BUNGA UNTUK IBUKU 16

 BUNGA UNTUK IBUKU  16

(Tien Kumalasari)

 

Baskoro berteriak-teriak, karena Rusmi memukulnya bukan hanya sekali.

“Aduh, sakit tahu.”

“Biarin. Kamu jangan sekali-sekali mengganggu anakku, awas ya.”

“Nggak, bukan aku yang mengganggu. Anakmu yang mengganggu,” kata Baskoro yang langsung melompat ke atas ranjang ketika mereka sudah masuk ke dalam kamar. Tapi Rusmi tetap mengejarnya dengan gemas.

“Apa kamu bilang? Anakku mengganggu kamu?”

“Iya, sumpah.”

“Bagaimana dia mengganggu?”

“Biasa lah, senyum-senyum, begitu.”

“Ge er. Memangnya senyuman itu mengganggu?”

“Iya lah, dulu kamu mengganggu aku juga dengan senyuman, kan?”

“Ngawur!!”

Baskoro terbahak ketika Rusmi ingin memukulnya lagi.

“Mengapa jadi begini? Katanya kangen. Dan begitu kesempatan ada, kamu malah mengamuk tidak karuan.”

“Kamu sih, mengganggu anakku.”

“Tapi anakmu memang cantik. Masa nggak suka anaknya dibilang cantik?”

“Kamu harus tahu ya, anakku itu masih kuliah, dan tidak mengenal laki-laki, apalagi laki-laki seperti kamu.”

“Masa? Menurutku dia sudah matang kok.”

“Ngaco ah!”

“Aku ini laki-laki. Tahu dong mana perempuan yang masih mentah dan yang sudah berpengalaman.”

Rusmi terdiam. Perkataan Baskoro membuatnya terkejut. Masa Hasti sudah berpengalaman? Dalam hal mengenal laki-laki? Selama ini Rusmi tak pernah memperhatikan anaknya. Dengan siapa dia bergaul, bagaimana bentuk pergaulan mereka dan seterusnya.

“Hei, mengapa melamun? Jauh-jauh datang kemari hanya untuk melamun?”

“Aku sedang memikirkan Hasti. Benarkah dia sudah berpengalaman?”

“Jangan pikirkan itu, Barangkali aku salah. Pikirkan saja acara kita berdua di tempat ini.”

“Aku juga ingin bicara tentang suami aku.”

“Kamu tidak usah memikirkannya. Lebih baik kita bersenang-senang.”

“Baiklah, aku percaya sama kamu.”

Dan setan-setan mulai lagi menggerayangi jiwa lemah dan iman yang goyah. Benarkah dosa itu nikmat?

***

Hasti sangat kesal. Saat makan malam ia tidak mau keluar. Ia sedang membayangkan laki-laki bercambang yang pastinya saat ini sedang bersama ibunya. Keterlaluan. Mengapa dia suka pada wanita yang lebih tua? Dalam hati Hasti berjanji akan merebutnya. Laki-laki itu sangat menawan, gagah dan memesona. Mengapa ia baru mengingatnya? Saat ke kantor ayahnya untuk sebuah keperluan, dia hanya melihatnya sekilas. Ia tersenyum memikat, demikian juga dirinya. Tapi kemudian Hasti melupakannya. Hanya saja sore tadi semuanya tampak berbeda. Ia seperti dewa dari kahyangan yang menawarkan cinta.

Hasti berdiri di depan kaca. Tentu saja dia lebih menarik dari ibunya yang sudah pernah melahirkan dua orang manusia.

“Apa susahnya merebut dia?”

Hasti tersenyum, lalu senyum itu menghilang ketika terdengar ketukan di pintu.

“Mbak Hasti, makan malam sudah siap.”

“Tidak, aku belum mau makan sekarang,” jawabnya tanpa membuka pintu, lalu ia merebahkan dirinya di ranjang. Ia lebih suka membayangkan hal-hal yang membuatnya mabuk. Dicumbui laki-laki yang sejak sore mengganggu pikirannya.

***

Bibik kembali ke ruang makan. Wijan dan Nilam masih menunggu.

“Mbak Hasti tidak makan sekarang. Mas Wijan dan Mbak Nilam makan saja duluan,” kata bibik.

“Asyik, lebih bagus makan tanpa dia,” sorak Nilam sambil menyendok nasinya.

“Nilam!” tegur Wijan sambil menatap tajam adik tirinya. Bagaimanapun dia tidak suka seseorang membenci saudaranya, apalagi saudara kandungnya.

“Mas Wijan aneh. Mbak Hasti membenci, tapi mas Wijan masih saja membelanya,” gerutunya dengan mulut manyun.

“Membenci itu menyiksa diri kita. Menyayangi itu membuat hidup kita nyaman.”

