BERSAMA HUJAN 04

 BERSAMA HUJAN  04

(Tien Kumalasari)

 

Tak terbayangkan, ternyata dokternya masih muda, tidak setua yang Andin bayangkan. Dan mengapa menatapnya sangat tajam? Andin jadi ketakutan sendiri. Seorang dokter muda, terkenal, ahli penyakit dalam pula, pastilah mencari asisten yang cantik, menarik. Sedangkan dirinya? Andin ketakutan sendiri.

Padahal sang dokter merasa bahwa dirinya bersikap biasa saja.

“Aisah? Ini gadis yang kamu ceritakan itu?”

“Iya Mas, dia masih kuliah, tapi bisa membantu Mas saat sore hari.”

“Ayo masuklah,” dokter Faris mempersilakannya masuk, lalu mereka duduk di sofa, di dalam ruang tamu.

Andin hanya tertunduk. Kalaupun tidak diterima, kemudian dia merasa pasrah. Rasa takut dirasanya hanya akan membuat dirinya gugup dan tidak akan bisa menjawab semua pertanyaan dengan lancar. Andin menghembuskan napas panjang untuk menenangkan hatinya.

“Teman sekelas?”

“Sekelas waktu masih SMA, kemudian saya berhenti selama dua tahun, karena ayah saya harus mengumpulkan biaya kuliah saya.”

“Jadi, sekarang dia tuh adik kelas saya.”

Faris tampak mengangguk mengerti.

“Bekerja sore, sampai malam, bersedia? Tidak terlampau malam sih, saya hanya membatasi pasien sampai jam 8 harus selesai. Jadi kira-kira lima belas pasien sesore, cukuplah. Takut kecapekan,” kata Faris sambil tersenyum.

“Kalau memang diterima, saya bersedia.”

“Tidak mengganggu kuliah kamu ya?”

“Semoga tidak.”

Perasaan lega kemudian memenuhi hati Andin, karena tampaknya tak ada penolakan dari dokter Faris atas dirinya, untuk menjadi asisten penerima pasiennya.

“Baiklah, kapan kamu akan mulai bekerja?”

“Kapan saja dokter menghendakinya, saya sudah siap.”

“Bagus, kalau begitu. Bisa mulai besok? Oh ya, hari Sabtu aku libur. Jadi kamupun libur.”

“Baik.”

Dokter Faris kemudian menatap Aisah sambil tersenyum.

“Bagaimana Mas?”

“Ok, sudah beres. Terima kasih kamu telah mencarikan asisten untuk aku, karena aku terkadang sangat repot, di mana harus mencari data pasien yang datang, untuk disesuaikan dengan kedatangan sebelumnya. Kan semuanya harus nyambung, kecuali kalau pasien baru yang belum pernah datang periksa.”

“Iya, aku mengerti. Kalau begitu Andin juga harus mempelajari apa yang harus dilakukan, ya kan Mas?”

“Benar, kalau bisa, besok datanglah lebih awal, karena aku harus menunjukkan apa saja yang harus kamu lakukan.”

“Baik, dokter.”

“Ih, formal amat, kenapa tidak memanggil Mas Faris, begitu saja?” tegur Aisah kepada Andin.

“Tidak bisa begitu, Ais, beliau kan atasan aku, bukan kakak aku,” kata Andin sambil tersenyum.

Dokter Faris hanya menatap keduanya dengan senyuman yang tak pernah lepas dari bibirnya. Dokter yang baik, dan ramah, dan selalu berkata manis. Barangkali itulah yang membuat pasiennya banyak. Bukankah orang sakit harus selalu dilayani dengan penuh kelembutan?

“Ya sudah, kalau begitu aku sama Andin akan pulang dulu.”

“Kalian naik apa?”

“Naik taksi tadi.”

“Andin tidak punya kendaraan?”

“Tidak punya, dokter, saya kemana-mana naik angkot,” jawab Andin tersipu.

“Tapi bisa naik sepeda motor bukan?”

