Perkawinan Campuran Dan Perkawinan Antar-Agama - EDUKASI






PERKAWINAN CAMPURAN DAN PERKAWINAN ANTAR-AGAMA



by : Moh. Taufiqur Rohman


A.    Pengertian Perkawinan Campuran dan Perkawinan Antar-agama


1.       Perkawinan Campuran


Perkawinan
campuran menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, pasal 57, ialah perkawinan
antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum berlainan, karena
perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Karena itu, perkawinan
campuran yang dimaksud ialah apabila salah satu pihak berkewarganegaraan asing.


Perkawinan
yang dilakukan di Indonesia dilakukan menurut U
U No. 1
Tahun 1974. Jika kedua belah pihak berdiam di Indonesia dan tidak beragama
Islam, perkawinan mereka dapat dilangsungkan di Kantor Catatan Sipil. Sedangkan
jika keduanya beragama Islam, perkawinan dapat dilangsungkan menurut Hukum
Islam dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (Kantor Urusan Agama Kecamatan).[1]


Kewarganegaraan
yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan
hukum yang berlaku baik mengenai hukum publik maupun hukum perdata. Perkawinan
campuran di Indonesia dilakukan menurut U
U
perkawinan.
Jika seorang mempelai beragama Islam yang
berkewarganegaraan Indonesia hendak melangsungkan perkawinan campuran
diperlukan surat keterangan dari Pegawai Pencatat Nikah di daerah tempat
tinggalnya (Pasal 64 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974), diperlukan juga bagi
calon mempelai yang beragama Islam yang hendak melangsungkan perkawinan tidak
menurut agama Islam (Pasal 60).


2.       Perkawinan antar-Agama


Meski tidak ada rumusan
pasti tentang Perkawinan antar-agama dalam UU Perkawinan,
kita bisa merujuk pada berbagai definisi para sarjana.[2] Pertama, menurut Rusli
dan R. Tama, perkawinan antar-agama adalah ikatan lahir
batin antara
seorang pria dan wanita yang, karena berbeda agama, menyebabkan tersangkutnya
dua peraturan yang berlainan
tentang syarat-syarat dan tata cara
pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing, dengan
tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan ke
tuhanan
Yang Maha Esa.


Kedua, menurut Ketut Mandra dan I. Ketut Artadi, perkawinan
antar-agama adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita yang
masing-masing berbeda agamanya dan mempertahankan perbedaan agamanya itu
sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketiga, menurut Abdurrahman, perkawinan
antar-agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang
memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya.


Dari pengertian di atas, menurut hemat
penulis
, perkawinan antar-agama merupakan hubungan dua insan yang
berbeda keyakinan dan diikat dalam satu pertalian yaitu perkawinan. Ada dua
unsur pokok yang harus ada dalam
definisi perkawinan antar-agama, yaitu keyakinan
atau memeluk agama yang berbeda dan diikat dalam suatu hubungan perkawinan.


B.     Nas} tentang Perkawinan Campuran dan Perkawinan antar-Agama


Di dalam al-Qur’an dan Hadis tidak pernah ditemukan tentang
penjelasan perkawinan campuran. Barangkali, pada masa turunnya al-Qur’an perkawinan
campuran (berbeda kewarganegaraan) tidak menjadi masalah. Seseorang boleh
menikah dengan siapa saja sekufu (sepantar). Hal ini baru menjadi masalah
apabila dalam perkawinan tersebut terdapat perbedaan keyakinan atau agama, meski
terdapat pengecualian untuk Ahli Kitab. Hal ini disebutkan dalam beberapa ayat
dalam al-Qur’an, antara lain:


1.
Surat Al-Baqarah ayat 221


Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 Ÿwur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sム4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 78ÎŽô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôtƒ n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôtƒ n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãƒur ¾ÏmÏG»tƒ#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbr㍩.xtGtƒ .


“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya wanita yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sungguh, hamba sahaya yang mukmin lebih baik dari orang musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.”





