A.
PENGERTIAN
AKHLAQ
Secara
literal, Akhlaq adalah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari asal kata khuluqun yang berarti tabiat atau budi
pekerti.[1]
Terma Akhlaq adalah bentuk plural dari kata khuluq yang berarti budi pekerti,
perangai, dan tingkah laku. Kata ini seakar dengan kata khaliq yang bermakna
penciptaan.[2]
Secara
terminology, kata akhlaq didefinisikan secara variatif. Ibnu Miskawih
mendefenisikan akhlaq sebagai suatu keadaan jiwa atau sikap mental yang
menyebabkan individu bertindak tanpa dipikir atau dipertimbangkan secara
mendalam.[3]
Hampir senada dengan defenisi Miskawih, Abu Hamid al-Ghazali mendefenisikan
akhlaq sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan–perbuatan
dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[4]
Kemudian, Abdul Karim Zaidan mendefenisikan akhlaq sebagai nilai–nilai dan
sifat–sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang menjadikan seseorang
berkemampuan menilai perbuatan baik atau buruk untuk kemudian memilih melakukan
atau meninggalkannya.[5]
Dalam
pembahasan akhlak ada beberapa istilah yang sering digunakan untuk mengatakan
akhlak tersebut. Istilah-istilah itu adalah:
1.
Etika
Perkataan
etika berasal dari bahasa Yunani ethos
yang berarti adat kebiasaan. Dalam pelajaran filsafat, etika merupakan bagian
daripadanya. Di dalam Ensiklopedi
Pendidikan diterangkan bahwa etika adalah filsafat tentang nilai,
kesusilaan tentang baik dan buruk.
Dalam
hubungan ini Dr. H. Hamzah Ya’qub merumuskan: Etika ialah ilmu yang menyelidiki
mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia
sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran.[6]
Kendati
pemakaian istilah etika sering disamakan dengan pengertian ilmu akhlak, namun
jika diteliti secara seksama, maka sebenarnya antara keduanya mempunyai
segi-segi perbedaan disamping juga ada persamaannya. Persamaannya antara lain
terletak pada objeknya, yaitu keduanya sama-sama membahas buruk baik tingkah
laku manusia. Sedang perbedaannya, etika menentukan buruk baik perbuatan
manusia dengan tolok ukur akal pikiran, ilmu akhlak menentukannya dengan tolok
ukur ajaran agama (Al-Qur’an dan Al-Hadist).
2.
Moral
Perkataan
moral berasal dari bahasa latin mores
yaitu jamak dari mos yang berarti
adat kebiasaan. Di dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah baik buruk perbuatan dan
kelakuan.
Salah
satu pengertian moral yang disebutkan didalam Ensiklopedi Pendidikan adalah “nilai dasar dalam masyarakat untuk
memilih antara nilai hidup (moral). Juga adat istiadat yang menjadi dasar untuk
menentukan baik/buruk”.
Dengan
keterangan diatas, moral merupakan istilah yang digunakan untuk memberikan
batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai/hukum baik atau buruk, benar
atu salah. Dalam kehidupan sehari-hari dikatakan bahwa orang yang mempunyai
tingkah laku yang baik disebut orang yang bermoral.
Kalau
dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau
buruk dengan tolok ukur akal pikiran, dalam pembahasan moral tolok ukurnya
adalah norma-norma yang hidup dimasyarakat. Dalam hal ini Dr. Hamzah Ya’qub
mengatakan: “ Yang disebut moral ialah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima
tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar”.
Sekarang
dapat dilihat persamaan antara ilmu akhlak, etika dan moral, yaitu menentukan
hukum/nilai perbuatan manusia dengan keputusan baik atau buruk. Perbedaan
terletak pada tolok ukurnya masing-masing, dimana ilmu akhlak dalam menilai
perbuatan manusia dengan tolok ukur ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah, etika
dengan pertimbangan akal pikiran dan moral dengan adat kebiasaan yang umum
berlaku dimasyarakat.
Perbedaan
lain antara etika dan moral, yakni etika lebih banyak bersifat teoritis sedang
moral lebih banyak bersifat praktis.[7]
3.