“Bisa, dok. Saya juga sering memakai sepeda motor bapak saya, kalau sedang tidak dipakai ke kantor.”

“Di rumah ada sepeda motor yang tidak terpakai, boleh kamu bawa, sekalian biar dipakai Andin, jadi tidak usah naik angkot setiap harinya.”

“Haaa, benarkah Mas?”

“Tentu saja benar. Biar aku keluarkan sepeda motornya dari garasi,” kata dokter Faris sambil berdiri dan beranjak ke ruang samping, dimana garasi sang dokter terletak. Aisah mengikutinya, sambil menowel tangan Andin.

“Kamu beruntung, mas Faris berbaik hati dengan meminjamkan sepeda motornya untuk kamu.”

“Sungkan aku sebenarnya.”

“Kenapa sungkan? Itu harus kamu syukuri.”

“Ini dia, jarang sekali aku pakai, daripada rusak.”

Dokter Faris mengeluarkan sepeda motornya, masih bagus karena keluaran baru. Ia menyalakan mesinnya.

“Wah, ini bagus sekali, Andin.”

“Tapi dokter, saya kan baru mau mulai bekerja, mengapa dokter sudah memberikan sepeda motor .. eh, maksud saya, meminjamkan sepeda motor ini untuk saya pakai?”

“Tidak apa-apa, daripada tidak terpakai. Lagipula kamu temannya Aisah, adik misan aku, jadi tak ada alasan untuk tidak percaya,” kata sang dokter sambil menyerahkan sepeda motor itu.

“Asyik, aku bonceng ya Ndin, hati-hati, jangan ngebut,” canda Aisah.

“Ya sudah, pulanglah, hati-hati di jalan.”

“Terima kasih, dokter.”

“Terima kasih, Mas.”

Dokter Faris menatap kedua gadis  yang pulang sambil membawa sepeda motornya. Ada rasa suka melihat penampilan Andin yang sederhana, tapi manis. Bicaranya santun, dan tidak tampak seperti ingin menarik perhatian.

Ia masuk ke dalam rumah, dan bersiap untuk praktek, tanpa asisten. Sebenarnya ia ingin agar Andin memulainya hari itu juga, tapi kasihan, masa baru datang langsung disuruh bekerja.

***

Pak Harsono terkejut, melihat Andin pulang dengan naik sepeda motor. Sepeda motor bagus pula, jauh bedanya dengan sepeda motornya sendiri yang terhitung agak kuno.

Andin turun dari sepeda motornya, memarkirnya begitu saja. Ia tersenyum melihat sang ayah turun dari teras dan mendekatinya.

“Sepeda motor siapa? Aisah?”

“Bukan Pak, ini sepeda motor dokter Faris.”

“Dokter Faris yang terkenal itu?”

“Iya. Saya sudah diterima bekerja, dan mulai besok sore.”

“Begitu cepat?”

“Karena dokter itu membutuhkan asisten, sementara asistennya yang sebelumnya sudah mengundurkan diri karena menikah. Sampai sekarang belum mendapat penggantinya.

“Kamu sudah memikirkannya baik-baik, dan yakin bisa mengatur waktu kamu? Bapak ingin kamu tetap mengedepankan kuliah kamu.”

“Iya Pak, tentu saja. Kalau senggang, saya juga bisa bekerja sambil belajar.”

“Lalu mengapa kamu membawa sepeda motornya dokter Faris?”

“Karena sepeda motor itu tidak terpakai, katanya daripada rusak, lebih baik dipinjamkan ke Andin.”

“Baik sekali dia. Ini sepeda motor bagus. Mengapa dia percaya sama kamu, yang baru saja dikenalnya?”

“Katanya karena saya teman Aisah. Tadi Andin juga mengantarkan dulu Aisah pulang ke rumah.”

“Baiklah, masukkan dulu sepeda motornya ke dalam. Kamu harus merawatnya juga dengan baik, karena itu kan milik orang.”

“Iya Pak.”

