BUNGA UNTUK IBUKU 15

 BUNGA UNTUK IBUKU  15

(Tien Kumalasari)

 

Entah mengapa pula, melihat ayahnya pergi, hati Wijan serasa tercekat. Barangkali karena saat pamitan, sang ayah menitikkan air mata, dan memeluknya erat. Sang ayah sudah sering keluar kota, tapi tak pernah bersikap seperti itu.

Barangkali karena perginya agak lama, pakai menginap segala, atau entahlah. Wijan sendiri tak tahu kenapa perasaannya menjadi tidak karuan saat itu.

“Mas Wijan, ayo berangkat,” teriakan Nilam menyadarkannya.

Hari itu Wijan sudah bisa naik sepeda. Lukanya sudah hampir mengering, dan itu tidak membebaninya.

“Nilam, kamu bareng Mbak Hasti saja,” teriak Hasti.

“Tidak, aku bareng mas Wijan.”

“Dia itu tangannya masih sakit. Nanti tidak bisa membawa sepedanya dengan benar, lalu kamu jatuh, bagaimana?”

“Iya, Nilam, naiklah mobil bersama mbak Hasti.”

“Apa mas Wijan belum bisa mengendarai sepeda dengan benar? Masih sakitkah tangannya?”

“Tidak sih, tapi akan lebih baik kalau kamu naik mobil.”

“Nggak mau. Aku mau membonceng mas Wijan!”

Kalau sudah begitu, tak ada yang bisa membujuknya. Dengan wajah gelap, sang ibu dan kakaknya membiarkan Wijan memboncengkan Nilam ke sekolah.

Sebenarnya bukan tanpa sebab Nilam nekat ingin membonceng Wijan, yang masih terlihat luka-lukanya akibat kecelakaan beberapa hari yang lalu. Hanya saja, Nilam belum sempat bicara dengan Wijan, tentang ibunya yang bertelpon dengan kata-kata yang membuatnya gelisah.

“Dasar bandel.” omel Wijan ditengah perjalanan ke sekolah.

“Ada yang ingin aku bicarakan sama mas Wijan.”

“Apa tuh?”

“Panjang. Nanti saja sepulang sekolah kita berhenti di jalan dan bicara.”

“Ada-ada saja. Anak kecil mau bicara tentang apa?” ejek Wijan.

Nilam yang kesal selalu dikatakan sebagai anak kecil, mencubit pinggang Wijan dengan keras, membuat Wijan berteriak kesakitan.

“Aaauwww! Sakit tahu!!”

“Aku nggak mau dikatain anak kecil! Ini masalah serius.” kesalnya.

“Oh ya? Baiklah, nanti akan mas dengar, seserius apa yang akan kamu katakan nanti.

***

Dan ditepi sawah, seperti biasanya mereka lakukan, saat berhenti sambil menikmati udara siang yang cerah, Nilam mengatakan apa yang didengarnya saat ibunya bertelpon.

“Sebelum mas kecelakaan itu sebenarnya aku sudah memikirkan hal ini. Apa sebenarnya maksud kata-kata itu ya Mas?”

“Sepertinya kita tidak perlu memikirkan hal itu.”

“Mas Wijan ini bagaimana?”

“Bukankah hal itu tidak ada hubungannya dengan kita? Barangkali ibu punya urusan dengan orang itu.”

“Tapi perasaanku kok tidak enak ya mas. Ada yang akan disingkirkan.”

Lalu Nilam teringat perkataan kakaknya ketika mengantar ke sekolah. Kalau Wijan sudah tak ada......

"Ya Tuhan,” tiba-tiba Nilam memekik.

“Ada apa sih? Kamu membuat aku terkejut saja.”

Nilam kemudian merasa, bahwa yang akan disingkirkan ibunya itu adalah Wijan. Wajahnya menjadi pucat.

“Ada apa?”

“Tidak. Tidak apa-apa. Ayo kita pulang.”

***

Tapi di rumah, hati Nilam tetap merasa tidak tenang. Alangkah sedih kalau harus kehilangan Wijan. Tapi benarkah dugaannya? Bagaimana cara ibu atau kakaknya menyingkirkan kakak tirinya yang amat disayanginya? Meracuninya? Maka ketika di depan tempat duduk Wijan ada segelas minuman, Nilam menukarnya dengan gelasnya. Biarlah kalau mereka bermaksud meracuni Wijan, dia dulu yang kena.

