BUNGA UNTUK IBUKU 17
(Tien Kumalasari)
Wijan termenung sendirian. Mengapa ayahnya nekat ingin membeli oleh-oleh buah yang akan dipetiknya sendiri? Bukankah beli di pasar atau toko buah lebih mudah? Tapi terkadang orang tua ingin berbuat sesuatu yang akan lebih menyenangkan anak, atau lebih tepatnya sesuatu yang membuat anaknya memujinya karena bentuk kasih sayang yang diberikannya bukan hal mudah yang bisa didapatkannya.
Wijan tersenyum sendiri. Ia beranjak ke kamarnya dan akan mulai belajar, ketika mendengar bel tamu berdering. Wijan berjalan ke arah depan, lalu melihat seorang laki-laki berpakaian putih-putih, seperti dokter, memakai topi yang hampir menutupi seluruh wajahnya, dan juga memakai masker yang lebar.
“Selamat malam,” suara berat terdengar dibalik masker itu.
“Selamat malam. Bapak mencari siapa ya?” tanya Wijan.
“Saya mau ketemu nona Hasti.”
“Oh, ya, sebentar saya panggilkan.”
“Tidak … tidak … saya dokter yang dipanggil nona Hasti, dia sakit, dan saya diminta langsung memeriksa di kamarnya, karena dia tidak bisa berjalan,” terang laki-laki misterius itu.
“Tidak bisa berjalan? Sepertinya ….”
“Entah bagaimana kejadiannya, rupanya dia terjatuh, atau apa, saya kurang jelas. Bisakah anda membawa saya ke kamarnya?”
“Oh, begitu? Baiklah.”
Walaupun agak ragu, Wijan membawa laki-laki yang mengaku sebagai dokter itu ke atas, ke kamar Hasti. Mengapa dia tidak tahu kalau kakak tirinya terjatuh sehingga tidak bisa berjalan? Kapan kejadiannya? Tapi memang sih, Hasti tidak pernah bicara apapun terhadap dirinya. Kalaupun terjatuh, mana dia diberi tahu, sementara ibunya pergi sejak tadi sore.
Wijan mengetuk pintunya perlahan.
“MBak Hasti, ada dokter ingin menemui Mbak.”
“Oh, persilakan dia masuk, aku sudah menunggu,” suara Hasti dari dalam.
Wijan mempersilakannya masuk, kemudian dia turun ke bawah.
Terdengar pintu kamar ditutup kembali. Wijan mendongak sesaat ketika sudah sampai di bawah, tapi kemudian dia masuk ke kamarnya untuk belajar.
Sementara itu di dalam kamar, Hasti terkekeh melihat penampilan Baskoro yang tertutup hampir seluruh wajah dan tubuhnya. Ia yang semula berbaring di ranjang segera turun, kemudian membantu melepaskan jas putih ala dokter yang membalut tubuh Baskoro, juga topi dan maskernya. Wajah garang dengan cambang yang dikaguminya itu segera tampak. Hasti tersenyum, lalu memintanya duduk di sofa.
“Penampilanku hebat bukan?”
“Sangat hebat. Mau minum apa?”
“Tidak usah, nanti aku akan memintanya, kalau memang haus. Mana yang sakit? Sebagai dokter aku harus memeriksanya, dong,” kata Baskoro sambil duduk mendekati Hasti. Gadis genit itu tak menolak. Ia senang duduk berdempetan dengan laki-laki yang bahkan baru sehari dikenalnya.
“Mana yang sakit?”
“Di sini, di sini, di sini …. semuanya,” kata Hasti sambil tertawa memikat. Baskoro benar, bahwa Hasti bukanlah gadis yang masih hijau dan belum dijamah lelaki. Ia sudah tahu bagaimana cara menundukkan laki-laki, bagaimana membuat laki-laki bertekuk lutut dihadapannya, dan bagaimana menimbulkan gairah panas yang akan membakar seluruh jiwa dan hasratnya.
***
Bibik melewati kamar Wijan yang sedikit terbuka, ketika ia ingin menutup pintu rumah bagian depan yang masih terbuka. Ia melongok ke dalam.
