BUNGA UNTUK IBUKU 19
(Tien Kumalasari)
Wijan terduduk lemas, sementara Nilam menatapnya heran.
“Hallo, Wijan, kamu masih di situ?” teriak pak Rangga dari seberang.
“Hal buruk apa? Tentang ayahku?” tanya Wijan lemah dan gemetar.
“Wijan, kamu harus kuat. Mobil yang dikendarai ayahmu terjungkal masuk ke dalam jurang.”
“Bapaaaak??” rintih Wijan semakin lemas.
“Mas, ada apa Mas?” Nilam menggoyang-goyangkan bahu kakaknya.
“Mobil itu akhirnya masuk ke sungai. Barno terlempar dengan luka-luka parah, tapi pak Raharjo belum diketemukan.”
Wijan tak mampu berkata-kata. Mulutnya terasa kelu, keringat dingin membasahi tubuhnya. Nilam memeluknya.
“Kenapa mas?”
Nilam merebut ponsel kakaknya.
“Halloow, ini siapa? Saya Nilam, anaknya bapak.”
“Oh, iya Nilam, saya pak Rangga, dari kantor. Ada berita bahwa bapak kecelakaan, mobilnya masuk ke jurang.”
“Apa? Bagaimana ayahku?” teriaknya bercampur tangis, sementara Wijan lemas bersandar pada dinding. Bibik yang mendengar kedua majikan mudanya berteriak-teriak, segera mendekat.
“Pak Raharjo belum diketemukan, sedang dilakukan pencarian. Kami berharap beliau selamat. Bilang pada ibu, karena saya tidak bisa menghubunginya. Kalian harus tabah dan berdoa ya, mudah-mudahan pak Raharjo segera diketemukan dalam keadaan selamat.”
Nilam menangis sejadi-jadinya, sambil memeluk Wijan. Keduanya bertangisan.
“Ada apa ini Mbak, ada apa Mas?”
“Bibik, bapak kecelakaan.”
“Apa? Apakah bapak terluka?”
“Bapak belum diketemukan. Mobilnya masuk jurang.”
“Ya Allah, Ya Robbi, selamatkanlah majikan hamba, beliau orang baik,” kata bibik yang kemudian juga mengucurkan air mata.
Diluar tiba-tiba turun hujan dengan lebatnya, seakan mengiringi tangis ketiga orang yang sedang meratapi nasib Raharjo.
“Di mana ibu? Bukankah tadi ada di rumah?”
Nilam berlari ke lantai atas, diluar kamar ibunya, terdengar suara-suara aneh. Nilam tidak bisa mendengar dengan jelas, itu suara apa. Lagipula suara hujan dan petir yang bergemuruh memekakkan telinga.
Nilam mengetuk kamar ibunya. Tak ada jawaban, suara aneh itu sayup terdengar. Gelegar guntur menyamarkan suara-suara itu.
“Ibuuuu,” Nilam berteriak keras sekali, dan semakin keras. Tak ada jawaban. Mungkin ibunya tak mendengar karena suara hujan dan guntur mengaburkan teriakan Nilam.
Nilam memutar pegangan pintu, ternyata tidak terkunci. Nilam membukanya lebar-lebar. Lampu dimatikan, sehingga suasana terlihat gelap.
“Ibuuu!” Nilam berteriak.
Samar dilihatnya ibunya ada di atas ranjang. Tapi ibunya tidak sendiri, ada orang lain.
“Ibuuuuu!!” Nilam berteriak keras sambil menyalakan lampu.
Dua sosok tubuh dengan penampilan tak pantas membuat Nilam terguncang.
“Ibuuu?”
Nilam berlari keluar sambil membanting pintu sekeras-kerasnya. Ia turun dan memeluk bibik sambil menangis memilukan.
“Mbak Nilam tenang ya. Tadi sudah bilang ibu kan?”
Nilam terus saja menangis, tak mampu berkata apa-apa kecuali menunjuk ke arah atas.
Wijan bangkit. Ia menuju garasi.
“Mas Wijan mau kemana?” teriak bibik.
Wijan tak menjawab. Nilam mengejarnya.
“Maaas, mau ke mana? Aku ikut!” teriak Nilam sambil mendekat.
“Jangan. Hujan sangat lebat.”
“Mas Wijan mau ke mana? Hujan lebat Mas, tunggu kalau sudah reda, kalau Mas Wijan mau pergi."
Tapi Wijan nekat menuntun sepedanya, keluar ke halaman.
“Aku ikuttt.”
Nilam terus mengejar, lalu nekat duduk di atas bocengan. Hujan mengguyur tubuh kedua anak muda itu. Tapi Wijan nekat mengayuh sepedanya.
