BUNGA TAMAN HATIKU 14

 BUNGA TAMAN HATIKU  14

(Tien Kumalasari)

 

Nijah terpana, melihat siapa yang datang. Matanya berbinar senang.

“Bowo?”

Sementara itu Biran yang merasa terganggu menjadi sangat marah. Dia menghentakkan tangannya yang dicengkeram Bowo, tapi cengkeraman anak muda itu lebih kuat.

“Kamu? Kamu laki-laki yang selalu membawa anakku bepergian tanpa membayarnya?”

Nijah menjadi sangat marah, karena lagi-lagi ayah tirinya menganggap dirinya telah menjual diri.

“Kamu orang tua yang tidak bisa dihargai dan dihormati. Bahkan merendahkan martabat gadis yang kamu anggap sebagai anak?” kata Bowo, tajam.

“Kamu ini siapa, jangan ikut campur. Ini urusan aku dan anakku sendiri.” teriak Biran marah.

“Adakah seorang ayah yang memeras anaknya? Meminta uang dan merebut dengan paksa?”

“Diam kamu, jangan ikut campur.”

“Aku tidak akan mengijinkan siapapun mengganggu Nijah, termasuk kamu, seorang ayah tiri yang tidak tahu diri.”

“Diaaam! Biran meronta, dan ketika tangannya berhasil lepas, ia berusaha untuk memukul Bowo, tapi Bowo lebih muda dan tentu lebih gagah dan kuat. Sedikit saja dia memiringkan tubuhnya, maka Biran jatuh tersungkur.

Kejadian itu menarik perhatian banyak orang yang ada di halaman bank itu.

Biran mengusap wajahnya, keningnya berdarah. Susah payah dia bangkit.

“Apa kamu mau saya bawa ke kantor polisi?” ancam Bowo.

"Lihat, beberapa satpam bersiap datang kemari."

Biran tak berkutik. Tertatih dia bangun, kemudian meninggalkan halaman dengan tersaruk-saruk.

Bowo menarik tangan Nijah, diajaknya masuk kembali. Bibik mengikutinya dengan heran. Ia melirik laki-laki tampan yang menggandeng tangan Nijah, dan bertanya-tanya dalam hati, siapa gerangan laki-laki penyelamat gadis lugu yang dianggapnya seperti anak sendiri?

Ketika Bowo kemudian mengajaknya duduk, Nijah memperkenalkan bibik kepada Bowo.

“Bowo, ini bibik, yang sudah aku anggap sebagai ibuku sendiri.”

Bowo mengulurkan tangannya, dan mencium tangan bibik. Membuat bibik sangat terkesan oleh sikap santun laki-laki gagah itu.

“Nama saya sebenarnya Karsini, tapi terbiasa dipanggil bibik,” kata bibik sambil tersenyum.

“Saya Bowo, teman sekolahnya Nijah, Bu.”

“Bagaimana kamu bisa berada di sini, Bowo?” tanya Nijah.

“Aku libur dua hari, sedianya ingin menemui kamu, kalau saja kamu ada waktu untuk keluar. Dan beruntungnya aku, ketika melihat kamu turun dari taksi dan memasuki bank ini. Tidak mengira ayah tiri kamu akan memeras kamu di sini.”

“Sebenarnya aku sangat malu, bagaimanapun dia pernah menjadi suami almarhumah ibuku. Seharusnya aku menghormatinya,” kata Nijah sedih.

“Dia tidak pantas dihormati, karena dia tidak memiliki rasa hormat itu.”

“Betul Nak, kelakuannya sudah keterlaluan. Tuan majikan saya juga sudah kesal dengan kelakuannya, tapi tidak sampai hati untuk memecatnya. Mereka orang baik dan penuh kasih sayang."

“Iya Bowo, saya bersyukur menjadi bagian dari keluarga Sardono, walaupun hanya menjadi pembantu.”

“Aku juga bersyukur, kamu berada ditempat yang aman. Tapi tidak enak rasanya kalau aku mau mengajak kamu keluar sebentar saja.”

“Benar, aku tidak berani, Bowo.”

Sementara itu nomor antrean bibik sudah dipanggil. Bowo kemudian membantu Nijah mengisi formulir untuk membuka tabungan di bank itu, menunggu sampai proses semuanya selesai. Nijah juga mendapat kartu ATM yang penggunaannya sudah diajarkan juga oleh Bowo.

