BUNGA TAMAN HATIKU 29

 BUNGA TAMAN HATIKU  29

(Tien Kumalasari)

 

Ristia bergegas ke kamarnya. Tak ada siapapun memperhatikannya, karena ia kemudian merasa bahwa sekarang dia sendirian, setelah sang suami mengacuhkannya.

Ia berbicara dengan Andri dengan nada riang. Ada sesuatu yang siap dilakukannya. Ia segera menutup pembicaraannya, ketika mendengar pintu diketuk. Ketika ia membukanya, Nijah berdiri sambil tersenyum.

“Makan pagi sudah siap, Non.”

“Oh ya, baiklah, kamu duluan sana, aku segera menyusul.” Nijah mengangguk dan tersenyum, kemudian kembali turun.

Ia duduk di ruang makan, dimana Satria dan kedua orang tuanya sudah menunggu.

Satria menatap tak senang ketika Nijah duduk setelah memanggil Ristia ke atas.

“Dia kan sudah tahu saatnya makan, kenapa harus diberi tahu?”

“Tidak apa-apa, memangnya kenapa?” jawab Nijah.

Ketika mereka sudah mulai makan beberapa saat. Barulah Ristia muncul, lalu duduk di sebelah Satria yang tak mengacuhkannya.

“Mama, nanti belanja apa saja? Saya mau ikut bibik bersama Nijah juga,” kata Ristia disela-sela makan.

“Kamu mau belanja?”

“Iya, bibik bilang mau belanja, Nijah pengin ikut, saya juga mau ikut. Pasti senang belanja rame-rame.

“Tapi bibik lebih suka belanja di pasar tradisional,” kata bu Sardono.

“Nanti saya antar ke mal saja, lebih lengkap dan mudah mencari apapun. Lagian saya juga mau beli sesuatu, nanti.”

“Ya sudah, terserah kamu saja.”

“Hati-hati, dan jangan mampir ke mana-mana,” sambung Satria sambil menatap Nijah. Nijah hanya mengangguk.

Setelah sarapan, pak Sardono dan Satria segera berangkat ke kantor sedangkan Ristia beranjak ke kamarnya.

Nijah membantu bibik membereskan meja, kemudian membersihkan dapur.

“Tolong dicatat barang habis sekalian Jah, sekalian beli nanti.”

“Iya Bik. Sudah ada beberapa yang aku catat.”

Setelahnya kita langsung berangkat saja, supaya tidak kesiangan, apalagi non Ristia tampaknya juga mau berbelanja, entah apa.”

“Iya, aku tinggal mengganti baju saja, lalu langsung berangkat."

Tiba-tiba terdengar klakson bertalu-talu. Nijah tahu, itu seperti suara mobil Satria. Ia segera beranjak ke depan, melihat Satria duduk di depan kemudi dan melambaikan tangannya. Nijah mendekat.

“Ada apa?”

“Tolong ambilkan tas ku di kamar atas. Kelupaan. Ada di dalam almari. Di bagian bawah.”

Nijah mengangguk, kemudian bergegas masuk ke rumah, langsung naik ke atas, lupa mengetuk pintu, dan mendengar Ristia masih bertelpon.

“Baiklah, satu jam lagi. Tentu, bersiaplah. Nanti ….”

Ristia menghentikan pembicaraan itu dan menutup ponselnya, begitu melihat Nijah tiba-tiba masuk. Wajahnya langsung berubah keruh.

“Nijah, mengapa masuk tanpa mengetuk pintu?”

“Mas Satria membutuhkan tas yang ada di sini, di dalam almari,” katanya sambil menuju ke arah almari yang ada di dekat pintu, lalu membukanya, dan mengambil tas, satu-satunya tas yang ada dibagian bawah.

“Maaf, Non, mas Saxtria tampak tergesa-gesa,” katanya sambil langsung keluar dari kamar.

Ristia menghempaskan napas kesal,

“Mungkinkah dia mendengar apa yang aku bicarakan? Tampaknya tidak, dia tidak tampak terkejut, wajahnya biasa saja. Dasar orang kampung, tidak tahu sopan santun,” gerutunya sambil bersiap untuk pergi, dengan mengganti bajunya.