Bagaimanapun pak Harsono senang, melihat anaknya begitu gembira mendapat pekerjaan. Ia juga terharu karena Andin berpikir sangat dewasa, dan berniat tidak ingin memberatkan orang tua, walaupun pak Harsono sudah bertekat akan sekuat tenaga berjuang untuk anak semata wayangnya.

Kegembiraan mendapat pekerjaan itu melupakan rasa pedih atas apa yang dialaminya dua hari yang lalu. Andin memang bertekat melupakannya, dan akan menekuni pekerjaannya sambil tak melupakan tugas kuliahnya, seperti yang diimpikan ayahnya. Biarlah malapetaka itu akan dipendamnya jauh di dalam lubuk hatinya, jangan sampai sang ayah juga tersakiti mendengar kesakitannya.

Karena gembira itulah kemudian Aisah lupa menanyakan perihal kejadian yang menimpanya bersama Romi. Andin justru berharap, Aisah tak akan menanyakannya.

***

Tapi Andin terkejut, saat istirahat kuliah, Aisah mendekatinya dan menariknya jauh dari hiruk pikuk mahasiswa yang berhamburan saat tak ada kelas.

“Kamu masih berhutang sama aku,” kata Aisah.

“Hutang apa?”

“Kamu kan janji mau menceritakan soal Romi?”
Wajah Andin langsung muram. Sebenarnya ia tak ingin mengatakannya kepada siapapun juga, karena ingin memendamnya sendiri di dalam hatinya. Tapi entah bagaimana, kemarin dia memang berjanji akan mengatakannya, dan Aisah tidak lupa akan janji itu. Rupanya dia sangat penasaran, melihat dirinya tampak sangat membenci Romi.

“Kamu tidak lupa kan?”

Andin menghela napas panjang, wajah murung terus menyelimutinya. Ia mengitarkan pandangan ke sekeliling, barangkali ada Romi diantara para mahasiswa yang berlalu lalang.

“Aku masih sahabatmu kan?  Apa kamu tidak percaya sama aku?”

“Aisah, ini sesuatu yang amat menyakitkan, karena luka itu tak akan pernah hilang dari kehidupanku,” kata Andin lirih.

“Aku akan mendengarnya, dan ikut menyimpannya sebagai rahasia.”

“Benar ya?”

“Aku janji.”

Sambil mengusap air matanya yang tiba-tiba menitik, Andin menceritakan perbuatan biadab yang dilakukan Romi, membuat Aisah terbelalak, lalu berteriak marah.

“Iblis dia itu.” keras sekali suaranya, sehingga Andin terpaksa menutup mulut sahabatnya dengan telapak tangannya.

“Laporkan saja ke polisi,” pekiknya marah.

“Tidak semudah itu Ais. Aku akan mendapat malu, ayahku akan sedih, dan semua orang akan tahu kebusukan itu. Mungkin ada belas kasihan untuk aku, tapi mungkin juga akan banyak yang mencibir. Banyak pertimbangan yang harus aku pikirkan kalau aku harus melakukan itu,” kata Andin sedih.

Sesungguhnya ia kemudian merasa sedikit lega karena bisa berbagi atas penderitaannya, kepada sahabatnya yang ia tahu akan selalu mendukungnya.

Aisah tampak terdiam. Apa yang dikatakan Andin ada benarnya. Melaporkan perbuatan bejat itu ke polisi, berbeda dengan kalau melapor karena kecopeten. Ini menyangkut nama baik dan perasaan. Bukan hanya perasaannya sendiri, tapi juga orang tua.

“Aku bisa mengerti perasaan kamu Andin, sangat mengerti. Kalau itu aku, pasti aku sudah mengamuk. Mungkin aku akan mencari laki-laki bejat itu dan membunuhnya,” kata Aisah berapi-api.

“Aku ini lemah, tak berani melangkah.”

“Lalu apa yang akan kamu lakukan?"

“Tidak ada.”

“Kamu akan diam saja?”