“Terima kasih, Bowo, kamu telah menyelamatkan uang aku, dan membantu aku menyimpan uang aku.”

“Aku tetap akan memenuhi janji aku, suatu hari nanti aku pasti menjemputmu.”

Nijah berdebar. Bowo selalu mengatakannya dengan sangat enteng. Nijah menganggap Bowo terlalu sembrono dan melakukan sesuatu tanpa perhitungan. Nijah tak pernah yakin semuanya akan terjadi. Karena itu dia tak begitu memasukkan ucapan Bowo ke dalam hati.

Ketika semuanya selesai, Nijah berpamit pada Bowo, yang sudah merasa puas bisa bertemu, walau hanya sebentar. Bowo tak ingin mengganggu Nijah, yang pastinya tak berani meminta ijin untuk berlama-lama bersamanya.

Bowo akan memanggilkan taksi untuk Nijah dan bibik, ketika tiba-tiba sebuah mobil berhenti di dekat mereka yang sudah berada di pinggir jalan.

Bibik terkejut.

“Itu mobil tuan Satria.”

Seorang laki-laki tampan keluar dari mobil.

“Nijah, Bibik, kalian ngapain?”

“Baru memasukkan uang ke bank, Tuan,” jawab Bibik.

“Sudah selesai?”

“Sudah.”

“Ayo pulang sama-sama, aku mau makan di rumah,” kata Satria yang langsung membukakan pintu depan untuk Nijah, dan pintu belakang untuk bibik.

Nijah menoleh ke arah Bowo, melambaikan tangan, baru masuk ke dalam mobil. Bowo terpaku di tempatnya, sampai mobil itu berlalu. Ada perasaan tak suka melihat lelaki ganteng itu. Majikan Nijah? Dan itu sebabnya Nijah merasa kerasan dan nyaman di keluarga itu? Rasa cemburu mengamuk di dadanya. Ia menunggu malam untuk bisa bertanya kepada Nijah. Hanya dengan bertelpon, tapi jawaban Nijah sangat diperlukan.

***

Tapi di dalam mobil, Nijah yang merasa kikuk bersanding dengan sang tuan muda ganteng, dicecar dengan pertanyaan yang membuatnya kesal.

“Siapa laki-laki yang berdiri di dekat kamu tadi?” tanya Satria.

“Dia … teman sekolah saya dulu.”

“Sekolah SD?”

“Kan saya memang cuma sekolah SD?”

Satria tersenyum. Ia tahu Nijah kesal dengan pertanyaan itu. Tapi Satria ingin tahu, sejauh mana hubungan Nijah dengan teman SD nya. Satria ingat sebuah nama yang pernah disebutkan Nijah saat dia menguping ketika Nijah bertelpon.

“Apakah dia Bowo?”

“Ya.”

“O, kalian kencan bertemu di bank?”

Nijah cemberut mendengar tuduhan itu.

“Tidak Tuan, kami kebetulan saja ketemu,” kali ini bibik yang menjawab.

“O, kebetulan?”

“Biran hampir merebut dompet Nijah, tadi.”

“Apa?”

“Iya Tuan, kalau tidak ada teman Nijah tadi, Biran pasti sudah berhasil mengambil uang gaji Nijah, yang belum sempat dimasukkan ke bank.”

“Biran sering menemui Nijah?”

“Dua kali bertemu, hanya uang yang dimintanya.”

Nijah terdiam. Sesungguhnya dia malu.

“Lain kali jangan pernah jalan sendirian. Biran bisa saja menemui kamu dan memaksa meminta uang.”

“Iya, Tuan, biasanya kalau keluar juga sama saya. Tapi kalau dia memaksa seperti tadi, saya juga tidak sanggup mencegahnya. Dia main rebut saja, mentang-mentang Nijah itu lemah dan suka mengalah. Tadi itu, Nijah sudah memberi dia uang seratus ribu. Ee, masih ingin lebih. Untung ada mas Bowo.”

“Untung ada mas Bowo,” kata Satria seperti bergumam.

“Bagaimana tadi urusan bank nya? Beres kan? “

“Sudah Tuan, saya kan tinggal menabung saja, kalau Nijah tadi membuka tabungan baru. Temannya tadi yang membantu, jadi saya tidak ngapa-ngapain.”