Kesusilaan
Selain
istilah-istilah diatas, di dalam bahasa Indonesia untuk membahas buruk baik
tingkah laku manusia juga sering digunakan istilah kesusilaan.
Kesusilaan
berasal dari kata susila yang mendapat awalan ke dan akhiran an. Susila berasal dari bahasa Sansakerta
yaitu Su dan Sila. Su berarti baik, bagus dan Sila berarti dasar, prinsip,
peraturan hidup atau norma.[8]
B.
PENDIDIKAN
AKHLAQ
Dapatkah akhlaq dididikkan? Sifat
atau nilai–nilai yang tertanam didalam jiwa, sehingga menjadi keadaan jiwa (hal li al-nafs), dan mendorong untuk
menampilkan suatu perilaku secara spontan terpuji atau tercela yang disebut
akhlaq itu bisa dikelompokkan kedalam dua jenis, yaitu: 1). Berasal dari natur
atau karakter dasar manusia, dan 2). Berasal atau diperoleh dari proses
pembiasaan dan latihan. Karenanya, dari sisi ini, akhlaq itu ada yang sudah terbentuk sejak awal kehidupan manusia
dan ada pula yang terbentuk melalui upaya manusia lewat proses pembiasaan atau
latihan. Meskipun demikian, baik dalam konteks pertama atau kedua, akhlaq itu tetap bisa dididikkan kedalam
diri manusia.
C.
TUJUAN
PENDIDIKAN AKHLAQ
Berdasarkan defenisi sebagaimana
dikemukakan diatas, dalam perspektif falsafah pendidikan Islami, tujuan pokok
pendidikan akhlaq adalah :
1. Memelihara
diri peserta didik agar sepanjang hidupnya tetap berada dalam fitrah-nya, baik
dalam arti suci dan bersih dari dosa dan maksiat, maupun dalam arti bersyahadat
atau bertauhid kepada Allah Swt.
2. Menanamkan
prinsip–prinsip, kaedah–kaedah, atau norma–norma tentang baik buruk atau
terpuji tercela kedalam diri dan kepribadian peserta didik agar mereka
berkemampuan memilih untuk menampilkan perilaku yang baik dan menghindari atau
meninggalkan semua perilaku buruk atau tercela dalam kehidupannya.
Dalam
referensi lain disebutkan bahwa pelajaran akhlak bertujuan mengetahui
perbedaan-perbedaan perangai manusia yang baik dan yang buruk agar manusia
dapat memegang teguh sifat-sifat yang baik dan menjauhkan diri dari sifat-sifat
yang jahat sehingga terciptalah tata tertib dalam pergaulan di masyarakat. Oleh
karena itu pendidikan akhlak bertujuan hendak mendudukkan manusia sebagai
makhluk yang tinggi dan sempurna serta membedakannya dengan makhluk-makhluk
lainnya. Akhlak bertujuan menjadikan manusia orang yang berkelakuan baik
terhadap Tuhan, manusia dan lingkungannya.[9]
D.
METODE
PENDIDIKAN AKHLAQ
Pada dasarnya, semua metode
pendidikan Islami bisa dipergunakan untuk mendidikkan akhlaq kedalam diri
peserta didik. Sebab, dalam perspektif falsafah pendidikan Islami, metode
pendidikan adalah instrument yang dipergunakan pendidik untuk memudahkan
peserta didik dalam menanamkan pengetahuan, melatih keterampilan, dan
menginternalisasikan nilai–nilai kedalam diri dan kepribadian mereka. Dalam
proses pembelajaran, penggunaan metode harus diarahkan pada pencapaian ketiga
domain tersebut berupa pengetahuan, keterampilan, dan nilai– nilai secara
integral dan seimbang.