Menurut
ayat di atas, orang musyrik dan kafir tidak boleh dinikahi oleh orang Muslim,
demikian pula Ahl Kitab pada zaman sekarang, karena dianggap melenceng dari
ayat tersebut. Pada zaman dulu mereka sudah mengakui bahwa Nabi Isa sebagai
anak Allah (untuk orang Nasrani) dan Uzair sebagai anak Allah (untuk orang
Yahudi), artinya mereka sudah kafir. Maka Ahl Kitab tidak diperkenankan
menikahi wanita mukmin, demikian pula sebaliknya pria mukmin tidak boleh
menikahi Ahl Kitab.


Dilihat
dari sisi historisnya, asba
>b al-nuzu>l surat Al-Baqarah 221 tersebut menjadi polemik di kalangan
ahli tafsir al-Qur'an dari generasi ke genarasi. Hal ini dipicu oleh adanya dua
periwayatan yang berbeda mengenai sebab turunnya ayat tersebut.[3]


Pertama,
diriwayatkan oleh Ibnu al-Munzhir, Ibnu Abi Hatim, dan al-Wahidi dari Muqatil,
dia mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkaitan dengan kasus Abu Martsad al-Ghanawi
atau Martsad bin Abi Martsad, seorang laki-laki anggota persekutuan Bani Hasyim
yang diutus Rasulullah ke Makkah untuk membantu mengevakuasi orang-orang Muslim
secara rahasia. Dahulu, ketika masih jahiliyah (di Makkah), ia memeliki seorang
kekasih bernama Inaq. Tapi, setelah masuk Islam Martsad meninggalkan kekasihnya
tersebut. Pada suatu saat, kekasihnya mendatangi Martsad dan menanyakan alasan mengapa
ia meninggalkannya. Martsad menjawabnya dengan mengatakan bahwa Islam melarang
hubungan kita sembari menegaskan bahwa ia akan meminta izin pada Rasulullah untuk
mengawininya. Mendengar jawaban itu, Inaq kecewa, menjerit, dan datanglah
orang-orang memukuli Martsad dengan pukulan keras lalu membiarkannya pergi.
Setelah menyelesaikan tugasnya di Makkah dia menghadap Rasulullah saw. dan meminta
izin untuk mengawini Inaq. Lalu turunlah ayat ini.[4]


Kedua, al-Wahidi meriwayatkan dari jalur al-Suddi
dari Malik dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Ayat ini berkaitan dengan seorang
sahabat Abdilah bin Rawahah yang datang kepada Rasulullah menceritakan
perbuatannya yang telah memukul hamba perempuannya yang berkulit hitam kelam
dan jelek karena marah. Dia merasa menyesal dan meminta petunjuk Rasulullah.”
Rasulullah bertanya, “Bagaimana keadaan hamba sahaya tersebut?” Abdillah
menjawab bahwa budaknya itu seorang muslimah yang taat. Rasulullah kembali
berkata, "Wahai Abdillah, dia itu adalah seorang yang beriman". Maka
Abdilah menimpali, “Demi Zat yang mengutusmu dengan hak, aku akan
memerdekakannya dan menikahinya”. Peristiwa tersebut memancing penghinaan dan
rasa sinis dari masyarakat, karena menganggap Abdillah menikahi budaknya yang
hina dan jelek. Sehubungan dengan hal tersebut turunlah wahyu Allah tersebut.[5]





2. Surat al-Mumtahanah ayat 10


$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) ãNà2uä!%y` àM»oYÏB÷sßJø9$# ;NºtÉf»ygãB £`èdqãZÅstGøB$$sù ( ª!$# ãNn=÷ær& £`ÍkÈ]»yJƒÎ*Î/ ( ÷bÎ*sù £`èdqßJçFôJÎ=tã ;M»uZÏB÷sãB Ÿxsù £`èdqãèÅ_ös? n<Î) Í$¤ÿä3ø9$# ( Ÿw £`èd @@Ïm öNçl°; Ÿwur öNèd tbq=Ïts £`çlm; ( Nèdqè?#uäur !$¨B (#qà)xÿRr& 4 Ÿwur yy$oYã_ öNä3øn=tæ br& £`èdqßsÅ3Zs? !#sŒÎ) £`èdqßJçG÷s?#uä £`èduqã_é& 4 Ÿwur (#qä3Å¡ôJè? ÄN|ÁÏèÎ/ ̍Ïù#uqs3ø9$# (#qè=t«óur !$tB ÷Läêø)xÿRr& (#qè=t«ó¡uŠø9ur !$tB (#qà)xÿRr& 4 öNä3Ï9ºsŒ ãNõ3ãm «!$# ( ãNä3øts öNä3oY÷t/ 4 ª!$#ur îLìÎ=tæ ÒOŠÅ3ym


“Wahai orang-orang yang beriman, apabila
datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu
uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka
jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah
kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal
pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah
mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada
mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan)
dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah
kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar.
Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui
lagi Mahabijaksana.”