Satria tidak tahu, sejauh apa hubungan Nijah dengan Bowo. Ada yang diinginkannya atas gadis itu, dan Satria tak ingin ada yang mengganggu.

***

Begitu sampai di rumah, Nijah dan bibik disibukkan dengan acara meladeni Satria dan nyonya besar yang makan siang bersama di siang itu. Bu Sardono senang, karena Satria sering pulang siang hari, sehingga dia tidak selalu makan sendirian seperti sebelumnya.

“Aku tahu, kenapa kamu sering pulang saat jam makan siang.”

“Apa yang ibu tahu?”

“Karena kamu merasakan masakan Nijah yang enak. Ya kan?”

Satria tertawa lirih, lalu melirik ke arah Nijah yang diam tertunduk sambil duduk di kursi kecil seperti biasanya.

“Nijah itu istri idaman,” celetuk Satria tiba-tiba.

Bu Sardono melihat tatapan mata Satria ke arah Nijah. Itu bukan tatapan biasa. Tapi bu Sardono tak mampu menguraikannya.

Satria sadar kalau sang ibu memperhatikannya. Ia terbatuk-batuk, lalu meneguk minumannya.

“Pelan-pelan, kenapa sih, awas ya, jangan sampai tersedak.”

“Saking enaknya makan siang hari ini.”

“Setiap kali makan di rumah selalu enak. Kamu saja yang tidak pernah menikmatinya.”

“Sekarang Satria sudah sering makan di rumah kan?”

“Iya, ibu senang kamu melakukannya. Sayangnya istri kamu tidak pernah ada. Apa kamu tidak bilang, kalau siang kamu selalu makan di rumah?”

“Tidak. Kalau Satria bilang, dia pasti juga tak bisa pulang. Selalu sibuk dengan teman-temannya.”

“Sekali waktu, kamu coba peringatkan dia. Jangan terlalu sayang sama istri, lalu tidak berani mengingatkan ketika dia melakukan hal yang tidak pantas.”

Satria diam saja, asyik menikmati nasi kare nya. Dia sudah memperingatkannya semalam, sekaligus mengatakan kalau dirinya mau menikah lagi. Menikah dengan siapa ya? Bisakah terlaksana? Satria melirik ke arah Nijah. Gadis itu sedikitpun tak merasa, bahwa Satria selalu memikirkannya. Dia juga tak pernah sadar, apa arti cara dia menatap dirinya. Apakah Nijah belum pernah jatuh cinta?  Lalu siapakah Bowo? Sekedar teman sekolahnya, atau lebih dari itu? Satria terus bertanya-tanya, sekaligus bertanya kepada hatinya, beranikah dia mengutarakan isi hatinya kepada sang ibu. Bagaimana kalau ibu atau bahkan ayahnya menolak dengan alasan perbedaan status? Tiba-tiba Satria menjadi sedih. Wajahnya berubah sendu, sampai kemudian dia menghabiskan nasi di piringnya.

“Ada apa denganmu? Mengapa tiba-tiba wajahmu jadi aneh? Oh ya, apa kamu sudah siap mengatakan, siapa sebenarnya gadis pilihan kamu itu? Ayahmu juga tak sabar menunggu. Kalau saja ayahmu bisa pulang makan siang bersama kita saat ini, pasti dia juga menanyakannya.”

“Bapak sedang makan bersama klient. Satria pilih makan di rumah saja,” katanya sambil lagi-lagi melirik Nijah yang selalu menundukkan wajahnya.

“Lalu, apa kamu sudah punya jawabannya?”

“Nanti setelah makan Satria mau bicara sama Ibu.”

“Kenapa tidak sekarang? Apa kamu malu kalau NIjah mendengarnya? Toh nanti Nijah juga akan mengetahuinya. Ya kan Jah?” kata bu Sardono kemudian kepada Nijah, yang kemudian mengangkat wajahnya dengan bingung.

“Ya Nyonya? Apa Nyonya menyuruh saya melakukan sesuatu? Maaf Nyonya, saya kurang memperhatikan,” kata Nijah takut-takut.

Bu Sardono tertawa.

“Tidak, tidak penting. Mengapa kamu seperti melamun? Oh ya, apakah laki-laki yang tadi menolong kamu di bank, adalah pacar kamu? Bibik mengatakan semuanya, tadi.”

