BUNGA UNTUK IBUKU 23

 BUNGA UNTUK IBUKU  23

{Tien Kumalasari)

 

Suri belum bertanya banyak tentang gadis muda yang ditemukannya, kecuali menanyakan namanya. Itupun ditanyakan ketika mereka berada di dalam angkot yang membawa Suri pulang ke rumahnya.

Nilam juga tidak banyak bertanya. Ia merasa aman ketika berada bersama orang yang tiba-tiba memperhatikannya. Entah apa nanti yang akan dilakukannya, yang penting ia ingin pergi dari rumah. Ia benci ibunya, benci kakaknya, dan benci kepada laki-laki bercambang yang setiap hari menyambangi rumah dan bersikap seolah dia adalah tuan di rumah itu.

Nilam menurut ketika Suri membawanya ke sebuah rumah. Untuk sementara hatinya merasa lebih tenang, walaupun pemikiran tentang kakak tirinya terus menggayuti pikirannya.

“Itu rumahku, hanya rumah kontrakan sederhana,” kata Suri sambil menuding ke arah rumah kontrakannya, ketika sedang berjalan masuk kampung setelah turun dari angkot yang ditumpanginya.

Nilam menatap rumah yang ditunjuk. Rumah kecil sederhana, tapi tampak bersih.

“Adakah orang di rumah itu?” tanya Nilam yang khawatir, kalau penghuni rumah yang lain tidak menyukai kehadirannya.

“Selama seminggu ini aku sendirian. Suamiku tak pernah pulang ke rumah.”

“Bekerja di lain kota?”

“Tidak. Tidur di rumah selingkuhannya. Tapi aku tidak peduli.”

Nilam menatap wanita yang berjalan sambil menggandeng tangannya. Iba rasanya melihatnya hidup sendirian, mencari makan dengan menjajakan ayam panggang sampai ke tempat yang lumayan jauh, sementara suaminya hidup bersama selingkuhannya. Nilam ingat pada ibunya sendiri. Ia juga berselingkuh dan membuatnya muak.

“Kontrakan rumah ini hampir habis. Aku bersiap pindah dua hari lagi,” kata Suri sambil membuka pintu rumah. Gelap di dalam. Suri segera menekan tombol lampu, sehingga Nilam bisa melihat perabotan sederhana yang ditata rapi

Sebelum berangkat, Suri selalu menyalakan lampu, terutama lampu terasnya, sehingga ketika pulang rumahnya tidak gelap gulita.

“Rumah orang tuamu pasti bagus.”

“Tidak penting rumah bagus, kalau tidak membuat hati penghuninya tenteram.”

Suri mengangguk membenarkan. Sekarang dia merasa siap melepaskan Baskoro dan menemukan kehidupan yang diharapkan akan menjadi lebih tenang.

“Kamu mandi dulu ya, nanti tidur di kamarku saja. Ganti pakaianmu, biar aku cuci, sehingga besok bisa dipakai lagi. Di rumah ini hanya ada pakaianku yang pastinya kebesaran untuk kamu. Tapi aku punya daster kekecilan yang tidak pernah aku pakai,” kata Suri sambil membuka almari, dan mengambil daster pada tumpukan pakaian yang tidak banyak.

“Ini daster kekecilan. Pakai dulu, biar aku cuci pakaianmu ini. Lihat, sangat kotor, dan sebagian terkena lumpur.”

Nilam mengangguk. Ia memang tak terbiasa memakai pakaian kotor. Setelah bepergian ia harus segera mengganti bajunya.

Ketika ia melepas pakaian kotornya, Suri memungutnya dan dimasukkannya ke dalam keranjang.

“Bu, biar saya cuci sendiri saja.”

Suri tersenyum sambil memegang telapak tangan Nilam.

“Tanganmu sangat halus, tidak mungkin kamu biasa mengerjakan pekerjaan rumah.”

“Biar aku belajar Bu.”

“Jangan, sekalian aku mencuci pakaian aku. Besok kita harus bersiap untuk pindah rumah."

Nilam melihat sebuah kopor terletak di sudut kamar. Rupanya penolongnya memang sudah bersiap-siap.

“Ayo, cepatlah mandi. Pakaian dalamku ini masih baru. Tidak pernah aku pakai karena kekecilan. Aku akan menyiapkan makam malam, lalu kita beristirahat. Nanti kamu ceritakan ya, mengapa kamu melakukan semua ini?”