Dalam
perspektif Islam, metode pendidikan akhlaq
itu diawali dari proses penanaman keimanan kepada Allah SWT melalui adzan atau iqamat yang dikumandangkan ditelinga setiap bayi yang baru
dilahirkan dari rahim ibunya. Secara psikologis, hal tersebut dimaksudkan untuk
menanamkan kesan positif kedalam jiwa manusia. Setelah itu, pemeliharaan dan
pengasuhan yang baik dalam keluarga yang merupakan metode pendidikan akhlaq berikutnya yang harus dilakukan
para pendidik khususnya kedua orangtua dan seluruh anggota keluarga. Dalam
konteks ini, pemeliharaan adalah pendidikan akhlaq
yang berkaitan dengan dimensi fisik sedangkan pengasuhan berkaitan dengan
dimensi non fisik. Dalam konteks fisik, pemeliharaan berkaitan dengan upaya
menumbuhkembangkan fisik dengan memberikan makanan dan minuman yang halal dan
baik. Sementara dalam konteks non fisik, pengasuhan berkaitan dengan penciptaan
lingkungan psikologis yang aman, nyaman, menyenangkan, dan bernuansa edukatif.
Setelah
anak mampu menangkap kesan balik baik secara visual,verbal maupun kinestetik,
maka metode pendidikan akhlak dilakukan dengan pemberian keteladanan yang baik
(uswah hasanah) kepada anak.
Keteladanan itu harus di munculkan dari diri para pendidik dalam setiap situasi
dan keadaan dalam keseluruhan interaksinya dengan anak.
Pendidikan
akhlak melalui keteladanan harus diikuti dengan penerapan metode latihan dan
pembiasaan. Secara bertahap tetapi berkesinambungan, anak dilatih dan
dibiasakan melakukan sendiri prilaku terpuji yang sesuai dengan prinsip, kaedah
atau norma-norma akhlakulkarimah. Mencuci tangan sebelum dan setelah makan,
duduk dengan tertib dan sopan ketika makan, memulai makan dengan membaca
basmalah, adalah diantara prilaku terpuji yang harus dilatihkan dan dibiasakan
kepada anak.[10]
E.
KEDUDUKAN
AKHLAQ DALAM ISLAM
Banyak
ulama telah mengklasifikasikan Islam menjadi tiga bagian, yaitu: akidah,
syari’ah dan akhlak. Namun ada juga ulama yang hanya mengklasifikasikan ajaran
menjadi dua bagian, yaitu: akidah dan syari’ah, atau dengan kata lain: akidah
dan system.
Bagaimana
sebenarnya kedudukan akhlak dalam ajaran Islam? Dalam pandangan Islam, akhlak
bukn hanya sekedar sifat baik dan buruk, sehingga ketika berupa sifat baik,
disebut akhlak mahmudah, dan disebut akhlak madzmumah ketika berupa
kebalikannya. Akhlak memang sifat perbuatan, tetapi persoalan sifat tersebut
tidak sesederhana itu. Sebab, sifat perbuatan baik dan buruk tersebut tidak
muncul dengan sendirinya dari perbuatan itu sendiri. Misalnya duduk. Duduk
tidak bias dinilai baik atau buruk semata-mata karena substansi duduknya itu
sendiri. Karena substansi duduk adalah sama, tidak ada bedanya antara satu dengan
yang lain. Demikian halnya dengan membunuh, juga tidak dapat dinyatakan baik
atau buruknya berdasarkan substansi membunuhnya itu sendiri, melainkan harus
dilihat dari aspek lain. Iktikaf di masjid adalah duduk, yang dinilai baik
karena diperintahkan oleh Allah, bukan karena substansi duduknya. Membunuh
orang murtad diperintahkan sebagai bentuk sanksi hukum atas kemurtadannya jelas
baik, bukan karena substansi membunuhnya, melainkan karena Allah telah
menetapkan hukum bunuh untuk mengganjarnaya.[11]
Dalam
perspektif Islam, akhlaq merupakan
prinsip, kaedah dan norma– norma fundamental yang menata idealitas interaksi
manusia dengan KhaliQ-nya yakni Allah SWT, dengan dirinya sendiri, sesama
manusia, dan dengan alam semesta. Karenanya akhlaq
menempati posisi sentral dalam al–din al-Islamy.
