BUNGA TAMAN HATIKU 08

  BUNGA TAMAN HATIKU 08

(Tien Kumalasari)

 

 

Satria tertegun di tengah pintu, ada perasaan aneh ketika menatap gadis yang belum pernah dilihatnya itu. Barangkali karena dia mengenali baju yang dipakainya, atau karena memang wajah itu sangat manarik hatinya, entahlah.

“Satria, mengapa bengong di situ?” sapa ibunya yang melihat Satria berdiri agak lama di depan pintu, sementara Nijah sudah beranjak ke belakang dengan nampan kosong. Satria terus menatap punggung Nijah.

“Siapa dia, Bu?” tak tahan membatin, ia pun bertanya.

“Oh, gadis itu? Kamu heran ada gadis asing di rumah ini? Dia itu Nijah, anaknya Biran. Sekarang bekerja di sini membantu bibik," terang ibunya.

“Oo,” hanya itu jawaban Satria, kemudian ia melangkah ke tangga, naik ke kamarnya.

Ketika sampai di kamar, dia mendapati Ristia sedang berbaring di ranjang. Begitu melihat suaminya, Ristia bangkit, dan duduk di tepi pembaringan.

“Mas pulang terlambat, aku sudah pulang sejam yang lalu.”

“Mengapa tidak duduk untuk minum-minum bersama bapak-ibu?”

“Aduuh, aku lelah sekali setelah senam, aku pulang lalu merasa ngantuk,” katanya sambil mendekati sang suami, kemudian memeluk pinggangnya.

“Kamu sudah tahu ada pembantu baru di sini?” bukannya balas memeluk, Satria malah menanyakan Nijah.

“Oh, dia? Yang namanya Nijah? Itu anaknya Biran. Kenapa?”

“Biran punya anak secantik itu?” meluncur begitu saja kata pujian dari mulut Satria, membuat Ristia kemudian mendorong tubuh Satria dan menyiratkan wajah keruh.

“Menurutmu dia cantik?”

“Memang iya kan.”

“Mas, kenapa kamu memuji pembantu baru di depanku? Biarpun dia cantik, tapi dia kan hanya pembantu?” cemberut Ristia sambil duduk di atas sofa.

“Aku hanya mengatakan dia cantik, kok kamu seperti marah sih?”

“Marah dong, masa kamu memuji gadis di depan aku, padahal dia cuma pembantu.”

Satria tertawa. Dia melepaskan baju kerjanya, lalu beranjak ke kamar mandi. Ristia diam di tempat duduknya, lalu membayangkan wajah Nijah. Ristia tahu, Nijah cantik. Ia henya memakai pakaian bekas mertuanya, tidak memoles wajahnya dengan bedak ataupun alat kecantikan lain. Rambutnya yang panjang digelung sederhana, menampakkan wajahnya yang oval, dan lehernya yang putih jenjang.

“Hiih, cantik sih, tapi dia kan pembantu? Kenapa suamiku memuji-mujinya? Masa aku kalah cantik dengan pembantu?” omelnya yang ternyata didengar Satria yang baru keluar dari kamar mandi. Satria tertawa lucu.

“Kenapa kamu merasa bersaing dengan Nijah? Kamu itu cantik, tak akan ada yang mengalahkannya,” rayu Satria sambil duduk di samping istrinya.

“Benar?” kata Ristia sambil menyandarkan kepalanya di bahu sang suami.

“Masa kamu tidak percaya.”

“Aku hanya benci mendengar kamu memuji-muji pembantu,” sungutnya.

“Masa kamu bersaing dengan pembantu.”

“Yeee, siapa bersaing? Aku hanya tidak suka.”

“Baiklah.’

“Baiklah apa?”

“Tidak akan memuji lagi, deh,” kata Satria sambil mengelus kepala istrinya lembut, membuat Ristia senang, lalu semakin menggelendot pada tubuh suaminya.

“Kamu masih bau acem …”

“Kamu suka kan?”

“Dikit …”

“Suka kok dikit.”

“Dari pada nggak suka.”

Tapi sepanjang gurauan mereka, sesekali wajah Nijah mampir di benaknya, membuatnya sedikit gelisah.

“Aku mandi dulu,” katanya sambil berdiri.

