BUNGA UNTUK IBUKU 27

 BUNGA UNTUK IBUKU  27

(Tien Kumalasari)

 

Hasti merasa kesal. Baskoro mendorongnya, dan berarti berita itu tidak membuatnya senang. Hasti lupa bahwa status Baskoro adalah masih seorang suami, dan sekarang adalah selingkuhan ibunya sendiri. Tentu saja Baskoro kebingungan. Tapi hal itu tidak lama. Baskoro ingat bahwa Hasti tidak hanya berhubungan dengan dirinya. Ditatapnya Hasti tajam. Ada kekesalan di sana.

“Kenapa Mas, ini berita mengejutkan bukan? Tapi kenyataan ini harus kita hadapi bersama,” katanya enteng.

“Apa maksudmu harus kita hadapi bersama?”

“Apa boleh buat, Mas harus bertanggung jawab.”

“Kamu jangan bicara seenak kamu sendiri. Ketika kita berhubungan, kamu sudah tidak perawan. Mengapa aku harus bertanggung jawab?”

“Mas!” Hasti terkejut.

“Siapa saja laki-laki yang berhubungan denganmu. Mengapa aku harus bertanggung jawab?”

“Tapi akhir-akhir ini aku hanya sama Mas. Tidak ada yang lain.”

“Apa aku harus mempercayai kamu?”

“Mas!”

Baskoro berusaha turun dari dalam mobil, tapi Hasti menarik tangannya.

“Mas tidak boleh begitu. Mas harus bertanggung jawab.”

“Silakan bermimpi. Aku tidak sebodoh yang kamu pikirkan.”

Baskoro mengibaskan tangan Hasti, kemudian keluar dari dalam mobil, dan menutup pintunya keras, meninggalkan Hasti yang menangis terisak-isak.

Baskoro menghampiri parkiran dan mencari sepeda motornya. Kesenangan bersama gadis yang membuatnya terlena, yang semula dibayangkannya, musnah sudah. Biarpun tidak mempercayainya, kenyataan bahwa Hasti hamil, telah mengusik perasaannya. Bagaimana kalau benar bahwa itu anaknya? Tapi Baskoro kemudian mengibaskannya.

Ia mengambil sepeda motornya, membayar parkiran kemudian kabur menuju rumah Rusmi. Dibiarkannya Hasti berteriak-teriak dari jendela mobil yang dibukanya. Baskoro terus memacu sepeda motornya.

***

Rusmi sangat senang melihat Baskoro datang lebih cepat dari yang dijanjikannya. Saat itu ia baru saja keluar dari dalam kamar mandi, dan seperti biasa, Baskoro nyelonong begitu saja masuk ke kamar. Rusmi menjerit genit, berharap Baskoro memeluknya dengan penuh gairah. Tapi tidak. Baskoro langsung menuju ranjang dan membaringkan tubuhnya di sana. Bahkan tanpa membuka sepatunya.

Rusmi terkejut. Ia mendekati ranjang dengan hanya memakai handuk membelit tubuhnya. Dengan gerakan memikat, Rusmi berharap Baskoro menyambutnya. Tapi Baskoro bergeming. Hal itu membuat Rusmi kesal.

“Ada apa?”

“Aku sedang banyak pikiran, perempuan memang menjengkelkan,” katanya tanpa menatap Rusmi yang berdiri menantang di sampingnya.

Semangat yang menyala di dada Rusmi menurun tiba-tiba. Ia mengira Baskoro sedih memikirkan istrinya yang kabur beberapa bulan yang lalu.

Ia membalikkan tubuhnya dan mengambil pakaian yang lebih pantas, kemudian duduk di sofa sambil mengurai rambutnya yang masih basah. Aroma wangi menyegarkan memenuhi kamar itu, tapi Rusmi kesal melihat Baskoro tak terpengaruh oleh sambutan yang disiapkannya.

Bahkan bau keringat Baskoro yang biasanya dianggap aroma merangsang yang disukainya, kali ini membuatnya mual.

“Mandilah, dan bicara apa yang terjadi,” katanya dingin.

Baskoro menoleh ke arah sofa, melihat Rusmi duduk dengan santai. Wajahnya  gelap. Baskoro baru sadar bahwa Rusmi tak harus mengetahui persoalan Hasti yang mengganggunya. Ia bangkit, lalu berjalan mendekati Rusmi. Tapi ketika ia duduk di sampingnya, Rusmi mendorongnya.

