengapa tiba-tiba kamu begitu ingin segera menikah?”
“Kamu tidak? Kamu kan mencintai aku, Romi, kita sudah dijodohkan sejak lama. Apa salahnya segera menikah?”
“Memang tidak salah, tapi aku ingin menyelesaikan kuliah aku terlebih dulu.”
“Romi, tapi aku ingin segera bisa bersama kamu sebagai istri kamu,” kali ini Elisa merengek.
“Apakah kamu pulang hanya untuk mengejar-ngejar aku agar segera menikahi kamu?”
“Sesungguhnya aku takut.”
“Takut apa?”
“Takut kalau tiba-tiba aku hamil.”
Romi terkekeh geli.
“Bukankah kamu selalu memakai pengaman?”
“Terkadang tidak.”
“Bodoh! Mengapa kadang-kadang tidak?”
“Terkadang kita terlalu terburu nafsu dan melupakan pengaman itu.”
”Sebelum kamu berangkat ke luar negri kita sudah melakukannya, dan kamu tidak pernah melupakannya, mengapa tiba-tiba kamu takut?”
“Aku kan sudah bilang kalau aku sering melupakannya? Tolong Romi, sebagai perempuan, wajar kalau aku merasa khawatir. Berbeda denganmu.”
Romi tampak terdiam. Sesungguhnya dia belum siap untuk menikah. Saatnya bersenang-senang bersama teman-temannya seakan belum terpuaskan. Kalau dia menikah, akan banyak hambatan dan tatanan yang harus dipatuhinya. Ia akan merasa dikekang, itu Romi tidak suka.
“Romi, please.”
“Aku akan bicara dulu pada orang tua aku.”
“Maksud kamu … mereka setuju atau tidak? Bukankah kita memang dijodohkan? Tak mungkin dong mereka menolak.”
“Mereka akan bertanya, kenapa buru-buru, karena aku pernah bilang baru mau menikah setelah lulus. Papa tidak akan pernah menyerahkan usahanya sebelum aku selesai kuliah.”
“Kamu menakutkan itu? Bukankah kamu juga akan bisa menggantikan usaha papa aku? Kamu takut miskin? Tak mungkin hal itu akan terjadi.”
Romi menghela napas kesal.
“Nanti aku akan bilang sama mama kamu.”
“Apa maksudmu? Hei, kenapa tiba-tiba kamu ingin sekali menikah?” ulangnya, curiga.
“Romi, apakah itu aneh? Aku bosan pacaran terus menerus. Aku takut hamil, tahu.”
Romi terbahak.
“Takut hamil? Kalau kamu belum ingin, kamu bisa menggugurkannya. Banyak cara untuk melakukan itu, kan?”
“Menggugurkan itu dosa.”
Romi semakin tertawa keras.
“Bagaimana tiba-tiba kamu tahu tentang dosa? Kita sudah sering malakukan dosa itu. Darimana asalnya ketika tiba-tiba kamu bisa mengingat tentang dosa?”
Elisa terus merayu Romi, dan tak berhenti meminta. Sampai akhirnya Romi mengalah dengan akan membicarakannya dulu dengan kedua orang tuanya.
“Nanti aku juga akan bicara sama mama kamu.”
“Harusnya kamu bicara sama mama kamu sendiri, bukan sama mama aku."
“Mama aku sudah setuju.”
Romi terdiam, ia merasa hidupnya akan terkekang.
“Romi, walaupun kita menikah, aku tak akan menghalangi kebebasan kamu. Lakukan saja apa yang kamu suka,” kata Elisa yang tahu bahwa sebenarnya Romi takut kebebasannya terkurangi. Elisa tak peduli, yang penting kehamilannya akan tertutupi, karena ia yakin yang ada di rahimnya bukanlah anak Romi. Entah siapa pemilik benih yang mengeram dalam rahimnya, ia sudah melupakannya, karena ia berhubungan dengan beberapa temannya, dan ia lupa dengan siapa saja.
Mendengar Elisa tidak akan mengekangnya, Romi merasa heran, karena setiap kali dia melihat saat dirinya mengganggu teman gadisnya, pasti Elisa cemburu.
“Benarkah kamu tak akan mengekang kebebasan aku? Bukankah kamu pencemburu?”