Ayat di atas menyiratkan bahwa adanya
larangan meneruskan tali perkawinan dengan wanita-wanita musyrikah dan kafir, yang
saat itu masih dalam ikatan laki-laki Muslim.[6]


3. Surat al-Ma’idah ayat 5


tPöquø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% !#sŒÎ) £`èdqßJçF÷s?#uä £`èduqã_é& tûüÏYÅÁøtèC uŽöxî tûüÅsÏÿ»|¡ãB Ÿwur üÉÏ­GãB 5b#y÷{r& 3 `tBur öàÿõ3tƒ Ç`»uKƒM}$$Î/ ôs)sù xÝÎ6ym ¼ã&é#yJtã uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ƒÎŽÅ£»sƒø:$# .





Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Alkitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula)
bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan (wanita
merdeka) di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Alkitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina
dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah
beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya dan ia di
hari kiamat termasuk orang-orang merugi.





Dari
ayat di atas bisa disimpulkan bahwa wanita Muslimah tidak boleh menikah dengan
pria non-Muslim, termasuk dengan Ahl Kitab. Pria Muslim pun tidak boleh
menikahi wanita kafir/musyrik, tapi pria Muslim boleh menikahi wanita Ahl Kitab.
Ahl kitab adalah penganut agama Yahudi dan Nasrani (Kristen).[7]


Menanggapi
nas
}
yang membahas perkawinan antar-agama, Umar Farukh, seorang pemikir modern, dan
beberapa ahli tafsir menilai bahwa ayat 221 surat al-Baqarah dan ayat 10 surat
al-Mumtahanah di-nasakh oleh ayat 5 surat al-Ma’idah. Maka,
diperbolehkan bagi laki-laki Muslim menikahi wanita kitabiyah atau Ahli Kitab,
karena hukum pengharaman mutlaknya telah di-naskh.[8]


Sementara
itu, menurut Ibnu H
{azm, wanita-wanita Ahli Kitab merupakan pengecualian
sekelompok kecil dari jumlah besar wanita kafir. Menurut sebagian ahli tafsir,
masalah ini bukan termasuk naskh melainkan pen-takhs
}i>s}-an
(pengkhususan). Pendapat ini kemudian sejalan dengan pendapat Ibnu H
{azm
yang memperbolehkan pernikahan dengan wanita Ahli Kitab.[9]


C.     Konteks Perkawinan antar-Agama di Masa Nabi saw.


Pria
Muslim tidak boleh menikahi perempuan musyrik tetapi boleh menikahi perempuan Ahli
Kitab. Sedangkan perempuan Muslimah tidak boleh dinikahi pria musryik walaupun
pria itu Ahli Kitab. Alasannya, mengikuti Rasul saw. yang memiliki dua istri Ahli
Kitab yakni S
{a>fiyah
binti H
{uyay
bin Aktab[10]
dan Mariatul Qibtiyah.[11] Diamnya
Rasulullah dari menetapkan syarat Islamnya wanita kitabiyah ketika dinikahi oleh
orang Muslim, karena beliau menganggap hal itu sudah biasa terjadi.[12]


Dalam
menghalalkan makanan orang Ahli Kitab, Allah tidak memberikan suatu batasan,
tetapi berlaku umum baik makanan Ahli Kitab sebelum diutus Nabi Muhammad saw.
ataupun sesudahnya. Sedangkan dalam menghalalkan kawin dengan Ahli Kitab, Allah
memberikan batasan dengan suatu ketentuan “Ahli Kitab sebelum kamu (Muhammad)”.
Jadi, Ahli Kitab yang boleh dikawini adalah Ahli Kitab yang telah memeluk
agamanya sebelum Nabi Muhammad diutus. Hal ini sesuai dengan praktik Nabi saw.
terhadap kedua istrinya yang Ahli Kitab itu.[13]