Nilam mengangguk. Ia mengambil handuk yang diberikan Suri, berikut pakaian yang sudah diterimanya.

Suri tersenyum. Tiba-tiba ia merasa keinginannya memiliki anak terpenuhi. Gadis itu begitu cantik dan polos, tapi bicaranya sangat lembut dan santun. Apa gerangan yang menimpanya sehingga harus minggat dari rumahnya?

***

Nilam sudah mandi dan merasa lebih segar. Ia juga sudah makan nasi hangat dengan ayam panggang yang disisakan Suri setiap hari untuk makan dirinya sendiri. Malam itu ia berbagi dengan Nilam. Begitu menyenangkan makan bersama seseorang, yang begitu cantik dan manis budi.

“Terima kasih ya Bu,” kata Nilam setelah makan.

“Panggil aku bu Suri. Tapi aku lebih suka dipanggil ibu.”

Nilam mengangguk sambil tersenyum.

“Aku tidak punya anak, dan sangat merindukan kehadiran seorang anak. Maukah kamu menjadi anakku?”

Nilam menatap Suri lekat-lekat. Wajah yang kesepian dan terluka. Benarkah? Nilam masih terlalu muda untuk meraba perasaan seseorang, tapi wajah itu memang tidak tampak ceria. Apakah begitu sakit diselingkuhi suami?

“Saya pasti sangat merepotkan,” kata Nilam lembut.

“Tidak. Aku akan bahagia memiliki anak secantik kamu. Besok akan aku belikan kamu pakaian yang lebih pantas.”

“Jangan, Bu. BIarlah saya memakai baju saya sendiri yang tadi.”

“Aku punya tabungan dari keuntungan menjual ayam panggang dan sisa gaji yang diberikan suami. Jangan takut. Asalkan bukan pakaian mewah, aku masih kuat membelinya.

“Tapi Bu ….”

“Jangan menjadi anak bandel,” kata Suri seakan sedang memarahi anaknya. Nilam mengangguk pelan. Terharu menerima kebaikan seorang ibu yang baru saja dikenalnya.

“Aku akan membersihkan meja.”

“Biar aku bantu.”

“Baiklah, bawa ke belakang, biar aku mencucinya.”

Nilam mengangguk. Ia harus belajar mengerjakan sesuatu. Tidak enak rasanya berpangku tangan sementara pemilik rumah sibuk bekerja.

“Setelah selesai, kita masuk ke dalam kamar dan bersiap tidur, sambil mendengar cerita kamu.”

***

Rusmi pulang ke rumah hampir tengah malam. Pesta ulang tahun temannya sangat meriah dan mengesankan. Hampir tengah malam pesta itu bubar. Tadinya ia ingin mengajak Baskoro, tapi masih merasa sungkan karena semua sudah mendengar tragedi yang menimpa Raharjo. Tidak enak kelihatan mencolok dengan membawa laki-laki lain sementara suaminya belum jelas kabar beritanya.

Karena itulah dia membiarkan Baskoro tidur di rumahnya sendiri malam itu.

Rusmi membuka pintu rumahnya, dan merasakan suasana yang sangat lengang.

Tadi dia juga tak melihat mobil Hasti, berarti Hasti juga belum pulang. Ada bekas minum yang masih tergeletak di meja ruang tengah. Rusmi baru ingat bahwa ia tak lagi punya pembantu.

Dengan gemas dia membawa gelas-gelas kotor itu ke belakang, dan meletakkannya di tempat cucian dengan kasar.

Ia sudah lelah dan tak ingin melakukan apa-apa lagi.

Ia berganti pakaian, lalu membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Ia meraih ponselnya dan menelpon Baskoro.

Baskoro yang sedang asyik bersama Hasti, tak berani untuk tidak mengangkatnya. Ia menjawab setelah menata napasnya baik-baik.

“Ya Bu, aku sudah tidur tadi.”

“Kamu tidak ingin menemani aku? Aku sendirian nih, Hasti juga belum pulang,” keluhnya menghiba.

“Maaf Bu, ada istriku di sampingku, besok saja kita ketemu,” jawabnya lirih, seakan benar-benar takut istrinyan curiga.

