BUNGA TAMAN HATIKU 21

 BUNGA TAMAN HATIKU  21

(Tien Kumalasari)

 

Keluarga Sardono sudah menghentikan acara makan mereka, karena memang sudah menyelesaikannya. Supri tampak menunduk, menunggu reaksi sang majikan setelah mendapatkan laporan darinya.

“Apa yang dilakukan polisi itu saat menemui kamu?” tanya pak Sardono.

“Hanya bertanya apakah benar Biran bekerja di sini, dan saya jawab bahwa sudah dua hari dia tidak masuk kerja.”

“Polisi tidak akan menemui aku kan?”

“Mereka bertanya tentang Tuan, tapi saya mengatakan bahwa Tuan bekerja, barangkali nanti atau besok mereka menemui Tuan untuk menanyakan beberapa hal.”

“Aku kan tidak tahu apa yang dia lakukan diluar sana.”

“Benar, Tuan. Tapi mungkin mereka akan bertanya tentang perilakunya. Tadi mereka juga bertanya banyak tentang rumah dan lain-lainnya, tapi kan Biran pernah bilang bahwa rumahnya sudah dijual untuk membayar hutang.”

“Apa polisi mengatakan mengapa Biran sampai membunuh orang?”

“Katanya orang itu menagih hutang  sama Biran, tapi Biran marah, lalu menghajarnya sampai tewas.”

Nijah terdiam. Sama sekali tak menyangka ayah tirinya akan berbuat sejauh itu.

“Ya sudah, kalau begitu kamu cari lagi orang lain untuk mengganti Biran, tapi jangan yang kelakuannya seperti Biran.”

“Baik, Tuan. Sekarang saya permisi.”

Pak Sardono mengangguk, dan Supri berlalu.

Bu Sardono segera memerintahkan bibik untuk memberi makan Supri, sementara Nijah menumpuk piring-piring kotor bekas makan mereka.

“Nijah, apa kamu sedih mendengarnya?” tanya Satria kepada Nijah.

“Entahlah, saya tidak tahu apa yang saya rasakan. Barangkali bukan sedih, tapi menyesali perbuatannya.”

“Dan barangkali juga kejadian ini bisa membuka mata hatinya untuk bertobat.”

“Aamiin, semoga begitu.”

“Apa kamu ingin menjenguknya di tahanan?” tanya pak Sardono.

“Saya kira tidak, Tuan. Saya tidak tahu apa yang akan saya katakan ketika bertemu nanti. Mungkin benar, apa yang menimpanya, semoga menjadi pelajaran dia untuk mengerti tentang kesalahan yang pernah diperbuatnya.”

“Baiklah, aku mengerti,” kata pak Sardono sambil berdiri.

Ristia membantu Nijah membersihkan meja makan, membuat Satria tersenyum senang, karena merasa bahwa Ristia telah benar-benar berubah.

Sementara Satria dan ayahnya kembali ke kantor, Nijah membantu bibik membersihkan dapur. Dia mencuci semua perabotan, karena Ristia akan mengajaknya pergi.

“Nijah, apakah kamu bersedih mendengar ayahmu ditahan polisi?”

“Entahlah Bik, sepertinya aku tidak bersedih. Sudah banyak kelakuan buruk yang dilakukannya. Semoga yang terjadi ini menjadi pelajaran bagi dia dan membuatnya bertobat.”

“Kamu benar. Dia sendiri yang membuat tak ada ikatan batin antara kamu dan dirinya, karena dia tidak bisa bersikap sebagai seorang ayah, dan justru menyiksa kamu sepanjang hari-harimu.”

“Benar, saya tetap merasa tak punya orang tua, karena dia tak bisa menggantikan kedudukan orang tua aku. Dia adalah orang lain yang secara kebetulan pernah hadir dalam hidup ibuku. Inilah yang membuat aku sedih Bik. Kalau ibu mengetahuinya, pasti dia akan bersedih juga.”

“Selalu mendoakan orang tua kamu ya Jah, agar mereka tenang di alamnya.”

“InshaaAllah, Bik.”

"Nijah, apa kamu sudah selesai?” tiba-tiba Ristia masuk ke dapur dengan dandanan yang apik, siap untuk pergi.

“Sebentar Non, saya selesaikan ini dulu.”

