BUNGA TAMAN HATIKU 24

 BUNGA TAMAN HATIKU  24

(Tien Kumalasari)

 

 

Pagi hari Satria terbangun, menunaikan shalat dan sekalian mandi. Dilihatnya Ristia masih tertidur dengan tanpa mengganti bajunya dengan baju rumahan. Tampaknya semalam pulang dengan tubuh yang sangat keletihan. Yang Satria heran, bau tubuh Ristia tercium tak sedap, entah apa, mungkin keringatnya, atau apa. Satria menutup hidungnya ketika mendekat, dan membangunkannya.

“Hei, sudah pagi.”

Ristia menggeliat, membuka matanya.

“Mari kita pergi saja.”

Satria mengerutkan keningnya. Ristia masih tertidur, dan mengigau dengan aneh pula. Mimpi apa gerangan dia?

“Hei, bangun, mandi sana, tubuhmu bau tak sedap  sekali.”

TIba-tiba Ristia membuka matanya. Kata-kata bau tak sedap sangat mengejutkannya, karena dia merasa selalu berbau wangi.

“Apa?” katanya setelah membuka matanya.

“Kamu bau. Apa semalam kamu pergi untuk memandikan kerbau?”

“Apa?”

Ristia bangun, duduk di tepi ranjang. Kesal melihat sang suami menutup hidungnya. Lalu dia mencium tangannya, lengannya, ketiaknya.

“Benar kan? Kamu habis memandikan kerbau?”

Ristia tak menjawab. Ia heran masih memakai baju yang kemarin dikenakannya. Rupanya karena letih, begitu sampai di kamar dia langsung merebahkan dirinya dan terlelap.

Ristia lari ke kamar mandi setelah melepaskan semua pakaiannya dan melemparkannya ke keranjang kotoran. Satria membuang muka. Ada rasa jijik melihat tubuh istrinya dan melihat pemandangan yang tak semestinya.

“Hei, kenapa tubuhmu seperti banyak luka begitu?” seru Satria sebelum Ristia menutupkan pintu kamar mandi.

“Aku ,,, aku … masuk angin, dan menggosok tubuhku dengan minyak, sampai kemerahan,” jawabnya enteng, lalu menutupkan pintunya.

Satria keluar dari kamar dengan beribu pertanyaan yang memenuhi benaknya.

Sementara itu Ristia berdiri di depan cermin yang ada di dalam kamar mandi itu, dan melihat tanda-tanda kemerahan hampir di sekujur tubuhnya.

“Andri keterlaluan,” gumamnya lirih, lalu ia masuk ke dalam bak mandi dan berendam disana. Bayangan semalam kembali melintas, saat ia lupa diri dan tenggelam dalam kesenangan bersama Andri. Kejadian itu membuatnya menghilangkan rasa sakit hatinya sejenak. Sebuah kesenangan yang tak pernah dibayangkannya. Ia tak menyangka Andri seganas itu, Apakah jawaban masuk angin itu akan bisa diterima oleh sang suami? Entahlah. Ia menggosok-gosoknya dengan sabun, berharap noda kemerahan itu berkurang.

***

Satria sudah duduk di ruang makan, bersama kedua orang tuanya, dan tentu saja Nijah, yang sudah beberapa hari terakhir ini diminta selalu duduk berdekatan dengan Satria saat melayaninya makan.

“Non Ristia belum bangun?” tanya Nijah.

“Baru mandi.” jawab Satria singkat. Aroma tak sedap dan tanda-tanda kemerahan itu masih menjadi pikirannya.

“Biar saya menunggunya saja,” kata Nijah mengurungkan niatnya menyendok nasi ke piringnya sendiri.

“Tidak usah, kita akan pergi, kelamaan kalau kamu menunggu dia,” kata Satria yang kemudian menyendokkan nasi ke piring Nijah.

“Kamu tidak masuk kantor?” tanya pak Sardono.

“Kan kemarin saya bilang, bahwa saya cuti sampai hari pernikahan itu.”

“Baiklah, nanti bapak tangani semuanya.”

“Terima kasih Pak.”

“Kamu mau ke mana?” tanya sang ibu.

