BUNGA TAMAN HATIKU 33

 BUNGA TAMAN HATIKU  33

(Tien Kumalasari)

 

 

Ratih dan Nijah tak sempat berpikir jauh, ketika kedua laki-laki itu menyeretnya masuk ke dalam sebuah mobil. Mereka benar-benar tak berdaya, karena serangan itu begitu tiba-tiba.

“Heiiii, apa yang kalian lakukan?” teriak Ratih, marah.

“Diam !!” hardik salah satu dari mereka, lalu yang satunya segera membawa mobil itu melaju.

“Itu … kan orang yang menipu aku,” sentak Nijah.

“Benarkah? Kalau begitu kita diculik.”

“Orang jahat, mengapa kalian menangkapku lagi?”

“Buat mereka berhenti bicara!” perintah si pengemudi.

Yang satunya, setelah dengan ringan melompat ke belakang, segera mengeluarkan semacam sapu tangan, yang dibekapkan ke wajah Nijah. Ratih sudah tahu apa yang dilakukannya. Dengan penuh kemarahan dia menggigit lengan laki-laki itu, sehingga bekapan itu terlepas. Nijah tersengal, lalu terbatuk-batuk dengan keras karena sudah menghirup uap yang mengandung bius itu walau hanya sesaat.

“Kurangajar dia.”

“Ikat saja tangan dan kakinya.” perintah si pengemudi lagi.

Ratih memukul-mukul tubuh laki-laki yang kemudian duduk diantara dirinya dan Nijah. Mereka meronta dan berusaha terus memukulnya. Si pengemudi melemparkan tali dari arah depan. Tapi laki-laki yang satunya kesulitan karena keduanya terus meronta. Ia memukul Ratih dengan keras, membuat Ratih menjerit kesakitan. Kepalanya terasa pening, dan beribu bintang beterbangan di depannya,

“Sebaiknya kamu berhenti dulu. Tangani betina ganas ini sebelum melanjutkan perjalanan.”

Mobil itu berhenti, dan si pengemudi turun lalu membuka pintu belakang. Nijah menjerit ketika kedua tangannya ditarik keras. Kesempatan itu dipergunakannya untuk berteriak. Tanpa guna karena tak ada seorangpun di sekitar mereka.

“Tolooooong!! Tolooooong!” jeritan Nijah terasa membelah malam. Suasana di sekitar tampak sepi, dan hanya kegelapan yang tampak di sekelilingnya.

Si pengemudi menampar mulut Nijah dengan keras. Nijah menjerit, dan merasa ada darah mengalir di sudut bibirnya.

Tiba-tiba ponsel si pengemudi berdering. Ia menghentikan kegiatannya menelikung tangan Nijah. Tapi kedua kakinya mengangkang untuk menghalangi seandainya Nijah berniat kabur.

“Yaa, sudah. Kami berhasil menangkapnya. Kami sedang menanganinya. Kami bawa lagi ke vila?”

“Tidak. Bawa ke gudang di ujung desa. Saat ini aku sendirian, nanti aku menyusul ke sana,” terdengar perintah Andri.

Si pengemudi segera menutup ponselnya, dan sekali lagi menampar mulut Nijah ketika ia kembali berteriak.

Laki-laki yang satu sudah berhasil mengikat tangan Ratih, tapi kakinya menyepak-nyepak ke sana kemari, membuatnya kesulitan. Tak sabar, dia menyeret Ratih keluar agar lebih leluasa mengikatnya. Tapi kemudian timbul niatnya untuk membungkam Ratih dengan membiusnya. Dan itu bisa dilakukannya dengan mudah. Si pengemudi juga melakukan hal yang sama, menyeret Nijah keluar lalu membungkam mulutnya dengan obat bius. Keduanya siap menarik Ratih dan Nijah kembali ke atas mobil, tapi tiba-tiba ponselnya berdering lagi.

“Ya, boss!”

“Cepat pergi, polisi mendatangi vila. Mereka pasti akan mengejar kalian, aku sudah pergi dari vila, untunglah, hanya sempat melihat polisi datang tapi aku sudah di jalan. Jadi jangan datang ke vila lagi.”

