BUNGA UNTUK IBUKU 29

 BUNGA UNTUK IBUKU  29

(Tien Kumalasari)

 

Baskoro merasa dadanya bak dipukul oleh ribuan palu. Ia sudah tahu apa yang didengar Rusmi sehingga dia menjerit histeris. Pasti Hasti mengatakan kepada ibunya tentang kehamilannya. Bagaimana kalau Hasti tetap menuduh dia yang menghamilinya, sementara dia tidak yakin bahwa bayi yang dikandung Hasti adalah anaknya? Harus dengan perjuangan untuk meyakinkan Rusmi bahwa bukan dia pelakunya, atau tepatnya adalah, bukan hanya dia pelakunya.

“Apaaaa?” terdengar Rusmi menjerit lagi, dan kali ini Rusmi menatap Baskoro dengan pandangan tajam.

“Kamu pulang sekarang. Pulang! Dasar anak gembel, tidak tahu diuntung,” gerutu Rusmi sambil membanting ponselnya. Lalu ia menatap lagi Baskoro. Baskoro kelimpungan. Ia pasti menolak. Tapi Rusmi belum mengucapkan apapun. Sebenarnya Baskoro agak tertegun ketika mendengar bahwa Hasti anak gembel. Bukan anaknya? Tapi Baskoro belum menanyakannya. Ia sedang fokus kepada tuduhan Hasti bahwa dia pelakunya.

“Mengapa menatap aku seperti itu?”

“Kamu memang laki-laki brengsek!” makinya.

“Hasti bilang apa?”

“Dia hamil. Kamu pelakunya!” katanya sambil menatap Baskoro sengit.

“Bukan.”

“Kamu mau mengelak?”

“Bukan begitu. Ketika saya tidur dengan dia, dia sudah tidak perawan,” katanya gemas.

“Apa?”

“Itu benar. Apakah kamu yakin, yang dikandung adalah anakku?”

“Tapi kamu melakukannya juga kan? Sudah berapa kali? Berapa kali kalian main di belakangku? Membohongiku?” Rusmi lagi-lagi berteriak. Keinginan merebut kekuasaan di perusahaan suaminya gagal, dan sekarang Hasti menambahkan beban memalukan itu keatas kepalanya.  Rusmi benar-benar merasa sudah jatuh tertimpa tangga. Ini lebih menyakitkan. Apa yang harus dilakukannya? Menambah malu dengan memiliki cucu tanpa ada bapaknya? Tidak, bayi itu bukan cucunya.

Rusmi melangkah keluar dari kamar. Turun ke ruang tengah, menunggu kepulangan Hasti.

Baskoro mengikutinya dengan wajah lesu. Lalu duduk di samping Rusmi. Tapi kemudian Rusmi pindah duduk di sofa yang lain. Seakan jijik berdekatan dengan laki-laki yang telah menggauli anaknya entah sudah berapa kali.

“Aku minta maaf.” kata Baskoro lirih.

Sesungguhnya yang dipikirkan Baskoro adalah kehidupannya sendiri nanti. Dia sudah dipecat, dan Rusmi bukan lagi menjadi wanita yang bisa memanjakannya. Tampaknya perusahaan juga tak akan peduli pada nasib Rusmi karena tuduhan melanggar susila yang ditujukan kepada dirinya, pasti imbasnya akan ke Rusmi juga. Terbayang olehnya wajah Suri. Perempuan cantik yang dengan segala ketulusan melayaninya, kemudian terpaksa meninggalkannya. Pasti karena merasa tak dicintai. Pastilah karena kebohongan demi kebohongan yang diciptakannya telah membuatnya semakin curiga. Bukankah Suri pernah menemukan bajunya yang berlepotan lipstik? Dan wangi yang menempel adalah parfum perempuan yang digunakan Rusmi? Ternyata Suri tak sebodoh yang dibayangkannya. Sekarang Baskoro tiba-tiba ingin mrncari tahu, dimana gerangan Suri berada,

Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di halaman. Lalu terdengar langkah-langkah memasuki rumah. Hasti mendekat dengan wajah lusuh dan mata sembab. Rusmi menatapnya dengan mata menyala.