“Mandilah, bau tubuhmu nggak enak.”

“Tumben nggak enak,” katanya sambil mencium ketiaknya sendiri, lalu meringis karena memang ia berkeringat setelah sejak pagi berkutat di kantornya.

Baskoro mencopot sepatunya, melepas pakaiannya, kemudian beranjak ke kamar mandi. Rusmi memunguti pakaian Baskoro yang berbau tak sedap, memasukkannya ke keranjang kotoran, lalu membawanya keluar. Berbagai pemikiran yang membuatnya kesal memenuhi benaknya.

Yang dipikirkannya hanya satu, Baskoro sedang menyesali kepergian istrinya. Bukankah tadi dia menyebutkan tentang perempuan? Karena itulah ketika kembali masuk ke kamar, wajahnya menjadi gelap.

Ia duduk lagi di sofa, dan tak sedikitpun menatap Baskoro yang keluar dari kamar mandi dengan hanya melilitkan handuk di tubuh bagian bawahnya.

“Mana bajuku?” tanya Baskoro. Ia sudah biasa bertanya seperti itu, karena setiap saat Rusmi sudah menyiapkan baju ganti untuknya.

Rusmi hanya menunjuk kearah tumpukan baju di atas nakas, tanpa mengucapkan apapun. Baskoro memakai bajunya tanpa sungkan saat melepaskan handuk yang melilit di tubuhnya. Rusmi bergeming. Baskoro sadar bahwa kedatangannya tidak menampakkan sikap manis seperti biasanya. Pasti Rusmi tersinggung. Baskoro berusaha mengibaskan perasaan gelisahnya, lalu melangkah mendekati Rusmi, duduk di sampingnya.

“Maaf, aku sedang banyak pikiran,” katanya sambil meraih gelas berisi minuman di depannya.

“Kalau kamu menyesali kepergian istri kamu, jangan datang kemari,” kata Rusmi datar.

“Apa maksudmu? Siapa menyesali kepergian siapa?”

“Bukankah kamu sedang memikirkan istri kamu? Siapa perempuan yang kamu maksud? Istrimu bukan?”

Baskoro tersenyum. Ia menyibakkan rambut Rusmi yang masih basah, dan terjuntai di keningnya.

“Aku bahkan lupa kalau aku punya istri selain kamu,” katanya mencoba merayu.

Dan rayuan itu mengena. Wajah kaku itu memudar.

“Sikap kamu yang menjengkelkan itu, bukan karena istri kamu? Siapa perempuan yang kamu maksudkan?”

“Apa aku menyebutkan ‘perempuan’?”

“Kamu lupa?”

Baskoro menggelengkan kepalanya. Ia ingin mengatakan tentang kehamilan Hasti, tapi diurungkannya. Kalau Rusmi juga menuduh dirinya yang membuat Hasti hamil, bisa gawat.

“Tadi kamu menyebutkannya.”

“Ya ampun, itu perempuan bagian packing di gudang.”

“Jadi … kenapa?”

“Hanya karena pekerjaan.”

“Pekerjaan?”

“Aku capek. Katanya aku kepala gudang, tapi urusanku lebih banyak, karyawan perempuan itu tak bisa membantu,” katanya berbohong. Tak ada alasan yang lebih tepat selain pekerjaan. Ia tak ingin membicarakan Hasti dan kehamilannya. Kalau Rusmi harus tahu, biarlah Hasti sendiri yang mengatakannya.

“Jangan pikirkan pekerjaan. Sebentar lagi akulah penguasa di perusahaan itu, dan tak akan aku biarkan kamu mengerjakan banyak pekerjaan. Kamu adalah tangan kananku, pekerjaan kamu hanyalah membuat aku senang.”

Baskoro tersenyum, berusaha menyembunyikan kegelisahan di hatinya. Kalau benar Hasti mengandung anaknya, habislah dirinya. Ia bisa dikeluarkan dari pekerjaan kalau Rusmi berkuasa, dan ia akan menjadi gembel. Ngeri membayangkan dirinya menjadi gembel, setelah beberapa lamanya menjadi tuan yang dimanjakan.

Lalu kegelisahan itu sirna ketika Rusmi menghidangkan makanan enak, dan lebih daripada itu, seperti keinginan Rusmi, di hari ulang tahunnya harus ada yang istimewa. Keduanya tenggelam dalam lautan maksiat, tanpa Rusmi sadar bahwa Hasti tidak pulang semalaman.

