Kitab Maha Nidessa dari India pertengahan abad ke-3 SM sudah menyebut Jawa. Ramayana karya Valmiki yang kemungkinan ditulis pada abad ke-4 SM dan abad ke-2 SM, menerangkan tentang Pulau Jawa yang disebut sebagai Yavadvipa (Pulau Jelai dalam bahasa Sansekerta) dengan tujuh kerajaan. Sebuah laporan Cina, Nan zhou i wou chih yang ditulis oleh Wan Zhen (222-280 M) menyebut tentang gunung-gunung berapi di Si-tiao, tanah yang subur, dan penduduknya memakai pakaian dari kulit kayu. Yang dimaksud dengan Si-tiai hampir pasti Pulau Jawa. Geographia karya Ptomely, seorang astronom Yunani dari Alexandria yang hidup sekitar tahun 100 M, mengisahkan tempat yang disebut labadiou. Sebutan ini mungkin dari kata Yavadivu, bahasa prakit untuk Yavadvipa.
Penemuan
cetakan tanah untuk pengecoran logam di beberapa situs daerah Bandung dan
Pejaten, Jakarta bagian selatan membuktikan bahwa orang Jawa sudah mampu
membuat atau memproduksi logam pada masa proto-sejarah (200 M – 600 M). Pada
masa ini kerajaan pertama yang diketahui di Indonesia ialah kerajaan Salakanagara
(130 M – 362 M) yang merupakan cikal bakal kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat.
Jenis
artefak logam berbahan perunggu di Indonesia yang terkenal ialah nekara besar
dan dinamakan nekara Dong Son diduga diimpor setelah tahun 200 M dari
pusat-pusat kebudayaan Dong Son di Vietnam Utara. Nekara-nekara ini ditemukan
di sepanjang rangkaian pulau Sunda, dari Sumatera melalui Jawa ke Nusa Tenggara
dan mencapai Kepulauan Kai dekat Irian Jaya (Papua). Ada juga Nekara yang
ditemukan dari Kalimantan. Nekara digunakan sebagai tanda kebesaran raja atau
kepala suku yang ingin berkumpul dengan kalangan elit dari berbagai negara
lain. Selain Nekara, artefak lain yang diperkirakan dibuat pada masa ini di
pulau Jawa ialah berbagai kapak corong dengan bentuk ekor walet, bejana dari
Kerinci, Lampung dan Madura serta kapak upacara yang berukiran corak geometris
dan figuratif yang berasal dari pulau Roti.
Teknologi
pengolahan logam tentunya tidak melulu tentang teknik cetak lilin buang (a cire
perdue) yang digunakan untuk mencetak nekara, namun ada juga teknik tempa lipat
untuk membuat keris. Dalam buku-buku tentang keris dikenal masa kadewatan,
yaitu salah satu periodisasi dalam dunia perkerisan di Pulau Jawa. Sebagian
pecinta keris menganggap zaman Kadewatan adalah imajiner, tidak nyata dan tidak
pernah nyata. Sebagian buku-buku kuno yang memuat tentang keris, seolah memberi
gambaran bahwa keris itu asal mulanya adalah senjata para dewa, dan dibuat oleh
empu-empunya kahyangan (Ensiklopedi Keris, 2011). Sebagian pecinta keris
menganggap bahwa era Kadewatan adalah zaman tertua dalam periodisasi keris.
Namun ada juga yang menganggap bahwa zaman tertua dalam periodisasi keris ialah
zaman Kabudan. Kabudan ialah salah satu periodisasi dalam dunia perkerisan di
Pulau Jawa. Sebagian pecinta keris menganggap zaman Kabudan berlangsung antara
abad ke-6 sampai 9 atau 10, yakni sezaman dengan pembangunan Candi Borobudur
sampai dengan awal zaman Kahuripan. (Ensiklopedi Keris, 2011). Dari pengertian
kedua zaman tersebut dapat disimpulkan bahwa zaman Kadewatan berlangsung
sebelum zaman Kabudan, jadi sebelum abad ke-6.
Penyebutan zaman pada dunia perkerisan
memang tidak sama dengan penyebutan zaman pada periodisasi kerajaan di
Indonesia.
