BUNGA TAMAN HATIKU 01

 BUNGA TAMAN HATIKU  01

(Tien Kumalasari)

 

Musim hujan kali ini benar-benar menciptakan hawa dingin sepanjang malam.

Nijah, gadis berumur kira-kira sembilan belas tahun itu meringkuk di kamarnya yang sederhana. Hujan sejak sore hari, membuatnya menggigil kedinginan. Selimut tipis dari kain bekas almarhum ibunya, tak mampu memberinya kehangatan. Ia tetap menggigil, menekuk kakinya lalu tidur miring, memeluk guling beralas kumal walau sudah dicucinya berkali-kali.

Sekilas bayangan ibunya yang meninggal setahun lalu melintas. Ada derita mendera saat sebelum meninggalnya. Ayahnya hanyalah ayah tiri, yang perbuatannya sangat tidak terpuji. Dia hanyalah seorang penjaga disebuah rumah mewah milik tuan Sardono, seorang tuan tanah yang kaya raya. Walau hanya bertugas dari pagi sampai sore, atau dari malam sampai pagi, Biran, ayah tiri Nijah, jarang pulang ke rumah. Kalau pulang, pasti dalam keadaan mabuk, atau tubuh lesu karena kalah berjudi. Hal itu dilakukannya sejak dirinya berumur sepuluhan tahun, saat sang ibu dinikahi oleh Biran, yang tergila-gila karena kecantikan ibunya yang sudah janda. Tapi hanya di awal pernikahan mereka saja, Biran bersikap manis kepada ibunya dan juga dirinya. Waktu yang terus berjalan, dan pergaulannya dengan orang-orang tak benar, membuat Biran berubah. Ia tak pernah lagi memberi nafkah kepada istrinya, yang kemudian mencari uang dengan menjual sayur, dengan penghasilan yang tak seberapa. Melihat ibunya punya penghasilan, Biran justru sering meminta uang dengan memaksa. Sering kali, karena memang benar-benar tak punya uang, sang ibu disiksanya. HIdup yang serba kekurangan, ditambah siksaan suaminya yang tak pernah menyadari kesalahannya, membuat sang ibu yang sabar pada awalnya, akhirnya meninggal karena mengenas.

Setahun sudah berlalu, dan Nijah pun selalu sendirian di rumah, karena Biran jarang sekali pulang. Nijah yang hanya bersekolah sampai lulus SD, bekerja menjadi pembantu untuk para tetangga yang membutuhkan.

Nijah yang lugu, sebenarnya mewarisi kecantikan ibunya. Kulitnya yang putih mulus, matanya yang tajam secerah bintang, hidungnya mancung dan bibirnya tipis menawan. Seandainya ada pakaian pantas yang bisa dikenakannya, pastilah Nijah akan menjadi gadis yang benar-benar menarik hati setiap pria. Tapi wajahnya yang lusuh dan lelah yang menderanya, membuat semua kecantikan itu tertutupi, apalagi dengan pakaian dekil yang selalu dikenakannya.

Hujan di luar masih terdengar keras. Suara titik-titik air karena atap bocor yang menetes ke dalam ember yang memang dipasangnya untuk mencegah lantai basah, terdengar seperti alunan musik beraturan. Musik yang menyayat, seperti menyayat hatinya.

Nijah meringkuk sambil berselimut kain, memeluk guling dengan erat, berharap kantuk segera datang menghinggapinya, agar dia bisa menghilangkan suara sedih menyayat dari tetesan hujan yang belum juga ingin berhenti.

Malam telah larut, dan Nijah yang kelelahan akhirnya terlelap.

***

Udara yang dingin tak bisa membuatnya sungguh-sungguh terlelap. Pagi buta itu dia sudah terbangun. Seperti biasa ia shalat subuh dengan khusuknya, sambil menitikkan air mata.

Ia tak tahu, akan bagaimana hidupnya kelak, sementara dia merasa sendirian di dunia ini. Hari-harinya hanya diisinya dengan membersihkan rumah sederhana milik peninggalan ibunya, lalu membantu tetangga yang sudah memesannya sehari sebelumnya. Entah untuk mencuci, menyeterika, atau bersih-bersih rumah. Bahkan ia juga sering mendapat tugas untuk belanja. Nijah menjalaninya dengan sepenuh hati, karena ia butuh makan untuk melanjutkan hidupnya. Ayah tirinya tak pernah mempedulikannya. Bahkan tak peduli apakah anak tirinya sudah makan atau belum, adakah yang harus dimakan hari ini atau keesokan harinya. Ia tak peduli.