Kedua laki-laki itupun ketakutan. Tampaknya dia hanya orang bayaran yang harus selamat dari kejaran polisi, bukan penjahat profesional yang sudah tahu apa yang harus mereka lakukan untuk menghindar, mungkin mempergunakan kedua korbannya untuk menjadikannya sandera, atau entah apa. Mereka tiba-tiba masuk kembali ke dalam mobil lalu memacunya menjauh, meninggalkan kedua korbannya tergolek tak berdaya di tepi jalan.

***

Bowo dan Satria tak menemukan bayangan Nijah dan Ratih. Mereka langsung menuju kantor polisi dimana dulu Satria melapor. Ia menyerahkan semua bukti, foto dan rekaman yang diambilnya saat mendatangi vila. Lalu Satria mengajak Bowo pergi ke rumahnya. Ia mempersilakan Bowo, yang hanya ingin duduk di teras saja karena malam sudah larut, dan tak ingin mengganggu penghuni rumah yang lain.

Sementara Bowo duduk, Satria segera masuk, dan melihat pintu depan belum terkunci. Betapa terkejutnya saat dia melihat Ristia sedang menangis di pelukan bu Sardono. Satria mendekat, mengerutkan keningnya, dengan amarah yang memuncak.

“Satria, Ristia sudah sejak siang sampai malam berusaha mencari Nijah, tapi tak ketemu. Baru saja dia datang, dan menangis karena sedih dan putus asa,” kata bu Sardono sebelum Satria memuntahkan kemarahannya.

Mendengar Satria datang, Ristia segera melepaskan tubuhnya dari ibu mertuanya, lalu berusaha menubruk suaminya sambil berurai air mata.

“Mas, aku sedih sekali, tak bisa menemukan Nijah,” tangisnya mengharu biru.

Tapi sebelum Ristia berhasil menyentuh tubuhnya, Satria menghindar, sehingga Ristia jatuh tertelungkup ke lantai.

“Satria!! Apa yang kamu lakukan?” tegur bu Sardono sambil berlari mendekati Ristia yang masih tertelungkup di lantai dan mengeluh kesakitan.

“Aduh Mas, kenapa Mas?” tangisnya.

“Lepaskan Bu. Biarkan saja.” teriak Satria ketika bu Sardono sudah membungkuk untuk membangunkan Ristia.

Bu Sardono tegak berdiri, menatap sang anak dengan tatapan tak mengerti.

“Satria, ada apa?”

“Perempuan inilah penjahatnya. Dia yang menculik Nijah.” teriak Satria. Teriakan itu membuat pak Sardono keluar, dan tak lama kemudian bibik juga terlihat termangu di depan pintu.

“Maas. Kenapa Mas mengira aku menculik Nijah? Aku menganggapnya sebagai saudara, aku dan dia berhubungan sangat baik. Lagi pula saat Nijah diculik, aku ada di sana juga, tanyakan sama bibik, aku kalang kabut mencarinya bersama bibik.”

“Omong kosong apa kamu Ristia?! Mulut busukmu berusaha mengelabui semua orang. Kecuali itu kamu juga bekerja sama dengan Andri.”

“Tidaaaak. Bohooong itu Mas!”

“Kamu bahkan berselingkuh dengan Andri!”

“Bohoooong. Andri sudah menikah, dia punya istri. Teganya Mas menuduhku berselingkuh.”

“Kamu ingin bukti? Aku melihat kamu di vila itu. Kamu baru keluar dari sebuah kamar, dengan rambut awut-awutan dan baju berantakan. Lihat ini Bu, ini potret Ristia di sebuah vila. Vila itu milik Andri. Istrinya lari bersama Nijah yang semula disekap di sana.”

“Bohooong! Bohong! Mas memfitnahku!” Ristia masih berteriak-teriak.

“Ini kamu kan Ris? Apa yang kamu lakukan di sana dengan penampilan seperti ini?” tanya bu Sardono setelah melihat foto Ristia di ponsel Satria.

“Bohoong.” Ristia tetap berteriak.

“Dia tidur bersama Andri bu, entah sudah ke berapa kalinya. Aku sudah merasa bahwa dia selingkuh,”

“Mas, waktu itu aku memang di vila, mau minta tolong Andri untuk membantu mencari Nijah. Aku menangis, dan tentu saja penampilanku sangat aneh.”