“Aku juga mau mandi,” katanya riang, sambil mengikuti sang suami, lalu mengambil handuk dari almari.

***

Nijah sedang duduk di kursi dapur, karena bibik mengajaknya minum secangkir teh hangat, dan makan kue jagung yang dibuat bibik.

“Apakah seorang laki-laki yang baru datang itu, tuan Satria?”

“Iya, istrinya sudah datang lebih dulu.”

“Mengapa tidak duduk bersama tuan dan nyonya? Bibik hanya membuat dua gelas kopi susu untuk mereka.”

“Non Ristia tidak pernah duduk-duduk bersama mertuanya. Kalau dia ingin, nanti dia akan berteriak meminta, lalu duduk di meja makan, minta dilayani sendiri, bersama suaminya nanti.”

“Oo.”

Diam-diam Nijah terbayang tatapan mata Satria yang menatap aneh ke arahnya. Laki-laki ganteng itu pasti terkejut melihat dia ada di rumah itu. Tapi kenapa cara dia melihatnya seperti orang melihat mahluk dari luar angkasa saja? Nijah merasa bahwa dirinya juga manusia biasa seperti yang lainnya.

“Minumlah, keburu dingin,” kata bibik sambil menghirup minumannya.”
Nijah tersenyum, meraih cangkirnya, lalu menghirupnya pelan. Nijah merasa menemukan kehidupan baru yang berbeda. Lebih nyaman karena orang-orang di rumah itu bersikap sangat baik kepadanya. Kecuali non Ristia yang hanya sekilas bertemu, dan tuan Satria yang baru saja datang. Apakah keduanya juga akan bersikap baik padanya?”

“Setelah ini kita akan masak untuk makan malam nanti.”

“Iya, Bik.”

“Tapi sebaiknya kamu mandi dulu. Setelah mandi baru memasak. Ada dua kamar mandi di belakang, jadi kita tidak usah saling menunggu.”

“Baiklah.”

Nijah menikmati kue jagung buatan bibik dengan nikmat.

“Kalau di rumah, kamu makan sendirian dong.”

“Iya. Mau sama siapa lagi? Bapak jarang pulang. Kalaupun pulang hanya sebentar, atau hanya untuk tidur, kemudian pergi lagi setelah bangun dan mandi.”

“Pasti kamu kesepian.”

“Sangat. Disini saya seperti menemukan sebuah keluarga.”

”Kasihan, kamu sendirian di dunia ini. Aku yakin Biran tak begitu peduli sama kamu.”

Nijah mengangguk pelan, tersenyum getir. Tapi dia senang bisa hidup bersama seorang yang baik. Tidak dibayarpun Nijah mau, karena kenyamanan dalam hidup lebih dari memiliki uang yang banyak.

“Anggaplah aku ibumu, karena aku juga tidak memiliki anak.”

Nijah tersenyum senang. Ia tak lagi memiliki ibu, jadi ketika bibik memintanya agar menganggapnya ibu, Nijah merasa senang bukan main.

“Benarkah Bibik mau menganggap saya sebagai anak?”

“Kamu cantik dan baik. Kamu santun dan sangat rajin. Senang punya anak seperti kamu.”

“Saya bahagia punya ibu seperti bibik. Terima kasih Bik,” kata Nijah sambil berlinang air mata.

“Ya sudah, sekarang habiskan kue jagungnya, lalu mandi. Aku sudah menyiapkan sabun, sikat gigi dan odol di sana. Bahkan handuk juga ada,” kata bibik.

Nijah mengusap air matanya, lalu mengangguk pelan.

***

Nijah sudah selesai mandi, dan berganti pakaian bersih. Ini hari pertama dia berada di keluarga Sardono, dan sejauh ini dia merasa baik-baik saja, bahkan merasa senang.

Ia sedang menyisir rambutnya, ketika ponselnya berdering. Nijah terkejut. Hanya Bowo yang tahu nomor kontaknya. Dan itu benar, memang Bowo yang menelponnya. Nijah berdebar senang.

“Assalamu 'alaikum, Mas.”

“Wa'alaikumu salam. Nijah, kamu sedang apa?”

“Aku baru selesai mandi Mas.”