Rusmi mengerti, kemudian menutup ponselnya dengan kesal. Ia menyesal tadi mengijinkan Baskoro pulang. Pasti sekarang sedang asyik menyenangkan istrinya.  Ia mengangkat ponselnya lagi untuk menelpon Hasti, tapi tak ada jawaban. Rupanya Hasti merasa sayang melepaskan kenikmatan yang disuguhkan para iblis malam itu.

“Dasar bocah tak tahu diri, setiap malam keluyuran nggak jelas,” gerutunya. Tapi ia tak pernah berhasil menasehati Hasti. Rupanya Hasti bercermin kepada kelakuan ibunya yang tak pantas, dan ternyata itu menyenangkan.

***

Baskoro tidak pulang semalaman. Pagi-pagi buta, Suri sudah bangun dan mulai memasak dagangan yang akan dijajakannya nanti. Nilam terbangun dengan sedikit bingung, karena dia tidur di sebuah kamar yang terasa asing. Ia bangkit, dan mencoba membangkitkan kesadarannya kembali. Lalu perlahan dia menyusuri apa yang terjadi sejak kemarin siang sampai pagi buta ini. Nilam menghela napas. Ia sudah tahu kalau sedang berada di rumah Suri yang menolongnya saat dia kebingungan di persawahan. Sejenak kesedihan menyergapnya, ketika wajah Wijan melintas.

“Di mana kamu Mas? Aku ikut kamu Mas.” rintihnya sambil mengusap air matanya, kemudian turun dari tempat tidur. Ia bermaksud membantu Suri di dapur, tapi Suri menolaknya.

“Jangan Nak, ini sudah hampir selesai. Kalau kamu ingin melakukan sesuatu, menyapu lantai saja, bagaimana?” kata Suri untuk menghilangkan rasa sungkan di hati Nilam yang pastinya ingin membantu melakukan sesuatu.

“Baiklah Bu, mana sapunya?”

Suri menunjuk ke sudut dapur, lalu Nilam mengambil sapu itu. Ia belum pernah melakukannya, tapi ia sering melihat bibik ketika membersihkan rumah. Betapapun kaku gerakannya, ia tetap bisa melakukannya. Dari arah belakang ruangan dia menyapu. Ini kehidupan baru bagi Nilam. Sesuatu yang biasanya dilakukan pembantu, ia melakukannya. Ia sudah sampai di ruang tengah. Ia merapikan taplak meja yang kurang teratur, kemudian menuju ke rak yang mepet di tembok. Ada foto-foto terpajang di sana. Lalu tangannya gemetar ketika dilihatnya sebuah pigura dengan foto seorang laki-laki.

“Si cambang itu?” gemetar Nilam menatapnya.

Lalu ada lagi foto si cambang bersama ibu Suri.

“Haaah? Bu Suri istri si cambang busuk itu?” gumamnya agak keras.

Nilam sedang memikirkan untuk kabur dari rumah itu ketika Suri mendekatinya.

“Aku sudah menyiapkan makan pagi untuk kita, Nilam. Hei, kamu memandangi apa? Foto-foto itu akan segera aku buang ke keranjang sampah. Tak sudi aku menyimpannya."

“Ini …. suami Ibu?” tanya Nilam masih dengan suara bergetar.

“Tidak lama lagi akan menjadi bekas  suami,” katanya sambil meraup foto-foto itu, lalu membuangnya ke keranjang sampah.

Nilam bingung harus mengatakan apa. Suami bu Suri adalah selingkuhan ibunya. Bagaimana dia mengatakannya?

“Kamu mengenal dia? Dia itu mata keranjang. Kamu pernah digoda oleh dia? Di mana?” tanya Suri penuh selidik. Agak heran melihat sikap Nilam yang sedikit aneh, seperti orang bingung.

“Ini … karyawan di kantor ayah saya,” katanya lirih.

“Apa? Apa kamu putrinya pak Raharjo yang kabarnya hilang itu?”

Nilam mengangguk sedih.

“Kamu anak pengusaha kaya, mengapa pergi dari rumah?”

“Saya tidak suka tinggal di rumah, saya ingin ikut mas Wijan.”

Suri sudah mendengar sedikit cerita dari Nilam tentang kakak tirinya yang bernama Wijan, dan sebab dia pergi. Tapi dia tidak mengatakan kenapa enggan pulang ke rumah, setelah gagal menemukan kakak tiri yang disayanginya.