D.    Maqa>s}id al-Syari>’ah Nas}-Nas}
Perkawinan Beda Agama


Dilakukannya
perkawinan antar-agama adalah untuk mengajak agama lain khususnya Ahli Kitab untuk
masuk dan memeluk agama Islam. Menjalin hubungan dengan kesadaran toleransi
antar-pemeluk agama, dengan cara pria Muslim menikahi perampuan Ahli Kitab.
Karena biasanya pria lebih kuat dan bisa menolelir wanita Ahl Kitab dalam
menjalankan agamanya (Islam mengakui Isa a.s. sebagai Nabi Allah, sedangkan Ahl
Kitab tidak mengakui Muhammad saw. sebagai Rasul).[14]


Dengan
demikian, akan timbul hubungan diplomasi antara pihak Muslim dengan Ahli Kitab.
Lambat laun mereka akan sadar dengan keberadaan dan keyakinan yang dipegang
selama ini. Walaupun tanpa adanya paksaan mereka akan masuk Islam dengan
sendirinya sehingga terciptalah suatu tujuan Islam sebagai agama rah
}matan
li al-a
>lami>n.


E.    Pandangan Fikih Konvensional
tentang Pernikahan Campuran dan antar- Agama


Sama
halnya dengan al-Qur’an dah Hadis, ulama tidak membahas permasalahan tentang
pernikahan campuran, yang dibahas adalah pernikahan antar- agama, terutama
pernikahan dengan Ahl Kitab. Hal ini berdasarkan penafsiran para ulama terhadap
ayat-ayat yang membahas Ahl Kitab. Dalam memahami perkawinan antara wanita Muslim
dengan pria non-Muslim, ulama sepakat bahwasanya hukumnya haram, tetapi
perkawinan antara pria Muslim dengan wanita non-Muslim ulama berbeda pendapat,
hal ini disebabkan perbedaan penafsiran terhadap ayat al-Qur’an tersebut.


Ada
tiga pendapat yang berkembang di kalangan ulama dalam menafsirkan ayat di atas,[15] yaitu
mengenai lelaki Muslim menikahi wanita Ahli Kitab. Pendapat pertama menyatakan bahwa
bahwa lelaki Muslim haram menikahi wanita Ahli Kitab. Pendapat ini dikemukakan
oleh Abdullah ibn Umar dengan menggunakan penafsiran terhadap surat al-Baqarah
ayat 221, yang menyatakan bahwa wanita Ahli Kitab dari kalangan Nasrani dan
Yahudi adalah termasuk golongan Musyrik karena menuhankan Isa ibn Maryam dan
Uzer. Dengan demikian, mereka tidak halal dinikahi karena orang musyrik haram
dinikahi.


Pendapat
kedua dikemukakan oleh Atha’ bin Rabbah. Ia menyatakan bahwa mengawini Ahli
Kitab adalah rukhs
}ah, karena
saat itu wanita muslimah sangat sedikit. Sedangkan sekarang wanita muslimah
telah banyak, oleh karenanya mengawini wanita Ahli Kitab tidak diperlukan lagi
dan otomatis hilanglah rukhs
}ah untuk
mengawininya. Pendapat ketiga dikemukakan oleh jumhur ulama yang membolehkan
mengawini wanita Ahli Kitab berdasarkan firman Allah dalam surat al-Ma’idah
ayat 5 tersebut, sedangkan yang termasuk Ahli Kitab adalah wanita-wanita dari
kalangan Yahudi dan Nasrani.


Berdasarkan
pendapat di atas perlu adanya pengidentifikasian siapa yang sebenarnya yang
dikategorikan oleh al-Qur’an sebagai orang musyrik, yang kemudian haram
dikawini oleh orang Islam. Dikatakan musyrik bukan hanya mempersekutukan Allah melainkan
juga tidak memercayai salah satu dari kitab-kitab samawi, baik yang telah
terdapat penyimpangan ataupun yang masih asli, serta tidak seorang nabi pun
yang meraka percayai. Adapun Ahli Kitab adalah orang yang memercayai salah
seorang nabi dari nabi-nabi dan salah satu kitab dari kitab-kitab samawi, baik
sudah terjadi penyimpangan pada mereka dalam bidang akidah dan amalan.[16]