“Kamu sudah berada di keluarga Sardono?”

“Iya, sudah sejak pagi.”

“Semoga kamu senang dan lebih merasa nyaman.”

“Mereka semua baik sama Nijah.”

“Syukurlah. Aku baru saja pulang kuliah dan masuk ke kamar. Aku tak bisa melupakan kamu, karenanya aku segera menelpon kamu. Tadinya hanya mencoba, barangkali kamu sedang sibuk, pasti tak bisa menjawab telpon aku, ternyata kamu bisa langsung menjawabnya.”

“Aku baru selesai mandi, sebentar lagi mau membantu bibik memasak untuk makan malam.”

“Baiklah, aku sudah merasa puas mendengar suara kamu, dan mendengar kamu baik-baik saja. Nanti malam aku menelpon lagi. Baru sehari berpisah, aku sudah kangen sama kamu.”

Nijah tertawa pelan.

“Aku juga.”

“Seperti janjiku, aku akan segera menyelesaikan kuliah aku, lalu bekerja. Kemudian aku akan menjemput kamu.”

Nijah berdebar. Seperti sangat mudah Bowo mengatakannya. Akan semudah itukah nanti melakukannya? Entahlah. Apa yang akan terjadi esok hari, siapakah ytang tahu?”

“Ya sudah Mas, aku mau masak dulu ya.”

“Baiklah, nanti malam aku pasti menelpon kamu lagi. Jangan buru-buru tidur ya?”

“Baiklah.”

Nijah menutup ponselnya, dan meletakkannya di dalam laci meja kecil yang ada di dekatnya. Ia melanjutkan menyisir rambutnya, lalu melangkah keluar kamar, menuju dapur.

 ***

Nijah sedang mendekati kulkas karena bibik menyuruhnya mengambil sayuran di sana, ketika tiba-tiba seseorang menabraknya. Nijah terkejut, dan nyaris terjengkang kalau sepasang tangan tidak memegangi pundaknya.

“Oh .. eh… mm … maaf,” gugup Nijah mengatakannya, apalagi ketika sepasang tangan itu tidak segera melepaskannya. Nijah mundur beberapa langkah.

“Mm .. maaf, tuan,” Nijah masih merasa gugup.

“Kamu Nijah ?”

“Yy..ya, tuan … “

“Lain kali hati-hati,” katanya sambil berlalu.

Nijah tersenyum tipis. Dia yang menabrak, dia pula yang menyuruhnya hati-hati. Tapi kemudian Nijah tak mempedulikannya. Dia tahu laki-laki itu adalah Satria karena tadi sudah melihatnya sekilas.

Ia segera mengambil sayuran seperti yang diminta bibik, lalu membawanya ke meja dapur.

“Tolong dipotong-potong ya Jah,” pinta bibik.

“Baik.”

Tiba-tiba terdengar teriakan.

“Bibiiik, minumku mana.”

Bibik berdiri, lalu menyiapkan minuman untuk Ristia, dan tentu saja juga Satria. Ketika selesai. Bibik menyuruh Nijah membawanya ke ruang makan.

“Bawa ke ruang makan ya Jah, non Ristia suka minum-minum di sana,” kata bibik sambil meletakkan nampan di dekat Nijah.

Nijah segera membawa nampan itu, dibawanya ke ruang makan.

Ia melihat Ristia dan Satria duduk berhadapan, pastinya menunggu minuman yang tadi sudah dimintanya.

Nijah meletakkan kedua gelas ke hadapan masing-masing.

“Kamu Nijah?”

Nijah heran, Satria tadi seperti sudah menanyakannya. Kok sekarang menanyakannya lagi?

“Ya, tuan,” jawabnya lirih, sambil menundukkan wajahnya, kemudian berlalu.

“Mas, kenapa menatapnya terus?” tegur Ristia ketika melihat Satria terus menatap Nijah.

“Eh, tidak. Aku hanya menatapnya sekilas. Heran saja, biasanya bibik yang menyajikan,” Satria memberi alasan.

Tak lama kemudian Ni

jah kembali dengan membawa sepiring kue jagung, lalu diletakkannya di meja.

Ristia mengerutkan keningnya.

“Ini apa?”

