BUNGA UNTUK IBUKU 13

 BUNGA UNTUK IBUKU 13

(Tien Kumalasari)

 

Baskoro masih belum mengerti apa yang dimaksudkan Rusmi. Ia segera menutup pembicaraan itu, dan bergegas masuk ke dalam, untuk segera menekuni tugasnya di kantor, sebelum Raharjo datang.

Beruntung bagi Baskoro, setelah dia masuk ke kantor, mobil hijau lumut milik Rusmi yang dikendarai atasannya memasuki halaman.

Ketika ia turun dari mobil, satpam berlari-lari mendekatinya.

“Pak, mohon maaf. Ini bungkusan jacket yang kemarin Bapak suruh menyimpan di kantor satpam, saya lupa menyerahkannya pada Bapak.

“Apa itu?” kata Raharjo sambil menatap bungkusan plastik yang dibawa satpam.

“Ini, jacket yang Bapak suruh bungkus kemarin.”

“Aduh, biar di situ saja dulu. Nanti saja kalau pulang. Itu entah milik siapa, istriku yang tahu,” kata Raharjo sambil berlalu.

Satpam membawa bungkusan jacket itu kembali ke ruangannya dengan benak penuh tanda tanya.

Baru saja Raharjo duduk di ruangannya, pak Rangga masuk dengan membawa berkas, yang kemudian diletakkannya di meja atasannya.

“Ini Pak, dari pak Rully. Kemarin sore beliau kemari, tapi Bapak sudah pulang. Saya ingin menghubungi Bapak, tapi pak Rully melarangnya.”

Pak Rully adalah notaris yang dipanggil Raharjo beberapa hari yang lalu.

“Dia bilang apa?”

“Hanya menyerahkan berkas ini, agar dipelajari oleh Bapak. Kalau sudah sesuai, maka dia akan datang kemari untuk segera menggarapnya.”

“Baiklah, nanti aku baca dulu. Kemarin aku pulang awal, meminta sopir agar mengantarkan aku ke bengkel, ternyata mobilku belum siap. Katanya baru hari ini.”

"Harusnya Bapak beli lagi yang baru,” canda pak Rangga.

Raharjo tertawa.

“Biar saja dulu, masih layak pakai.”

Pak Rangga mengangguk mengerti. Ia tahu, atasannya adalah seorang pengusaha yang sederhana. Tidak suka memamerkan kekayaan, atau menunjukkan kemewahan. Ia baik kepada semua bawahan dan tidak membedakan status mereka, diluar area pekerjaan. Itu sebabnya dia sangat disegani dan dihormati.

“Kalau tidak ada yang Bapak inginkan, saya akan kembali ke ruangan saya.”

“Baiklah, tinggalkan saja dulu berkas ini. Kalau sudah selesai, pak Rangga akan saya panggil kemari. Ini masalah yang sangat penting, jadi jangan sampai ada yang terlewat. Ini juga cara menyelamatkan perusahaan, bukan?” kata Raharjo dengan wajah serius.

“Dan jangan lupa, Minggu depan aku akan ke kantor cabang,” lanjutnya.

“Hampir saya mengingatkan Bapak, tapi Bapak sudah mengatakannya. Sekretaris Bapak pasti sudah mempersiapkan semuanya.”

“Ya, aku akan berangkat sendiri, aku harap pak Rully sudah menyelesaikan semuanya sebelum aku berangkat.”

“Baiklah,” kata pak Rangga yang kemudian berdiri dan keluar dari ruangan.

Raharjo membuka berkas yang diserahkan pak Rangga dan mulai membacanya dengan seksama.

***

Nilam merasa bosan tiduran di kamar. Ia turun dari atas ranjang dan berjalan keluar. Keadaan di dalam rumah sangat lengang, karena semua orang pergi. Tapi tidak, Nilam mendengar suara dari kamar ibunya yang tidak terkunci. Nilam mendekat perlahan, berdiri di dekat pintu.