“Cemburu itu kan tandanya cinta. Ketika sepenuhnya kamu sudah menjadi milik aku, maka untuk apa aku harus cemburu?”
Begitu pintarnya Elisa merayu, sampai akhirnya Romi mengalah.
“Kalau begitu kita pulang. Aku akan bicara sama mama aku.”
“Bagus Romi, itu yang aku suka dari kamu. Selalu memperhatikan keinginan aku. Percayalah, bahwa aku sangat mencintai kamu,” katanya sambil tersenyum manja.
***
Bu Rosi agak terkejut mendengar permintaan anaknya yang ingin segera menikah, sementara sebelumnya Romi ingin menyelesaikan kuliahnya terlebih dulu. Sebenarnya itu tak masalah, karena mereka memang sudah dijodohkan. Tapi permintaan yang tiba-tiba, membuat bu Rosi curiga.
“Apa Elisa hamil?” tuduhnya.
“Mama bagaimana sih, dia baru kembali kemari sekitar dua minggu, bagaimana bisa hamil?”
“Mama kan hanya bertanya.”
“Elisa takut kehilangan Romi, makanya dia ingin kami segera menikah.”
“Takut kehilangan kamu?”
“Mama kan tahu, Romi itu ganteng, banyak penggemarnya,” kata Romi sambil tersenyum.
Bu Rosi menatap anaknya. Siapa bilang anak semata wayangnya tidak ganteng dan memikat? Diam-diam bu Rosi bangga memiliki anak setampan Romi. Senyumnya mengembang, membuat Romi yakin bahwa ibunya tak bisa memungkiri apa yang dikatakannya.
“Iya kan Ma?”
“Iya, mama tahu.”
“Dan itu sebabnya Elisa takut aku digaet gadis lain. Romi yakin, itulah alasan dia agar Romi segera menikahinya.”
“Nanti aku akan bicara sama papa kamu. Barangkali kalau memang kalian ingin, kami tidak akan menolak. Tapi kamu harus ingat, papa kamu ingin agar kamu menyelesaikan kuliah kamu, sebelum papa menyerahkan usahanya sama kamu.”
“Iya, tidak lama lagi Romi akan menyelesaikannya.”
“Baiklah, mama akan bicara dulu, dan kamu harus menepati janji kamu untuk menyelesaikan kuliah kamu biarpun sudah menikah.”
“Elisa juga sudah berjanji untuk tidak mengekang kehidupan Romi.”
“Apa maksudnya itu? Kalau kalian menikah maka kalian harus terikat satu sama lain, karena sebuah keluarga harus bisa dijalani dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian, kalian akan menjadi lebih terkekang. Terkekang oleh kewajiban menjadi suami dan istri, terkekang agar bisa menciptakan sebuah rumah tangga yang kokoh, apalagi kalau kalian sudah punya anak, nanti.”
Romi ingin menutup kupingnya rapat-rapat, tapi takut melakukannya. Sebenarnya itulah yang tidak disukainya. Berumah tangga dan terkekang. Tapi Romi tak berkomentar, karena Elisa sudah berjanji tidak akan mengekangnya, dan itu membuatnya sedikit lega.
***
Sore hari itu tiba-tiba Aisah muncul di rumah dokter Faris, menemani Andin yang sibuk melayani pasien. Walaupun agak heran, Andin senang Aisah menemaninya. Sudah sejak beberapa hari ini Aisah jarang menelpon, dan juga jarang ketemu di kampus. Andin tahu bahwa Aisah sedang sibuk menghadapi ujian.
“Lumayan banyak pasien mas Faris hari ini. Jam berapa selesainya?”
“Biasanya jam delapan sudah selesai. Pasien kan dibatasi hanya sampai lima belas saja.”
“Masih ada empat pasien di luar.”
“Iya, itu empat yang terakhir. Tumben kamu main kemari?”
“Aku kangen sama kamu. Sepulang dari sini kita jalan-jalan ya.”
“Paling kamu pengin makan bakso.”
“Iya benar, tapi ada yang ingin aku ceritakan sama kamu.”
“Apa tuh?”
Aisah ingin membuka mulutnya, tapi pasien sudah keluar, dan Andin harus memanggil pasien berikutnya.
“Mau ngomong apa?”
“Nggak ah, nanti aja. Nggak enak omong-omong asyik, lalu tiba-tiba terputus.”