“Ibuku selingkuh,” katanya lirih.

“Apa? Bukan hanya laki-laki yang selingkuh. Perempuan juga ada? Laki-laki macam apa yang berani mengganggu istri seorang pengusaha seperti pak Raharjo?”

“Dia,” kata Nilam sambil menunjuk ke arah keranjang sampah.

Suri menatap ke arah keranjang sampah dengan bingung. Baskoro kah yang dimaksud gadis kecil itu?

“Sudah seminggu dia tidur di rumahku, bersama ibuku,” kata Nilam berterus terang. Ucapan itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Memang Nilam adalah orang yang tak bisa menyimpan sesuatu. Ia suka mengatakan apa adanya. Ia bahkan juga pernah mengatakan kepada ibunya tentang ketidak sukaannya pada laki-laki bercambang itu, tapi ibunya justru menghardiknya, dan menyuruhnya untuk tidak ikut campur dalam urusannya.

Sekarang Nilam ketakutan, kalau nanti Baskoro pulang lalu melihat dirinya.

Suri sedang termenung karena kaget mendengar penuturan Nilam. Tak percaya bahwa nyonya cantik yang pernah ditemuinya adalah selingkuhan suaminya. Pasti nyonya itu yang diberi nama DIA di ponsel suaminya. Geram hati Suri ketika mengingatnya. Nyonya majikan itu seakan tak mengerti tentang Baskoro, kecuali mengetahui bahwa Baskoro adalah karyawan suaminya. Luar biasa pintar dia menutupinya. Wanita yang masih cantik walau tidak muda lagi, terpikat oleh suaminya? Iya lah, suaminya kan ganteng, gagah, menawan. Rupanya suaminya memoroti uang wanita itu, yang sebagian diberikan kepadanya.

Suri mengangkat keranjang sampah itu dan membuangnya ke tempat sampah di pinggir jalan. Ketika ia kembali, dilihatnya Nilam menangis sambil memegangi sapu.

“Nilam, jangan sedih,” katanya lembut.

“Aku mau pergi dari sini, aku tidak mau ketemu dia, aku benci dia,” isaknya.

“Jangan khawatir. Aku juga membenci dia, dan kita akan segera pergi dari rumah ini. Aku sudah mendapatkan rumah sewa yang jauh dari sini. KIta akan segera menempatinya. Rencananya lusa baru akan pindah, tapi lebih baik hari ini saja.”

Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat.

“Dia datang,” bisik Suri pelan. Dilihatnya Nilam ketakutan. Wajahnya pucat.

“Sini, masuk ke kamarku, dia tak akan tahu,” kata Suri sambil menarik Nilam ke dalam kamar, lalu menguncinya dari luar.

Langkah kaki itu semakin dekat.

“Suri, aku kemarin pulang, menunggu kamu.”

“Aku kira sudah lupa jalan pulang.”

“Banyak pekerjaan di kantor, dan_”

“Diam, dan jangan memperpanjang barisan dosa kamu,” kata Suri dingin.

“Apa maksudmu? Ini, uang untuk kamu. Kan kalau aku banyak pekerjaan pasti mendapat uang lembur,” kata Baskoro sambil mengulurkan setumpuk uang ratusan ribu.

“Aku tidak mau!” teriak Suri.

“Apa maksudmu? Ini jumlahnya sejuta setengah. Jangan sok kaya kamu.”

“Aku tidak mau menerima uang haram kamu. Sudah, jangan mengganggu aku. Aku bisa mencari uang sendiri,” kata Suri sambil bergegas pergi.

“Suri!!”

Baskoro harus ke kantor pagi itu, karenanya ia tak ingin bertengkar terlalu panjang dengan istrinya. Ia masuk ke kamarnya, dan terkejut karena kamarnya terkunci.

“Suriii! Kenapa kamarnya dikunci?” teriak Baskoro.

“Itu kamarku, kamarmu di sebelah sana,” teriak Suri dari belakang. Ia mengemasi semua makanan yang sudah disiapkan, tak ingin Baskoro ikut melahapnya. Ia menyembunyikan semuanya di dapur.

“Suriii, tapi pakaianku ada di situ, tolong buka dulu,” Baskoro masih berteriak.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

Previous Post Next Post