“Diam kamu! Semua bukti sudah ada di tangan polisi, kamu akan segera ditangkap.”

“Maaas, ampuni aku Mas, aku tidak bersalah.”

“Aku ceraikan kamu sekarang juga!” hardik Satria, kemudian pergi ke arah teras, duduk di depan Bowo yang mendengar semua keributan itu.”

Satria mengabaikan Ristia yang bersimpuh di lantai sambil menangis menggerung gerung.

“Maaf Mas, apa sebaiknya saya pulang dulu?”

“Malam sudah larut, sebaiknya Mas Bowo menginap di sini dulu. Besok kita akan mencari Nijah kembali.”

“Tapi ….”

“Apa Mas Bowo akan segera kembali ke Jakarta?”

“Tidak, saya tidak akan kembali sebelum Nijah ditemukan.”

“Baiklah.”

Lalu tiba-tiba terdengar raungan mobil polisi. Satria dan Bowo sudah tahu, mereka akan menangkap Ristia.

“Selamat malam Pak Satria.”

“Ya, selamat malam.”

"Saya tidak menemukan Ristia di vila itu. Saat kami datang, vila itu kosong. Kami sedang memburu mereka.”

“Ristia ada di sini, dia ada di dalam, silakan,” kata Satria yang geram atas perlakuan Ristia.

***

Andri memacu mobilnya tanpa arah. Ia harus menyelamatkan diri. Ia tak mengerti, bagaimana polisi tiba-tiba bisa menyatroni vilanya. Apakah Ratih yang melaporkan? Kemungkinan itu membuat Andri semakin membeci Ratih. Ia tak tahu harus ke mana, karena setelah ia melihat mobil polisi memasuki halaman vilanya, ia yakin bahwa dirinya sedang diburu.

“Beruntung sekali Ristia yang sudah pulang duluan,"  gumamnya.

 Tentu saja Andri tidak tahu bahwa Ristia sudah lebih dulu dibekuk polisi.

Ada keinginan untuk pulang ke rumah ibunya, tapi pasti ibunya akan marah kalau dia pulang tanpa mengajak Ratih.

Padahal malam itu juga polisi sudah mendatangi rumah bu Widodo, yang sangat terkejut ketika mengetahui bahwa anak semata wayangnya diburu polisi.

“Dia tidak ada di rumah, dia ada di vila yang jauh dari sini,” jawab bu Widodo dengan gemetar.

Polisi nekat menggeledah rumah bu Widodo, membuat seisi rumah terbangun dengan keterkejutan yang luar biasa.

“Apa salah anak saya?”

“Bapak Andri terlibat dalam penculikan seorang wanita.”

“Apa? Siapa yang diculik? Dia ada di vila bersama istrinya.”

“Istrinya pergi bersama gadis yang diculiknya, entah sekarang di mana mereka. Kami sedang mencarinya juga.”

Polisi memang tak menemukan Andri di rumah itu, tapi kejadian itu membuat bu Widodo sangat terkejut dan akhirnya jatuh tak sadarkan diri. Para pembantu segera melarikannya ke rumah sakit.

***

Seorang laki-laki yang hendak pergi ke ladang, tiba-tiba menemukan sebuah kopor yang tergeletak di tepi jalan, diantara rerumputan. Semula ia mengira itu adalah sebuah barang rongsokan yang dibuang sembarangan. Tapi saat itu pagi sudah menjelang, dan matahari baru menebarkan kemerahan yang samar. Matahari belum tampak  mengintip di ufuk timur. Tapi  seberkas cahaya pagi yang masih remang, cukup menerangi pemandangan laki-laki itu, yang meyakini bahwa kopor itu bukan barang rongsok, karena tampak masih berkilat bersih, kecuali kotor karena terkena tanah.

“Punya siapa ini? Mengapa dibuang? Atau terjatuh? Tapi kalau dibuang, ya mana mungkin. Barang masih bagus dan isinya penuh, ternyata berat juga,” kata laki-laki itu ketika bersusaha mengangkatnya.