“Kamu sih, mau ngomong saat aku bekerja.”
"Makanya nanti saja, sambil menyantap bakso."
Andin mengangguk.
“Kamu benar-benar kerasan bekerja di sini?”
“Aku suka, sudah hampir sebulan aku menjalaninya, dan itu sangat menyenangkan. Terutama aku tidak akan meminta uang saku lagi dari bapak,” kata Andin sambil tersenyum.
“Aku senang, kamu menyukai pekerjaan kamu.”
“Ini karena kamu. Aku harus berterima kasih sama kamu.”
“Mas Faris bilang kalau kamu bekerja sangat bagus. Kamu tahu, aku sungguh berharap kalian bisa berjodoh.”
Andin memelototkan matanya. Perkataan Aisah membuatnya teringat kembali akan cacat yang disandangnya. Dilihatnya Aisah justru tersenyum, membuat Andin kesal.
“Memangnya kenapa? Apa mas Faris kurang ganteng?”
“Jangan pernah membuat aku bermimpi,” kesal Andin.
“Apa maksudmu?”
“Aku tak pernah ingin menjadi istri siapapun.”
“Andin, kamu bercanda?”
“Aku serius. Kamu jangan lagi menjodoh-jodohkan aku sama siapapun.”
“Andin.”
“Aku tidak akan lupa siapa diriku. Kamu tidak usah bertanya apa sebabnya karena kamu pasti sudah tahu.”
“Soal kelakuan si brengsek itu?”
Andin terdiam, Luka itu kembali robek dan mengeluarkan darah.
“Itu bukan kesalahan kamu. Mas Faris tidak akan mempersoalkannya.”
“Apa maksudmu? Kesucian seorang gadis itu mutlak. Tak ada seorang laki-lakipun yang suka pada gadis yang bukan perawan,” katanya lirih, karena Aisah bicara agak keras dan beberapa pasien yang tersisa mulai memperhatikan mereka.
Ketika Aisah ingin membuka mulutnya lagi, Andin berdiri untuk memanggil pasien berikutnya.
***
Akhirnya pasien sudah habis, dan Andin mulai merapikan meja kerjanya. Dokter Faris yang keluar merasa heran melihat Aisah ada di sana.
“Ais? Kapan kamu mulai mengganggu Andin bekerja?”
Aisah tertawa.
“Sudah sejak sejam yang lalu.”
“Katanya kamu ujian?”
“Ya, sekarang siap-siap membuat skripsi.”
“Kok malah main, malam-malam pula?”
“Ini kan malam Minggu. Pengin jalan sama Andin. Agak kesal tadi, pasiennya masih banyak.”
“Pasien selalu banyak.”
“Kasihan mas Faris, setelah praktek pasti lelah, Harusnya ada istri yang memijit, agar lelahnya hilang,” kata Aisah seenaknya.
Dokter Faris tertawa.
“Kok tertawa sih Mas? Serius nih, segera cari istri.”
Dan tanpa sadar dokter Faris menoleh ke arah Andin yang sedang mengembalikan kartu-kartu pasien.
“Suka ya?” bisik Aisah pelan.
Dokter Faris tak sempat membalas godaan Aisah karena Andin sudah selesai merapikan semuanya.
“Dokter, saya mau pulang.”
“Baiklah. Eh, tunggu. Kemarilah,” kata dokter Faris sambil masuk kembali ke dalam ruangan. Andin mengikutinya, sementara Aisah melangkah ke belakang untuk menemui bibik.
Andin duduk di kursi ketika dokter Faris mempersilakannya.
“Andin, kamu sudah bekerja sebulan, ini gaji kamu,” katanya sambil mengulurkan sebuah amplop berwarna coklat.
Andin berdebar. Menerima gaji pertama membuat perasaannya berbeda. Ada senang, ada haru, dan tak terasa air matanya merebak. Dokter Faris menatapnya tajam.
“Ada apa? Kamu menangis?”
“Terima kasih, dokter. Ini pertama kalinya saya mendapatkan gaji. Beban ayah saya akan lebih ringan saat saya bekerja,” lirihnya.
Dokter Faris tersenyum, terharu. Ia menarik selembar tissue, diberikannya kepada gadis yang menunduk di depannya. Andin tersenyum sambil menerima tissue itu, lalu mengusap matanya.
