BUNGA TAMAN HATIKU 12
(Tien Kumalasari)
Bu Sardono menatap anaknya, yang tampak ingin mengatakan sesuatu, ia mengira Satria akan menentangnya, dan Bu Sardono khawatir suaminya akan marah.
Pak Sardono menatap langit-langit, siap menyemprotkan kata keras seandainya Satria masih akan menentangnya. Padahal siapa gadis yang akan dijodohkan belum terpikirkan oleh mereka. Tapi yang penting adalah kesanggupan Satria, baru mereka akan memikirkannya.
“Apa jawabmu?” tanya pak Sardono, tandas.
“Kamu boleh saja tidak menceraikan istri kamu, tapi kamu harus memiliki keturunan, dan itu akan kamu dapatkan kalau kamu memiliki istri lain. Soalnya Ristia sudah kelihatan bahwa dia tak bisa melahirkan seorang anak,” sambung bu Sardono.
“Atau kamu akan memeriksakan istri kamu lagi?”
Satria diam. Ia teringat, sejak setahun setelah menikah dan belum ada tanda-tanda Ristia hamil, dia pernah memaksa Ristia untuk memeriksakan kemungkinan untuk dia bisa melahirkan anak. Itupun ia harus memaksanya. Dan nyatanya dokter hanya geleng-geleng kepala.
“Tidak usah. Sudah pernah diperiksa, Ristia memang mandul."
“Ibu ingat. Hasilnya adalah Satria sehat. Jadi Satria tetap harus memiliki istri lagi,” kata bu Sardono.
Dan tiba-tiba saja. Pak Sardono dan istrinya merasa lega ketika melihat Satria mengangguk.
“Baiklah.”
“Bagus, kalau begitu ibu akan mencarikan jodoh yang baik untuk kamu. Yang bisa menjadi istri idaman, bisa melayani suami dan tidak suka berburu kesenangan di luaran.”
Satria menghela napas panjang, sebelum akhirnya menjawab.
“Satria sudah punya pilihan.”
Pak Sardono menatap Satria tajam.
“Jadi kamu sudah punya pilihan? Apakah dia cantik? Maksud ibu, cantik luar dalam. Jangan hanya luarnya saja cantik, tapi tidak bisa menjadi istri teladan, yang tahunya hanya bersenang-senang.”
“Ya, Satria yakin, dia baik.”
Tapi tiba-tiba terdengar mobil memasuki halaman.
“Tuh, istri kamu baru datang, Dia berangkat pagi-pagi, katanya mau berenang ke pantai bersama teman-temannya,” kata bu Sardono kesal.
Satria bergeming. Ia tetap duduk dan tak ingin menyambut istrinya walau hanya di tangga teras.
Ia justru berdiri.
“Satria akan bicara sama Ristia.”
“Bisa kamu katakan, siapa pilihan kamu?”
“Nanti saya katakan setelah berbincang dengan Ristia,” kata Satria sambil beranjak ke dalam, membuat Ristia berteriak kesal karena ia belum sampai menginjakkan kaki di teras, suaminya sudah masuk terlebih dulu.
“Maaas, tungguin aku dong,” teriaknya setengah berlari. Ia bahkan lupa memberi salam kepada kedua mertuanya yang menatapnya tak senang.
Satria langsung naik ke atas, dan masuk ke dalam kamarnya. Ristia mengikutinya masuk, kemudian menghambur ke pelukan suaminya yang duduk menyilangkan kaki di sofa.
“Mas jangan marah ya, aku tadi mengantarkan Silvia jalan ke pantai, kemudian makan di sana dulu sebelum pulang. Kami lama tidak ketemu. Kamu harap maklum ya?” terang Ristia sambil terus memeluk suaminya.
“Mandi dulu sana, aku mau bicara,” kata Satria dingin. Sesungguhnya dia kesal karena Ristia pulang dengan jarak yang sangat lama dari kepulangannya.
“Tapi jangan marah ya, biasanya kamu tak akan marah kalau aku sudah mengatakan apa sebabnya,” Ristia merajuk.