“Bukan … bukan Nyonya, hanya teman saja,” kata Nijah cepat-cepat.

Satria tersenyum lega, walau ia tidak sepenuhnya percaya.

“Kalau pacar, ya bilang saja. Boleh kok, sesekali kamu ijin keluar untuk menemui pacar kamu, asalkan kamu tahu batasannya. Jadi perempuan itu tidak mudah. Terlena sedikit saja, hidup kamu bisa hancur selamanya.”

Nijah menatap nyonya majikannya. Ia tak sepenuhnya mengerti apa maksudnya, tapi bahwa ia harus mengetahui batasannya, ia bisa menerimanya. Barangkali batasan untuk menjaga diri, dan batasan tentang waktu, karena dia adalah pembantu di rumah itu.

“Kamu mengerti, Nijah?”

“Saya mengerti, Nyonya, saya tidak akan menemui siapa-siapa,” jawab Nijah lugu.

“Baiklah, kalau kamu mengerti.”

 

***

Setelah makan siang itu, Satria langsung kabur. Tadi dia berjanji akan mengatakan kepada ibunya, tentang siapa yang ingin dijadikannya istri. Tapi sungguh dia belum memiliki cukup keberanian untuk mengatakannya. Akankah sang ibu menolak, atau menerima karena telah mengetahui bagaimana baiknya Nijah?

Satria langsung memasuki ruangan kantornya, dan terkejut ketika melihat Ristia duduk di sofa dengan gelisah.

“Kamu? Apa yang kamu lakukan?”

“Menunggu kamu,” kata Ristia sambil berdiri dan memeluknya.

“Ristia, jaga sikapmu, ini di kantor. Tidak pantas kalau para staf melihat kelakuanmu ini.”

“Mereka kan tahu, kalau aku istri kamu?”

“Walaupun kamu istri aku, kamu harus mengerti bahwa di sini bukan tempat untuk bercumbu. Lagi pula aku pernah mengatakan sama kamu, bahwa kamu tidak boleh datang ke kantor, walau untuk urusan yang penting sekalipun.”

“Kamu dari mana?”

“Dari makan, mengapa bertanya?” kata Satria tanpa ingin mengatakan bahwa dia makan di rumah.

“Sesungguhnya aku tadi mencari kamu di rumah makan langganan, setiap kali kamu makan siang. Tapi kamu tidak ada. Aku menunggu sambil makan, sampai selesai. Kata pelayan restoran, kamu sudah lama tidak makan di sana.”

“Iya, benar."

“Kamu makan di mana?”

“Berpindah-pindah lah. Lagian kenapa kamu menunggu aku di rumah makan? Nanti sore kamu pasti pulang kan?”

“Aku ingin tahu, apakah kamu makan bersama calon istri muda kamu,” kata Ristia yang wajahnya berubah sendu.

“Kamu ada-ada saja. Sekarang aku mau bekerja, lebih baik kamu pulang. Apa kamu tak ada acara hari ini? Oh ya, kamu sudah mulai mengurangi kegiatan kamu di luar seperti anjuran aku? Bagus, tapi tidak seharusnya kamu menunggui di kantor. Kamu sebaiknya berada di rumah, melakukan pekerjaan rumah, membantu bibik dan Nijah memasak, sekaligus kamu bisa belajar banyak hal dari mereka.”

Wajah Ristia gelap seketika. Melakukan hal yang membuat capek di rumah, alangkah menyebalkan. Ristia tak menjawab, lalu berdiri dan bersiap pergi.

“Kamu mau pulang?”

"Maukah kamu mengatakan siapa gadis yang akan menjadi istri muda kamu?”

“Tunggu aku di rumah, aku pasti mengatakannya sama kamu. Kamu harus menerimanya dengan ikhlas, dan mau berbagi cinta dengannya.”

Ristia membalikkan tubuhnya, meninggalkan ruangan kantor suaminya.

“Berbagi cinta dengannya? Apa aku sudah gila? Yang benar adalah aku akan menyingkirkannya,” katanya geram, sambil melangkah keluar. Tak peduli beberapa pegawai yang berpapasan mengangguk hormat kepadanya.

***

Besok lagi ya.

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

أحدث أقدم