Menggunakan ijazah palsu masuk ke dalam kategori bentuk kejahatan pemalsuan surat. Perbuatan ini berisiko dijerat dengan UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP baru), yang mengatur larangan penggunaan ijazah dan gelar akademik palsu. Larangan tersebut mencakup pembuatan, penerbitan, dan penggunaan ijazah serta gelar akademik palsu.
KUHP baru turut memberikan sanksi penjara dan denda terhadap pelanggaran tersebut. Pasal 272 ayat (1) KUHP baru menyatakan, setiap orang yang memalsukan atau membuat palsu ijazah atau sertifikat kompetensi dan dokumen yang menyertainya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.
Berikutnya, KUHP baru turut melarang penggunaan sertifikat kompetensi palsu, gelar akademik palsu, profesi palsu, atau vokasi palsu. Pelaku akan dikenakan ancaman hukuman penjara maksimal enam tahun atau denda Rp500 juta.
Pemalsuan ijazah juga dapat dijerat dengan pasal pemalsuan surat, sebagaimana dituangkan dalam Unsur Pidana dan Bentuk Pemalsuan Dokumen Pasal 263 KUHP. Pasal tersebut menyebutkan sebagai berikut:
barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian
Jika dilihat dari objek yang dipalsukan yang berupa surat, maka dapat diartikan luas. Salah satunya adalah ijazah yang merupakan bagian dari surat yang berhubungan dengan aktivitas masyarakat sehari-hari.
Pemalsuan ijazah dapat dimasukkan sebagai bagian dari tindak pidana pemalsuan surat, hal ini dikarenakan pengertian ijazah yang terdapat dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Pasal 42 ayat (4) UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang menyatakan Perseorangan, Organisasi, atau Penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak, dilarang memberikan ijazah.
Kemudian Pasal 93 UU Pendidikan Tinggi menyatakan Perseorangan, Organisasi, atau Penyelenggara Pendidikan Tinggi yang melanggar Pasal 28 ayat (6), (7), dan Pasal 42 ayat (4) dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda Rp1 miliar.
R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan bahwa yang diartikan dengan surat adalah surat yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis dengan mesin tik dan lain-lain.
Lebih lanjut dalam buku tersebut menyatakan, yang dihukum menurut pasal ini tidak hanya memalsukan tetapi juga sengaja. Maksudnya adalah orang-orang yang menggunakan itu harus mengetahui dengan benar bahwa surat yang digunakannya itu adalah palsu.
Penggunaan ijazah memiliki aturannya sendiri di dalam UU Sisdiknas. Pengaturan secara khusus mengenai pemalsuan ijazah dalam UU Sisdikans menyatakan, pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana pemalsuan ijazah yang dapat dipertanggungjawabkan adalah orang yang dalam keadaan sehat dan tidak terganggu jiwanya, selain itu mereka yang membantu memberikan ijazah juga harus mempertanggungjawabkannya.
Dalam Pasal 69 ayat (1) UU Sisdiknas mengatur bahwa setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp500 juta.
Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/a/sanksi-bila-terbukti-menggunakan-ijazah-palsu-lt655e87d05a660/?page=all