“Hei, mengapa kamu menukar gelasku?” tanya Wijan dengan heran.

“Nggak apa-apa. Kelihatannya ini lebih segar,” katanya sambil mencecap gelas air putih yang tadi di tukarnya. Tak ada rasa apa-apa. Di dalam makanan? Bagaimana caranya? Kalau makanan bisa saja dimakan setiap orang. Bisa saja salah sasaran.

“Hari ini kamu bersikap aneh,” celetuk Wijan sebelum mengakhiri makan siangnya.

Nilam hanya tersenyum. Hatinya tetap saja merasa tidak tenang. Ia harus mengawasi setiap apapun yang dimakan Wijan. Tapi bagaimana kalau tidak melalui makanan dan minuman? Nilam gelisah sendiri.

Siang hari itu setelah makan, Nilam mengajak Wijan duduk di taman, sambil memandangi ikan koi yang berseliweran.

“Kamu harus beristirahat sepulang sekolah, mengapa harus duduk-duduk di sini? Aku juga akan menghabiskan waktu luangku untuk belajar,” kata Wjan.

“Iya sih, kalau begitu ayo masuk ke rumah, dan istirahat dulu,” kata Nilam yang akhirnya berdiri dan mendahului masuk ke dalam rumah. Tapi sebelum masuk ke kamarnya, Wijan menarik tangannya.

“Sikapmu ini aneh. Ada apa sebenarnya?”

“Aku sedang memikirkan sesuatu.”

“Sesuatu apa?”

“Seperti yang tadi aku katakan pada mas Wijan.”

“Nilam, kamu terlalu berlebihan. Lupakan saja. Itu bukan urusan kita.”

“Bagaimana kalau … ibu atau mbak Hasti akan mencelakai mas Wijan?” hati-hati Nilam berkata.

“Mengapa kamu berpikir begitu? Mati dan hidup, juga perjalanan manusia hidup itu adalah sesuatu yang sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Berserahlah kepadaNya, maka kamu akan berasa lebih tenang.”

Nilam mengangguk lemas. Ia lupa belum shalat dhuhur, lalu bergegas ke kamarnya karena Ashar akan segera tiba.

***

Walau tampaknya tenang, tapi sesungguhnya Wijan juga memikirkan apa yang dikatakan Nilam. Ada banyak hal yang bisa dihubung-hubungkan, tentang ada diujung tanduk, tentang menyingkirkan, dan apakah sebenarnya maksudnya? Apakah hubungan ibu tirinya dengan Baskoro sudah diketahui ayahnya? Tapi kenapa ayahnya diam saja dan tidak melakukan apa-apa? Tiba-tiba Wijan merasa sangat rindu kepada sang ayah. Baru sehari ayahnya pergi, dan ada apa dengan perasaan ini? Wijan mengambil ponselnya, dan menghubungi nomor kontak sang ayah.

“Wijan?” sambut Raharjo dari seberang.

“Ya, Pak.”

“Ada apa?”

“Nggak apa-apa, Bapak sedang apa?”

Raharjo tertawa.

“Bapak kan pergi untuk bekerja, tentu saja bapak   sedang bekerja. Tapi saat ini sedang bersiap untuk kembali ke hotel. Kamu sudah di rumah?”

“Sudah.”

“Apakah ada sesuatu yang ingin kamu katakan?”

“Hanya ingin memastikan bahwa Bapak baik-baik saja.”

Raharjo kembali tertawa. Tapi ia senang bisa mendengar suara anaknya. Entah mengapa, ia merasakan sesuatu yang berbeda, sejak keberangkatannya.

“Kamu sedang apa? Awas ya, saat luka kamu belum sembuh benar, kamu tidak boleh mengerjakan yang berat-berat. Bapak sudah bilang pada bibik bahwa menyiram tanaman harus bibik yang mengerjakan.”

“Wijan sudah merasa sehat. Bapak tidak usah khawatir.”

“Ya sudah, istirahatlah. Mungkin bapak akan beberapa hari ada di sini. Kamu ingin sesuatu? Di kota ini banyak buah-buah segar. Kamu suka apa?”

“Terserah Bapak saja. Apapun yang Bapak bawa, Wijan akan suka.”

“Baiklah, istirahat saja sekarang.”

Raharjo merasa, seperti merasakan sesuatu yang baru. Selama ini ia begitu jauh dari anaknya. Bukan berarti tak menyayangi, tapi sebuah tegur sapa ternyata terasa nikmat. Baru kali ini Raharjo merasa telah kehilangan banyak waktu untuk saling menyapa dengan anak semata wayangnya. Dan ia berjanji dalam hati untuk lebih sering berkomunikasi.