“Pulanglah, supaya tidak kemalaman, soalnya Aisah mau mengajak kamu jalan.”
“Terima kasih, dokter.”
Andin keluar, lalu memasukkan amplop itu ke dalam tasnya. Ia sedang mencari-cari Aisah karena tadi dia duduk di dekatnya.
“Hei, ini aku,” teriaknya tiba-tiba, membuat Andin terkejut.
“Dari mana kamu?”
“Ke belakang, ketemu bibik. Aku haus, tahu.”
Dokter Faris berdiri di depan pintu, tersenyum melihat keakraban adik misannya dengan asistennya.
“Mas, kami pulang ya.”
“Hati-hati, dan jangan pulang terlalu malam.”
***
Andin dan Aisah sudah duduk di sebuah warung bakso, dan di depan mereka sudah terhidang dua mangkuk bakso dan dua gelas wedang jeruk panas.
“Malam ini aku yang traktir,” kata Andin sambil menghirup pelan wedang jeruknya.
“Mana bisa begitu, aku yang ngajak, jadi aku yang bayar,” sergah Aisah.
“Aku sedang banyak uang nih.”
“Benarkah? Kamu gajian?”
“Iya.”
“Wah, menyenangkan sekali. Tapi tetap aku yang akan membayarnya.”
“Aisah, kamu bandel ya.”
“Kamu yang bandel.”
“Aku ingin membelanjakan uang gaji pertamaku untuk mentraktir kamu, karena kamu lah yang membuat aku mendapat pekerjaan ini.”
“Tidak. Kata orang tua, kalau mendapat uang, entah dari mana, endapkan dulu semalam di dompet atau di tempat penyimpanan lainnya. Baru besok boleh dibelanjakan, atau disedekahkan.”
“Kenapa begitu?”
“Biar awet punya uang.”
Andin terkekeh.
“Mitos.”
“Tapi itu benar. Pokoknya jangan sentuh uang itu dulu. Malam ini aku yang traktir. Kan aku yang mengajak kamu.”
“Tapi ….”
“Jangan membantah, nikmati baksonya, lalu kita pulang. Oh ya, kamu sudah mengabari ayah kamu kalau akan pulang terlambat?”
“Sudah dong. Bapak itu kalau aku pulang terlambat sedikit saja pasti sudah kebingungan. Jadi begitu mau pulang tadi aku sudah mengabarinya.”
“Bagus, kalau begitu. Oh ya, tadi aku belum jadi ngomong ya.”
“Ngomong apa?”
“Yang tadi aku bilang, lalu belum jadi karena kamu sibuk dengan pasien kamu.”
“Oh, mau cerita apa sih?”
“Cuma mau bilang, bahwa Romi akan menikah bulan depan.”
“Mengapa kamu mengatakan itu sama aku? Biarin saja dia mau ngapain,” kata Andin kesal, lalu ia menyendok lagi baksonya yang hanya tinggal separuh saja.
“Maaf deh, hanya pengin ngerumpi saja.”
“Ngerumpi yang lainnya saja.”
“Iya deh, maaf. Aku tak akan bicara lagi tentang dia.”
Ucapan Aisah yang walau hanya sedikit, membuat Andin kesal, karena lagi-lagi ia harus mengingat malam jahanam itu.
Aisah menyesal telah mengatakannya, dan membuat Andin tak banyak bicara sampai kemudian mereka pulang ke rumah masing-masing.
***
Andin memasuki halaman rumahnya, dan seperti biasanya dia melihat ayahnya sedang duduk di teras, menunggunya.
Ia melangkah ke teras dan mencium tangan ayahnya.
“Maaf Pak, tadi makan bakso sama Aisah. Ini, Andin bawakan juga untuk Bapak.”
“Kelihatannya enak, kebetulan bapak belum makan,” katanya sambil mengikuti Andin masik ke dalam.
Tapi tiba-tiba Andin terlihat memegangi kepalanya setelah meletakkan bungkusan bakso di meja.
“Kenapa kamu?” tanya pak Harsono.
“Nggak tahu kenapa, kepala Andin tiba-tiba berdenyut.”
“Kamu kecapekan. Segera bersihkan diri dan ganti pakaian, lalu makan.”
Andin mengangguk. Ia masuk ke kamarnya sambil memegangi kepalanya.
***
Besok lagi ya.