BUNGA UNTUK IBUKU 26
(Tien Kumalasari)
Nenek tua itu berdiri menunggu, bertopang pada satu buah tongkat di tangan kanan. Senyuman pada wajah keriput itu mengembang, ketika melihat anak laki-lakinya melangkah mendekati dengan membawa bungkusan.
“Lama sekali Jo, aku sudah sangat khawatir,” katanya ketika si anak merangkul pundaknya, dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.
“Hanya ditinggal sebentar, kenapa khawatir, Mbok?”
“Simbok teringat ketika kamu hanyut di sungai, saat banjir. Semua orang mengatakan bahwa kamu sudah mati, nyatanya kamu bisa simbok temukan, dan masih hidup, biarpun napas kamu sudah kempas-kempis. Kamu memang belum ditakdirkan mati, Jo. Gusti Allah tak mau kalau simbok ini hidup sendirian. Simbok hanya punya kamu. Kalau kamu mati, simbok juga harus ikut mati,” katanya dengan suara yang sedikit pelo, karena mulutnya yang tak bergigi.
“Bejo tidak ingin mati, Mbok, selama Simbok masih hidup, Bejo akan selalu menjaga Simbok.”
“Cah bagus, terima kasih ya. Ayo dimakan. Buburnya mana? Simbok kan tidak bisa makan nasi.”
“Ini Mbok, sudah Bejo sendirikan, makanlah.”
Nenek itu meraih bungkusan bubur, lalu Bejo mengambilkan sendok untuk emboknya. Sendok plastik yang sudah usang, dan sudah berkali-kali dipakai oleh mereka.
“Kenapa kamu tidak makan?” kata simbok ketika Bejo mengusap mulut emboknya yang berlepotan bubur.
“Simbok makanlah dulu, baru nanti Bejo makan.”
“Kamu selalu begitu,” kata simbok sambil meneruskan makannya.
“Besok kamu petik kacang panjang di kebun, serahkan saja pada Sutiyem, biar dia membayar berapa, asalkan cukup untuk kita makan sehari.”
“Iya Mbok.”
“Setelah makan, simbok mau tidur, tapi kamu jangan pergi ke mana-mana,” kata simbok yang tampaknya sangat khawatir kehilangan anaknya. Kejadian dua bulan yang lalu, dimana Bejo anak semata wayangnya hanyut, sangat membekas dalam hatinya. Ketika semua orang mengatakan bahwa anaknya mati dan sudah dikuburkan, simbok menemukan anaknya yang ternyata masih hidup. Terkapar di tepi sungai. Dalam kegembiraan yang meluap, entah dari mana datangnya kekuatan itu, simbok menyeret tubuh Bejo yang jauhnya kira-kira satu kilometer dari sungai ke rumahnya. Rumah gubug yang terpencil dari rumah lainnya.
Simbok merebus air, lalu dengan sebuah lap kumuh, ia membersihkan tubuh Bejo dari kotoran lumpur yang membalut tubuhnya. Ia melepaskan semua baju Bejo dan menggantikannya dengan yang bersih.
“Kamu tidak boleh mati Jo, kamu tidak boleh meninggalkan simbok sendirian di sini. Simbok hanya punya kamu,” kata simbok waktu itu, dengan air mata bercucuran. Ia menekan-nekan perut Bejo yang sepertinya penuh air, kemudian membalikkan tubuhnya pelan, lalu merasa lega ketika Bejo tersadar dan memuntahkan air yang memenuhi perutnya.
Bejo terbatuk-batuk berkali-kali.
“Aku sudah bilang, kamu hidup Jo. Bukannya mati seperti yang dikatakan orang-orang,” katanya lagi sambil melepas sepatu anaknya.
Bejo terbatuk-batuk lagi, lalu berusaha duduk.
“Dapat dari mana kamu sepatu ini? Kenapa hanya sebelah?” katanya sambil menyingkirkan sepatu itu mepet ke dinding. Dinding bambu yang melingkupi rumah tinggalnya.
“Kamu … siapa?” tanya Bejo yang seperti orang bingung.