Wijan menutup ponselnya dengan perasaan lega. Ia meraih buku yang tadi disiapkannya, berharap bisa belajar sebelum kantuk menyerangnya.

***

Pak Rangga keluar dari ruangannya saat istirahat tiba, bermaksud makan di kantin. Ketika melihat Baskoro, tiba-tiba ia ingin mengajaknya berbincang.

“Bas. Mau ke mana?”

“Mau pulang sebentar Pak.”

“Mengapa pulang?”

“Makan lah Pak, ini kan waktunya makan.”

“Makan di sini saja, aku yang traktir.”

“Tapi ….” Baskoro tampak ingin menolak.

“Jangan bilang ada urusan. Temani aku makan, lagi nggak pengin sendirian,” katanya sambil menarik lengan Baskoro, yang tak bisa berkutik selain menurutinya.

“Biasanya makan dengan pak Raharjo, ketika pak Raharjo pergi, rasanya kok nggak enak makan sendirian,” katanya lagi sambil memintanya duduk di sebuah bangku kantin, disudut ruangan.

“Pesan apa yang kamu suka. Aku hanya mau soto ayam sama perkedel,” kata pak Rangga.

Baskoro tampak gelisah, saat melambai ke arah pelayan kantin.

“Soto dua, jeruk panas dua,” perintahnya.

“Kamu kelihatan gelisah begitu. Apakah istri kamu marah, kalau kamu tidak makan di rumah?”

“Istri saya sering curiga, mengira saya berbuat macam-macam.”

“Bukankah itu benar?” canda pak Rangga.

Baskoro tertawa malu.

“Hanya sesekali.” katanya tanpa malu.

Pelayan menghidangkan pesanan mereka.

“Beberapa minggu yang lalu, aku melihat kamu diantar mobil berwarna hijau lumut,” tiba-tiba kata pak Rangga mengejutkannya.

“Apa?”

“Ketika bertemu aku sebelum memasuki halaman.”

“Oh, itu.”

“Mobilnya seperti mobil pak Raharjo, maksudku seperti mobil bu Raharjo.”

“Oh, itu. Warnanya mirip ya.”

“Mobil baru juga, kan kelihatan plat nomornya.”

“Iy ..iya, benar,” Baskoro menyendok nasi soto di depannya, lalu menutup mulutnya karena masih sangat panas.

“Mengapa tergesa-gesa? Biarkan sejenak, agar lebih adem.”

“Maaf.”

“Itu mobil siapa?” pak Rangga masih mendesak.

“Itu, mobil keponakan saya,” jawabnya sekenanya. Tapi Baskoro ingat, itu jawaban yang sama ketika pak Rangga bertanya waktu itu.

“Bagaimana bisa semirip itu. Kamu tahu Bas, waktu itu aku mengira kamu sedang bersama bu Raharjo.

Baskoro tersedak.

“Hei, hati-hati. Lagian minumnya juga masih panas.”

Baskoro tak menjawab apapun.

“Tapi itu kan hanya dugaan ngawur. Pasti bukan lah, mana mungkin kamu berani mengganggu istri atasan.”

Baskoro beruntung, ponselnya berdering, jadi dia tak usah menanggapi ucapan pak Rangga, yang kemudian sibuk menyuap nasi sotonya.

“Ya, Bu.”

Telpon itu dari Rusmi.

“Kemana kamu? Aku menunggu sampai tertidur.”

“Maaf Bu, ini sedang menemani pak Rangga makan. Nanti sore saja ketemu.”

Ponsel ditutup tiba-tiba.

“Mau ketemuan sama siapa?”

“Oh, itu kan … istri saya Pak, pasti menunggu saya pulang.”

“Oh, jawabnya kok ‘ketemu’, seperti ketemuan,  bukannya nanti sore pasti pulang, begitu kan?”

“Ah, hanya salah ucap,” lalu ia melanjutkan makan. Perasaannya sungguh tak enak. Ia merasa sedang dicurigai. Apakah dia juga mengatakan kecurigaan itu pada pak Raharjo?

***

Rusmi pulang ke rumah pada sore hari itu, dan pergi lagi setelah mandi. Ia tidak mengatakan akan pergi ke mana, dan tak seorangpun bertanya. Hasti yang baru pulang entah dari mana, juga hanya bertanya sekilas, tapi tak memperhatikan jawaban ibunya.