Dalam
pandangan ulama di zaman modern ini, seorang pakar seperti Rasyid Ridha, murid
Imam Muhammad Abduh, menegaskan bahwa Majusi, Sabian, Hindu, Buddha, Konfucius,
Shinto, dan agama-agama lain dapat dikategorikan sebagai Ahli Kitab. Ridha
menfatwakan bahwa laki-laki Muslim yang diharamkan oleh Allah menikah dengan
perempuan-perempuan musyrik dalam surat al-Baqarah ayat 221 adalah perempuan
musyrik Arab masa lalu. Itulah pendapat mufasir Ibn Jarir al-Thabari. Sedangkan
orang-orang Majusi, Sabian, penyembah berhala di India, Cina dan yang
semacamnya, seperti orang Jepang adalah Ahli Kitab, yang mengandung paham
monoteisme sampai sekarang. Karena itu, halal menikahi perempuan-perempuan
mereka.[17]


F.     Perkawinan Beda Agama dalam Hukum Perkawinan di Indonesia


Perbedaan
keyakinan bisa terjadi sebelum, selama, dan sesudah perkawinan. Perbedaan agama
sebelum perkawinan yang berlanjut saat perkawinan akan berakibat pada perdebatan
sah tidaknya perkawinan itu. Sementara perbedaan agama yang muncul selama membina
dan menjalankan rumah tangga, bisa menimbulkan kontroversi pada soal pembatalan
perkawinan yang bersangkutan.


Meski
sekilas tampak UU perkawinan relatif jelas menolak kebolehan orang berbeda
agama untuk melangsungkan perkawinan, karena dianggap sah apabila kedua
mempelai tunduk pada suatu hukum yang tidak ada larangan pernikahan dalam
agamanya, hal ini tidak berarti lepas dari masalah. Sebaliknya, ia mengundang
berbagai penafsiran.[18]


Minimal
ada tiga penafsiran terhadap ketentuan itu. Pertama, tafsiran bahwa
perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat
1 jo pasal 8 f, yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan
UU ditegaskan bahwa dengan perumusan pasal 2 ayat 1 tidak ada perkawinan di
luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.


Kedua, perkawinan antar-agama itu sah dan dapat dilangsungkan
karena telah tercakup dalam perkawinan campuran. Alasannya, pasal 57 tentang
perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan. Ini berarti pasal ini mengatur perkawinan
antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang
berbeda agama.


Ketiga, perkawinan antar-agama sama sekali tidak diatur dalam UU
No. 1/1974, sehingga berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974, persoalan perkawinan
beda agama dapat dirujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum
diatur dalam undang-undang perkawinan.[19]


Secara
normatif, perkawinan beda agama dalam KHI dibagi menjadi tiga.[20] Pertama,
perbedaan agama sebagai kekurangan syarat perkawinan. Perbedaan agama yang
terjadi dan diketahui sebelum akad nikah diatur dalam bab VI mengenai Larangan
Kawin (Pasal 40 dan 44), serta bab X mengenai Pencegahan Perkawinan (Pasal 61).
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan wanita yang tidak
beragama Islam (Pasal 40 c), sementara seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam (Pasal
44). Memang bagian ini secara harfiah terpisah dari ketentuan mengenai rukun
dan syarat perkawinan, namun pasal 18 menjelaskan bahwa sesungguhnya bab VI ini
memiliki hubungan dengan bab IV bagian kedua mengenai calon mempelai.


Kedua, perbedaan agama sebagai alasan pencegahan perkawinan. Pencegahan
tidaklah memiliki konsekuensi bagi absah tidaknya pernikahan, karena
tidak/belum terjadi akad nikah (Pasal 61), pencegahan diajukan kepada
Pengadilan Agama dalam daerah hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan
memberitahukan kepada PPN setempat (Pasal 65). Yang dapat mengajukan pencegahan
adalah keluarga dalam garis keturunan ke bawah, saudara, wali nikah, wali
pengampu dari pihak mempelai (Pasal 62). Suami atau istri yang masih terikat dalam
perkawinan dengan salah satu calon mempelai dapat mengajukan pencegahan
perkawinan (pasal 63). Bahkan, pejabat yang bertugas mengawasi perkawinan berkewajiban
mencegah perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak terpenuhi (Pasal
64).