“Mas Wijan, tadi ada tamu siapa?”
“Dokter,” jawab Wijan singkat.
“Dokter siapa?”
Wijan mengangkat bahunya.”
“Kan Mas Wijan yang tadi menemuinya. Bibik hanya mendengar suara laki-laki.”
“Iya, dia dokter yang dipanggil mbak Hasti.”
“MBak Hasti memanggil dokter? Memangnya dia sakit apa? Baru saja dia ke belakang mengambil segelas air dingin.”
“Katanya nggak bisa berjalan, karena terjatuh atau apa, aku tidak tahu. Dokter itu yang mengatakannya.”
“Dia ada di kamar mbak Hasti?”
“Iya, memang mbak Hasti yang menyuruhnya, soalnya dia tidak bisa berjalan, katanya.”
“Sekarang masih di sana?”
“Nggak tahu aku Bik, aku langsung masuk ke kamar untuk belajar.”
Bibik menutup kamar Wijan, kemudian melangkah ke arah depan. Ia melongok ke atas, dan melihat kamar Hasti tertutup rapat.
“Kenapa ada dokter laki-laki masuk ke kamar tapi kamarnya ditutup rapat? Atau apakah dia sudah pulang? Kan sudah kira-kira setengah jam lalu?” gumam bibik yang kemudian naik ke atas. Bibik ingin membuka pintu kamar Hasti, tapi tiba-tiba didengarnya suara-suara aneh terdengar dari dalam. Langkah bibik surut. Ia memasang telinganya, dan memang terdengar suara aneh. Tawa yang ditahan, desah-desah aneh. Bulu kuduk bibik merinding. Ingin rasanya dia mendobrak kamar itu, karena yakin telah terjadi sesuatu yang tak pantas di dalam kamar itu, tapi ditahannya. Bibik sadar hanya seorang pembantu. Lalu bibik turun dengan kaki gemetar. Ingin ia mengatakan apa yang didengarnya kepada Wijan, tapi tak sampai hati. Lagipula hal itu pasti akan mengganggu Wijan dalam belajar.
Bibik melangkah ke dapur, dan duduk di kursi, masih dengan kaki gemetar, bahkan tangannya juga ikut gemetar.
“Ya Tuhan, bapak baru pergi dua hari, ada kejadian yang sangat mengerikan begini. Apa yang harus aku lakukan? Mengadu kepada ibu? Tak mungkin. Pasti aku justru yang kena marah. Mengatakannya kepada anak-anak itu, juga tak mungkin,” bibik bingung sendiri.
Lama sekali bibik merenung dalam gundah dan bingung. Berjam-jam lamanya belum ada yang turun dari tangga.
“Apakah orang yang mengaku dokter itu akan menginap di sini? Bagaimana kalau nanti ibunya pulang dan melihat kelakuannya. Akankah dimarahin, atau dibiarkannya? Hiih, kalau itu anakku, sudah aku hajar dia habis-habisan.”
Lalu terdengar langkah-langkah kaki di tangga. Bibik berdiri dan mengintip dari pintu dapur. Seorang laki-laki dengan jubah putih seperti dokter turun sendirian, lalu keluar tanpa menoleh lagi.
“Mengobati apa dia, sampai berjam-jam begitu?”
Bibik melangkah ke depan, bermaksud menutup pintu. Lalu dilihatnya Hasti juga turun, dan terkejut melihat bibik.
“Bibik belum tidur?”
“Saya akan menutup pintu,” katanya tanpa menoleh. Sekilas ia melihat pakaian tidur yang dikenakan Hasti. Tipis dan menampakkan bayangan tubuhnya dengan nyata.
“Tadi ada dokter yang saya panggil,” katanya tanpa ditanya. Hasti mengatakannya karena menduga bibik melihat ‘dokter’ itu turun dari tangga.
“Mbak Hasti sakit?” mau tak mau bibik menanggapinya. Ingin bersikap acuh saja, tapi khawatir sang juragan marah.
"Iya, aku tadi jatuh. Kakiku keseleo. Agak lama dokter itu merawat aku, karena dia juga ahli terapi,” terangnya, lagi-lagi tanpa diminta.