“Huh, kakek Wijan,” ejek Nilam.

“Kalau diberi tahu itu didengarkan, dan dirasakan. Apa yang mas Wijan katakan ini harus kamu ingat baik-baik. Suatu hari nanti kamu akan merasakan kebenarannya.”

“Hm,” Nilam mengangguk.

“Jangan hanya mengangguk.”

“Baiklah, akan Nilam rasakan, Masku yang baik.”

Wijan cemberut. Ia tahu Nilam belum sepenuhnya mengerti.

“Tiba-tiba aku ingat bapak. Bapak juga sering memberi petuah-petuah begitu. Sedang apa ya bapak saat ini?”

“Pasti sedang istirahat. Bapak banyak pekerjaan. Maksudnya, banyak yang harus dikerjakan.”

“Besok kalau aku sudah lulus, ingin sekali membantu bapak di perusahaan.”

“Bapak pasti senang.”

“Kata bapak, aku harus rajin belajar.”

“Hm, itu pasti.”

“Aku kangen bapak. Maukah nanti mas Wijan menelpon bapak? Aku juga ingin bicara sama bapak.”

“Iya, nanti setelah makan aku akan menelpon bapak.”

***

Malam sudah larut ketika Rusmi pulang ke rumah. Tubuhnya tampak letih dan kusut. Ia ingin segera mandi dan membersihkan diri. Tapi sebelum masuk ke kamarnya, Hasti menyapanya.

“Ibu baru pulang?”

“Iya, capek sekali.”

“Ibu bersama dia sejak sore tadi?”

Rusmi urung membuka pintu kamarnya.

“Bersama dia, siapa?”

“Laki-laki bernama Baskoro itu.”

“Ada urusan dengan dia. Memangnya kenapa?”

“Urusan apa? Bisnis? Atau … urusan … apa?” tanya Hasti dengan senyuman mengejek.

“Apa maksudmu? Urusan penting, kamu tidak perlu menanyakannya.”

“Apa dia punya istri?”

“Hei, mengapa kamu menanyakan itu?”

“Dia laki-laki menarik lhoh,” kata Hasti enteng, membuat mata Rusmi melotot marah.

“Hasti, kamu tidak pantas mengatakan itu,” katanya kesal, sambil membuka pintu kamarnya, lalu kembali menutupnya.

Ada perasaan tak senang mendengar teguran Hasti. Apakah dia cemburu? Atau karena merasa bahwa seorang gadis seusia Hasti belum pantas mengatakan kekagumannya kepada seorang pria?

Rusmi mengangkat bahunya. Ia akan mengingatkan Baskoro agar tidak pernah sekalipun mendekati anaknya.

***

Sementara itu, Suri marah karena Baskoro membangunkannya di tengah malam, sementara dirinya sudah terlelap.

“Jam berapa sih ini? Kenapa baru pulang?”

“Kamu tidak tahu pekerjaan suami kamu ya? Kalau pulang terlambat itu pasti lembur. Setiap kali terus-terusan bertanya,” omel Baskoro yang terus nyelonong masuk ke rumah.

Suri mengunci kembali pintunya, dan mengikuti suaminya ke dalam kamar.

“Lembur sampai tengah malam begini? Lihat, bajumu kusut.”

“Aku ini kepala gudang. Banyak barang, dan terkadang harus membantu mengangkat barang-barang itu.”

“Sampai kusut begini,” omelnya terus menerus sambil memunguti baju Baskoro yang dilepas begitu saja dan dibiarkannya berserakan di lantai.

“Hei, kenapa ada merah-merah di baju putih kamu ini, Mas?”

“Merah-merah apa?”

“Apa ini lipstik?”

“Lipstik apa?”

“Ini kan warna lipstik.”

“Jangan ngawur. Barang-barang dengan bungkus berwarna merah itu ada. Mungkin ada yang melunturi pakaian aku.”

“Baunya juga wangi.”

“Diamlah, Suri. Aku ini lelah dan ingin segera beristirahat. Sebel mendengar omelan kamu.”

“Tunggu aku ambilkan baju ganti kamu dulu.”

“Aku mau mandi dulu.”

“Bagus, mandilah, baumu sungguh tidak enak,” gerutu Suri sambil memasukkan baju-baju kotor ke dalam keranjang.

Ketika mengangkat hem putih yang berbekas merah seperti lipstik itu, Suri mencium bau wangi yang membuatnya curiga. Suri pernah mencium wangi yang sama, dan saat itu Baskoro menjawab bahwa ada tukang menjual parfum masuk ke kantornya. Apakah di tengah malam juga ada penjual parfum memasuki kantor? Baunya masih sangat menyengat, berbaur dengan bau keringat.