Bibik berteriak-teriak, tapi tak ada yang bisa menahan keduanya. Mereka sudah hilang diantara derasnya hujan.
“Mas Satpaaam! Kejar mereka!!” teriak bibik.
Satpam itu kebingungan.
“Saya tidak membawa kendaraan.” teriaknya.
Bibik lari ke dalam, menangis sejadi-jadinya.
“Ada apa?” tiba-tiba Rusmi sudah ada di depannya, dengan pakaian berantakan dan rambut awut-awutan.
“Bu, mereka nekat pergi,” tangis bibik.
“Mereka siapa? Mana Nilam? Tiba-tiba dia membanting pintu kamarku.”
“Mas Wijan pergi, mbak Nilam ikut,” kata bibik dengan masih tersedu.
“Sebenarnya ada apa ini? Hujan sangat lebat, dan mereka pergi? Lalu kamu menangis seperti ini?”
“Ada berita kecelakaan dari kantor. Mobil bapak masuk jurang.”
“Apa?”
Bibik heran melihat nyonya majikannya kemudian membalikkan tubuhnya, lalu naik ke atas dan masuk ke kamarnya.
Di dalam kamar, Baskoro tergolek di ranjang dengan tubuh tertutup selimut. Tadi ketika baru saja masuk, Rusmi mengamuk sejadi-jadinya ketika dia mengaku semalam datang atas undangan Hasti. Tapi dengan pintarnya Baskoro meluluhkan hati Rusmi, yang kemudian melupakan semuanya.
Sekarang ini, Rusmi memasuki kamarnya lalu berbaring di samping Baskoro.
“Ada apa? Kamu hajar gadis kecil kamu yang tidak tahu aturan itu?” kata Baskoro yang lupa bahwa dirinya sama sekali telah menerjang segala aturan dan tata krama, mengobrak abrik sebuah norma susila, menerjang segala tatanan demi nafsu iblis yang merajai hatinya.
“Semuanya sudah terjadi, sudah terjadi, Bas.” kata Rusmi sambil menggoyang-goyangkan tubuh Baskoro.
“Apa yang sudah terjadi?”
“Barno sudah berhasil. Tapi berita lengkapnya aku belum jelas, nanti aku akan menelpon mas Rangga.”
Wajah Baskoro berseri-seri.
“Kalau Barno selamat, kita harus memberikan uangnya, sesuai janji yang sudah kita berikan.”
“Tentu saja. Uang tidak jadi masalah, yang penting dia bisa melaksanakannya. Duh, Bas, aku bahagia sekali. Tidak lama lagi kita bisa melakukannya dengan leluasa. Kita bisa menikah dan bahagia. Kita akan berkecimpung harta karena bukankah aku sudah akan menjadi nyonya pengusaha yang kaya?”
Lalu terdengar tawa puas memenuhi ruangan kamar.
“Tapi satu yang harus kamu ingat Bas, jangan lagi kamu berani-berani mendekati Hasti. Kamu tahu, kamu telah merusaknya, dan itu membuat aku sakit.”
“Aku tahu, aku mengerti. Baiklah, aku tidak akan melakukannya lagi. Bukan aku yang mau kok.”
“Nyatanya kamu menurutinya.”
“Aku terpaksa, tak ingin mengecewakannya.”
“Dasar buaya!”
“Yang perlu kamu tahu Bu, maaf, aku harus mengatakannya, sepertinya aku pernah bilang, anakmu bukan gadis yang masih mentah, dia sudah berpengalaman, dan sudah sering melakukannya.”
Ada sedikit rasa luka di hati Rusmi, tapi luka itu terbalut oleh harapan tentang hidup bersama Baskoro dan menjadi seorang nyonya pengusaha. Bukankah itu menyenangkan? Apa yang dia inginkan pasti akan terlaksana.
Rusmi dan Baskoro menghabiskan malam itu, tanpa peduli anak-anaknya berada entah di mana.
***
Wijan terus mengayuh sepedanya. Nafasnya sudah terdengar empas-empis, tapi ia terus mengayuhnya. Hujan sudah berkurang, tapi gerimis masih deras mengguyur. Nilam menggigil kedinginan. Ia memeluk pinggang kakaknya.
Sepeda itu memasuki halaman kantor Raharjo. Ada satpam yang melihat kedatangannya, lalu melaporkannya ke dalam. Para karyawan sudah pulang, tapi pak Rangga masih ada di ruangannya. Ia terkejut mendengar laporan satpam bahwa dua anak muda bersepeda dan basah kuyup, sedang menuju ke kantornya. Pak Rangga bergegas keluar. Ia sedang bersiap untuk menyusul ke kota, dimana mobil Raharjo dikatakan menemui kecelakaan.