“Bibik akan mengunci pintunya, karena sudah malam.”
“Ya, setelah itu ambilkan aku jus, bawa ke kamarku ya Bik.”
“Baik.”
Hasti kembali naik ke atas. Baju tipisnya berkibar, membuat bibik merinding. Tubuh indah itu baru saja 'diterapi'. Bibik bergidik ngeri.
Ia mematikan lampu ruang tengah, kemudian mengambilkan jus jeruk yang masih ada di kulkas, lalu membawanya naik. Dilihatnya Hasti sedang merapikan tempat tidur, yang pastinya tadi berantakan karena 'terapi' yang dilakukan dokter itu. Ada aroma tak sedap menyengat, tapi bibik hanya meletakkan jus itu di meja dekat sofa, kemudian buru-buru keluar dari kamar itu.
***
Rusmi pulang pada jam sepuluh malam, mencoba membuka kamar Hasti, tapi terkunci. Rusmi membiarkannya, mengira anak gadisnya sudah tertidur. Tapi ditengah pintu ia menemukan tali sepatu, sementara Hasti tidak memiliki sepatu bertali. Rusmi memungutnya dengan heran.
“Apakah ada laki-laki masuk ke sini saat dia pergi? Rusmi teringat perkataan Baskoro yang mengatakan bahwa Hasti adalah gadis yang berpengalaman. Apa maksudnya? Benarkah ada tamu laki-laki memasuki kamar anaknya? Ia mencopot sepatunya, kemudian memakainya dengan tergesa-gesa sehingga sebelah tali sepatu itu terlepas dan tidak diperhatikannya, atau memang dibiarkannya untuk mempercepat waktunya pergi?
Karena penasaran, Rusmi mengetuk kamar anaknya. Lama tak ada jawaban, tapi kemudian terdengar suara malas dari dalam.
“Siapa? Aku mau tidur, jangan mengganggu.”
“Hasti, ini ibu,” teriak Rusmi.
“Ibu, aku sudah tidur, tolong besok saja.”
Rusmi menghela napas kesal, tapi ia membawa tali sepatu itu untuk ditanyakan keesokan harinya.
Ia memasuki kamar, membersihkan diri dan berganti pakaian, kemudian membaringkan tubuhnya di ranjang. Tapi sebelum tidur dia menelpon Baskoro.
Agak lama tidak diangkat, dan ketika diangkat, Rusmi terkejut karena yang terdengar adalah suara perempuan yang menjawab kasar, setelah mendengar suaranya menyapa manis.
“Bas, kamu sudah tidur?”
“Kamu siapa? Ini sudah malam. Suamiku sedang ada di kamar mandi.”
Rusmi tidak menjawab, langsung menutup ponselnya. Ia tidak mengira yang menjawab adalah perempuan, dan itu pasti istrinya yang marah karena ada yang menelpon suaminya di saat malam hampir larut.
Rusmi mengangkat bahu. Ia membayangkan Baskoro akan segera ribut dengan istrinya.
Tapi tidak. Suri tidak peduli dan tidak mengatakan apa-apa, ketika Baskoro masuk kembali ke kamarnya. Ia berganti pakaian lalu meraih ponselnya. Ia melihat tadi ada panggilan masuk, dan itu dari Rusmi. Ditatapnya istrinya, yang sedang bersiap untuk tidur.
“Tadi ada telpon?”
“Ya, sudah aku jawab kalau kamu sedang mandi. Namanya DIA,” jawabnya datar.
“Itu … istri pak Raharjo, pasti sedang menanyakan tentang suaminya. Kan aku dekat sekali sama pak Raharjo, dan saat ini pak Raharjo sedang ke kantor cabang yang letaknya jauh di luar kota,” kata Baskoro tanpa ditanya. Lalu membaringkan tubuhnya di samping sang istri.