***

Di kantor pada keesokan harinya, pak Rangga marah karena Baskoro kedapatan tidur di kantornya. Maklum, semalaman dia tak tidur. Kecuali itu, pak Rangga yang mencurigai hubungan Baskoro dan bu Raharjo mulai mengadakan penyelidikan. Ketika mendatangi rumah Baskoro, orang suruhan mengatakan bahwa sudah dua bulan Baskoro tidak lagi mengontrak rumah itu.

Lalu diketahuinya bahwa Baskoro tinggal di rumah pak Raharjo.

Masalah itu belum sempat membuat pak Rangga menegurnya. Dan pagi ini dengan kesal ia menggebrag meja, dimana Baskoro menelungkupkan tubuhnya sambil mendengkur.

Braakkkk!

Baskoro terlonjak. Ia mengucek matanya dan dengan terkejut melihat pak Rangga berdiri di depannya sambil menatapnya marah.

“Apa yang kamu lakukan? Akhir-akhir ini banyak hal yang membuatku kecewa atas semua kelakuan buruk kamu.”

“Maaf Pak, semalam saya tidak tidur, karena_”

“Jangan membuat alasan yang tidak bisa saya terima. Banyak yang kamu sembunyikan, dan banyak kelakuan kamu yang membuat aku kecewa.”

“Sungguh saya minta maaf. Banyak yang harus saya lakukan semalam, ada tetangga yang sedang punya gawe, dan saya_”

 “Hentikan omong kosong kamu. Aku sudah tahu apa yang kamu lakukan.”

“Tapi pak….”

“Aku tunggu kamu di ruangan aku,” kata pak Rangga yang kemudian membalikkan tubuhnya, dan keluar dari ruangan Baskoro.

Baskoro terpaku di tempat duduknya. Ia belum pernah melihat pak Rangga semarah ini. Hanya gara-gara dia ketiduran, dan dia tak mau menerima alasan yang dikatakannya?

Dengan enggan Baskoro berdiri, lalu melangkah perlahan ke ruangan pak Rangga. Baskoro benar-benar lelah. Rusmi tak memberinya kesempatan untuk tidur semalaman, dan ketika kemudian kantuk tak bisa ditahannya, hari sudah menunjukkan pukul tujuh lewat.

Baskoro melompat ke kamar mandi, tak sempat makan sarapan walau sepotong roti pun yang disediakan Rusmi di meja kamar.

Dan kemudian dia benar-benar tak bisa menahan kantuknya setiba di kantor.

Baskoro memasuki ruang pak Rangga, melihat atasannya itu duduk menghadapi laptop dengan wajah kaku.

Tanpa disuruh, Baskoro duduk didepan meja kerja pak Rangga. Kantuknya hilang ketika tadi pak Rangga menggebrak meja kerjanya.

“Kamu tahu apa kesalahan kamu, sehingga aku harus memanggil kamu pagi ini?”

“Karena saya tertidur saat jam kerja, dan itu karena_”

“Bukan hanya itu.”

Baskoro mengangkat wajahnya.

“Ke mana istri kamu?”

Baskoro terkejut. Kenapa tiba-tiba pak Rangga menanyakan di mana istrinya.

“Mengapa dengan … istri saya?” Baskoro berlagak bodoh.

“Aku bertanya, di mana istri kamu.”

“Pastinya dia di rumah, memangnya ada apa?”

“Tidak. Kamu bohong.”

Baskoro mengangkat wajahnya, lalu menundukkannya tiba-tiba. Mata pak Rangga sangat tajam menghunjam perasaannya. Ada apa ini?

“Rumah kontrakan kamu sudah ditempati orang lain.”

Baskoro terkejut. Sejauh apa pak Rangga mengetahui kehidupannya?

“Di mana istri kamu?”

Baskoro menghela napas. Apapun yang terjadi, dia harus berterus terang, karena berbohong memang tidak ada gunanya. Bukankah hanya soal istrinya?”

“Istri saya sudah pergi dari rumah. Tapi saya tidak tahu kemana dia pindah.”

“Bagus sekali. Istri pergi dan suami tidak tahu ke mana dia pergi? Apakah kamu juga tidak tahu penyebab dia pergi?”