“Mulai besok kamu tidak boleh pergi ke mana-mana,” kata Satria tanpa memandang ke arah istrinya yang masih bergayut di lehernya.
“Apa?” Ristia melepaskan pelukannya, menatap suaminya dengan mata terbelalak.
“Mandi sana, aku mau bicara,” kata Satria sambil mendorong pelan tubuh istrinya.
Ristia berdiri dengan kesal. Ia beranjak ke kamar mandi kemudian menutupkan pintunya dengan keras.
Satria menghela napas. Ia merasa bahwa ia harus memberi pelajaran kepada Ristia. Tiba-tiba saja ia merasa salah telah memilih Ristia. Salah telah membiarkannya melakukan apa saja tanpa bermaksud menegurnya. Salah begitu memanjakannya dan tak pernah menganggap bahwa apa yang dilakukannya adalah tidak pantas bagi seorang istri. Satria heran karena ia baru merasakannya sekarang. Setelah bertahun-tahun menjadi suami istri yang hanya melakukan kesenangan dan menganggap bahwa dirinya telah membuat istrinya bahagia.
“Kenapa aku baru menyadarinya?” gumamnya sambil meletakkan kepalanya di sandaran sofa.
Apakah ini karena Nijah? Nijah yang setiap pagi dengan rajin bersih-bersih rumah, mengepel lantai, menyirami tanaman, lalu membuat sarapan, mengatur meja makan untuk sarapan para majikan, melayani saat makan, memasak, dan banyak hal yang membuatnya takjub karena belum pernah melihat istrinya melakukan salah satu dari itu semua. Benarkah Nijah yang telah membuka hatinya bahwa sudah selayaknya seorang istri melayani suaminya, bukan hanya di atas ranjang tapi juga melayani semua kebutuhannya?
“Apakah aku jatuh cinta pada Nijah? Semua ini diawali, bukan karena kecantikannya, tapi karena perilaku dan apa yang sudah dilakukannya. Selayaknyakah aku memiliki istri Nijah?" gumamnya pelan.
Satria terkejut. Ia tahu tadi hampir mengatakan di hadapan kedua orang tuanya tentang wanita yang diinginkannya, dan itu adalah Nijah.
Satria mengusap wajahnya kasar. Bagaimana kalau ayah ibunya marah dan menganggapnya punya keinginan yang tidak pantas?
Tapi sudah sebulan ini Nijah selalu merayapi jiwanya, membuatnya tak mampu melupakannya. Bahkan disaat berdua bersama sang istri, ia merasa bahwa yang dicumbuinya adalah Nijah. Astaghfirullah. Satria menjadi gelisah. Ia masih menyandarkan kepalanya ketika terdengar Ristia keluar dari kamar mandi. Ristia yang hanya berbalut handuk dari dada sampai ke paha, seperti biasa dia melakukannya. Tapi kali ini Satria bergeming di tempatnya. Ia bahkan menutup matanya.
Ristia yang kesal mencoba menggodanya, ia mendekat, tapi Satria mendorong tubuhnya pelan.
“Berpakaian yang benar, aku mau bicara.”
Ristia ternganga. Ia merasa, sikap suaminya akhir-akhir ini telah berubah. Walau tak kentara, tapi perubahan itu ada. Ristia tak begitu merasakannya, karena memang hanya setiap malam ia bisa berduaan dengan sang suami.
Ristia masih berdiri di depan suaminya, dengan posisi menantang, tapi Satria memejamkan matanya sambil kepalanya masih terletak di sandaran sofa.
Ristia membalikkan tubuhnya, mengambil baju ganti dan mengenakannya.
Ia menyisir rambutnya, dan memoles wajahnya dengan riasan yang tak begitu tebal, karena dia berada di rumah dan tak pergi ke mana-mana.
Lalu Ristia duduk di samping suaminya, mengusiknya dengan gelitik nakal, membuat Satria mengangkat kepalanya, duduk dengan tegak, sambil menyingkirkan tangan istrinya.
Ristia termangu. Ia ingat apa yang dikatakan suaminya sebelum menyuruhnya mandi, bahwa ada yang ingin dikatakannya. Ristia menunggu, duduk diam dengan menahan rasa kesal di hatinya.