“Hei, mengapa kamu mencium-cium bajuku?” tiba-tiba Baskoro sudah keluar dari kamar mandi, hanya mengikat tubuhnya dengan selembar handuk. Tubuh kokohnya sangat menonjol. Tapi Suri tidak tertarik. Rasa curiga menghilangkan semua selera.

“Suri tak menjawab. Ia mengangkat keranjang dan bermaksud membawanya keluar. Tapi Baskoro menariknya. Rupanya ia tahu sang istri sedang mencurigainya, dan sekarang ingin membuat sang istri melupakan kecurigaan itu dengan memeluknya. Tapi Suri mendorongnya sampai Baskoro hampir terjatuh.

“Suri, apa yang kamu lakukan?” kesal Baskoro.

Suri tak menjawab. Ia langsung keluar kamar, meletakkan keranjang kotor di dapur, lalu kembali tidur, tapi bukan di kamar. Ia tidur di atas sofa, tak peduli ketika Baskoro membangunkannya. Betapapun diamnya Suri, betapapun nrimonya dia, tapi tak ada perempuan mau berbagi. Ia mencurigai suaminya bermain perempuan, lebih dari hari-hari yang telah lalu.

***

Pagi harinya, Suri tak banyak bicara. Ia hanya bicara ketika ditanya. Tapi ia tetap menyediakan minuman hangat dan sarapan bagi suaminya. Baju bernoda lipstik dan aroma wangi yang beberapa kali tercium dengan aroma yang sama, selalu mengganggunya. Sekarang ia merasa, sang suami memang berbohong. Dulu sering Baskoro terlambat pulang, tapi tak pernah selarut ini. Alasan lembur masih bisa diterima akal. Tapi lembur sampai larut malam, baru sekali ini terjadi. Perasaan seorang istri memang peka. Ada yang berbeda, ada yang membuatnya berpikir tentang sebuah perselingkuhan. Itukah sebabnya maka Baskoro tak pernah peduli tentang keinginannya semula, yaitu ingin memiliki anak? Pernah terpikirkan untuk memeriksakan diri ke dokter, tapi akhir-akhir ini Baskoro seperti tak peduli. Apakah dia sudah menemukan perempuan yang bisa mengandung anaknya?”

“Suri, mengapa sayur pagi ini rasanya hambar?” tanya Baskoro ketika menikmati sarapannya.

“Apa?” jawab Suri acuh tak acuh.

“Biasanya kamu masak enak. Pagi ini kok hambar, tidak ada rasanya.”

“Seterusnya akan begitu,” jawabnya tanpa menatap wajah suaminya.

“Apa maksudmu?”

“Seperti perasaanku. Hambar.”

“Apa yang kamu pikirkan?”

“Banyak.”

“Jangan berpikir yang tidak-tidak.”

“Yang aku pikirkan pasti ‘iya’,

Baskoro diam. Ia tak ingin berdebat pagi hari itu. Karenanya dia hanya diam. Hal itu membuat Suri semakin merasa pasti bahwa suaminya telah melakukan sesuatu yang menyakiti hatinya. Ada tangis mengiris, yang ditahannya. Ia tak mau memperlihatkan kelemahan di depan suaminya.

Ia bahkan tetap diam ketika suaminya berangkat. Tak menjawab ketika ia berpamit. Baskoro tak bereaksi. Barangkali tak ada sesal kalau sampai Suri meninggalkannya. Ada perempuan yang menyukainya dan memanjakannya dengan uang yang tak henti-hentinya, dan sebentar lagi akan menjadi miliknya sepenuh hati.

Ketika sudah naik ke atas motornya, ponselnya berdering. Ada nomor tak dikenal. Ingin diabaikannya, tapi Baskoro penasaran. Karenanya segera diangkatnya panggilan itu.

“Hallo.”

“Hallo, mas Baskoro, selamat pagi.”

“Baskoro hampir terlonjak. Sapa yang begitu manis, dan suara yang begitu menggelitik, serasa dikenalnya.

“Hayo, siapa aku?”

“Apakah … kamu Hasti?”

“Duh senangnya, aku tidak dilupakan,” sorak Hasti dari seberang.

“Dari mana kamu tahu nomor kontak aku?”

“Nyuri di ponsel ibu.” jawabnya enteng, membuat Baskoro terbahak.

“Baiklah, ini aku mau berangkat ke kantor. Ada yang bisa aku bantu?”

“Ada dong.”

“Apa tuh?”

“Aku sakit, jadilah dokter.”

“Apa? Apa maksudnya?”

“Datanglah ke rumah, aku menunggu.”

“Wah, itu tidak gampang.”

“Takut ketahuan ibu? Nanti malam ibu ke kondangan bersama temannya. Jadi jangan khawatir.”