“Apa kamu tidak merasa takut? Bagaimanapun hal itu harus bisa terlaksana. Kita akan menyingkirkannya. Harus…. tentu saja, kamu tidak akan kehilangan, demikian juga aku. Aku merasa sedang berada diujung tanduk. Dia menyimpan kecurigaan itu, dan sewaktu-waktu akan menciptakan bom mematikan untuk kita, lalu kita tak bisa berbuat apa-apa…. Baiklah, sedang aku pikirkan rencana terbaik. Kita harus segera melakukannya, sebelum dia yang menghancurkan kita… Kamu tidak usah khawatir, aku tidak akan kehilangan apapun setelah dia kita singkirkan. Baiklah, tunggu sampai aku menghubungi kamu lagi.”

Nilam bergegas pergi dari pintu itu dan kembali menyelinap ke dalam kamarnya. Ada sesuatu yang membuatnya berdebar. Apa sebenarnya yang direncanakan ibunya? Siapa yang akan disingkirkan? Siapa dan curiga tentang apa, lalu ada kata-kata sedang berada diujung tanduk.

Nilam merasa gelisah sendiri. Ia mencatat seluruh kata-kata yang dia dengar, dan menyimpannya di dalam benaknya. Dia akan berusaha menguraikannya. Tiba-tiba Nilam ingin segera ketemu Wijan. Ia pasti bisa memecahkan teka teki ini. Tapi benarkah? Wijan terlalu santun. Ia selalu mengatakan, jangan ikut campur, diamlah, biarkan saja, atau apalah, yang penting tidak akan membuat ribut. Tapi yang didengarnya bukan sebuah pembicaraan sederhana. Ada yang harus disingkirkan karena dirinya berada diujung tanduk. Apakah itu?

Nilam memijit kepalanya yang tiba-tiba terasa pusing.

“Mbak Nilam, makan dulu ya,” suara bibik mengejutkannya. Nilam mengusap keringat yang tiba-tiba saja membasahi dahinya.

“Mbak Nilam kenapa? Kok berkeringat.”

“Tidak apa-apa. Aku mau keluar saja, makan di ruang makan.”

“Mbak Nilam kan harus istirahat. Ini sudah bibik bawakan bubur yang sangat enak. Cobalah.”

“Aku nggak mau bubur. Aku sudah sembuh,” katanya sambil bangkit, lalu turun dari ranjang.

“Nanti ibu marah lhoh.”

“Aku sudah tidak sakit, ibu tak akan marah.”

Dan sang ibu memang tidak akan marah, karena saat itu dia melihatnya keluar dari rumah dengan dandanan yang rapi.

Nilam mengamati punggungnya, lalu melihat taksi menunggu di dekat gerbang,

“Ayo Bik, aku makan nasi saja. Nggak mau buburnya.”

***

Pak Rangga dan Raharjo sedang berjalan menuju parkiran, ketika melihat Baskoro sedang bertelpon dengan serius.

“Lagi menelpon siapa dia? Serius sekali?” tanya Raharjo.

“Nggak tahu Pak, mungkin dengan keluarganya, atau mungkin dengan perempuan yang dikencaninya,” jawab pak Rangga enteng.

Siang itu mereka akan makan bersama di luar, karena akan membicarakan hal yang sangat penting. Sebelum masuk ke mobilnya, ia melihat Baskoro menyudahi pembicaraan di telpon, lalu dari jauh mengangguk ke arah kedua atasannya.

“Kamu mau ke mana?” tanya pak Rangga.

“Pulang Pak. Makan di rumah.”

“Di rumah istri atau di rumah yang lain?” canda pak Rangga sambil masuk ke dalam mobil.

Baskoro hanya nyengir kuda, lalu iapun mengendarai motornya keluar dari halaman, setelah mobil Raharjo mendahuluinya.

***

Rusmi masih ada di dalam taksi ketika Baskoro menelponnya.

“Jangan makan di tempat biasanya.”

“Kenapa?”

“Pak Raharjo dan pak Rangga juga sedang keluar. Takutnya ketemu di suatu tempat. Cari warung kecil saja.”

“Warung kecil?”

“Hanya tempat itu yang tak mungkin dikunjungi para bos.”

“Baiklah, katakan alamatnya,” kata Rusmi.

“Tapi aku tak bisa lama. Aku tak ingin kembali terkena teguran.”

“Kamu benar, jangan berbuat sesuatu yang membuatnya curiga.”