“Ibu ….” tiba-tiba Hasti menubruk ibunya sambil menangis. Tapi Rusmi mendorongnya sehingga Hasti jatuh terjengkang. Baskoro terkejut melihat kelakuan Rusmi. Kepada anaknya sendiri, dia begitu tega?

“Bocah sialan. Tahu begini, dulu aku tidak sudi mengangkatmu dari comberan. Dasar anak gembel, tetaplah gembel!” hardiknya.

“Ibu, maafkan Hasti.”

“Jangan memanggil aku ibu, aku bukan ibumu.”

Bukan hanya Hasti yang terkejut. Baskoro pun terkejut. Karena sebuah kesalahan, seorang ibu tidak mau mengakui anaknya sebagai anak? Bahkan merendahkannya sampai mengatakan ucapan buruk dan kasar?

“Aku khilaf Bu,” tangisnya dengan berusaha mendekat dan menubruk pangkuan ibunya, tapi lagi-lagi Rusmi mendorongnya.

 “Ibu ….” Hasti menangis pilu.

“Aku bukan ibumu. Dengar, dulu aku memungutmu dari jalanan. Biarpun kamu anak dari kakak kandungku, tapi kalian miskin sehingga hidup dijalanan. Aku memungut kamu dan Nilam yang masih bayi, lalu mengangkatmu sebagai anak. Apa kamu sudah lupa? Kamu anak kecil berumur lima tahunan lebih waktu itu. Kamu tidak mengingatnya? Lalu ibumu mati karena penyakit parah yang dideritanya. Kamu lupa? Sekarang minggatlah dari hadapanku.”

Baskoro benar-benar terkejut. Ternyata Hasti dan Nilam bukan anak kandungnya? Pantas saja ia tak peduli ketika Nilam pergi, dan sekarang tak sudi menanggung beban yang dibebankan oleh Hasti dengan hamil sebelum menikah.

Hasti masih ngelesot di lantai. Terbayang ingatan di kepalanya, ketika ia bersama adiknya yang masih bayi, dibawa oleh Rusmi yang sebenarnya adik kandung ibunya, tapi bernasib lebih baik karena bekerja di sebuah toko, dan memiliki seorang suami yang menjadi pegawai kantoran. Rusmi dan suaminya menerima Hasti dan Nilam karena wajah mereka bersih dan cantik, sedangkan mereka belum dikaruniai anak. Tapi tak lama kemudian ibu angkatnya menjadi janda karena suaminya meninggal dalam sebuah kecelakaan.

Beruntung ketika beberapa tahun kemudian, seorang duda yang pengusaha kaya tertarik kepada ibu angkatnya dan mengambilnya sebagai istri. Waktu itu Nilam baru masuk SD dan dia belum sampai menyelesaikannya.

Pak Raharjo, suami ibu angkatnya itu mengasihi mereka seperti kepada anak kandungnya sendiri. Tapi sebaliknya, sang ibu tidak bisa mengasihi Wijan yang anak tiri. Bertahun-tahun dia dan ibu angkatnya menyiksa Wijan saat Raharjo tak ada di rumah.

Hasti ingat sekarang pada perjalanan hidupnya. Memang benar dirinya dulu gembel yang dipungut Rusmi dari jalanan. Tapi Hasti tak mengira, ketika dia membutuhkan perlindungan, sang ibu angkat yang semula mengakuinya sebagai anak, kemudian mencampakkannya seperti sampah.

Hasti terguguk sambil masih bersimpuh di lantai.

“Kamu tuli? Pergi dari sini!! Aku tidak mau bebanku bertambah dengan persoalan kamu!”

Baskoro yang semula diam, merasa iba melihat Hasti terguguk di lantai, sedangkan ibunya mengusirnya.

“Jangan begitu, Bu. Kasihan dia,” katanya pelan.

Tapi mendengar Baskoro berkata-kata, kemarahan Rusmi memuncak. Tak bisa dipungkiri dia menyukai Baskoro. Tak rela Baskoro menaruh perhatian kepada perempuan lain, biarpun dia adalah ‘anaknya’.

“Apa kamu bilang? Kasihan? Lalu kamu mau apa? O, mau menikahi dia? Silakan, dia mengaku bahwa kamu yang menghamilinya kok. Pergilah kalian berdua. Pergi!!”

Ucapan itu seperti mempersilakan, tapi nadanya berasa ancaman.