Setengah berlari sambil membawa tas berwarna hitam, Nijah mendekati mobil Satria yang sudah diputar ke arah depan.

“Ini, Mas, benarkah?”

“Iya benar. Terima kasih, sayang,” katanya sambil tersenyum.

Nijah tersipu mendengar panggilan sayang dari suaminya.

“Lain kali jangan berlari-lari, kasihan anak kamu yang ada di dalam,” selorohnya.

Nijah langsung memegangi perutnya, memangnya sudah ada anaknya?

Satria tertawa.

“Siapa tahu sudah jadi.”

Nijah tersenyum malu, lalu mencium tangan suaminya. Satria mencium keningnya, kemudian berlalu. Adegan mesra itu dilihat sepasang mata yang bersinar geram dari balkon kamar Ristia.

Ia masuk ke dalam, menyelesaikan berdandan dengan wajah muram.

“Ini adalah hari terakhir kamu di rumah ini, maduku tersayang,” bisiknya dengan senyuman iblis.

Ketika ia beranjak ke belakang, dilihatnya bibik dan Nijah sudah bersiap. Ristia harus mengakui, dengan sapuan make up yang tipis, Nijah sudah terlihat sangat cantik. Cantik yang alami, yang membuatnya iri.

“Sudah siap?”

“Sudah Non.”

“Kalian mau berangkat sekarang?”

“Iya Nyonya,  jawab bibik.

“Ya sudah, bawakan saya jajanan pasar ya. Klepon sama cenil.” pesan bu Sardono.

“Nanti pasti saya belikan Ma,” jawab Ristia riang, yang segera menggandeng tangan Nijah menuju keluar rumah, dimana sopir sudah menyiapkan mobilnya.

***

Ratih melihat suaminya berdandan setelah mandi, dan mengenakan pakaian rapi. Tak ingin bertanya sebenarnya, tapi tak enak juga membiarkannya, karena bagaimanapun Andri adalah suaminya.

“Mas mau pergi?”

Andri menatapnya dengan tatapan kesal.

“Menurutmu apa? Masa kalau hanya di rumah aku harus memakai pakaian serapi ini?”

“Tidak sarapan dulu?” kata Ratih yang sudah mendapat jawabannya yang pasti menolak, tapi nekat menanyakannya.

“Tidak. Aku kan sudah bilang bahwa aku tak mau apapun yang kamu buat?”

“Ya sudah.”

“Ingat itu,” katanya sambil beranjak ke arah depan. Ratih tak ingin mengantarnya sampai ke depan. Ia duduk di ruang tengah sambil menyetel televisi, yang sama sekali tidak dinikmatinya.

Beberapa hari hidup bersama Andri di rumah terpencil ini, membuatnya sangat tersiksa. Barangkali Andri memang ingin menyiksanya, agar dia tak betah, lalu pergi meninggalkannya.

“Apakah enaknya aku pergi saja dari sini? Tapi bagaimana jawabku kalau ibu mertua aku menanyakannya? Tapi mana mungkin aku bisa bertahan lebih lama mendengar setiap hari dia mengumpat dan mencelaku? Baiklah, aku mau pergi saja, dan tidak usah menemui keluarga Widodo. Aku akan menjauh dari mereka,” gumam Ratih, yang kemudian beranjak ke kamar, mengambil sebuah kopor untuk membawa baju-bajunya dan semua miliknya.

Tapi tiba-tiba didengarnya mobil memasuki halaman. Apakah Andri kembali karena ada yang ketinggalan?  Ratih melongok keluar kamar dan sangat terkejut melihat bahwa yang datang adalah ibu mertuanya.

“Ratih, sedang apa kamu?” kata bu Widodo dengan riang.

“Ini Bu, sedang … benah-benah kamar,” jawabnya berbohong, sambil mempersilakan ibu mertuanya untuk duduk.

Mereka duduk di ruang tengah.

“Mana Andri?”

“Dia … pergi keluar Bu.”

“Ke mana?”

Ratih bingung menjawabnya, mana dia tahu Andri pergi ke  mana, ditanya saja jawabnya sangat ketus dan menyakitkan.