“Biarlah aku menanggungnya sendiri. Dan aku minta sama kamu Ais, tolong simpan semua yang aku katakan ini. Hanya aku dan kamu yang mengetahuinya.”

“Akan aku pegang janjiku. Kamu tidak usah khawatir. Tapi aku sangat prihatin mendengar semua itu. Rasanya dadaku ikut sakit mendengarnya.

“Biarkan saja, aku pasrah pada takdirku,” kata Andin, pasrah, membuat Aisah semakin trenyuh. Dengan hangat dipeluknya Andin, yang dengan sekuat tenaga menahan jatuhnya air matanya.”

“Baiklah, aku ada kelas di jam ini, aku tinggal dulu ya, kamu belum mau pulang?”

“Aku akan pulang saja sekarang.”

“Kamu naik sepeda motor yang dari mas Faris kan?”

“Iya, tentu saja. Aku berterima kasih kepada calon majikan aku itu, karena dengan demikian aku bisa mengirit ongkos pulang pergi ke kampus, juga ke tempat kerja.”

“Orang baik pasti akan mendapat kebaikan,” kata Aisah sambil menepuk pundak sahabatnya.

Andin tersenyum haru. Beruntung ada sahabat yang menguatkannya.

Andin sedang melangkah ke arah parkiran, ketika seseorang menggamit lengannya. Mata Andin berkilat ketika melihat siapa yang melakukannya.

“Mengapa kamu seperti membenciku, Andin, aku kan sudah minta maaf,” yang berkata adalah Romi, yang dengan tersenyum menatap Andin.

“Aku bukan hanya membenci kamu, tapi aku sangat jijik melihatmu,” katanya kemudian berlalu.

“Hei, sombong amat sih, kamu ingat kan, aku sudah minta maaf? Baiklah, aku tak akan mengganggu kamu lagi. Memangnya cuma kamu perempuan cantik di dunia ini?” katanya sambil ngeloyor pergi. Andin tak mempedulikannya, ia mengambil sepeda motornya, kemudian keluar dari area parkir.

Hal yang membuatnya selalu terganggu adalah, dia masih satu kampus dengan Romi, sehingga pertemuan dengannya tak akan bisa dihindari. Ingin rasanya Andin berhenti saja kuliah, tapi ia tak mau mematahkan cita-cita dan harapan ayahnya.

“Mau tidak mau aku harus menahan amarah ini setiap kali melihatnya,” gumamnya masih dengan wajah merah padam.

Saat dia mau keluar dari halaman kampus, sebuah mobil berhenti, dan seorang wanita cantik melongok dari jendela mobilnya yang kemudian terbuka.

Andin tak ingin mempedulikannya, tapi wanita itu memanggilnya.

“Mbak … Mbak.”

“Andin terpaksa menghentikan sepeda motornya, memundurkannya sehingga sejajar dengan mobil itu.

“Ya, Mbak?”

Mbak tahu nggak, di mana aku bisa ketemu Romi?”

Jantung Andin berdesir. Ia benci orang itu, bahkan benci mendengar nama itu.

“Dia di jurusan apa ya, saya lupa.”

“Maaf, saya tidak kenal nama itu,” kata Andin yang tak ingin berpanjang lebar bicara tentang laki-laki bernama Romi.

“Tapi dia kuliah di kampus ini, aku baru datang dari luar negri dan ingin menjemput tunangan aku.”

Andin memacu sepeda motornya dan terus berlalu, membuat gadis itu merasa kesal.

“Sombong amat sih. Memangnya siapa dia? Masa sih, satu kampus kok tidak mengenal?”

Tapi ketika ada lagi yang lewat, dan gadis itu menanyakannya, dengan manis, ia menjawab bahwa Romi masih ada kelas.

“Terima kasih ya Mas, nama saya Elisa, dan Romi itu tunangan saya.”

Gadis itu memperkenalkan diri tanpa ditanya, tapi laki-laki itu hanya tersenyum.

***

Besok lagi ya.


Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

أحدث أقدم