Rusmi menutup ponselnya, dan menunggu Baskoro mengirimkan alamat yang akan ditujunya, lalu memerintahkan kepada pengemudi taksi itu agar menuju ke arah yang diperintahkannya.

***

Di ruang makan, bibik menunggui Nilam yang sedang menyendok makanannya dengan ogah-ogahan. Wajah Nilam tampak kusut, seperti sedang memikirkan sesuatu. Sebentar-sebentar ia berhenti menyendok, seperti melamun.

“Mbak Nilam, kenapa makan sambil melamun?”

“Sudah kenyang.”

Baru sedikit kok sudah kenyang?”

“Aku menunggu mas Wijan saja.”

“Tapi Mbak Nilam kan harus minum obat setelah makan? Dan mas Wijan belum tentu pulang jam berapa.”

“Ya sudah, aku minum obatnya dulu.”

“Lha makannya saja belum selesai.”

“Yang penting kan sudah makan?”

Bibik mengambilkan obat yang sudah disiapkan, lalu meminta Nilam agar meminumnya. Lalu Nilam pergi ke ruang tengah, menyetel televisi, yang kemudian dimatikannya lagi. Batinnya sedang bertanya-tanya tentang apa yang dibicarakaan ibunya, dan dengan siapa.

“Bibiik ….” panggilnya. Si bibik bergegas mendekati.

“Ya Mbak. Kok nggak tiduran di kamar saja sih Mbak. Biar cepet sehat.”

“Hiih, aku sudah nggak sakit, Bibiiiiiik,” kata Nilam, gemas.

“Ya sudah, manggil bibik ada apa?”

“Mau pinjam ponsel Bibik.”

“Mbak Nilam mau menelpon siapa?”

“Mas Wijan. Mau tanya, dia pulang jam berapa.”

“Ya ampun, kenapa harus ditanya. Kalau dia masih di kelas bagaimana? Kan nggak boleh anak sekolah telponan di kelas?”

Nilam merengut. Ia benar-benar gelisah. Lalu kemana sekarang ibunya pergi?

“Mobil ibu di mana?”

“Mobil ibu dipakai bapak. Bibik dengar mobil bapak masih di bengkel.”

“Pantesan tadi naik taksi. Kemana ya ibu pergi?”

“Mbak Nilam itu lebih baik istirahat saja. Dipakai tidur, nanti kan tahu-tahu mas Wijan sudah pulang.”

Nilam tidak menjawab, tapi kemudian dia masuk ke kamarnya, mencoba tidur seperti saran bibik.

***

Wijan pulang agak awal di hari itu. Gurunya ada rapat atau apa, sehingga murid-murid dipulangkan lebih awal. Ia bersyukur, karena sesungguhnya dia mengkhawatirkan keadaan Nilam, yang hari ini tidak masuk sekolah. Ia mengayuh sepedanya dengan cepat, berharap bisa segera sampai di rumah.

Tapi di sebuah perempatan, sebuah sepeda motor menerobos lampu merah, dan menendang sepedanya, membuat Wijan terlempar. Untung tidak ada kendaraan melintasinya sehingga dia tidak terlindas.

Beberapa orang berlari mendekatinya dan membantunya menepi. Sepedanya rusak, pelg bagian depan bengkok.

Seorang pengendara sepeda motor yang tadi menabraknya, semula akan melarikan diri, tapi kemudian mendekat, karena orang-orang disekitar memaksanya.

“Luka ya dik?” tanya pengendara sepeda motor itu.

Wijan mengangkat wajahnya, dan menatap laki-laki bercambang yang sudah beberapa kali dilihatnya. Laki-laki teman ibu tirinya.

“Mana yang sakit? Mana yang luka?”

Tidak usah bertanya juga sudah kelihatan luka yang diderita Wijan. Lengannya berdarah, pipi sebelah kiri terluka. Baju sekolahnya robek.

“Cepat bawa ke rumah sakit, kalau ada polisi lewat urusan bisa lebih panjang."

Laki-laki penabrak itu adalah Baskoro, yang akan kembali ke kantor setelah bertemu Rusmi. Ia segera menitipkan sepeda Wijan yang rusak di sebuah warung, lalu membawa Wijan ke rumah sakit terdekat.