“Tinggalkan saja Jah, biar aku selesaikan nanti,” kata bibik sambil mendekati Nijah.

“Tidak Bik, ini kurang sedikit.”

“Ya sudah, selesaikan saja, aku menunggu di depan,” kata Ristia sambil berlalu.

Setelah selesai mencuci perabotan, Nijah membersihkan diri dan berganti pakaian bersih. Lalu dia berpamit kepada bu Sardono yang duduk di ruang tengah sendirian.

“Nyonya, saya minta ijin untuk keluar, Non Ristia mengajak saya.”

“Sebenarnya mau kemana dia, siang-siang begini,” kata bu Sardono.

“Katanya hanya jalan-jalan saja.”

“Baiklah, hati-hati, dan jangan kesorean pulangnya, nanti kamu capek.”

“Baik, Nyonya.”

Nijah menghampiri Ristia yang sudah menunggunya di depan, lalu segera berangkat pergi.

Berita tentang Biran yang ditangkap polisi tak begitu berpengaruh pada keluarga itu, karena mereka sudah kesal dengan kelakuan Biran yang tidak terpuji.

***

Ketika keluar dari halaman, tanpa sadar Nijah melihat ke arah samping, dan melihat Bowo duduk di atas sepeda motornya, di bawah sebuah pohon besar yang ada di pinggir jalan.

Nijah tahu Bowo juga sedang menatapnya. Ketika mau melewati tempat di mana Bowo berada, Nijah membuka kaca mobilnya, dan melambaikan tangan. Bowo membalas lambaian tangan Nijah. Entah mengapa, ada perasaan sedih ketika melihatnya. Barangkali Bowo merasa, bahwa Nijah sedang berusaha menjauhinya. Hal itu dirasakan ketika mereka sedang bertelpon. Tapi Bowo masih merasa lega, karena ketika Nijah mengatakan tak bisa menemuinya dengan alasan harus mengikuti non Ristia, ternyata benar adanya. Bowo masih bersabar menunggu esok hari. Dia harus bertemu Nijah dan meyakinkan hatinya bahwa Nijah baik-baik saja.

“Itu siapa? Kenapa kamu melambaikan tangan?” tanya Ristia yang belum pernah melihat Bowo.

“Itu Wibowo, teman sekolah saya.”

“Memangnya kamu pernah sekolah apa?”

“Waktu masih SD, Non.”

“Oh, teman waktu SD. Tapi dia ganteng lhoh. Jangan-jangan pacar kamu.”

“Bukan Non, hanya berteman baik. Kami bertemu setelah beberapa tahun berpisah, karena selepas SD dia lalu pindah ke Jakarta, mengikuti orang tuanya."

"Sekarang dia ada di sini?”

“Tidak. Hanya karena liburan, dia ke sini.”

“Hanya untuk menemui kamu?”

“Ada keluarganya di sini, yang menunggui rumahnya, ada juga neneknya.”

“Tampaknya dia suka sama kamu.”

“Tidak Non, sungguh kami hanya berteman.”

“Ya sudah. Kalau kamu ternyata sudah punya pacar, mas Satria tentu akan kecewa.”

Nijah berdebar. Hampir tak percaya bahwa sebentar lagi dia akan menjadi istri majikannya. Ada rasa senang, ada debar bahagia, tapi ada rasa takut, karena merasa tak sepadan dengan calon suaminya.

“Kami hanya berteman baik,” kata Nijah lirih.

Bowo memang baik. Sejak dirinya kedinginan di sebuah mini market, dia menyelimutinya dengan jacketnya, dia memesan kopi panas untuk menghangatkannya, dia juga mengajaknya jalan-jalan untuk melihat dunia luar yang belum pernah dijamahnya. Dia juga memberikan pakaian pantas yang selalu dikenakannya saat keluar rumah. Ada sedih mengiris ketika menyadari bahwa Bowo sangat berharap agar dia bisa mendampinginya, tapi ia tak berani menjalaninya. Hidupnya sudah cukup susah, jangan lagi teraniaya dengan kehidupan yang pasti akan susah dijalaninya karena perbedaan status yang mereka miliki. Berbeda dengan Satria, yang kedua orang tuanya sudah sangat setuju, bahkan istrinya bersikap sangat manis kepadanya. Barangkali Nijah bermimpi, bahwa hidupnya akan lebih tenang dengan keputusan yang sudah diambilnya.