Nijah menjalaninya karena memang sudah biasa, dan harus dijalaninya kalau tak ingin mati kelaparan.

Hari itu dia mendapat tugas dari tetangganya untuk belanja, kemudian membantu memasak karena sang tetangga akan menjamu tamu tamu arisannya.

Hari sudah sore ketika Nijah beranjak pulang ke rumah. Cuaca mendung saat itu. Nijah bergegas agar segera sampai ke rumah. Tapi hujan tak ingin bersahabat dengan siapapun. Saat dia ingin turun, maka turunlah dia, demikian lebat, bagai dicurahkan dari langit.

Nijah berlari-lari mencari tempat berteduh, tapi bajunya sudah terlanjur kuyup. Ia kedinginan. Lalu ia melihat sebuah mini market tak jauh di depannya. Nijah berlari, lalu berteduh di depan mini market itu. Kedua tangannya bersedakap, menutupi dadanya, untuk mengurangi dingin yang mendera, dan karena basah itu pakaiannya melekat erat pada tubuhnya, mencetak lekuk lengkungnya sebagai gadis belia.

“Nijah?” panggilan itu mengejutkannya.

Ia menoleh, mencari asal suara. Keningnya berkerut, mengingat-ingat, apakah ia mengenal laki-laki yang memanggilnya itu?”

“Nijah, kamu benar-benar lupa aku? Aku Bowo. Wibowo.”

“Wibowo,” mulutnya berbisik, lupa-lupa ingat. Dulu waktu sekolah, ia ingat nama seorang temannya yang usil, suka mengganggunya. Apakah dia?”

“Teman SD,” lanjut laki-laki itu dengan senyuman ramah.

Rasa dingin yang menyengat tiba-tiba lenyap, ketika menerima uluran tangan Wibowo yang hangat.

Nijah tersenyum, Bowo tertawa pelan.

“Gampang ya, melupakan aku?”

“Kamu berbeda.”

“Sekarang aku jadi anak muda yang ganteng kan?”

NIjah mengulaskan tawa. Wajahnya yang pucat, kemudian menarik perhatian Bowo.

“Kamu kedinginan, ayo masuk, kita minum kopi panas di dalam,” ajaknya.

Ada kedai kopi di dalam mini market itu.

Nijah melihat bajunya. Di depan laki-laki yang gagah itu, ia merasa tampak dekil. Itu sebabnya dia menggelengkan kepalanya.

“Di sini kamu kedinginan.”

Nijah menunduk, melihat bajunya yang basah kuyup. Tapi tiba-tiba Bowo melepas jaketnya, lalu menutupkannya ke tubuh Nijah. Nijah sangat terkejut.

“Nggak akan kelihatan basahnya. Tubuhmu tertutup jacket aku,” katanya sambil menarik tangan Nijah. Nijah ingin menolak, tapi tangan itu terlampau kuat. Ia terpaksa ikut masuk, dan duduk dengan ragu-ragu di kursi yang di siapkan oleh Bowo, dengan menariknya agak mundur.

“Aku pesan kopi ya.”

Nijah tak menjawab, ia sungkan mengenakan jacket Bowo yang berbau wangi. Tapi kalau dia melepasnya, baju basahnya akan kelihatan, dan baju itu mencetak tubuhnya dengan nyata.

“Pakai saja, jangan sungkan,” kata Bowo yang melihat Nijah selalu mengamati jacket yang dipakainya.

“Lama sekali aku tidak melihatmu. Apa kabarmu?”

“Baik,” jawabnya singkat.

“Aku jarang pulang, ikut ayahku yang dipindah tugaskan di Jakarta."

“Oh …”

“Setelah lulus, kamu melanjutkan di mana?”

“Apa?”

Nijah terhenyak. Merasa malu ketika mendengar temannya sempat kuliah. Kuliah? SMP pun tak sempat dijamahnya. Apa Bowo tidak tau bagaimana keadaannya?

“Jah…” Bowo menatapnya heran.

“Aku tidak sekolah lagi,” jawabnya pelan, sementara kopi yang dipesan Bowo sudah terhidang di atas meja.

“Minumlah, agar kamu tidak lagi kedinginan.”

Seumur-umur, Nijah belum pernah masuk ke warung, apalagi tempat minum yang menurutnya sangat mewah.

“Minumlah.”

Nijah menarik cangkir cantik yang dihidangkan. Ia melihat Bowo menyendok gula dari dalam mangkuk yang disediakan.