“Kemana Tih?” bu Widodo mengulang pertanyaannya.

“Saya .. tidak tahu Bu, katanya hanya sebentar. Gitu,” lagi-lagi Ratih berbohong. Ia sungguh tak ingin menunjukkan kepada mertuanya, bagaimana ujud rumah tangganya. Ia harus menunjukkan bahwa semuanya baik-baik saja. Ibu mertuanya sering sakit-sakitan, dan hal yang tidak disukainya akan membuat penyakit jantungnya kambuh.

“Kok kamu nggak ikut saja?”

“Saya … mau bersih-bersih rumah Bu, lagian mas Andri bilang hanya sebentar,” ini bohong yang kesekian kalinya untuk menutupi luka dalam rumah tangganya.

“Dulu kan ada bibik yang ibu suruh tinggal di sini, supaya bisa melayani kalian, bersih-bersih rumah, masak dan lain-lainnya. Tapi katanya Andri tidak suka, menyuruh bibik kembali ke rumah.”

“Iya Bu,” hanya itu jawab Ratih, karena ia tidak tahu kapan Andri mengusir pembantunya.

“Tapi ibu tahu, rupanya kalian tidak ingin diganggu,” kata bu Widodo sambil tersenyum menggoda. Ratih memalingkan wajahnya, dan bu Widodo mengartikannya bahwa Ratih merasa malu.

“Tidak apa-apa, biasanya pengantin baru lebih suka menyendiri.”

Ratih tersenyum tipis.

“Kamu bahagia?”

“Iya Bu, saya bahagia. Ibu saya buatkan minum dulu, ya,” kata Ratih sambil berdiri.

“Ibu mau teh tanpa gula saja,” kata bu Widodo.

Ketika Ratih pergi ke dapur untuk membuat teh, bu Widodo berjalan-jalan mengitari vila. Semuanya tampak bersih. Bu Widodo senang, menantunya sangat rajin. Rumah juga tertata rapi. Tapi ketika ia melongok ke arah kamar yang sedikit terbuka, ia heran melihat kopor tergeletak di lantai.

  Ia melangkah ke dapur, melihat Ratih sudah siap dengan segelas teh tanpa gula yang dipesannya.

“Mari duduk kembali Bu, saya taruh ini di meja.”

“Ratih, kalian mau pergi jalan-jalan ke mana?”

Ratih heran. Ia meletakkan minuman dan cemilan di meja lalu menatap ibu mertuanya.

“Jalan-jalan ke mana Bu?”

“Itu, di kamar kamu kok ada kopor yang disiapkan.”

“Oh, itu …. anu Bu, bukan mau jalan-jalan, hanya menata pakaian yang masih ada di dalam kopor. Belum selesai benar-benah, Bu.”

“Kirain mau jalan-jalan ke tempat yang lebih indah. Tapi kalau kalian ingin berbulan madu ke lain tempat, boleh saja. Atau mau ke luar negri?”

“Ah, tidak Bu, ini sudah lebih dari cukup.”

“Tidak apa-apa kalau ingin, nanti ibu atur semuanya. Tidak usah kamu atau Andri yang mengurusnya.”

“Tidak Bu, ini sungguh sudah cukup. Silakan di minum Bu, masih anget.”

“Baiklah, terserah kamu saja. Hm, itu kue apa?”

“Bukankah ini kue yang Ibu bawakan dari rumah? Itu kue kacang, dan ini lidah kucing. Apa Ibu lupa?”

“Oh, ya ampun. Ibu tidak lupa, tapi tidak tahu, apa saja yang bibik bawakan untuk kalian di sini. Masih cukup kah? Nanti ibu suruh orang untuk mengirimnya lagi.”

“Tidak Bu, mash cukup. Kalau ingin, Ratih akan membuatnya sendiri.”

“Iya, aku lupa kalau kamu pintar memasak. Bukan hanya masakan untuk lauk, tapi juga berbagai macam kue.”

“Biasa saja Bu, kan saya di rumah sendirian, jadi pekerjaannya hanya masak dan membuat kue, semuanya untuk sendiri.”