Itulah sebabnya, mengapa dalam salah satu hadis yang sangat populer, Rasulullah
Saw menegaskan: Sesungguhnya aku diutus
untuk menyempurnakan akhlak yang baik.[12]
Ini bermakna bahwa risalah Islam yang dibawa Rasulullah Saw adalah ‘akhlaq’ karena itu, misi kerasulan
beliau dan sekaligus tugas edukatif yang diemban sepanjang sejarah kehidupannya
adalah mendidikkan akhlak kedalam diri dan kepribadian manusia.
Dalam Islam akhlaq adalah akar dari segala kebaikan dan keutamaan yang akan
memberi nilai setiap amal atau perilaku manusia. Keimanan dan amal seseorang
dinilai kurang sempurna manakala tidak dilandasi dan dihiasi dengan akhlaq yang
mulia. Dalam Islam, iman harus ditopang dengan ilmu yang harus diwujudkan dalam
amal yang harus dihiasi dengan akhlaq
yang mulia atau terpuji. Itulah sebabnya mengapa setiap perilaku harus disertai
dan tidak boleh terlepas dari akhlaq.
F.
AKHLAK
SEBAGAI ASAS KEBAHAGIAAN INDIVIDU DAN MASYARAKAT
1. Akhlak
Baik Sebagai Asas Kebahagiaan
Kesadaran bahwa manusia
dalam hidup ini membutuhkan manusia lainnya menimbulkan perasaan bahwa setiap
pribadi manusia terpanggil hatinya untuk melakukan apa yang terbaik bagi orang
lain. Islam mengajarkan bahwa manusia yang paling baik adalah manusia yang
paling banyak mendatangkan kebaikan kepada orang lain. Menurut sebuah hadist
yang diriwayatkan oleh Qadh’I dari Jabir, Rasulullah SAW pernah bersabda:
خير
الناس انفعهم للنا س
“Sebaik-baik manusia ialah orang yang banyak manfaatnya
(kebaikannya) kepada manusia lainnya”
Kesadaran
untuk berbuat baik sebanyak mungkin kepada orang lain ini melahirkan sikap
dasar untuk mewujudkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam
hubungannya antar manusia, baik pribadi maupun masyarakat lingkungannya.
Pada
hakikatnya orang yang berbuat baik atau berbuat jahat terhadap orang lain
adalah untuk dirinya sendiri. Mengapa orang lain senang berbuat baik kepada
kita, karena kita telah berbuat baik kepada orang lain itu. Firman Allah SWT
dalam surah Al-Isra ayat 7:
÷bÎ) óOçFY|¡ômr& óOçFY|¡ômr& ö/ä3Å¡àÿRL{ ( ÷bÎ)ur öNè?ù'yr& $ygn=sù 4
“Jika kamu berbuat baik (berarti)
kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka
(kejahatan) itu bagi dirimu sendiri”[13]
Kejayaan
suatu bangsa terletak pada akhlaknya, selama bangsa itu masih memegang
norma-norma akhlak dan kesusilaan dengan teguh dan baik, maka selama itu pula
bangsa tersebut jaya dan bahagia.
Ketinggian
budi pekerti yang terdapat pada seseorang menjadikannya dapat melaksanakan
kewajiban dan pekerjaan dengan baik dan sempurna, sehingga menjadikan orang itu
dapat hidup bahagia. Sebaliknya apabila manusia buruk akhlaknya, kasar
tabiatnya, buruk prasangkanya pada orang lain, maka hal itu sebagai pertanda
bahwa orang itu hidup resah sepanjang hidupnya karena ketiadaan keserasiaan dan
keharmonisan dalam pergaulannya sesama manusia lainnya.