“Hei, jangan membuat lelucon. Aku ini kan embokmu,” kata simbok sambil tersenyum lebar, menampakkan mulutnya yang tak bergigi.
Bejo menatapnya seperti orang bingung. Ia juga menatap celana bergaris biru yang sudah kumal, dan kedodoran di tubuhnya, juga baju putih kecoklatan yang dipakaikan simbok kepadanya. Ia kedinginan.
“Kamu, embokku?”
“Iya Jo, dan kamu Bejo, anakku. Kenapa kamu seperti orang bingung?”
“Aku … Bejo?”
“Iya. Duh, Gusti Allah, anak hamba hidup, tapi dia melupakan semuanya. Tidak apa-apa, terima kasih Gusti, anak hamba masih hidup,” ucapnya berkali-kali, sambil mengambilkan air hangat, yang masih tersisa, di sebuah cangkir kaleng.
“Minum dulu Jo, biar tubuhmu hangat,” katanya. Biarpun matanya agak kabur, tapi ia masih bisa melakukan sesuatu.
Bejo menerima cangkir itu, dan meneguknya sampai habis. Tubuhnya yang semula kedinginan, kemudian perlahan terasa hangat.
Lalu simbok pergi lagi ke belakang, membawa sepiring singkong rebus.
“Makanlah, bukankah sejak kemarin kamu belum makan?”
Dengan linglung Bejo memakannya, karena perutnya memang terasa lapar. Ia masih belum sadar apa yang telah terjadi. Ia hanya tahu, dihadapannya adalah simbok, dan dirinya adalah Bejo.
Lambat laun Bejo bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan yang seperti baru ditemukannya, yang semula terasa asing.
Dua bulan yang lalu, simbok masih tampak kuat. Ia ke kebun, memetik sayur, dijual ke pasar, sendirian. Lalu belanja seberuk beras, dan lauk yang kemudian dimasaknya. Matanya yang sedikit rabun, tidak menghalangi dia menjalankan aktifitasnya.
Tapi dua hari yang lalu, simbok terjatuh dan kakinya terkilir, sehingga tidak bisa berjalan cepat dan bekerja seperti biasanya. Jadi Bejo lah yang kemudian menggantikannya. Memetik sayur, menjual ke pasar, lalu dibelikannya nasi atau bubur yang tidak usah harus memasaknya. Bejo memotong kayu yang bisa dipergunakan untuk menopang tubuh simbok saat berjalan, karena selalu dikatakannya kakinya lemah dan sulit melangkah.
Simbok yang sangat ketakutan setelah peristiwa Bejo hanyut itu, selalu berpesan agar Bejo jangan lama-lama meninggalkannya. Ia sangat takut anak laki-lakinya tak akan kembali dan membiarkannya hidup sendiri.
Sore hari itu, saat simbok tertidur, Bejo duduk di atas balai-balai didepan gubugnya, menatap sepatu yang hanya sebelah, dan teronggok di sudut ruangan.
Ada sesuatu yang melintas saat dipandangnya sepatu itu. Tapi Bejo tak bisa menangkap, apakah sesuatu itu. Ia sering merasa pusing dan seperti orang bingung, tapi simbok yang sangat mengasihinya, selalu menghiburnya dan mengatakan bahwa Bejo berubah karena kecelakaan itu.
“Kamu hanyut beberapa hari, ketika simbok menyuruh kamu memancing ikan. Beruntung kamu masih hidup Jo, sementara orang-orang mengatakan bahwa kamu sudah mati, tapi Gusti Allah tidak membiarkan kamu mati. Simbok menemukanmu dan bisa merawatmu. Mulai sekarang jangan lagi pergi ke sungai, dan jangan pergi meninggalkan simbok terlalu lama. Biarpun ingatanmu belum sepenuhnya kembali, tapi simbok bersyukur kamu masih hidup,” itu yang selalu dikatakan simbok setiap kali melihat Bejo termenung dan terlihat bingung.
Bejo menatap lagi sepatu yang hanya sebelah itu, dimana simbok selalu ingin membuangnya. Tapi Bejo mencegahnya. Entah mengapa, dia suka sekali memandangi sepatu itu.