Suri membalikkan tubuhnya, memunggungi sang suami. Suri bukan perempuan yang terlalu bodoh. Kalau istri pak Raharjo, kenapa namanya tertera sebagai DIA? Bukankah kalau memang tidak apa-apa, maka dia bisa menuliskan nama aslinya, atau bahkan tidak usah diberi nama? Mengapa DIA? Itu adalah panggilan yang istimewa. Suri tak mengatakan apapun, dan menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam benaknya. Benarkah perempuan itu istri pak Raharjo? Menanyakan suaminya? Apakah tidak bisa menelpon suaminya langsung? Mengapa harus menanyakannya kepada bawahannya?
Ia belum pernah bertemu Raharjo, hanya mendengar namanya dan alamat rumahnya saja yang sering disebut suaminya, apalagi istrinya. Apakah istrinya masih muda, atau setengah tua, entahlah. Tapi dia tak peduli tentang panggilan telpon itu. Suaminya sudah sering berbohong, dan menganggap dirinya bodoh. Dia sedang bersiap untuk menentukan sikap dalam menghadapi sang suami. Apakah rumah tangga ini harus diteruskan, ataukah tidak. Tapi dia harus membuktikan kebohongan suaminya terlebih dulu.
***
Pagi hari itu Suri memasak ayam panggang yang cukup banyak. Sebagian untuk sarapan, tapi sebagian lagi dimasukkannya ke dalam rantang. Setelah suaminya berangkat kerja, Suri membawa masakannya ke sebuah alamat yang diingatnya. Rumah Raharjo, pemilik perusahaan dimana suaminya bekerja. Ia ingin membuktikan salah satu saja kebohongan yang ingin dibuktikannya.
Alamat itu ketemu, karena rumah Raharjo sangat mewah dan menonjol, berbeda dengan rumah-rumah di sebelahnya. Ada satpam menjaga di depan, yang kemudian mempersilakannya masuk ketika dia mengatakan siapa dirinya dan maksud kedatangannya.
Suri menunggu di teras, karena sang nyonya pemilik rumah sedang diberitahu. Suri tersenyum dan berdiri ketika seorang wanita cantik dengan pakaian rumahan yang anggun, keluar dari dalam.
“Selamat pagi Bu, saya Suri, istri mas Baskoro,” kata Suri memperkenalkan diri.
“Oh, iya. Saya sudah tahu.”
“Bukankah kita belum pernah ketemu?” tanya Suri heran mendengar jawaban istri majikan suaminya.
“Pernah melihat foto ibu, di ponsel Baskoro,” jawabnya yang kemudian disesalinya. Mengapa Baskoro bisa menunjukkan ponsel kepada istri atasannya?
Suri pun tercengang.
“Maksud saya, pernah suatu ketika Baskoro menunjukkan wajah istrinya di ponsel, ketika dia mengantarkan mobil ke rumah atas suruhan suami saya. Saya yang bertanya kok. Pengin melihat istrimu Bas, lalu Baskoro menunjukkannya. Tapi keterangan yang terakhir ini memang benar.
“Oh, begitu. Baiklah Bu, kedatangan saya kemari hanya untuk memberikan ini untuk ibu, itung-itung sebagai perkenalan, bahwa saya istri bawahan pak Raharjo.,” kata Suri sambil memberikan rantang kotak, berisi ayam panggang yang dibawanya.
“Wah, pasti enak. Mengapa repot-repot?”
“Mas Baskoro akhir-akhir ini sering memberi uang lebih, katanya uang lemburan. Jadi saya memasak agak banyak ayam panggang. Lalu ingin memberikannya kepada ibu, sekedar untuk incip-incip, siapa tahu ibu suka, lalu memesan kepada saya,” kata Suri tersipu.
“Ibu jualan?”
“Maksud saya begitu, ingin membuka usaha kecil-kecilan.”
“Bagus sekali.”
“Mohon maaf Bu, apakah semalam ibu menelpon suami saya?” tanya Suri tiba-tiba.
Rusmi terkejut. Tapi mana mungkin dia mengaku?
“Saya … menelpon … suami ibu? Mana mungkin? Tentu saja tidak. Semalam, masih sore saya sudah tidur, maklum. Suami saya sedang keluar kota.”
Jawaban itu dicatat Suri sebagai kebohongan sang suami. Mana dia tahu bahwa dua-duanya bohong?
***
Besok lagi ya.