“Ini gula, kamu suka manis? Biarpun kamu manis, tetap saja lebih enak minum minuman manis,” canda Bowo.

Nijah tersenyum. Bowo tak berubah, suka bercanda dan bicara seenaknya.

“Ayo, aku ambilkan gulanya?”

“Biar … biar aku saja.”

Nijah menyendokkan gula ke cangkirnya. Sesendok saja. Dia belum pernah minum kopi. Di rumah adanya air putih, di saat pagi, siang ataupun malam. Sesekali dia minum teh manis, ketika sedang membantu di rumah orang, lalu diberinya segelas teh manis.

Nijah mengaduknya pelan, lalu mencecapnya sedikit. Dilihatnya Bowo meneguknya dengan nikmat.

“Ayo, minumlah. Nggak begitu panas kok.”

Nijah meminumnya, beberapa teguk lagi.

"Kamu tadi bilang apa? Tidak sekolah lagi? Setelah lulus SD itu?”

Nijah mengangguk pilu.

“Padahal kamu pinter. Kenapa tidak melanjutkan sekolah?”

Nijah meneguk lagi kopi yang kemudian menghangatkan badannya. Ditatapnya Bowo dengan pandangan tak mengerti. Benarkah Bowo lupa, siapa dan bagaimana orang tuanya? Dengan penghasilan hanya menjual sayur yang dipetiknya dari kebun, bisakah dipergunakan untuk membiayai Nijah ke sekolah yang lebih tinggi?

Bowo menatap Nijah. Melihat sinar matanya yang meredup. Lalu Bowo menyesal telah menanyakannya. Baru saja Bowo ingat bahwa Nijah anak pak Biran yang hanya penjaga rumah seorang kaya di kampungnya, dan ibunya hanya penjual sayuran yang tak seberapa penghasilannya.

“Maaf ya Jah, aku tak bermaksud melukai perasaan kamu.”
”Apakah Nijah terluka? Terlalu banyak luka dan duka yang dipendamnya, dalam menjalani hidupnya. Pernah pada suatu ketika, dia berteriak di makam ibunya, dan minta agar sang ibu membawanya.

“Ibuuuu, bawalah aku bersamamu, Bu.”

Saat itu juga sedang musim penghujan. Selesai pemakaman, tanah menjadi basah. Guntur menggelegar bersahutan, seakan menyambut teriakan Nijah yang bagaikan menembus langit. Tapi tak ada jawaban yang terdengar, kecuali kilat menyambar dan hujan terus mengguyur area pemakaman itu.

Nijah teringat, sehari sebelum ibunya meninggal, ibunya berkata, bahwa dirinya harus kuat, tak boleh menangis.

Mampukah Nijah menahan tangis dalam duka yang melandanya?

“Nijah,” suara itu membuat NIjah terkejut. Ia tak sadar, setitik air mata melompat turun tanpa bisa dicegahnya, Bowo menarik selembar tissue dan diulurkannya pada Nijah. Nijah menutupi dukanya dengan senyuman tipis. Rasa haru segera menyergap perasaan Bowo.

Dulu, Nijah adalah gadis yang lincah dan pintar. Ia sering mengganggunya, dan membuatnya marah. Ia sering menyembunyikan pensil dan buku, yang baru diberikannya setelah Nijah membawa penghapus papan tulis untuk memukulnya. Bowo kan hanya bercanda, dan ingin membuat NIjah marah.

Sekarang Nijah sudah dewasa, seumuran dengan dirinya. Tapi Bowo berhasil melanjutkan ke perguruan tinggi karena ayahnya seorang lurah.

“Maaf ya Jah, aku membuatmu sedih?”

Nijah sekali lagi mencoba tersenyum tipis. Wajah pucat itu tampak memerah.

“Aku tidak sedih kok. Bukankah setiap manusia memiliki garis kehidupan yang berbeda?”

Kata Nijah itu menirukan ucapan ibunya ketika mereka sedang duduk berdua, sambil menikmati singkong rebus yang hangat dan gurih.

Bowo menatap Nijah, terasa ada yang mengiris perasaannya. Gadis teman SD nya ini menderita.

“Apa kabar ibumu?”

NIjah menghela napasnya, pilu.

“Ibu sudah meninggal, setahun yang lalu.”

“Oh, aku ikut berduka untuk ibu. Sakit apa?”

“Sakit segala sakit,” bisik Nijah pelan.

Bowo tidak harus bertanya apa maksudnya. Sakit segala sakit adalah penyakit bukan sekedar sakit.

“Oh ya, kamu mau makan sesuatu? Aku sedang ingin makan mie rebus.”