“Itu, kue jagung, Non,” jawab Nijah, yang bersiap akan pergi.

“Eh.. eh.. tunggu dulu. Aku tidak mau kue jagung. Bawa kembali ke belakang,” perintahnya dengan wajah tak enak dipandang. Nijah kembali mendekati meja, kemudian mengambil sepiring kue jagung yang tadi di sajikannya. Tapi kemudian Satria menahan piring yang sudah dipegang NIjah, sehingga Nijah melepaskannya kembali.

“Biarkan saja, aku mau kue jagung.”

Nijah mengangguk, kemudian berlalu.

“Hei, bilang sama bibik, aku mau roti bakar lapis coklat,” perintah Ristia sambil menatap Nijah.

Nijah mengangguk dengan sopan.

“Akan saya sampaikan,” katanya kemudian berlalu.

Ristia kesal melihat Satria mencomot kue jagung dan memakannya dengan nikmat.

“Iih, apaan sih? Biasanya kamu nggak suka juga kan, kue jagung itu?”

“Pengin nyobain saja. Bapak sama ibu suka kue jagung. Dulu aku juga pernah suka. Cobain deh, enak ternyata.”

“Nggak mau. Itu makanan orang kampung,” desisnya tak suka, lalu menyeruput kopi susu yang dihidangkannya.

“Hari ini kopi susu ini rasanya lain. Pasti pembantu baru itu yang membuatnya,” omelnya kesal.

“Masa sih, sepertinya ya biasa saja tuh. Nih, enak,” kata Satria sambil menyeruput minumannya.

“Bibiiiik ….” Ristia berteriak.

Bibik buru-buru mendekat.

“Siapa yang membuat minuman ini? Tidak enak sama sekali.”

“Saya yang membuat Non, seperti biasa. Tidak enak bagaimana Non? Takarannya juga seperti biasa.”

“Bukan pembantu baru itu yang membuatnya?”

“Saya sendiri Non.”

“Ya sudah, mana roti coklatnya?”

“Baru saya siapkan, lalu Non memanggil saya.”

“Ya sudah, cepat sedikit.”

“Baik.”

Ristia melotot melihat Satria mencomot lagi kue jagungnya.

“Iih, masih nambah?”

“Aku kan bilang enak. Cobain deh.”

“Nggak mau,” katanya sengit.

Sore itu Ristia menikmati minuman sorenya dengan wajah suram. Ia begitu tak suka pada Nijah yang begitu santun dan menawan. Hal itu diakuinya, tapi membuatnya cemburu, karena ia melihat sesekali Satria mencuri pandang ke arah Nijah.

Rasa tak suka itu dibawanya ke tempat tidur, saat mereka bersiap untuk beristirahat.

“Aku tak suka sama pembantu baru itu.”

“Memangnya dia salah apa?”

“Nggak tahu, pokoknya nggak suka. Mengapa juga ibu pakai mencari pembantu baru? Bukankah bibik saja sudah cukup?”

“Mungkin ibu kasihan sama bibik. Dia semakin tua, pasti semakin berkurang kekuatannya.”

“Menurutku biasa saja.”

“Karena kamu tidak merasakannya.”

“Aku benci karena kamu sering menatapnya.”

Satria tertawa.

"Aku hanya melihatnya jarena memag belum pernah melihat dia sebelum ini. Mengapa kamu seperti cemburu begitu? Nggak malu, cemburu sama pembantu?”

“Iiih, siapa cemburu?”

“Ya sudahm kalau tidak. Jangan lagi membicarakan dia. Bukankah kita sedang berdua dan seharusnya menghabiskan malam tanpa terganggu oleh bayangan orang lain?” kata Satria sambil tersenyum. Ristia menanggapinya dengan tersenyum manja. 

Malam yang dihabiskan membuat mereka melupakan segalanya. Tapi Satria heran karena lagi-lagi wajah Nijah muncul dalam benaknya.

***

Di tengah malam itu Satria terbangun karena merasa haus. Ia beranjak keluar, untuk mengambil air di kulkas. Tapi ia berhenti di depan sebuah kamar, karena mendengar Nijah sedang berkata-kata. Apakah Nijah sedang menelpon seseorang?

***

Besok lagi ya.

 

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

أحدث أقدم