Jika
zaman Kadewatan itu berlangsung sebelum abad ke-6, maka kerajaan-kerajaan yang
tercatat dalam sejarah di Pulau Jawa pada masa itu ialah Salakanagara (130-362),
Tarumanagara (358–669), Kendan (536–612). Pada masa itu empu-empu yang terkenal
ada beberapa yaitu :
1. Empu Ramahadi atau juga disebut empu Ramadi.
Beliau
hidup di zaman Jawa Kanda (sekitar tahun 125). Dalam cerita rakyat beliau
dianggap sebagai salah satu empu ketuunan dewa. Karyanya berupa 3 keris yang
diberi nama : Sang Lar Ngatap, Sang Pasupati dan Sang Cundrikarum.
2.
Empu Sakahadi atau
juga disebut empu Iskadi.
Beliau
hidup di zaman Medang Siwandata dan mengabdi pada prabu Dewakenanga. Beliau
dititahkan untuk membuat keris yang sakti. Dalam satu tahun empu Sakahadi
berhasil mewujudkan keinginan sang prabu. Keris ciptaannya dinamakan Sang
Jalakdinding atau disebut juga Sang Jalakjinjing. Keris ini diciptakan sekitar
tahun 216. Ketenaran sang empu Sakahadi membuat sang Prabu membunuhnya.
3.
Empu Sukmahadi.
Hidup
di sekitar tahun 230 (zaman Tulyanto) dan menetap di Jawa Timur. Beliau
membabar satu pusaka saja yang diberi nama Sang Kala Hamisani. Setelah
menciptakan (istilah dalam perkerisan : membabar) pusaka tersebut, beliau tidak
lagi mau menjadi empu, sebab memiliki firasat bahwa karyanya pasti merenggut
nyawa orang lain. Oleh sebab itu beliau memilih untuk mengasingkan diri ke
pulau Bali mendekati puncak gunung Merbuk.
4.
Empu Bramakedali
Beliau
hidup di zaman Medang Kamulan, sekitar tahun 261. Karyanya ada 2 bilah pusak
yang diberi nama Sang Balebang dan Sang Tilam Upih. Konon empu Bramakedali
kurang senang dengan Sang Tilam Upih hingga pusaka tersebut dibungkus dengan
klaras (daun pisang) kemudian dilarung di Laut Selatan.
5.
Empu Saptagati
Beliau
hidup di zaman Gilingwesi (sekitar tahun 165) bersama Prabu Naradigda. Beliau
membabar 3 bilah pusaka yang diberi nama : Sang Jaka Serang, Sang Supana Sidik,
dan Sang Jantra. Beliau mencapai umur lebih dari 100 tahun dan meninggal
sekitar tahun 265.
6.
Empu Pujagati
Beliau
hidup pada zaman negeri Purwacarita, sekitar tahun 418. Ada 2 pusaka yang belia
ciptakan yaitu : Sang Supanaluk (sempana luk), Sang bango Dholog.
7.
Empu Sanggagati
Beliau
hidup di negeri Purwacarita sekitar tahun 420. Empu tersebut merupakan murid
dari empu Pujagati yang dipercaya untuk meneruskan bakat sang guru. Setelah
empu Pujagati meninggal dunia, barulah empu Sanggagati berani menciptakan keris
buatannya sendiri. Keris ciptaannya ada dua bilah yaitu keris yang memiliki
lekuk atau luk dinamakan Sang Karagan dan keris yang lurus dinamakan Sang Setan
Kobar.
8.
Empu Dewayasa I
Beliau
hidup di zaman negeri Wiratha, atau ada yang menyebut negeri Japara sekitar
tahun 522. Ada 3 pusaka yang beliau ciptakan yaitu : Sang Ron Bakung, Sang
Yuyurumpung dan Sang Dadapngerak. Empu Dewayasa diperkirakan berasal dari
negeri Jambudwipa (India).
9.
Empu Dewayasa II
Beliau
hidup di zaman Purwacarita ketiga, beliau merupakan cucu dari empu Dewayasa
yang pertama, beliau menciptakan 3 bilah keris pusaka yang bentuknya sama
persis dengan pusaka buatan empu Dewayasa I. Pusaka tersebut dibuat secara
bersamaan, namun penamaannya yang berbeda dari nama pusaka buatan empu Dewayasa
I. Adapun keris pusaka buatan empu Dewayasa II ialah : Sang Carubuk, Sang
Kebolajer, dan Sang Kabor.