“Wijan!” teriak pak Rangga ketika melihat Wijan menyandarkan sepedanya di depan lobi. Ia bersama Nilam, dengan baju basah kuyup.
Pak Rangga menarik tangan Wijan dan Nilam untuk masuk ke dalam ruang kerjanya.
“Wijan, apa yang kamu lakukan, dengan membawa adik kamu dalam hujan yang demikian derasnya?”
“Bagaimana kabar ayah saya?” menggigil suara Wijan.
“Tunggu sebentar. Kalian harus berganti baju. Tidak mungkin terus mengenakan baju yang basah seperti ini,” kata pak Rangga sambil meraih ponselnya, berbicara entah dengan siapa, tapi dia mengucapkan tentang beberapa baju, laki-laki dan perempuan remaja.
Lalu pak Rangga memerintahkan kepada satpam untuk mencarikan minuman hangat.
Wijan dan Nilam terduduk di sofa. Pak Rangga membiarkannya. Tak apa sofanya akan basah karena baju keduanya.
“Bagaimana bapak saya?” lirih suara Wijan, tertelan rasa khawatir dan duka yang mendalam.
“Aku sedang menunggu berita selanjutnya. Sebentar lagi aku akan berangkat ke sana untuk mengetahui keadaan di lokasi yang lebih dekat.”
“Saya ikut,” lirih suara Wijan.
“Aku juga mau ikut,” isak Nilam, menggigil.
Satpam datang dengan membawa dua gelas teh panas, yang kemudian diletakkannya di hadapan kedua anak muda itu.
“Minumlah, agar kalian merasa lebih hangat.”
Keduanya menurut, karena mereka memang membutuhkan minuman hangat itu ketika tubuhnya kedinginan.
“Bolehkah saya ikut?”
“Saya juga ikut.”
“Apakah ibu kamu sudah mengetahui semuanya? Mengetahui juga bahwa kalian pergi kemari?”
Keduanya menggeleng. Air mata Nilam mengucur deras. Ia telah melihat ibunya berada di atas ranjang bersama laki-laki bercambang itu. Hatinya bagai dirajang oleh ratusan sembilu. Nilam merasa itu perbuatan tak pantas dan menjijikkan.
“Mengapa ibu tidak diberi tahu?”
Wijan menatap adiknya.
“Ibu sedang bersama laki-laki bercambang itu,” tak tahan Nilam mengatakannya dengan air mata bercucuran.
Mata pak Rangga terbelalak. Sekilas Raharjo pernah menyiratkan kecurigaannya tentang hubungan sang istri dan Baskoro, walau tidak secara terang-terangan. Pak Rangga belum mempercayai sepenuhnya, seperti Raharjo yang waktu itu masih ada dalam taraf curiga. Tapi mendengar apa yang dikatakan Nilam, pak Rangga sudah membayangkan bahwa laki-laki bercambang itu adalah Baskoro, siapa lagi?
“Aku melihatnya … aku melihatnya … “ tangis Nilam menjadi-jadi.
Peristiwa kecelakaan yang menimpa ayahnya sudah membuatnya sedih, ditambah dengan menyaksikan perbuatan ibunya. Nilam merasa sangat terpukul.
“Laki-laki bercambang … “ gumam pak Rangga.
“Kata mas Wijan, dia karyawan di kantor bapak.”
“Baskoro?”
Pintu diketuk dari luar. Satpam membawa bungkusan besar.
“Ini dari toko pakaian langganan kita.”
“Letakkan saja di situ. Kamu boleh pergi.”
Satpam mengangguk, kemudian berlalu.
“Wijan, dan kamu … ini adalah pakaian untuk kalian. Pergilah ke kamar mandi dan ganti pakaian kamu, untuk Nilam, dan Wijan boleh berganti di ruang sebelah,” perintah pak Rangga sambil membuka bungkusan, dan memilah-milah mana pakaian untuk laki-laki dan mana untuk perempuan.
***
Pak Rangga yang tak berhasil menelpon Rusmi, kemudian hanya menulis pesan, bahwa Wijan dan Nilam ada bersamanya, untuk pergi ke kantor cabang.
Sudah malam ketika Pak Rangga bersama Wijan dan Nilam sampai di sana. Tampak beberapa karyawan masih berbincang di sana, semuanya menunggu berita, tentang Raharjo yang belum juga diketemukan. Kemungkinan Raharjo terlempar ke sungai kemudian hanyut, memenuhi perkiraan hampir semua orang.