“Bukankah ada yang mengenali aku di rumah itu? Nggak enak dong. Wijanarko, yang pernah tertabrak olehku, pasti masih mengingatku.”

“Aku jadikan kamu dokter, jadi berpakaianlah seperti dokter. Kamu akan bebas masuk ke dalam.”

Baskoro diam, terpikir olehnya sebuah ide yang lucu. Tapi boleh juga. Baskoro mengatakan ‘siap’, kemudian bergegas ke kantor sambil tersenyum simpul. Ia tak mengira, Hasti lebih licik dan pintar dari ibunya. Pasti akan menyenangkan.

***

Siang hari itu Rusmi menemui Baskoro saat makan siang, mengajaknya makan seperti biasa. Tapi Baskoro tak berani pergi terlalu lama. Ia tahu pak Rangga selalu mengawasinya. Tak apa, kalau tak bertemu siang hari, kan malam harinya bisa bebas bersenang-senang?

“Tapi malam ini aku tak bisa pergi bersama kamu, Bas.”

“Kenapa?” Baskoro pura-pura tak tahu, karena Hasti sudah mengatakannya.

“Ada undangan temanku, aku harus menghadirinya.”

“Aduh, aku pasti akan kedinginan.”

“Kan ada istri kamu yang gemuk? Pasti dia lebih hangat daripada aku,” canda Rusmi, membuat Baskoro terbahak.

“Kamu kan tahu aku tak pernah berselera sama dia, apalagi setelah ketemu kamu.”

“Benarkah? Bagaimana kalau ada yang lain?”

“Kamu seperti anak muda saja. Apakah ini rasa cemburu?”

“Meskipun aku tidak muda, tidak bolehkah merasa cemburu?”

“Boleh, aku senang, karena cemburu itu tandanya cinta.”

“Seperti anak muda saja. Kita ini kan sudah tua Bas, tidak seharusnya begini-begini terus seperti maling.”

“Aku tahu, kan semuanya sudah diatur? Apa yang kamu khawatirkan?”

“Suamiku berdinas selama beberapa hari. Paling cepat tiga hari.”

“Apa kamu kangen?”

“Kangen dong, kangen uangnya.” Lalu keduanya terbahak-bahak.

***

Raharjo sedang beristirahat dan makan siang, ditemani Lusi, sekretarisnya, dan pak Bardi, sopirnya. Udara mendung, dan musim hujan tampaknya sudah mulai datang.

“Besok hari terakhir kita Lus, bukankah semuanya sudah selesai?” tanyanya kepada Lusi.

“Syukurlah, jadi sore harinya kita bisa pulang. Menyenangkan bisa pulang lebih cepat."

“Bukankah Bapak ingin membeli oleh-oleh untuk putra Bapak?” Bardi mengingatkan.

“Kamu benar Bar, Aku ingin membeli buah-buahan. Buah apa yang khas di kota ini?”

“Besok saya antarkan Bapak ke perkebunan buah-buahan. Kita bisa memetik sesuka hati kita.”

“Benarkah?”

“Lebih baik Bapak berangkat siang saja bersama pak Bardi, saya akan tinggal untuk berkemas,” kata Lusi.

“Kamu tak ingin ikut?”

“Saya kira mbak Lusi benar. Kita bisa berangkat awal, biar mbak Lusi membereskan semuanya. Kita akan ke luar kota, karena letak perkebunan itu di luar kota."

“Tapi kamu harus hati-hati Bardi, kalau hujan, jalanan licin.”

Baru saja Raharjo selesai bicara, hujan turun bagai tercurah dari langit.

“Lihat, hujan deras sekali. Apakah sebaiknya kita beli jajanan di toko saja?”

“Nggak asyik Pak, Bapak pasti senang nanti, bisa memetik buah sendiri. Saat ini sedang musim mangga dan di sana ada juga durian. Kemarin saya sudah mendapat informasi dari orang-orang di sekitar tempat ini.”

“Baiklah, terserah kamu saja. Sebentar, aku akan menelpon Wijan, apakah dia juga suka durian.”

Tapi sebenarnya apa yang ditawarkan sang ayahnya sudah ditolak oleh Wijan.

"Mengapa Bapak harus membelinya di sini? Di tempat kita banyak penjual mangga,, apalagi durian. Nggak usah Bapak susah-susah deh, apalagi tadi Bapak bilang kalau di situ lagi banyak hujan. Padahal di tempat kita belum lhoh."

"Tidak apa-apa, Jan. Kan lebih enak, makan mangga hasil petikan tangan bapak?" kata pak Raharjo sambil tertawa.

***

Besok lagi ya.

 

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

Previous Post Next Post