“Kamu menemukan sepatu, walau hanya sebelah, kamu suka memakainya, ya kan Jo. Tapi kan nggak lucu memakai sepatu hanya sebelah, nanti jalanmu bisa terpincang-pincang,” kata simbok menertawakannya ketika melihat Bejo sangat menyukai sepatu itu.
Bejo hanya tersenyum tipis, tak sepenuhnya memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi. Rupanya kecelakaan sehingga membuat ia terhanyut itu telah membuatnya lupa ingatan.
***
Siang hari itu, ketika Baskoro sedang sibuk bekerja, tiba-tiba ponselnya berdering. Agak kesal dia mengangkatnya, ketika mengira yang menelpon adalah Rusmi. Soalnya dia sudah berpesan agar Rusmi tidak mengganggunya di saat jam kerja, agar atasan tak mencurigainya. Tapi ia terkejut ketika melihat si penelpon adalah Hasti. Pasti gadis itu sudah sangat merindukannya, karena sudah jarang ada kesempatan untuk berdua setelah sang ibu selalu mengawasinya.
“Ada apa? Bisakah nanti saja menelponnya? Aku masih banyak pekerjaan,” katanya pelan ketika menjawab panggilan itu.
“Nanti sepulang kerja, temui aku di tempat biasa.”
“Tidak bisa Hasti, ibumu sudah berpesan kalau aku harus sampai di rumah tepat waktu, khusus hari ini.”
“Cari alasan apapun, aku menunggu.”
“Hasti.”
Tapi Hasti sudah menutup ponselnya. Baskoro mengangkat bahu. Senang kalau bisa lagi berduaan dengan gadis yang baginya sangat menggairahkan itu. Tapi ia masih membutuhkan Rusmi. Kemudian Baskoro mencari-cari akal untuk bisa menemui Hasti tanpa dicurigai selingkuhannya itu.
Pekerjaan di kantor masih menumpuk, ia harus segera menyelesaikannya. Tapi alasan apa yang akan dikatakannya kepada Rusmi kalau ia pulang terlambat?
Ketika saat istirahat, Baskoro menelpon Rusmi.
“Ada apa? Aku sedang mempersiapkan sesuatu untuk acara kita malam nanti. Makan di rumah seperti seorang suami istri, karena hari ini adalah ulang tahunku, jadi kamu harus ikut merayakannya dengan membuat malam kita ini menjadi lebih indah dari biasanya. Aku memasak sendiri semua makanan kita nanti.”
Baskoro baru tahu kalau hari ini adalah ulang tahun Rusmi. Tapi itu bukan masalah baginya. Bagaimanapun Hasti jangan sampai dikecewakan.
“Bu, hari ini pekerjaan menumpuk. Aku harus lembur, barangkali pulang agak malam. Jadi_”
“Tidak bisa begitu Bas, kamu tidak boleh pulang terlambat. Pulang tepat waktu, lalu mandi, ganti baju yang sudah aku persiapkan, lalu makan malam di kamar saja, lalu menghabiskan malam seperti yang aku inginkan.”
“Tapi aku benar-benar harus lembur. Kalau aku tidak bisa menyelesaikannya, aku bisa kena tegur.”
“Baiklah, mau lembur berapa jam?” akhirnya Rusmi mengalah.
“Belum bisa mengatakannya sekarang Bu, tapi aku akan berusaha secepatnya.”
“Satu jam ya.”
“Pastinya lebih, Bu. Pekerjaanku banyak.”
“Dua jam.”
“Bu …”
Tapi Rusmi sudah menutup ponselnya.
Baskoro mengangkat bahu pertanda kesal.
“Janda satu ini lama-lama membuat aku bosan juga,” gumamnya perlahan.
Janda, Baskoro menyebutnya dengan senyuman tipis. Lalu tiba-tiba teringat olehnya sopir perusahaan yang dikorbankannya.
Barno. Ternyata Barno benar-benar tidak melibatkannya. Ia sudah dihukum, entah berapa lama. Hal itu membuatnya merasa lega.