Ketika Rusmi sudah menghilang dengan mobilnya, Hasti masih ada di teras, karena seseorang menelponnya. Begitu selesai bertelpon dan akan masuk ke rumah, dilihatnya sepeda motor memasuki halaman. Hasti berhenti melangkah, melihat seorang laki-laki gagah dengan cambang di wajahnya, melangkah mendekat dan tersenyum memikat. Hasti berdebar melihatnya, dan membalasnya dengan senyuman pula. Hasti pernah melihat laki-laki itu, dan sedang mengingat-ingat.

“Ini Hasti kan?”

“Mm … kok Bapak tahu?”

“Hasti pernah ke kantor pak Raharjo waktu itu.”

“Aaah, yaa … saya baru ingat. Ini karyawan ayah saya yang bernama ….”

“Baskoro.”

“Iya, pak Baskoro. Mencari bapak? Bukankah bapak pergi ke kantor cabang?”

“Iya, saya tahu. Saya mencari ibu.”

“Haa, mencari ibu?”

Hasti merasa, Baskoro selalu menatapnya dengan pandangan menggoda. Barangkali memang dia laki-laki penggoda. Sudah tidak muda, tapi masih kelihatan gagah dan menawan. Kenapa dia mencari ibunya?” kata batin Hasti.

“Ibu ada?”

“Ibu pergi belum lama.”

“Oh, ya …”

Saat itulah ponsel Baskoro berdering.

“Hallo, yaah , aku ke rumah nih. Habis tadi tidak bilang. Baiklah, aku ke sana.”

Baskoro menutup ponselnya dan menatap Hasti dengan sangat tajam. Hasti sampai tersipu karenanya. Tapi dia senang menerima tatapan itu.

“Kalau begitu saya pamit dulu.”

“Baiklah … “ jawab Hasti agak sedikit gugup.

“Lain kali aku akan kemari lagi,” kata Baskoro sambil berlalu, mendekati motornya dan meninggalkan Hasti yang masih terpana dengan pertemuan itu.

“Baskoro … iya, aku ingat, ketemu waktu di kantor bapak. Kenapa ya, dia mencari ibu? Laki-laki itu sedikit genit, matanya liar menatap aku. Tapi kok aku suka ya,” gumamnya sambil melangkah masuk ke dalam.

“Itu tadi siapa?” Hasti terkejut ketika Nilam tiba-tiba sudah ada di depannya.

“Itu karyawan bapak.”

“Karyawan bapak? Bukankah bapak pergi? Apa dia tidak tahu?”

“Dia mencari ibu.”

“Oh ya, mencari ibu ya. Aku pernah melihat dia bersama ibu,” kata Nilam tak senang.

“Jangan lancang kamu.”

“Emang iya. Kenapa dia mencari ibu, sementara bapak tidak ada dirumah?”

“Kenapa tanya? Anak kecil jangan sok ikut campur urusan orang tua,” katanya sambil berlalu masuk ke dalam kamarnya. Tapi di dalam hati, Hasti juga bertanya-tanya. Ada hubungan apa ibunya dengan Baskoro?

***

Begitu sampai di tempat mereka berkencan, Rusmi langsung marah-marah.

“Apa kamu sudah gila? Mengapa datang ke rumah?”

“Tadi kamu tidak mengatakan tempatnya, maksudku mau nyamperin ke rumah saja, bukankah suami kamu tidak ada?”

“Walaupun begitu kamu tidak bisa lancang datang ke rumah tanpa ijin aku. Ada orang lain di rumah itu.”

“Memangnya kamu takut sama siapa?”

“Kamu jangan ceroboh. Aku tidak mau dikatakan menemukan kesempatan menemui laki-laki di rumah sementara suami aku tidak ada. Akan tiba saatnya, nanti, ketika semuanya sudah selesai.”

“Baiklah, jangan marah dong, sudah kangen berat nih, aku. Tapi ngomong-ngomong, anak kamu cantik juga lhoh.”

“Apa?”

“Aku bertemu dia, Hasti, cantik dan menawan. Bisa mengalahkan ibunya dia nanti.”

Rusmi marah bukan alang kepalang. Dipukulnya Baskoro dengan tas yang dibawanya, saat memasuki hotel yang mereka pesan.

***

Besok lagi ya.

 

 

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

Previous Post Next Post