Istilah
penyebutan zaman pada buku-buku mengenai keris memang tidak sama dengan
penyebutan zaman untuk periodisasi kerajaan di Indonesia. Namun jika merujuk
pada penulisan tahun yang hampir semua buku tentang keris tidak ada perbedaan,
maka bisa jadi Masa Kadewatan itu bukanlah sebuah zaman yang bersifat imajiner
(khayal). Karena bisa jadi simbolisasi raja sebagai keturunan dewa yang
dicampur dengan naskah-naskah pada kitab suci yang menyebabkan kerancuan antara
fakta dan fiksi. Sebagai contoh ialah patung siwa yang diletakkan di dalam
candi-candi Hindu. Patung dewa siwa itu merupakan perlambang dari Raja yang
didharmakan pada candi tersebut. Pengetahuan tentang dewa-dewa tentu saja
berdasarkan dari kitab suci. Sedangkan raja adalah manusia yang dianggap
memiliki kekuatan seperti dewa, karena bisa jadi seorang raja memiliki jabatan
tertinggi dalam suatu kekuasaan, memiliki kewibawaan, kekuatan dan sifat-sifat
superior yang lainnya oleh karena itu ia bisa bertindak seolah-olah seperti
dewa. Atau mungkin sifat-sifat dewa itu dimiliki oleh raja, sehingga ada
anggapan bahwa raja itu adalah titisan dari dewa. Konsep Dewaraja inilah yang
menyebabkan keris pada zaman Kadewatan seolah-olah bersifat imajiner, saya
ambil contoh kisah tentang keris buatan empu Saptagati yang dibuat sekitar
tahun 265, raja yang menitahkan ialah Maha Raja Buda Kresna di Purwacarita,
riwayatnya yaitu : ketika raja Budawaka diperangi oleh raja Berawa di hutan
Tulyan, raja Budawaka dengan hulu balangnya kalah, lalu lari menuju ke tanah
Prayangan. Di hutan Medanggili, raja Budawaka berhenti dan bersemayam disitu.
Negeri Medanggili dipindah nama menjadi Gilingwesi. Raja Berawa kemudian
menjadi raja di negeri Medangkamolan. Sang Hyang Wisnu menjelma di Madyapada
yang kedua kalinya dan menjadi raja di Medangkamolan, raja Berawa dititahkan
merajai semua lelembut (makhluk halus atau jin). Raja Berawa selalu menurut
segala perintah Sang Hyang Wisnu, lalu Sang Hyang Wisnu berganti nama menjadi
raja Budakresna, negeri Medangkamolan dipindah juga menjadi negeri Purwacarita.
(Kitab Klasik Tentang Keris, 2009).
Penyebutan negeri Medangkamolan (ada
yang menyebut Medang Kamulan) pada cerita di atas tidak sama dengan penyebutan
Medang pada periodisasi kerajaan di Indonesia. Cerita di atas terjadi sekitar
tahun 265, sedangkan kerajaan Medang dalam periodisasi kerajaan di Indonesia
terjadi sekitar tahun 752–1006.
Ini sedikit ulasan saya tentang zaman
Kadewatan pada periodisasi keris di pulau Jawa, bagaimanapun juga periodisasi
kerajaan di Indonesia merupakan bagian yang sangat penting dalam membentuk
suatu peradaban dan kebudayaan sebuah bangsa. Bisa jadi masa proto-sejarah di
Indonesia adalah suatu keniscayaan dimana sejarah tentang perkerisan di
Indonesia diawali.
Bahan
bacaan :
1.
F.L. Winter (Kitab
Klasik Tentang Keris, 2009)
2.
Koesni (Pakem
Pengetahuan Tentang Keris, 1979)
3.
Bambang Harsrinuksmo
(Ensiklopedia Keris, 2011)
4.
Prasida Wibawa
(Pesona Tosan Aji, 2008)
5. Dr. John Miksic ( Seri Indonesian Hertage : Sejarah Awal,
2002)
http://www.vikingsword.com/ethsword/maisey/
http://www.vikingsword.com/ethsword/maisey/