“Jalan-jalan, belanja, barangkali Nijah suka.”

“Saya tidak ingin apapun,” jawab Nijah lalu menyendok makanannya.

“Aku yang ingin,” jawab Satria singkat, membuat mulut Nijah agak cemberut.

Pak Sardono saling pandang dengan istrinya, saling melempar senyum. Calon menantunya benar-benar gadis sederhana yang sangat lugu.

“Setelah ini, kamu mandi dan ganti baju. Yah, baju kamu yang itu-itu juga. Mana mungkin pengantin nggak punya baju?” kata Satria.

Nijah tersipu. Dia memang tak punya baju. Yang dikenakannya saat keluar ya baju pemberian Bowo sebelum kembali ke Jakarta, waktu itu.

“Belikan apa yang pantas untuk calon istri kamu. Tidak usah ditawarkan, dia pasti menolaknya,” kata bu Sardono.

“Dia memang harus dipaksa,” kata Satria sambil menatap Nijah di sampingnya. Nijah diam saja, menikmati sarapan dengan beribu pemikiran yang memenuhi benarnya, begitu dia mengingat Bowo. Apakah Bowo terluka? Semalam, seperti permintaan Satria, dia bertanya, sore ini pulang jam berapa, naik apa. Entah apa maksud Satria menanyakannya. Benarkah untuk menemuinya? Sebenarnya Nijah ingin menolak. Bertemu Bowo hanya akan menggoreskan rasa pedih, saat melihat mata sendu yang semalam ditatapnya.

“Hei, cepat makannya, ini sudah siang. Aku mau ganti baju dulu, dan kamu segera bersiap-siap,” perintah Satria kepada Nijah.

“Saya bantu bibik membereskan meja dulu,” kata Nijah.

“Aku juga mau langsung ke kantor,” kata pak Sardono.

Satria memasuki kamar, tapi dilihatnya Ristia masih berada di kamar mandi. Satria mengetuknya.

“Kamu belum selesai?”

“Sebentar,” suara Ristia dari dalam.

“Katanya masuk angin, kamu berendam sangat lama.”

“Airnya hangat.”

“Cepat keluar, aku mau pergi sama Nijah.”

Ristia tak menjawab. Tubuhnya membeku di dalam bak mandi. Pergi lagi bersama Nijah, padahal dia sudah punya rencana seperti semalam dibicarakan bersama Andri.

“Nijah mau aku ajak pergi. Aku ingin membeli hadiah untuk dia.”

“Biar aku saja. Memberi hadiah kan tidak harus bersama orangnya,” Satria membantah. Ristia memukul-mukulkan tangannya ke permukaan air. Kesal sekali Satria menggagalkan keinginannya.

“Kamu masih lama?” teriak Satria lagi.

“Sebentar lagi. Kalau mau pergi, pergi saja.”

“Baiklah, kamu bantu bibik, menggantikan Nijah ya,” kata Satria sambil berlalu. Ia belum sempat bertanya lebih jauh, mengapa tubuh Ristia bau seperti habis memandikan kerbau.

Ristia menumpahkan kemarahannya dengan memukul-mukulkan tangannya di air di dalam bak. Air muncrat ke mana-mana.

"Huh, membantu bibik? Memangnya aku pembantu?" Ristia berteriak marah. Tampaknya Satria tak mendengarnya.

Setelah kira-kira Satria pergi, Ristia bangkit lalu keluar dari kamar mandi. Ia sudah wangi, lalu berjalan ke arah almari, mencari handuk kering karena tadi lupa mengenakannya dari dalam sana.

Ketika mendekati ranjang, hidungnya mengernyit. Bau tak sedap menyergap dari ranjang di mana dia berbaring. Ristia menarik seprei dan menjatuhkannya di lantai.

Ia mengenakan pakaian lalu berteriak memanggil  bibik dari luar pintu kamarnya.

“Bibiiiik!”

Bibik datang tergopoh.

“Ya Non.”

“Tolong gantikan seprei dan semuanya ya.”

“Sebenarnya baru kemarin bibik ganti,” kata bibik.

“Tidak usah banyak bertanya, gantikan saja,” kata Ristia sambil duduk di depan cermin, menyisir rambutnya yang basah.