2. Akhlak
Buruk Sebagai Pangkal Kesengsaraan
Karena
misi Islam pertama-tama adalah untuk membimbing manusia berakhlak mulia, maka
setiap pelanggaran akhlak akan mendapat sanksi atau siksa dari Tuhan, dengan
kata lain setiap perbuatan buruk akan berakibat kesengsaraan bagi si pembuat
sendiri dan bagi masyarakatnya. Banyak cerita yang diterangkan Allah dalam
kitab suci Al-Qur’an tentang binasanya/celakanya orang dahulu, yaitu akibat
dari kemaksiatan dan keburukan akhlak mereka. Cerita seperti ini tentu
dimaksudkan untuk dijadikan sebagai ‘Ibrah yang perlu di perhatikan oleh
orang-orang sekarang dan akan datang.[14]
Di
dalam surah Ar-Ruum ayat 41 Allah SWT berfirman:
tygsß ß$|¡xÿø9$# Îû Îhy9ø9$# Ìóst7ø9$#ur $yJÎ/ ôMt6|¡x. Ï÷r& Ĩ$¨Z9$# Nßgs)ÉãÏ9 uÙ÷èt/ Ï%©!$# (#qè=ÏHxå öNßg¯=yès9 tbqãèÅ_öt ÇÍÊÈ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di
laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada
mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar).”[15]
G.
RUANG
LINGKUP MATERI DAN SUBSTANSI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
Ruang
lingkup materi budi pekerti menurut Milan Pianto, (2004: 4-10) secara garis
besar dapat dikelompokkan dalam tiga hal nilai akhlak yaitu sebagai berikut :
1. Akhlak
terhadap Tuhan Yang Maha Esa
a. Mengenal
Tuhan
·
Tuhan sebagai pencipta
Manusia, hewan,
tumbuh-tumbuhan dan semua jenis benda yang ada disekeliling kita adalah makhluk
ciptaa Tuhan yang Maha Kuasa. Kita harus percaya kepada Tuhan yang menciptakan
alam semesta ini, artinya kita wajib mengakui dan meyakini bahwa Tuhan Yang
Maha Esa itu memang ada. Kita beriman dan bertaqwa kepada-Nya dengan yakin dan
patuh serta taat dalam menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangannya. Dan semua agama yang dianut mempunyai pengertian tentang ketaqwaan
secara umum berarti melaksanakan segala perintah-Nya.
·
Tuhan sebagai pemberi (pengasih,
penyayang)
Dalam ajaran
agama disebutkan “Mintalah kepada-Ku, Niscaya aku akan memberinya”. Oleh karena
itu, janganlah kita merasa bosan untuk berdoa dan memohon, jangan pula cepat
menyerah dan paling penting dibarengi dengan berusaha dengan sekuat tenaga dan
setiap melakukan sesuatu pekerjaan jangan mengucapkan kalimat
“Bismillahirrohmanirrohim” agar mendapatkan hasil yang memuaskan serta selamat
dan selesai itu mengucapkan kalimat “Alhamdulillahirobbil’alamin”.
·
Tuhan sebagai pemberi balasan (baik dan
buruk)
Menurut norma
agama, jika kita melanggar perintah Tuhan maka kita akan mendapatkan hukuman
dari Tuhan karena kita berdosa. Oleh karena itu, marilah kita berbuat kebaikan
dan beribadah sesuai dengan ajaran agama kita masing–masing. Sikap ini sangat
baik dalam bermasyarakat, berbangsa, bernegara.
b. Hubungan
Akhlak kepada Tuhan Yang Maha Esa
·
Ibadah / Menyembah
ü Umum
Kewajiban
terhadap Tuhan ialah melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya. Perbuatan yang dilakukan karena perintah-Nya disebutlah dengan
Ibadah.
ü Khusus
Selain dari
ibadah yang umum, ibadah yang khusus ini adalah ibadah yang pelaksanaanya
mempunyai tata cara tertentu. Dalam ajaran agama islam, misalnya : Shalat,
Puasa, Zakat, dan Haji. Semua ibadah khusus tersebut pelaksanaannya harus
sesuai dengan petunjuk Allah SWT.
·
Meminta Tolong kepada Tuhan
ü Usaha
atau Upaya
Tuhan tidak akan
menurunkan sesuatu kepada manusia, seperti ibu yang memberikan makanan kepada
anaknya. Tuhan tidak akan menjatuhkan uang berkarung–karung dari langit karena
manusia dituntut untuk berusaha mendapatkan apa yang diinginkan oleh manusia
tersebut. Dalam ajaran agama menyebutkan Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu
kaum kalau kaum itu tidak mengubahnya.