“Apakah ini rejeki? Aduh, jangan-jangan berisi mayat manusia,” dan laki-laki itu tiba-tiba bergidik ngeri. Tapi kemudian dugaan itu ditepisnya, karena ia mencium bau harum atas kopor itu.

“Tampaknya milik orang kaya yang terjatuh. Tapi masa sih, barangnya jatuh kok tidak terasa?”

Laki-laki itu dengan perasaan was-was mencoba membuka kopor itu, tapi ternyata tidak berhasil, karena kopor itu terkunci.

Karena kebingungan sendiri, laki-laki itu menarik kopor itu dan ingin melaporkannya ke balai desa.

“Bagaimanapun ini bukan milik aku, jadi sebaiknya dilaporkan saja pada pak lurah. Biar mereka mengurusnya,” gumamnya sambil berjalan, urung menuju ladang.

Udara sudah semakin terang, Beberapa pesepeda motor ada yang lewat, tapi tak seorangpun memperhatikan dirinya yang menarik kopor dihari yang sangat pagi itu. Mungkin mereka mengira dirinya akan bepergian.

Tapi kira-kira sepuluh meter di depannya, laki-laki itu melihat sesuatu yang membuatnya terkejut.

“Ya Tuhan, apakah itu? Benarkah ada dua orang tergolek di sana? Mayat?” bisiknya dengan perasaan berdebar.

Laki-laki itu melangkah dengan perasaan takut. Semakin dekat, semakin dekat, dan laki-laki itu benar-benar melihat dua orang wanita tergeletak tak berdaya. Laki-laki itu berjongkok, memegang pergelangan tangan salah satu dari wanita yang ditemukannya, dan merasa yakin kalau dia masih hidup. Demikian juga wanita yang satunya.

Laki-laki itu menggoyang-goyangkan tubuh salah satu dari mereka, dan bersyukur melihat tubuh lemah itu bergerak.

“Alhamdulillah, masih hidup.”

“Nijah … Nijah. Ya Tuhan, aku di mana? Heei, siapa kamu?” kata wanita yang ternyata Ratih, dan mengira laki-laki itu bermaksud buruk.

“Saya orang dusun sini, menemukan mbak tergeletak pingsan. Apa yang terjadi?”

“Mengapa kamu membawa kopor aku?” tanya Ratih curiga.

“Saya menemukannya di sana, agak jauh dari sini.”

“Nijah, Nijah … sadarlah Nijah,” Ratih menggoyang-goyangkan tubuh Nijah yang masih terkulai.

Laki-laki itu membawa bekal air minum yang di gantung di pinggangnya.

“Maukah minum ini? Barangkali bisa membantu.”

“Ini minuman apa?” Ratih masih belum sepenuhnya percaya. Tubuhnya juga masih sangat lemas.

“Ini hanya teh hangat, bekal saya,” katanya sambil mengulurkan botol berisi minuman itu, yang memang masih terasa hangat.

“Boleh saya minum?”

“Silakan Mbak.”

Ratih meminumnya, teh manis yang terasa segar, disaat tubuhnya hampir tak berdaya. Lalu ratih mengangkat kepala Nijah, meneteskan teh hangat itu ke mulutnya. Nijah terbatuk karena tersedak, tapi itu membuatnya sadar. Ratih mendudukkannya, lalu Nijah menatap Ratih dengan bingung.

“Kita … di mana?”

“Apa yang terjadi Mbak?”

“Ada penjahat yang akan menculik kami. Mereka membius kami hingga kami tak sadar. Tapi mengapa mereka meninggalkan kami di tempat ini?”

Nijah menerima botol minum yang diulurkan Ratih, lalu meneguknya beberapa teguk. Minuman hangat itu membuatnya lebih segar.

“Mengapa kita ditinggalkan di sini?” Nijah masih bingung.

“Sebaiknya kita segera pergi dari sini, aku khawatir mereka akan kembali menjemput kita,” kata Ratih sambil berusaha berdiri.

“Kalau begitu sebaiknya Mbak saya antarkan saja ke balai desa, supaya nanti Mbak diantar pulang.

Tapi kemudian Nijah menggoyang-goyangkan tangannya.

“Tidak, tidak … aku tak mau pulang, aku mau pergi saja.”

***

Besok lagi ya.

 

 

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

أحدث أقدم