Bibik keluar sambil membawa seprei kotor dan baju-baju Ristia. Bibikpun mengernyitkan hidungnya mencium aroma tak sedap entah dari bagian apa dari kotoran yang diambilnya.

Ia mengambil seprei dan pasangannya yang berbau wangi, lalu memasangnya tanpa banyak suara.

Ristia merias wajahnya tipis. Bingung harus melakukan apa. Sedianya dia akan mengajak Nijah pergi dan ….

“Kalau Non mau sarapan, sudah saya siapkan di meja,” tiba-tiba kata bibik.

“Ya. Mereka sudah pergi?”

”Tuan Satria pergi bersama Nijah, tuan sepuh sudah ke kantor, nyonya keluar diantar sopir, saya tidak tahu ke mana. Barangkali belanja untuk keperluan minggu depan.”

“Keperluan apa?” sentak Ristia.

“Pernikahan tuan Satria sama Nijah, kan Non. Waktunya sudah dekat, tinggal tiga hari lagi,” kata bibik tanpa beban, tak tahu bahwa ucapannya membuat dada Ristia bagai dihantam ribuan palu, dan ditusuk selaksa jarum.

“Begitu bibik keluar, dia langsung menelpon Andri.

Terdengar keluhan berat dari seberang sana.

“Ristia? Ayo ke sini lagi, aku masih mau.”

“Dasar gila. Ini aku mau mengajak Nijah, tapi keburu pergi sama Satria. Aku bingung harus bagaimana?”

“Apa? Wah, kamu kalah cepat, Ristia.”

“Bukannya kalah cepat. Kalau suamiku yang meminta, siapa yang sanggup membantah. Sekarang aku bingung, harus melakukan apa.”

“Ya sudah, sabar dulu, masih ada hari esok, besok pagi kamu tidak boleh gagal lagi.”

“Hm, sudah hampir meledak dadaku ini.”

“Ke sini saja, aku masih ada di vila yang semalam.”

Ristia terdiam. Barangkali menghabiskan waktu bersama Andri bisa membuatnya terhibur.

Ristia berganti pakaian, lalu melangkah ke ruang makan. Tak ada siapapun kecuali bibik, jadi dia tak usah banyak memberi alasan untuk pergi keluar.

“Non mau pergi?” tak urung bibik bertanya melihat penampilannya.

“Ya, keluar sebentar.”

“Teman Non belum sembuh?”

“Oh ya, ini aku mau ke sana lagi,” Ristia seperti menemukan jawaban.

“Kasihan, sakitnya apa sih Non.”

Aduh, kenapa bibik banyak bertanya sih? Ristia tak menjawab. Ia buru-buru menghabiskan sarapannya dan pergi.

Bibik tak lagi banyak bertanya, ia membereskan meja makan sementara Ristia sudah kabur keluar.

***

Ristia mampir ke sebuah apotek, membeli obat gosok untuk menghilangkan memar-memar ditubuhnya.

Ia minta kepada Andri setelah ketemu, agar mengosoknya di tubuhnya yang kemerahan.

“Suamimu melihatnya?”

“Iya lah. Aku takut dia curiga.”

“Cream ini bagus, nanti juga akan hilang.”

“Jangan melakukannya lagi kalau tidak ingin Satria curiga, lalu membunuhmu.”

Andri tertawa.

“Memangnya setelah punya istri baru, Satria masih akan peduli sama kamu?”

Ristia terdiam. Terkesiap mendengar ucapan Andri, Benar juga, setelah ada Nijah, apakah suaminya masih akan mempedulikannya? Tadi saja dia tidak bertanya lebih jauh setelah jawaban masuk angin dilontarkannya. Apakah Satria begitu bodoh sehingga tak bisa membedakan warna memar ditubuhnya? Dia yakin karena masuk angin? Entahlah, tapi Ristia merasa lega telah menemukan cream yang akan bisa membuat memar itu hilang, atau setidaknya menjadi samar.

“Jangan lagi melepaskan baju kamu di depan Satria,” kata Andri sambil mengoleskan cream itu.

“Waktu itu aku mau mandi.”