Polisi dan jajarannya sudah menyusuri sepanjang sungai yang airnya sedang meluap itu, dan belum menemukan hasil.
Wijan dan Nilam yang berada diantara mereka, tampak hanya terdiam. Sesekali mereka mengusap air mata yang meleleh di sepanjang pipinya.
Kemudian pak Rangga pergi ke rumah sakit, dimana Barno sedang dirawat. Wijan dan Nilam tak mau ketinggalan. Mereka bersama-sama menemui Barno, yang tangannya patah dan wajahnya penuh luka. Mungkin tergores onak dan duri yang ada di jurang itu. Beruntung bahwa dia selamat, sementara Raharjo entah bagaimana nasibnya. Dua orang polisi berjaga di luar pintu ruang rawat itu.
Barno yang saat itu masih sadar, menatap kedatangan pak Rangga dan kedua anak Raharjo dengan tatapan yang sulit dimengerti. Barangkali dia takut disalahkan, dan dianggap kurang berhati-hati, sampai melenyapkan nyawa majikannya, karena itulah yang pastinya terjadi.
“Bagaimana kamu bisa selamat Barno, ceritakan bagaimana kejadiannya,” kata pak Rangga.
“Saya sungguh mohon maaf, ini semua karena ketidak hati-hatian saya,” kata Barno pelan, tanpa berani menatap pak Rangga yang berdiri di sampingnya.
“Hujan sangat deras, dan jalanan licin. Pandangan saya kabur oleh derasnya hujan, lalu tiba-tiba di sebuah belokan, saya kehilangan kendali. Mobil meluncur kebawah begitu saja, dan entah bagaimana, saya terlempar keluar, sebelum mobil itu masuk ke dalam sungai,” katanya sambil menampakkan wajah sedih.
Pak Rangga tidak menjawab, tapi terdengar isak Wijan dan Nilam yang bergandengan tangan untuk saling menguatkan.
“Mas Wijan, mbak Nilam, saya minta maaf,” kata Barno dengan suara bergetar. Air mata Barno pun meleleh, tanpa mampu mengusapnya karena sebelah tangannya patah, dan yang sebelah lagi terhubung dengan botol infus yang tergantung di dekatnya.
“Wijan, Nilam, kamu harus sabar ya, semuanya sedang mencari keberadaan ayah kamu, berdoalah agar ayah kamu ditemukan dalam keadaan selamat,” itu kata pak Rangga yang diulang-ulang, ketika mengantarkan mereka pulang pada keesokan harinya. Pak Rangga terpaksa terus membujuk mereka yang semula tak mau pulang.
***
Karena kehujanan hampir sepanjang malam, saat pulang itu tubuh Nilam panas sekali. Rusmi yang melihat anaknya sakit, marah bukan alang kepalang. Dan kemarahan itu ditimpakannya kepada Wijan.
Wijan yang sedang sendirian di kamar, terkejut melihat ibu tirinya masuk sambil membanting pintu kamarnya.
“Dasar tidak bertanggung jawab. Bagaimana kamu membiarkan Nilam kehujanan dan sekarang dia jatuh sakit?” hardiknya.
Wijan heran karena sang ibu tiri tidak menanyakan nasib suaminya, malah marah-marah gara-gara Nilam sakit.
“Saya tidak mengajaknya, dia sendiri yang ikut.”
“Kamu kan bisa menolak? Dasar tak tahu diri. Kamu tahu kan, sekarang ayahmu sudah tidak ada? Jadi apalagi yang kamu pikirkan?”
Wijan terhenyak mendengar kata-katanya.
“Mereka sedang mencari bapak, katanya gemetar.”
“Mencari … itu mencari jasadnya. Mana mungkin orang bisa hidup saat terlempar dari mobil dan hanyut di sungai?”
“Ibu jangan berkata begitu, harusnya_”
“Jangan mengajari aku, lebih baik kamu pergi dari sini.”
Wijan merasa sakit, tapi ia tak sudi mengemis belas kasihan. Berada di rumah itu hanya akan disakiti setiap saat, apalagi ayahnya tidak ada, yang entah akan kembali atau tidak, dia tak mengerti. Ia segera berkemas, mengumpulkan barang-barang yang perlu dibawanya, kemudian ia melangkah keluar dari kamar. Ditengah pintu, kakak tirinya yang berdandan rapi dan cantik, menyilangkan tangannya dan menatapnya dengan pandangan iblis.
“Lebih baik kamu pergi, tempatmu bukan di sini.”
Wijan tak menjawab. Ia terus melangkah pergi, dan Hasti menatapnya tanpa belas.
***
Besok lagi ya.