Lalu tiba-tiba ia merasa harus lebih mementingkan Hasti. Karena itu ia meminta ijin kepada pak Rangga agar bisa pulang cepat, karena ada urusan. Biarpun curiga, pak Rangga mengijinkannya. Baskoro tersenyum senang. Terbayang olehnya wajah Hasti dan segala polahnya yang membuatnya terkesan dan susah melupakannya.
***
Rusmi sedang memesan beberapa jenis makanan, yang nanti akan diakuinya kepada Baskoro bahwa itu adalah hasil masakannya. Baskoro harus tahu bahwa calon istrinya bukan wanita yang pintar melayaninya di ranjang, tapi juga bisa membuat lidahnya menari-nari karena kelezakan makanan yang dihidangkannya. Ia juga menata kamarnya agar tampak lebih menarik, dengan meletakkan seikat bunga wangi yang dimasukkan ke dalam vas, dan diletakkan di meja sofa.
Diletakkannya piring, sendok dan minuman di meja itu, sambil menunggu makanan yang dipesannya datang. Ini ulang tahunnya yang ke empat puluh. Tidak muda lagi, tapi dia merawat tubuhnya dengan sangat teliti. Tak ada kerutan dan tanda bahwa dia mulai menua. Tidak. Ia masih ingin dikagumi, jangan sampai kalah dengan yang muda-muda.
Tiba-tiba ponselnya berdering, Rusmi mengangkatnya cepat, berharap Baskoro tak jadi lembur. Tapi tidak. Hasti lah yang menelponnya.
“Ada apa?”
“Bu, aku baru ingat kalau ibu ulang tahun hari ini. Aku sudah membelikan hadiah untuk itu. Tapi ada teman yang sakit, dan aku harus mengantarkannya ke rumah sakit.”
“Tidak apa-apa, antarkan teman kamu itu dan jangan meninggalkannya sampai dia terlihat baik-baik saja. Ibu juga akan merayakannya di rumah saja, tidak akan ke mana-mana.”
“Terima kasih Bu, memang dia teman baik aku.”
Rusmi menutup ponselnya dengan senang hati. Kalau Hasti tidak pulang maka tak akan ada yang mengganggunya. Lagipula ia juga akan merayakannya di dalam kamar, bukan untuk makan diluar atau berpesta di suatu tempat.
Setelah merasa semuanya sempurna, Rusmi beranjak ke kamar mandi. Ah, tidak, ia harus mengingatkan Baskoro bahwa waktu lembur yang dimintanya hanyalah dua jam, dan itu sudah terlalu lama.
Ia mengirimkan pesan singkat untuk mengingatkannya, barulah ia masuk ke kamar mandi. Berendam berlama-lama dan mengguyur tubuhnya dengan wewangian yang akan membuat Baskoro mabuk semalaman.
***
Baskoro sudah mengirimkan pesan singkat kepada Hasti, bahwa dia akan pulang lebih awal, agar tak terlalu lama terlambat memenuhi permintaan ibunya.
Ketika saatnya tiba, Baskoro menuju ke tempat yang ditentukan oleh Hasti. Ia berhenti dan melihat mobil Hasti di tepi jalan. Baskoro segera memarkir kendaraannya, dan mendekat ke arah mobil. Hasti ada di dalam mobil itu dan membukakan pintunya untuk Baskoro.
Begitu ia duduk dan menutup pintu, Hasti segera merangkulnya erat, seakan sudah bertahun-tahun tidak ketemu.
“Hei, kenapa kamu tidak sabaran? Kemana kita siang ini? Waktuku tak lama, karena ibumu menunggu.”
“Aku sedang bingung.”
“Kenapa? Aku sudah di sini, dan akan aku buat kamu senang sore ini.”
“Mas, aku benar-benar sedang bingung. Aku harus mengatakan kepada Mas sesegera mungkin.”
“Memangnya ada apa?”
“Tampaknya aku hamil.”
Baskoro terhenyak. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Didorongnya Hasti yang masih merengkuhnya erat.
***
Besok lagi ya.