“Lain kali kepintaran kamu itu bisa untuk mencari uang lho. Kalau kamu ingin membuka usaha toko kue, ibu akan sediakan dananya. Ibu merasa kamu pasti bisa. Tapi ya kapan-kapan saja, sekarang jangan memikirkan usaha, bersenang-senanglah, dan segera beri ibu cucu,” kata bu Sardono sambil menepuk bahu Ratih.

Ratih tercekat. Cucu dari mana? Bersentuhan saja tidak pernah. Tapi Ratih tetap mengulaskan senyum, karena tak ingin membuat ibu mertuanya kecewa dan bersedih kalau sampai tahu keadaan rumah tangganya. Dan kalaupun nanti Ratih pergi, tak mungkin Andri akan mengadu kepada ibunya karena takut kena marah.

Mereka bicara banyak, tapi lebih membicarakan masalah masakan dan segala macam yang ada hubungannya dengan perempuan. Ketika hari siang, Ratih menawarkan makan untuk ibu mertuanya.

“Ibu mau makan?”

Bu Widodo tertawa.

“Bicara soal makan, kamu jadi ingat menawari ibu makan. Tapi terima kasih Tih, ibu mau pulang saja. Takut terlalu capek kalau pergi lama.”

“Kenapa buru-buru Bu?”

“Andri lama sekali perginya, katanya cuma sebentar.”

“Iya Bu, barangkali urusannya belum selesai.”

“Sebenarnya ibu melarang dia mengurus usahanya, selama masih pengantin baru. Kan sudah ada yang mengurusnya dan pasti beres.”

“Iya Bu. Biarkan saja, mungkin bosan di rumah.”

“Di rumah bersama istri cantik, mana bisa bosan?” kata bu Widodo sambil berdiri.

Ratih hanya tersenyum tipis. Ia mengantarkan sang ibu mertua sampai ke mobil, dimana sopirnya sudah menunggu.

“Ibu pergi dulu, bilang sama suami kamu, ibu marah karena dia masih mengurusi perusahaan. Gitu,” pesannya sebelum mobil mertuanya melaju.

Ratih membalikkan tubuhnya, kembali ke kamar untuk melanjutkan mengemas barang-barangnya. Tapi ia kembali terkejut ketika mendengar mobil memasuki halaman. Sudah jelas itu mobil suaminya. Ratih merasa kesal, kemudian mengembalikan kopornya ke atas almari, lalu dia pura-pura tidur.

***

Bibik masih asyik memilih sayur, ketika Ristia pamit untuk melihat-lihat baju. Konter baju-baju itu agak jauh dari tempat sayur dimana bibik asyik memilih. Nijah mendekati buah-buah segar yang dipajang. Ia tahu mana kesukaan suami dan mertuanya. Ia memilih sirsak yang sudah matang, dan tomat yang masih segar. Ia juga memilih alpukat yang sudah masak, kemudian ia menimbangnya, lalu meletakkannya di keranjang dimana sudah banyak sayuran yang bibik beli.

“Sudah Jah, kalau ada mangga. Udara panas begini, jus mangga pasti segar,” kata bibik sambil masih memilih sayur.

“Oh iya, kesebelah sana. Aku memilih dulu ya Bik, kalau ada yang setengah masak pasti enak, manis-manis asam. Hmmm,” kata Nijah.

“Lhoh, sudah pengin yang asam-asam?” goda bibik.

Nijah berlalu sambil sebelumnya mencubit lengan bibik. Bibik mengaduh, kemudian tersenyum senang melihat wajah Nijah memerah.

Bibik sudah cukup membeli sayurnya, lalu membeli bahan-bahan dapur kering, seperti merica, pala, dan lain-lain. Tapi ia tidak melihat Nijah. Bahkan di tempat mana banyak mangga bertumpuk, Nijah tidak kelihatan.

Tiba-tiba Ristia mendekat.

“Sudah selesai Bik, belanjanya?”

“Sudah Non, tinggal bumbu kering, tapi ini sudah cukup.”

“Mana Nijah?” tanya Ristia sambil melihat ke sekeliling.

“Saya juga sedang mencari Nijah. Tadi dia bilang mau memilih mangga.”

***

Besok lagi ya.

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

أحدث أقدم