Bowo ingin mengalihkan suasana yang tampak sedih itu.

Perlahan Nijah meraba perutnya.

“Mau ya, temani aku makan.”

“Tt..tapi …” Nijah ragu mengatakan iya, walau sebenarnya dia juga merasa lapar. Dirumah tetangga yang dibantunya tadi dia tidak sempat makan, hanya menerima uang upah saja, karena Nijah takut hujan segera turun. Bahkan saat ia akan dibungkuskan nasi saja, ia menolaknya. Mendung sangat tebal, dan nyatanya dia benar-benar kehujanan.

Nijah melihat Bowo melambai kepada pelayan, lalu memesan dua mangkuk mie rebus. Nijah menatap Bowo.

“Tidak apa-apa, nanti aku antar kamu pulang, aku yang akan mengatakan pada ayah kamu, kalau kamu dimarahi karena terlambat pulang.”

Nijah tersenyum masam. Ayah aku? Dimana ayahku? Tanyanya kepada diri sendiri. Ia bahkan lupa bagaimana wajah ayah kandungnya. Yang dia ingat hanyalah wajah ayah tirinya, yang matanya selalu beringas setiap menginjakkan kakinya di rumah.

Nijah menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Tidak apa-apa, lihat, hujan masih deras, makan semangkuk mie saja belum tentu dia akan berhenti,” kata Bowo yang mengira Nijah takut pada ayahnya.

“Aku sendirian di rumah.”

“Sendirian? Ayahmu?”

“Ayah tiriku, jarang pulang,” katanya sedih.

“Jadi kamu benar-benar sendirian?”

Entah mengapa, Bowo begitu ingin memperhatikan Nijah. Gadis sederhana berpakaian lusuh itu adalah temannya semasa kecil. Ia tak merasa jijik melihat penampilannya, walau dirinya hidup berkecukupan.

Bowo diam, tak ingin menanyakan apapun lagi, yang nantinya hanya akan menambah luka di hati Nijah.

“Ayo, mie nya sudah siap,” kata Bowo riang, ketika mie kuah itu sudah tersaji di atas meja. Asap mengepul dari mangkuk itu, menebarkan aroma gurih dan sedap. Perut Nijah menggeliat, Nijah menekannya agar tak ada musik berdendang dari dalam perutnya.

Bowo sudah langsung menyendok mie rebusnya. Nijah menarik manguknya malu-malu, sambil sebelah tangannya memegang perutnya, meredam suara keruyuk heboh dari dalamnya.

“Segar, benar-benar menghangatkan,” Bowo menyendok dengan lahap.

Nijah mengikutinya dengan malu-malu. Perlahan, sesendok demi sesendok, mie itu masuk kedalam perutnya.

Nijah belum pernah makan mie seenak ini.

“Apakah besok pagi kamu akan pergi? Oh ya, aku belum sempat bertanya, kamu tadi sebenarnya dari mana?”

“Membantu tetangga diujung kampung ini, belanja dan memasak.”

“Setiap hari?”

“Tidak, terkadang ada yang meminta aku membantunya, aku melakukannya karena butuh makan."

Bowo mengerutkan keningnya. Begitu berat beban gadis ini, walau hanya untuk menghidupi dirinya sendiri.

“Besok kamu pergi tidak?”

“Tidak ada pekerjaan untuk besok, aku mau mencuci di rumah.”

“Aku akan ke rumah kamu, mengajakmu jalan-jalan."

“Apa?”

“Pokoknya kamu tunggu saja besok. Awas ya, tidak boleh menolak permintaan teman lama,” kata Bowo seperti mengancam.

Mereka menghabiskan mie rebusnya bersamaan dengan berhentinya hujan. Rembang petang telah datang. Bowo memboncengkan Nijah pulang.

 ***

Nijah baru saja membaringkan tubuhnya di ranjang bambu beralaskan tikarnya, ketika terdengar derak pintu terbuka. Nijah tahu, ayah tirinya pulang. Nijah meringkuk, pura-pura tidur, karena ia yakin, sang ayah selalu pulang dalam keadaan mabuk.

Tapi tiba-tiba Mijah terkejut, mendengar teriakannya.

Nijaaahh!”

Suara itu begitu keras. Nijah tahu, ayah tirinya menginginkan sesuatu. Mungkin membuatkan minum, atau menjerang air untuk mandi. Perlahan Nijah bangkit, sebelum teriakan lebih keras terdengar lagi.

***

Besok lagi ya

 

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

أحدث أقدم