“Hei, mengapa kamu melamun?”

Nijah terkejut, karena dia memang melamun. Lamunan ke arah mimpi-mimpi yang panjang, tentang kehidupan yang entah apa nanti yang terjadi.

“Ah, tidak melamun, Non.”

“Kamu diam saja, apakah kamu memikirkan Wibowo?”

“Apa? Tidak, Non.”

“Kamu ingkar, karena takut Satria mengetahuinya, kemudian membatalkan niatnya?”

“Tidak Non, mengapa Non mengira begitu? Hal yang sudah saya putuskan, tak akan membuat saya takut.”

“Bagus, aku suka bersahabat dengan seorang pemberani,” kata Ristia sambil tersenyum aneh. Tak seorangpun tahu, apa arti senyuman itu.

***

Ristia menghentikan mobilnya di sebuah cafe yang sepi pengunjung. Ia mengajak Nijah turun, lalu masuk ke dalamnya.

“Ini tempat apa?”

“Tempat minum-minum, makan-makan. Ayolah, ini punya teman aku, kita bisa berbincang akrab,” kata Ristia yang terus menarik lengan Nijah.

Ia mengajaknya duduk di sebuah pojok ruangan. Nijah mengamati sekeliling tempat itu yang memang tampak sepi.

Tiba-tiba seorang laki-laki tampan keluar dan langsung mendekati meja mereka.

“Ristia, kamu sama siapa?” tanya laki-laki yang adalah Andri.

“Andri, kenalkan, ini temanku, Nijah.”

Andri menatap Nijah. Tentu saja Andri sudah mendengar nama Nijah, bahkan pernah melihatnya saat Nijah makan bersama Satria.

“Aku sudah pernah melihatnya, tapi memang belum sempat berkenalan. Nijah, aku Andri, sahabat Ristia.”

Nijah menerima uluran tangan Andri. Dia tak begitu ingat laki-laki itu, karena saat Andri datang bersama Ristia waktu itu, Nijah lebih banyak menundukkan muka.

“Saya Nijah.”

Andri melepaskan tangan Nijah, lalu duduk di dekat Ristia.

“Kebetulan kamu datang. Ada perlu?”

“Hanya mampir, dan memperkenalkan Nijah, calon madu aku,” kata Ristia berterus terang, membuat wajah Nijah memerah. Tak mengira Ristia akan membuatnya malu.

“Oh, cantik ya, bagus sekali Ristia, kamu bisa menerima wanita lain sebagai madu. Kamu benar-benar baik,” kata Andri sambil mengedipkan sebelah matanya kapada Ristia. Ristia hanya tersenyum.

“Sebenarnya aku lagi sedih, nih,” kata Andri tiba-tiba.

“Kamu bisa sedih juga? Kenapa?”

“Ibuku memaksa aku menikah di pertengahan bulan ini.”

“Apa? Ahaaa, ini berita bagus, akhirnya kamu mau menikah?”

“Kenapa kamu tampak gembira, sementara aku sedih?”

“Mengapa sedih Ndri, menikah itu kan enak.”

“Kata siapa? Aku tidak bisa menerima wanita lain selain kamu Ristia.”

Nijah mengangkat wajahnya. Laki-laki ini begitu mencintai Ristia dan sedih ketika mau dinikahkan dengan wanita lain?

“Kamu harus menerimanya Andri, jangan sampai jadi perjaka tua.”

“Aku tidak bisa hidup bersama wanita lain, Ristia. Hanya kamu. Kalau aku dinikahkan sama kamu, baru aku mau.”

Ristia tertawa.

“Andri, kamu kan tahu aku sudah punya suami?”

“Tapi kamu perempuan bodoh!”

“Apa?”

“Karena kamu mau dimadu, maka aku sebut kamu perempuan bodoh.”

Wajah Andri muram, tapi Ristia kemudian memegang tangannya sambil tersenyum, menenangkan.

“Kamu tadi bilang bahwa aku baik karena mau dimadu, kok sekarang memaki aku bodoh?”