Ketiga, beda agama sebagai alasan pembatalan perkawinan. Pasal 75
bagian dari pasal-pasal yang mengatur tentang pembatalan perkawinan, yang salah
satu alasan pembatalannya adalah “salah satu dari suami istri murtad”.
Keputusan pembatalan perkawinan karena alasan salah satu dari suami istri
murtad, tidak berlaku surut.


G.    Peraturan tentang Perkawinan antar-Agama di Negara Muslim
Lain (Kontemporer)


Dalam praktik perkawinan antar-agama, negara-negara Arab
banyak yang membiarkan terjadinya perkawinan Islam, perempuan Kristen atau
Yahudi menikah dengan pria Muslim tetapi tidak untuk pria non-Muslim dengan
perempuan muslimah.


Di Turki,
pernikahan antar-agama tidak hanya diperbolehkan bagi pria Muslim dengan Ahli
Kitab, tetapi juga untuk pria non-Muslim melalui hukum sekuler. Sedangkan di
Malaysia
non-Muslim harus mengkonversi Islam dalam rangka untuk menikahi seorang Muslim.
Sehingga, pernikahan tunduk pada satu hukum yaitu Islam.


Pernikahan antar-agama, terutama antara Hindu
dan
Muslim,
sering kali menjadi rebutan dan telah mengakibatkan kerusuhan komunal di
India.
Karena ada klaim banyaknya kegiatan ekstrem dalam upaya perekrutan agama dengan
jalan perkawinan.
Cinta jihad
yang dipraktikkan oleh para Islamis terhadap non-Muslim terutama pada gadis-gadis
Hindu, yang ditargetkan untuk konversi ke
agama Islam
dengan berpura-pura cinta pada perempuan non-Muslim tersebut.[21]


H.   Analisis Perkawinan Campuran dan Perkawinan antar-Agama


Berdasarkan dari bacaan di atas, maka
dapat ditarik sebuah analisis terhadap suatu permasalahan perkawinan campuran
dan perkawinan antar-agama, yang sesuai dengan zaman sekarang sehingga dapat
ditarik suatu kesimpulan dalam makalah ini, bahwa perkawinan campuran dan
perkawinan antar-agama pada zaman sekarang berbeda dengan tujuan perkawinan antar-agama
zaman dahulu yakni zaman Nabi Muhammad saw.


Pada dasarnya perkawinan campuran di
Indonesia tidaklah menjadi permasalahan yang pokok, karena hal ini hanya
ditinjau dari perbedaan kewarganegaraan yang tunduk pada hukum yang berlainan sehingga
perlu adanya penyatuan dalam pencatatan perkawinan. Apabila mempelai berdua
menganut agama Islam, maka dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangkan
apabila salah satu dari mempelai non-Muslim maka dicatatkan di Kantor Catatan
Sipil. Perkawinan campuran di Indonesia diperbolehkan asalkan mengikuti
peraturan yang berlaku di Indonesia.


Berbeda halnya apabila perkawinan
tersebut berdasarkan perbedaan agama atau keyakinan, maka ulama ikut angkat
bicara dalam memutuskan hukum perkawinan tersebut, terlebih dalam agama Islam.
Ulama sepakat bahwasanya menikahi orang musyrik dan kafir hukumnya haram. Sedangkan
dalam masalah menikahi Ahli Kitab yakni Nasrani dan Yahudi, ulama merujuk surat
al-Ma’idah ayat 5 bahwa pria non-Muslim dilarang menikahi wanita muslimah,
tetapi pria Muslim boleh menikahi wanita Ahli Kitab.


Pria Muslim boleh menikahi wanita Ahli
Kitab, ini dengan dalih mengikuti Rasul saw. yang kedua isri beliau adalah
wanita Ahli Kitab, yakni S
{a>fiyah dan Mariatul Qibtiyah. Bukan itu saja pria adalah
kepala rumah tangga yang memimpin keluarga sehingga diharapkan mampu membawa
istri masuk Islam.


Akan tetapi, pada kenyatannya wanitalah
yang mengurus anak-anak dari hasil perkawinan tersebut sehingga ibu mendominasi
pemikiran anak. Mudah bagi ibu Ahl Kitab membawa anak-anaknya memeluk agama
yang dianutnya. Menurut sebagian ulama, Yahudi dan Nasrani (Kristen) bukanlah Ahl
Kitab karena sudah menyimpang ajarannya, bahkan ada yang mengatakan bahwa
Yahudi dan Nasrani adalah orang kafir dan musyrik yang tidak boleh dinikahi,
karena mereka mengakui Uzair dan Nabi Isa sebagai anak Allah.