Baskoro menggelengkan kepalanya.

“Entahlah. Dia menuntut sangat banyak. Gaji kurang, atau … entahlah.”

“Lalu kamu sekarang tinggal di mana?” pak Rangga sudah tahu, tapi dia pura-pura menanyakannya.

“Saya … menyewa di sebuah rumah,” katanya tanpa berani menatap atasannya.

“Menyewa … atau gratis?”

“Saya ….”

“Aku sudah tahu kamu tinggal di mana, dan apa yang kamu lakukan. Apa kamu juga tahu, dimana Wijan?”

“Wijan … bukankah dia pergi setelah pak Raharjo mengalami kecelakaan? Sampai sekarang kami tidak tahu ke mana perginya.”

“Dan Nilam?”

“Dia juga pergi. Saya … tidak tahu, sebaiknya Bapak menanyakannya pada bu Raharjo,” kata Baskoro. Ia punya keyakinan, bahwa Rusmi mempunyai kekuasaan di perusahaan ini, yang memang belum diurusnya. Jadi mana mungkin pak Rangga akan berani menekan calon majikan barunya?

“Baiklah. Sekarang kamu boleh kembali ke ruangan kamu. Sudah saatnya aku juga bicara pada bu Raharjo.”

Pak Rangga mempersilakan Baskoro kembali ke ruangannya. Ia ingin segera mengatakan kepada Rusmi tentang apa yang dikatakan pak Raharjo, tapi bukan di ruangannya. Barangkali nanti, saat istirahat, ketika banyak waktu luang untuk bertelpon.

***

Rusmi sedang berusaha menelpon Hasti yang semalam tidak pulang ke rumah. Bahkan di siang hari itupun, Hasti belum tampak batang hidungnya. Tapi rupanya Hasti mematikan ponselnya.

Rusmi mencobanya berkali-kali, tapi tidak berhasil. Ia membanting ponselnya, dan terkejut ketika ponsel itu berdering. Ada sebuah panggilan masuk, dari Baskoro? Rusmi cemberut saat menerima panggilan itu, pasti Baskoro akan mengatakan bahwa dia akan lembur lagi.

“Ada apa?” jawabnya kesal.

“Kok jawabannya kaku begitu?”

“Aku sedang kesal. Hasti sampai sekarang belum pulang. Ponselnya mati, tidak bisa dihubungi. Kamu mau mengatakan bahwa kamu mau lembur lagi?”

Baskoro terdiam. Ia teringat kembali tentang kehamilan Hasti. Kenapa Hasti tidak pulang? Tapi Baskoro belum ingin bicara tentang Hasti. Ia harus mengatakan tentang pembicaraannya dengan pak Rangga.

“Kamu ingin mengatakan bahwa kamu mau lembur lagi, kan?” ulangnya.

“Tidak. Tadi pak Rangga memanggil aku ke ruangannya.”

“Kenapa?”

Lalu Baskoro mengatakan semuanya. Bahwa kelihatannya pak Rangga mencurigai hubungan dirinya dengan Rusmi. Kepergian Wijan dan Nilam juga ditanyakannya.

Rusmi mengerutkan keningnya. Ia merasa bahwa sudah saatnya dia menguasai perusahaan suaminya, setelah dua bulan lebih dia belum juga kembali. Mau atau tidak, pak Rangga harus menganggap bahwa Raharjo sudah mati.

“Kamu tidak perlu khawatir Bas. Aku akan segera ke kantor dan menemui Rangga yang sok berkuasa itu.”

***

Pagi harinya Rusmi datang ke kantor suaminya. Ia berdandan sangat anggun, berpakaian mewah, dan melenggang seperti seorang ratu.

Para karyawan sudah tahu, bahwa dia adalah bu Raharjo, karena pak Raharjo pernah mengajaknya ke kantor pada acara resmi. Mereka yang berpapasan mengangguk hormat sambil menyapa dengan manis.

“Selamat pagi Bu,” sapa nereka bergantian.

Rusmi mengangguk sekilas, tapi dia berjalan dengan angkuh dan tampak tak menghargai semua sapaan itu. Ia masuk ke ruangan suaminya yang tetap tertata rapi, dan duduk di kursi kerjanya. Dengan angkuh pula  dia menyuruh sekretaris agar memanggil pak Rangga ke ruangannya.

***

Besok lagi ya.

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

Previous Post Next Post