“Mas, tolong aku Mas, ini anakmu,” kata Hasti setelah melihat Baskoro membelanya. Tapi Baskoro memalingkan wajahnya.

“Tidak, bukan aku. Kamu bergaul dengan banyak lelaki. Mengapa aku kamu korbankan?”

Rusmi ingin mengatakan bahwa semua itu harus dibuktikan dengan tes DNA, tapi bukankah biayanya mahal? Dia harus memperhitungkan kehidupannya kelak. Pak Rangga sudah mengatakan kalau tunjangan untuknya akan dihentikan, lalu apa yang harus dilakukannya? Uang yang tinggal seberapa harus dihematnya. Rusmi sudah merasa ngeri membayangkan hidup miskin. Mana berani dia membayar biaya untuk tes DNA?

Rusmi begitu kalut, bertumpuk masalah membebani pikirannya, membuatnya tak bisa berpikir jernih. Seharusnya dia juga tak ingin membuka rahasia yang sudah disimpannya bertahun-tahun, dan sudah menganggap keponakannya adalah anaknya sendiri. Tapi dalam pikirannya yang gelap, kemudian semuanya meluncur begitu saja. Ia bahkan bersikeras mengusir Hasti dari rumah.

“Kamu tidak segera pergi? Kamu tuli? Kamu tidak mendengar aku berkata-kata? Dahulu aku hidup tanpa kamu tanpa Nilam, dan sekarang mengapa kamu harus membebani aku? Pergi!! Pergiii!!” Rusmi berteriak semakin keras.

Rusmi mengambil dompetnya, mengeluarkan sejumlah uang yang kemudian dilemparkannya ke arah Hasti.

“Pergi dan gugurkan kandungan kamu!” katanya tandas.

Hasti yang tak pernah berhenti mengalirkan air mata, tak lagi bisa berharap banyak. Karena merasa membutuhkan, ia meraup uang yang tersebar, dimasukkannya ke dalam tas tangannya, kemudian bangkit. Sebelum melangkah keluar rumah, ia menoleh ke arah Baskoro. Tapi Baskoro tak berani menatapnya. Hidupnya masih harus bergantung pada Rusmi, dan Baskoro, yang laki-laki gagah dan garang di ranjang, ternyata hanyalah seorang pengecut.

“Jangan bawa mobilnya!” teriak Rusmi ketika melihat Hasti mendekati mobil. Hasti dengan segera melemparkan kunci mobil ke arah teras, kemudian berlalu.

***

Baskoro duduk terpaku di kursinya. Tak tahu harus berbuat apa. Berkali-kali dia meminta maaf, tapi Rusmi mengacuhkannya. Kenyataan bahwa Baskoro sering berduaan dengan Hasti, membuat hatinya sakit. Ia membiarkannya saja ketika Baskoro merapikan kamar yang berantakan, bahkan ada pecahan botol yang entah isinya apa, pecah berserakan di lantai. Ia membersihkannya seperti seorang pembantu, hanya karena ingin agar Rusmi mengasihaninya. Pembantu yang ditemukan Rusmi setelah bibik pergi, tidak bisa datang setiap hari karena dia bekerja di beberapa tempat, Itu sebabnya Baskoro melakukan semuanya.

Ketika selesai bersih-bersih, Baskoro turun lagi ke bawah dan melihat Rusmi sedang berbaring di sofa. Baskoro bisa merasakan betapa berat beban yang dipikul Rusmi, ketika menyadari bahwa dia nyaris tak punya apa-apa. Harapan yang dirangkai untuk hidup bersama dalam gelimang harta, jatuh berderai menjadi kepingan-kepingan asa tak bernilai.

Baskoro mendekat pelan. Rusmi bergeming, tapi dia menatapnya ketika Baskoro duduk di bawah sambil memijit kakinya.

“Apa kamu mau makan sesuatu?”

“Tidak,” Rusmi menjawab pelan. Tapi kemudian dia duduk lalu merapikan rambutnya yang tergerai sebatas pundak.

“Semuanya menjadi kacau,” keluhnya.

Baskoro ke belakang lalu kembali dengan segelas air dingin, yang kemudian diulurkannya pada Rusmi.

“Aku tidak mengira, Hasti dan Nilam bukan anak kandung kamu,” kata Baskoro hati-hati.