Di Indonesia terdapat enam agama yang
diakui, yaitu Islam, Kristen Katolik, Protestan, Buddha, Hindu, dan Khonghucu.
Dari lima agama ini hanya dua agama yang termasuk agama samawi, yaitu Kristen Katolik
dan Protestan, karena mereka mengikuti agama Nasrani. Sedangkan yang lain tidak
termasuk Ahli Kitab sehingga dikategorikan sebagai musyrik. Maka, semakin jelas
bahwa menikahi pemeluk agama lain di Indonesia dilarang, walaupun Kristen
Katolik dan Protestan termasuk Ahli Kitab, tetapi meraka sudah menyimpang. Dengan
demikian, bisa ditarik kesimpulan bahwa Ahli Kitab sudah tidak ada.


Menurut UU perkawinan Indonesia,
perkawinan beda agama tidak diperbolehkan karena selain adanya larangan dari
agama-agama di Indonesia, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam,
juga terdapat mudarat yang sebabkan perkawinan antar-agama seperti rantan
perceraian, dua kepala rumah tangga, dan adanya pihak yang dirugikan.


Hal ini sesuai dengan keputusan para
ulama di Indonesia baik Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU),
dan PP Muhammadiyah. MUI memutuskan, pertama, bahwa perkawinan wanita Muslim
dengan laki-laki non-Muslim hukumnya haram. Kedua, seorang laki-laki Muslim
diharamkan mengawini wanita bukan Muslim. Perkawinan antara laki-laki Muslim
dengan wanita Ahlul Kitab memang terdapat perbedaan pendapat. “Setelah
mempertimbangkan bahwa mafsadatnya lebih besar dari maslahatnya, MUI
memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram,” ungkap Dewan Pimpinan Munas II
MUI, Prof Hamka, dalam fatwa itu.[22]


Ulama Nahdlatul Ulama (NU) juga telah
menetapkan fatwa terkait nikah beda agama. Fatwa itu ditetapkan dalam Muktamar
ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989. Difatwakan bahwa nikah antara dua
orang yang berlainan agama di Indonesia hukumnya tidak sah.


Majelis Tarjih dan Tajdid PP
Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa tentang penikahan beda agama. Secara
tegas, ulama Muhammadiyah menyatakan bahwa seorang wanita Muslim dilarang
menikah dengan pria non-Muslim. Hal itu sesuai dengan surat al-Baqarah ayat
221, seperti yang telah disebutkan di atas. "Berdasarkan ayat tersebut,
laki-laki Mukmin juga dilarang nikah dengan wanita non-Muslim dan wanita Muslim
dilarang walinya untuk menikahkan dengan laki-laki non-Muslim," ungkap
ulama Muhammadiyah dalam fatwanya.[23]


Terjadinya
perkawinan beda agama dianggap bertentangan dengan tujuan perkawinan, bagaimana
mungkin mampu menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rah
}mah
kalau masing-masing pasangan berbeda
keyakinan. Dalam perspektif sadd az-z
\ari>’ah,[24]
perkawinan beda agama dilarang karena dikhawatirkan bisa merusak eksistensi
iman seseorang. MUI, Majlis tarjih PP Muhammadiyah, dan ulama NU melarang
perkawinan beda agama atas dasar menutup kemungkinan mudarat yang akan terjadi
sebagai akibat perkawinan beda agama. Pelarangan ini juga mendapatkan momentum
ketika dihubungkan dengan wacana Kristenisasi yang marak saat ini.[25]


Perkawinan
antar-agama zaman sekarang tidak sesuai denagan tujuan perkawinan antar-agama
pada zaman Nabi Muhammad saw., sekarang perkawinan antar-agama hanya sebagai
pembuktian gengsi dan pemuas nafsu belaka bukan untuk kejayaan agama Islam sehingga
hal ini lebih baik dihindari.