ü Do’a
Dalam kitab suci
Al- Qur’an, Tuhan mengajarkan ‘mintalah pada-Ku, maka Aku akan kabulkan”.
Dalam sumber
lain disebutkan bahwa tugas dan kewajiban manusia sebagai makhluk Allah adalah
beriman kepada-Nya. Di dalam Al-Qur’an Allah memerintahkan agar orang yangsudah
mengaku beriman untuk beriman lagi kepada-Nya sebagaimana firman-Nya dalam
surah An-Nisa’ ayat 136:
(#þqä9qè% $¨YtB#uä «!$$Î/ !$tBur tAÌRé& $uZøs9Î) !$tBur tAÌRé& #n<Î) zO¿Ïdºtö/Î) @Ïè»oÿôÎ)ur t,»ysóÎ)ur z>qà)÷ètur ÅÞ$t6óF{$#ur !$tBur uÎAré& 4ÓyqãB 4Ó|¤Ïãur !$tBur uÎAré& cqÎ;¨Y9$# `ÏB óOÎgÎn/§ w ä-ÌhxÿçR tû÷üt/ 7tnr& óOßg÷YÏiB ß`øtwUur ¼çms9 tbqãKÎ=ó¡ãB ÇÊÌÏÈ
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin):
"Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada Kami, dan apa
yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan
apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada
nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka
dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya".[16]
2. Akhlak terhadap Sesama Manusia
a. Terhadap
diri sendiri
Setiap manusia
mempunyai jati diri. Dengan jati diri, seseorang mampu menghargai dirinya
sendiri, mengetahui kemampuannya, kelebihan dan kekurangan serta dapat menjawab
berbagai pertanyaan. Jika sampai saat ini kita masih banyak kekurangannya, maka
mulailah untuk mencoba memperbaiki kekurangan tersebut. Berbuatlah kebaikan
untuk diri sendiri, masyarakat, bangsa dan Negara serta Agama.[17]
Dalam hal ini tugas dan
kewajiban manusia terhadap diri sendiri ialah memelihara jasmani dengan
memenuhi kebutuhannya seperti pangan, sandang dan papan, dan memelihara rohani
dengan memenuhi keperluannya berupa pengetahuan, kebebasan dan sebagainya
sesuai dengan tuntutan fitrahnya sehingga dia dapat menjalankan tugasnya dengan
baik sebagaimana manusia yang sesungguhnya.[18]
Di dalam surah Al-Baqarah ayat 195 Allah SWT melarang manusia merusak,
membinasakan atau menganiaya diri, baik itu merusak jasmani seperti memotong,
membuat sakit atau merusak anggota badan maupun rohani seperti selalu
membiarkan sedih, merana dan lain sebagainya. Sebagaimana firman-Nya:
(#qà)ÏÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# wur (#qà)ù=è? ö/ä3Ï÷r'Î/ n<Î) Ïps3è=ökJ9$# ¡ (#þqãZÅ¡ômr&ur ¡ ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÒÎÈ
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan
Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan
berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik.”[19]
b. Terhadap
orang tua
Orang tua adalah
pribadi yang ditugasi Tuhan untuk melahirkan, membesarkan, memelihara, dan
mendidik dan sudah sepatutnya kita mencintai, menghargai dan patuh kepada
mereka. Dalam ajaran agama dikatakan bahwa “Surga itu terletak dibawah telapak
kaki ibu”.[20]
Kewajiban
terhadap orang tua menduduki tempat yang paling utama dalam ajaran Islam.
Kewajiban terhadap orang tua menduduki tempat kedua sesudah berbakti kepada
Allah SWT.[21]
Di dalam Al-Qur’an pada surah Al-Isra’ ayat 23 Allah SWT berfirman:
4Ó|Ós%ur
y7/u
wr&
(#ÿrßç7÷ès?