“Sesungguhnya itulah yang tepat untuk kamu. Harusnya kamu minta cerai, lalu menikah sama aku. Aku juga ganteng, harta aku banyak. Semua keinginan kamu pasti aku penuhi.”

“Jangan gila Andri, kenapa tiba-tiba kamu mengatakan itu? Bukankah kita punya rencana? Kamu tidak mau lagi membantu aku?”

Andri terdiam, menatap ke arah Nijah yang menundukkan wajahnya. Lalu menghela napas panjang.

“Baiklah, aku tak pernah mengingkari apa yang pernah aku katakan. Baiklah, tapi kamu tidak harus datang di pernikahan aku, aku tak akan berani bernapas kalau ada kamu.”

Ristia tertawa keras.

“Menikah itu enak. Tapi tolong beri kami minum, aku haus, setelah itu aku mau pulang.”

Andri bertepuk tangan, seorang pelayan datang, lalu dia memesan minum kesukaan Ristia. Es buah yang segar. Nijah ikut menikmatinya, tapi dia sama sekali tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.

***

Hari sudah sore ketika kemudian Ristia mengajak Nijah pulang. Nijah tak mengerti mengapa Ristia hanya mengajaknya berputar-putar, kemudian mampir minum dan berbicara dengan seseorang yang dengan wajah sedih mengeluh akan dinikahkan.

“Hari sudah sore, kita harus segera pulang, nanti kita dimarahi ibu,” kata Ristia.

“Saya heran sama teman Non tadi.”

“Kenapa?”

“Dia sangat mencintai Non, sehingga merasa sedih ketika harus menikah.”

“Dia cinta mati sama aku, tapi kami kemudian menjadi sahabat baik.”

“Harusnya Non menghindari ketemu dia.”

“Kenapa harus menghindar?”

“Bukankah pertemuan dengan dia akan membuat dia tersiksa? Dia hanya bisa memandang, tapi tak bisa memiliki. Berbeda kalau non Ristia tidak usah menemuinya, sehingga dia bisa melupakan Non.”

“Tapi dia senang kok bertemu aku. Tidak apa-apa, sedikit menyenangkan dia.”

Nijah memikirkan Bowo. Kalau dirinya tak bisa membalas cinta Bowo, maka yang terbaik adalah menghindarinya, agar Bowo bisa mengerti, lalu bisa melupakan dirinya.

“Apa yang kamu pikirkan?”

“Tidak ada.”

“Sebenarnya aku belum puas mengajak kamu jalan-jalan. Besok kita jalan-jalan lagi ya? Aku sebenarnya ingin memberikan hadiah untuk kamu. Tapi ini keburu sore. Bagaimana kalau besok berangkat agak pagi?”

“Bukankah kalau pagi saya harus membantu bibik?”

“Aku akan minta ijin pada ibu agar kita bisa pergi. Aku ingin beli sesuatu untuk kamu, tapi kamu harus memilihnya sendiri, sehingga cocok dengan selera kamu.”

“Tidak usah Non, saya tidak ingin mendapatkan hadiah itu.”

“Kamu tidak boleh menolaknya, Nijah, aku tak ingin disebut madu yang jahat. Aku harus menunjukkan kepada semua orang, bahwa aku bisa menerima kamu sebagai madu yang juga aku sayangi. Semua orang harus tahu bahwa kita saling menyayangi, bukan seperti madu pada umumnya, yang bermusuhan karena berebut kasih sayang suami.”

Nijah mengeluh dalam hati. Sebenarnya juga terasa berat menikah dan menjadi istri muda. Tapi ingatan akan kebaikan nyonya majikan, dan ingatan bahwa dia diharapkan bisa melahirkan anak-anak demi keturunan keluarga mereka, membuat dia memaksakan diri untuk menjalani. Ada sedikit rasa syukur karena Ristia bisa menerimanya dan bersikap sangat baik pada dirinya.

Ketika mereka memasuki halaman rumah, sepasang mata mengawasinya dari atas sepeda motor. Wajahnya muram.

“Hanya muter-muter, lalu minum di sebuah cafe, apa sih maksud mereka itu?” gumamnya perlahan. Rupanya dia mengikuti terus mobil Ristia, sampai mereka kembali pulang ke rumah.

***

Besok lagi ya.

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

أحدث أقدم