“Mau bicara apa?” tanyanya dengan mulut cemberut.
“Aku tadi sudah mengatakan, bahwa mulai besok, kamu tidak boleh pergi seenaknya, apa lagi setiap hari,” katanya tanpa menatap ke arah istrinya.
“Apa maksudmu, Mas?”
“Tiba-tiba aku merasa, bahwa kamu tidak melakukan kewajiban kamu dengan baik.”
“O, aku tahu. Mama sudah mengata-ngatai aku dan kamu termakan oleh hasutan mama, ya kan?”
“Bukan, aku merasakannya sendiri.”
“Lalu apa yang harus aku lakukan? Aku punya segudang kegiatan yang harus aku jalani setiap hari. Aku harus tampil seksi dan cantik di hadapan kamu, dan karenanya aku harus rajin senam serta merawat diri. Aku juga punya kegiatan bersama teman-teman aku. Hanya kegiatan biasa. Apa kamu mengira aku berselingkuh? Apa kamu mengira kalau aku pergi pasti bersama teman laki-laki?”
“Tidak. Bukan itu. Aku hanya ingin, kamu menjadi istri yang baik, yang bisa melayani suami, juga bisa mengurus rumah tangga.”
“Mas, sejak dulu aku kan sudah minta sama kamu, agar kamu tinggal terpisah dari orang tua. Maksud aku, adalah supaya tidak ada yang mengganggu rumah tangga kita, tidak ada yang selalu ikut campur dalam urusan rumah tangga kita.”
“Kamu itu tinggal di sini bersama keluarga aku, tidak pernah melakukan apapun. Lalu kalau punya rumah sendiri, bagaimana nanti ujud rumah kita? Berantakan karena tidak pernah dibersihkan. Bagaimana kamu harus memasak untuk suami kamu?”
“Ya ampun Mas, kamu kan punya uang untuk membayar pembantu? Mengapa seorang nyonya tidak boleh hidup enak dengan dilayani oleh pembantu?”
“Baiklah, kamu tampaknya keberatan dengan itu semua.”
“Tentu saja aku keberatan Mas.”
“Aku mau menikah lagi.”
“Apa?” kali ini Ristia berteriak sangat keras. Matanya membulat dan berkaca-kaca. Tak percaya bahwa suaminya akan mengatakan hal yang tak pernah dibayangkannya.
“Coba kamu ulangi perkataan kamu, Mas,” katanya gemetar.
“Aku mau menikah lagi.”
“Maaas!!” Ristia mengamuk, memukul dada suaminya dengan tangan dikepalkan, mendorongnya sehingga Satria terjengkang.
“Hentikan Ristia!!”
“Aku tidak percaya kamu mengatakan itu. Kamu punya pikiran semacam itu dari mana? Mama atau papa yang menyuruhmu? Apa kamu tidak mencintai aku lagi?”
“Bapak dan ibu ingin punya cucu.”
Ristia luruh dalam tangis. Satria sebenarnya merasa iba. Tapi ia harus melakukannya. Dan itu karena Nijah, perasaan yang belum berani diungkapkannya.
“Mas tidak mencintaiku lagi, Mas akan menceraikan aku?”
“Bukan aku tidak mencintai kamu lagi. Aku hanya ingin kamu berubah. Kalau kamu berubah menjadi istri yang baik, kamu akan tetap menjadi istri aku.”
“Dan Mas tidak akan menikah lagi?”
“Aku tetap akan menikah, demi mendapatkan keturunan. Maafkan aku, Ristia.”
***
Pagi hari itu Satria mengatakan kesanggupannya untuk menikah lagi, tapi ia belum berani mengatakan siapa wanita yang diinginkannya. Ia harus menjajagi perasaan ayah ibunya, seandainya memiliki menantu yang tidak sederajat. Bisakah mereka menerima, atau menolak?
“Kamu sudah punya pilihan?” tanya sang ayah. Saat itu mereka berada di meja makan, sedang sarapan sebelum Satria dan ayahnya berangkat ke kantor. Seperti biasa Ristia tidak ikut berbincang di ruang makan, setiap pagi.