“Aku kelepasan bicara,” kata Rusmi penuh sesal.

Ia meneguk segelas air putih yang disodorkan Baskoro.

“Aku mandul.”

Baskoro menatap Rusmi tak percaya.

“Itu sebabnya aku memungut keponakan aku yang orang tuanya miskin. Tapi mereka sudah meninggal semua. Aku berharap hidupku menjadi hangat dengan adanya mereka. Tapi ternyata keduanya membuat aku kecewa. Dan akhirnya memang lebih baik mereka pergi.”

Baskoro hanya diam, tak tahu harus mengatakan apa.

“Kita lupakan dulu masalah itu. Aku sedang memikirkan hidupku selanjutnya. Kita tak akan bisa seperti dulu lagi,” katanya lirih.

Karena pikirannya dipenuhi oleh pikirannya yang kacau, maka Rusmi melupakan kemarahannya pada Baskoro.

***

Beberapa hari telah berlalu. Hari itu pak Rangga mendapat kabar bahwa Barno yang masih ditahan menderita sakit keras, dan harus dirawat di rumah sakit. Istri Barno, bu Rini yang mengabari ke kantor sambil menangis.

“Apakah sakit pak Barno parah Bu, kata dokter sakitnya apa?” tanya pak Rangga.

“Katanya sakit lever dan sudah parah Pak, sebenarnya sudah lama dia mengeluh perutnya sering mual dan sakit. Tapi tidak pernah mau pergi ke dokter.”

“Nanti saya dan beberapa karyawan akan menjenguknya,” janji pak Rangga, yang memiliki hati sebaik pak Raharjo.

“Sebenarnya ada hal penting yang ingin dia  katakan. Ini adalah pesan dari bapaknya anak-anak, bahwa sebelum meninggal dia harus mengatakannya,” kata bu Rini disertai isak.

“Pak Barno sudah dirawat, Ibu tidak usah khawatir, dia pasti akan sembuh. Mati dan hidup manusia itu ditangan Allah. Ya kan Bu,” hibur pak Rangga.

“Pesan apa yang ingin dikatakan pak Barno?” lanjutnya.

“Katanya ia ingin mengatakannya kepada pak Rangga sendiri.”

 “Oh, begitu. Baiklah, saya akan secepatnya menemui dia. Mungkin hari ini.”

Terima kasih Pak. Dia juga berpesan, kalau saya ke rumah sakit dan bisa ketemu Bapak, maka saya harus membawa sebuah bungkusan yang disimpannya di almarinya.”

“Bungkusan apa itu?”

“Saya tidak tahu, karena saya belum melihatnya. Kalau bisa, maaf, kapan Bapak mau ketemu suami saya, supaya saya bisa membawa bungkusan itu ke rumah sakit.”

“Baiklah. Sebelum jam istirahat saya akan memerlukan kesana.”

“Terima kasih Pak, saya permisi. Saya akan pulang dan mengambil bungkusan itu sekarang.”

Pak Rangga mengangguk. Sebelum pulang ia memberikan sejumlah uang untuk bu Rini, yang semula ditolak, tapi pak Rangga mamaksanya.

Pak Rangga yang penasaran, segera mengajak salah seorang anak buahnya untuk ikut bersamanya ke rumah sakit. Pesan apa dan  bungkusan apa yang akan diberikan kepadanya.

***

Pak Rangga terharu melihat wajah Barno yang sangat pucat. Begitu melihat pak Rangga datang, Barno menyalaminya dengan air mata berlinang.

“Jangan sedih, Barno, kamu dirawat untuk sembuh. Semangat ya, dan jangan lupa berdoa. Kami teman-teman kamu akan ikut mendoakan untuk kesembuhan kamu.”

“Terima kasih Pak.”

“Sebenarnya apa yang ingin kamu katakan? Tadi istri kamu datang ke kantor.”

“Saya yang menyuruh Pak, bukan karena ingin dijenguk pak Rangga, tapi karena ada sesuatu yang ingin saya katakan.”

“Baiklah, katakan apa yang akan kamu katakan.”

“Saya ingin mengatakan, bahwa kecelakaan itu sebenarnya memang saya sengaja.”

Pak Rangga terkejut.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

Previous Post Next Post