[1]
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi Aksara,
1996), hlm. 196





[2]
O.S. Eoh, Perkawinan antar-Agama dalam Teori dan Praktek (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 35





[3] Suhadi, Kawin Lintas Agama Perspektif
Kritik Nalar Islam
(Yogyakarta: LKiS, 2006), hlm. 22.





[4] Muh}ammad Rasyi>d Rid}a, Tafsi>r al-Mana>r, jilid II (Beirut: Da>r al-Fikr, 1957), hlm 247.





[5] Al-Wa>hidi, Asba>b al-Nuzu>l (Kairo: Da>r al-Ittih}a>d al-Arabi li al-T{ab’ah, 1968), hlm. 45.





[6]
Abdul Mutaal Muhammad Al-Jabry, Pernikahan Campuran Menurut Pandangan Islam
, terj. Achmad Sathori (Jakarta: PT.
Bulan Bintang, 1988), hlm. 39





[7]
Miftah Faridl, Masalah Nikah dan Keluarga (Jakarta: Gema Insani Press,
1999), hlm. 21





[8] Abdul Mutaal Muhammad
Al-Jabry, Pernikahan Campuran Menurut Pandangan Islam, hlm. 40





[9] Ibid.





[10] S{a>fiyah adalah istri Kinanan bin Rabi’
yang mati dalam Perang Khaibar, putri pimpinan Yahudi dan pembesar suku Bani
Nadlir ini merupakan tawanan Perang Khaibar yang tertawan dan dihadapkan kepada
Rasulullah saw. Ia diberikan dua pilihan oleh Rasulullah saw., masuk Islam
kemudian dinikahi beliau atau memperoleh kemerdekaan dan dipulangkan menemui
kaumnya. Akhirnya ia memilih masuk Islam dan dinikahi Rasulullah saw.,
kemerdekaan Shafiyah dijadikan sebagai maskawin oleh Rasulullah.





[11] Mariatul Qibtiyah
adalah budak Rasulullah saw. yang dihadiahkan oleh Muqauqis kepada beliau,
Rasulullah saw. telah mendapatkan seorang anak laki-laki darinya sewaktu ia
menjadi selir beliau atau sebelum dikawin. Dan berhubungan dengan selir yang
masih budak diperbolehkan secara mutlak, tetapi akhirnya ia masuk Islam.





[12] Abdul Mutaal Muhammad
Al-Jabry, Pernikahan Campuran Menurut Pandangan Islam, hlm. 126.





[13] Ibid, hlm. 44.





[14]
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam (Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1991), hlm. 127.





[15]
Abd. Salam Arief, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam (Yogyakarta: LESFI, 2003),
hlm. 122.





[16]
Nurcholis Madjid, dkk. Fiqih Lintas Agama (Jakarta: PARAMADINA, 2004),
hlm. 159.





[17] Ahmad Nurcholish, Memoar Cintaku
Pengalaman Empiris Pernikahan Beda Agama
(Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm.
153.





[18] Alyasa Abubakar, Perkawinan Muslim
dengan Non-Muslim
(Negro Aceh Darussalam: Dinas Syari’at Islam, 2008), hlm.
60.





[19]
Khairil Anwar, “Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif Indonesia”, (
www.Makalahnet.Blagspot.com,
diakses 12 Desember 2011).





[20]
M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama (Yogyakarta: Total Media, 2006),
hlm. 136





[21] Wikipedia, Pernikahan
antar-Agama dalam Islam
, Ensiklopedia bebas, 2009
.





[22] Heri Ruslan, “Hukum Nikah Beda Agama
dalam Islam dan Kristen, Samakah?” (
www.RepoblikaOnLine.go.id, diakses 10 April 2012).





[23] Muslim, “Kajian Lintas Agama, Nikah Beda
Agama” (
www.Lidwa.com, diakses 10 April 2012)





[24] Sadd
adz-dzari’ah
adalah memotong jalan kerusakan
sebagai upaya menghindari kerusakan tersebut, Meski suatu perbuatan bebas dari
unsur kerusakan, namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana
terjadinya suatu kerusakan, maka diharuskan mencegah perbuatan tersebut.





[25] Masdar F. Mas’udi, “Meletakkan Kembali
Maslahah Sebagai Acuan Syari’at”, Jurnal Ulumul
Qur’an,
No. 3 vol: IV, (Jakarta: PARAMADINA, 1995), hlm. 97




Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

أحدث أقدم