HwÎ)
çn$Î)
Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur
$·Z»|¡ômÎ)
4 $¨BÎ)
£`tóè=ö7t
x8yYÏã
uy9Å6ø9$#
!$yJèdßtnr&
÷rr&
$yJèdxÏ.
xsù
@à)s?
!$yJçl°;
7e$é&
wur
$yJèdöpk÷]s?
@è%ur
$yJßg©9
Zwöqs%
$VJÌ2
ÇËÌÈ
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya
kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu
bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau
Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia”[22]
[850] Mengucapkan kata Ah kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh
agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih
kasar daripada itu.
c. Terhadap
orang yang lebih Tua
Bersikaplah
hormat, menghargai, meminta saran ataupun petunjuk karena orang yang lebih tua dari kita
pengetahuan, kengalaman, dan kemampuannya lebih dari kita.
d. Terhadap
sesama
Melakukan tata
krama dengan teman sebaya memang agak sulit karena mereka teman sederajat dan
dalam keseharian sering berjumpa sering lupa memperlakukan tata krama yang
sopan dan baik, diantaranya : menyapa jika bertemu, tidak mengolok-olok sampai
melewati batas, tidak berprasangka buruk, tidak menyinggung perasaannya, tidak
memfitnah tanpa bukti, selalu menjaga nama baiknya dan menolongnya disaat
mendapatkan kesulitan.
e. Terhadap
orang yang lebih muda
Janganlah karena
kita lebih tua maka kita seenaknya memperlakukannya ataupun memperbudaknya,
justru kita harus melindungi, menjaga serta menjadi contoh untuk dipandang yang
dibawah ataupun lebih muda dari kita seperti memberikan petunjuk kepada mereka
yang muda berupa saran, nasihat dan membimbingnya.
3. Akhlak
terhadap Lingkungan
a. Alam
ü Flora
Manusia tidak
mungkin bertahan hidup tanpa adanya dukungan lingkungan alam yang sesuai,
serasi seperti yang dibutuhkan. Tumbuh–tumbuhan (flora) sangat berguna bagi
manusia dengan menjaga kelestarian alam
semesta yang sangat berguna bagi kita seperti : sayuran, buah–buahan, dan padi.
ü Fauna
Bumi Indonesia
dikaruniai Tuhan berbagai fauna yang memperkaya keindahan dan kemakruran
penduduk. Hewan–hewan yang ada disekitar kita hendaklah dipelihara, dirawat,
diternakkan untuk mencapai penghasilan yang menguntungkan bagi manusia.
Misalnya : sapi, kerbau, harimau, banteng, buaya, gajah, kamping, dan
sebgainya yang dipelihara untuk wisata
kunjungan.
Flora dan fauna
adalah ciptaan Tuhan. Oleh karena itu, wajib kita lestarikan dan bersyukurlah
karena Indonesia diberi kekayaan flora dan fauna yang berlimpah ruah sehingga
dapat memakmurkan rakyatnya.
b. Sosial
– Masyarakat Kelompok
Manusia sebagai
makhluk sosial tidak akan bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Bagaimanapun
keadaannya dan kemampuannya pasti memerlukan bantuan oranglain, misalnya peristiwa
melahirkan, perkawinan, khitanan, dan kematian.
Hubungan manusia
dengan manusia dalam masyarakat ataupun kelompok harus selaras, serasi, dan
seimbang. Kita harus saling menghormati, menghargai, dan tolong–menolong untuk mencapai kebaikan. Jika mampu bantulah
orang miskin dan yatim piatu sesuai dengan ajaran agama yang dianaut. Jika
masyarakat membangun sebuah rumah ibadah ataupun sarana umum lainnya, kita
perlu membantu dengan gotong–royong dan rasa ikhlas.[23]
[1] A. W. Munawwir, Kamus Al Munawwir Arab –
Indonesia Terlengkap (Jakarta: Pustaka Progresif, 1997), h. 364.
[12]
Ahmad ibn Hambal, Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, jilid II (Kairo: Muassasah
Qurtubah, t.t.), h. 381
[17]
Nurul
Zuriah, Pendidikan Moral & Budi
Pekerti Dalam Perspektif Perubahan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008) hal.76