“Ya sudah, lupakan saja, sekarang ayo kita bicarakan soal Nijah,” kata Andri setelah selesai mengoleskan obatnya.

“Jangan ditutup dulu, nanti lengket di baju kamu.”

Ristia tersenyum, saatnya melupakan sakit hati sambil menikmati siang yang panas bersama Andri.

***

Nijah merasa lelah. Hari sudah siang, dan belanjaan Satria sudah memenuhi bagasi. Banyak baju dibelikan oleh Satria untuknya, Baju kebaya warna putih tulang untuk ijab qobul, baju-baju untuk bepergian, dan baju tidur yang membuat Nijah merasa malu.

“Kenapa beli baju seperti ini? Ini tidak pantas.”

“Ini bukan dipakai untuk keluar, hanya dipakai di dalam kamar.”

“Apa? Bukankah di kamar itu dingin, mengapa harus memakai baju seperti ini?” protes Nijah membuat Satria tertawa.

“Kamu belum pernah ya, merasa kepanasan di dalam kamar? Nanti aku tunjukkan,” kata Satria sambil tersenyum nakal.

Nijah merengut. Ia tak sepenuhnya mengerti apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh Satria, tapi dia tak berani membantahnya. Ia masih seorang pembantu yang harus patuh pada majikannya, bukan?

“Hei, kenapa kamu merengut?”

“Saya haus,” kata Nijah tanpa malu, karena udara memang benar-benar panas.

“Baiklah, belanjanya cukup, kalau ada yang kurang, aku mau minta tolong ibu untuk melengkapinya,” katanya sambil memasukkan belanjaannya lagi ke dalam bagasi mobil.

“Ayo kita cari makan.”

“Aku hanya haus.”

“Aku haus dan lapar,” kata Satria, dan lagi-lagi Nijah harus mentaatinya.

Mereka memasuki sebuah restoran. Memesan es jeruk dan dua porsi bistik daging.

Nijah menolak makan nasi, karena sebenarnya ia hanya merasa haus. Tapi bistik daging dan kelengkapannya sudah tentu membuat mereka kenyang.

“Habis ini kita pulang, kan?” tanya NIjah.

“Tidak, dua jam lagi Bowo akan pulang, kita akan menemuinya di bandara.

“Apa? Untuk apa?”

“Nijah, apa kamu tak ingin bertemu dia?”

“Semalam kami sudah bicara.”

“Tapi aku belum.”

“Apa yang akan tuan lakukan?”

“Aku masih tetap pada pendirian aku. Kalau dia tetap menginginkan kamu, aku akan melepaskan kamu.”

“Tuan, bukankah kita sudah membahasnya?”

“Tapi aku belum bicara sama Bowo. Sungguh aku tak ingin dia terluka.”

Nijah menahan air matanya. Ia tahu Bowo sangat berharap padanya. Tapi apakah benar dirinya harus mengimbangi perasaannya? Nijah menganggap Bowo masih kekanak-kanakan. Menuruti kata hati tanpa pertimbangan.

“Mengapa diam? Kalau kamu ingin menangis, menangislah.”

Nijah menatap Satria dengan mata basah.

“Mengapa aku harus merasa bahagia diatas derita orang lain? Aku tidak sejahat itu, Nijah. Apa yang tadi kita beli, tetap akan menjadi milik kamu, siapapun yang akan menjadi suami kamu,” kata Satria bersungguh-sungguh.

“Tuan, saya sudah mengatakannya semalam.”

“Baiklah, kita akan menemui Bowo sekarang. Jangan sampai terlambat.”

Nijah masih terpaku di tempat duduknya. Satria menarik lengannya agar Nijah berdiri. Nijah mengibaskannya.

“Biar saya berjalan sendiri,” katanya pelan.

“Nijah, jangan menangis. Apapun pilihan kamu, aku akan mendukungmu.”

“Saya tetap pada apa yang sudah saya ucapkan.”

“Baiklah, sekarang jawab pertanyaanku,” kata Satria sambil membukakan pintu mobil untuk Nijah.

“Apakah kamu mencintai aku?”

Nijah urung menaikkan kakinya ke atas mobil.

***

Besok lagi ya.

 

 

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

أحدث أقدم