Satria menyendok nasi goreng udang yang dibuat Nijah.
“Enak sekali,” gumamnya setelah hampir menghabiskan sepiring yang diambilnya.
“Kamu tidak menjawab pertanyaan bapak,” kesal sang ibu.
“Oh, apa tadi? Pilihan? Ada.”
“Apakah dia cantik?” sambung ibunya.
“Cantik sekali.”
“Pintar?”
“Pintar mengatur rumah tangga.”
“Bagus sekali,” kata sang ayah.
“Berpendidikan ?”
“Pendidikan budi pekerti, pastinya ya, karena dia sangat santun. Tapi pendidikan yang Bapak maksud adalah sekolah? Kuliah? Tidak sama sekali.”
“Apa maksudnya tidak sama sekali?” sambung ibunya lagi.
“Buta hurup?” sang ayah penasaran.
“Tidak. Dia bisa membaca dan menulis, tapi tidak bersekolah tinggi.”
“Apa dia gadis? Atau janda?" Sambung ayahnya lagi.
Satria menahan senyumnya, ketika bayangan gadis yang ada di dalam benaknya itu muncul.
“Satria, dia gadis, atau janda?” ulang ayahnya.
“Eh, gadis dong Pak,” Satria buru-buru menjawabnya.
“Di mana gadis itu? Bawa kepada Bapak sama ibu,” kata bu Sardono.
“Sabar dulu, Bu. Satria belum bicara sama dia, apakah dia mau menjadi istri Satria, atau tidak.”
“Masa anakku yang ganteng dan mapan akan ditolak?”
“Satria kan sudah punya istri.”
“Kamu tidak berniat menceraikan istri kamu? Kamu kan sudah bicara sama istri kamu? Dia menolak? Atau bersedia menerima?”
“Belum jelas dia mau menerima atau tidak. Tapi Satria sudah mengatakan semuanya, dan berharap dia akan berubah.”
Pembicaraan itu berhenti, begitu mereka selesai sarapan. Pak Sardono dan Satria bersiap segera berangkat ke kantor, dengan mobil masing-masing, meninggalkan bu Sardono yang termangu dengan angan-angan, seperti apakah gadis yang dipilih anaknya.
***
Sudah agak siang ketika Ristia muncul di ruang makan itu. Dia tampak belum mandi, dan rambutnya sedikit awut-awutan. Matanya sembab. Rupanya dia menangis semalaman. Tak ada teriakan meminta minuman, tapi bibik yang sudah tahu Ristia duduk di sana, segera menyiapkan segelas kopi susu yang kemudian diantarkan oleh Nijah dengan perasaan tegang. Ia tahu, selalu ada ucapan tak enak setiap kali melihat Nijah mendekat. Nijah sebenarnya enggan melayaninya, tapi tak enak kalau menolak permintaan bibik.
Nijah meletakkan minuman itu di depan Ristia, dengan sangat hati-hati. Pernah suatu ketika, entah sengaja atau tidak, Ristia mendorong baki yang baru saja diletakkan di meja, sehingga minuman itu tumpah. Untung gelasnya tidak jatuh dan pecah.
“Minumnya, Non,” katanya pelan.
Nijah heran Ristia tidak bereaksi. Nijah menatapnya sekilas, melihat wajahnya yang pucat dan matanya sembab. Ingin Nijah menanyakan sesuatu, tapi ditahannya. Belum tentu niat baiknya diterima dengan senang hati. Bisa-bisa malah di dampratnya seperti biasa.
Nijah mundur ke belakang. Tapi kemudian harus kembali lagi karena bibik sudah menyiapkan roti bakar oles selai kacang kesukaannya.
Nijah pun meletakkannya dengan hati-hati.
“Roti bakar selai kacang, Non.” Nijah mengatakannya, karena sering kali Ristia minta yang lain.
Tapi Nijah heran ketika tiba-tiba Ristia menangis, meletakkan kepalanya di meja makan. Nijah terpaku di tempatnya berdiri.
***
Besok lagi ya.