***

Nilam yang berusaha tidur tak berhasil memejamkan mata. Sudah jam tiga lewat, Wijan belum juga datang. Ia mendengar langkah-langkah kaki memasuki rumah, lalu terdengar suara ibunya di ruang tengah.

“Apa? Menabrak apa? Anak sekolah? Kamu ceroboh. Berapa? Baiklah, aku transfer sekarang juga. Pastikan kamu membereskan semuanya, jangan sampai menjadi kasus yang membawa-bawa polisi. Bawa sekalian sepedanya ke bengkel. Baik, aku tahu. Sekarang juga aku transfer ke rekening kamu.”

Nilam berdiri di balik pintu, menatap ibunya yang mengutak atik ponselnya.

Siapa yang menabrak? Apa atau siapa yang ditabrak? Mengapa ibunya sibuk memikirkannya dan mentransfer sejumlah uang yang entah berapa jumlahnya. Nilam semakin tidak mengerti. Sebenarnya ibunya berhubungan dengan siapa? Tadi tentang sebuah rencana yang pastinya adalah rencana jahat, sekarang tentang kecelakaan?

Tiba-tiba bibik setengah berlari mendekati Rusmi yang baru saja menutup ponselnya.

“Bu, ini mas Wijan telpon. Katanya dia ditabrak sepeda motor, jadinya pulang agak terlambat.”

“Apa?”

Bukan hanya Rusmi yang terkejut. Nilam segera menghambur mendekati bibik.

“Mas Wijan kenapa?” Nilam panik.

“Baru saja menelpon bibik. Dia ada di rumah sakit. Tapi tidak harus dirawat. Sekarang sudah mau pulang."

“Bagaimana keadaannya?”

“Katanya sih, hanya luka ringan. Semoga tidak apa-apa.”

Nilam berlari ke arah teras, duduk menunggu kepulangan Wijan, sedangkan Rusmi termenung di ruang tengah.

“Mengapa begitu kebetulan? Jangan-jangan yang ditabrak Baskoro adalah Wijan,” gumam Rusmi. 

Ia ingin bertanya pada Baskoro, kejadiannya di mana dan siapa yang di tabrak, ketika tiba-tiba Wijan datang dengan kepala dibalut perban, demikian juga lengannya.

“Mas Wijaaaan!” teriakan Nilam sangat memilukan. Ia berlari lalu menubruk kakaknya dengan tangis yang mengharu biru.

“Mas Wijan kenapa? Sakit ya lukanya?”

Wijan mengelus kepala Nilam, tersenyum haru menyaksikan betapa sayang adik tirinya ini kepada dirinya.

“Mas tidak apa-apa. Mengapa kamu menangis? Diamlah, biar Mas ganti baju dulu.”

Rusmi berdiri di teras, menatap anaknya yang merangkul kakak tirinya sangat erat.

“Kecelakaan di mana?”

“Perempatan dekat kantor pos, Bu,” jawab Wijan sambil mengajak Nilam masuk ke rumah.

“Nilam kenapa sih, seperti anak kecil saja,” tegur ibunya yang segera menelpon Baskoro.

***

Pak Rangga mendapat laporan, ada barang datang tapi Baskoro belum kembali ke kantor. Pak Rangga menggerutu tak habis-habisnya, karena akhir-akhir ini Baskoro kurang fokus pada pekerjaannya. Sering keluar kantor dan kembali melebihi jam yang sudah ditentukan.

Ia menelpon Baskoro tapi tak diangkat.

“Katanya pulang ke rumah. Apa dia ketiduran?” gumam pak Rangga kesal.

Sebuah panggilan dengan interkom dari Raharjo, membuatnya bergegas mendatangi ruangannya.

“Baskoro barusan menelpon,” kata Raharjo.

“Saya menghubunginya tapi tidak bisa.”

“Dia menabrak anak sekolah. Jadi harus mengantarkan ke rumah sakit, dan mengurus sepedanya ke bengkel.”

“Anak itu naik sepeda?”

“Katanya begitu. Aku jadi khawatir. Anakku kalau sekolah juga bersepeda.”

“Kenapa Bapak tidak menghubungi putra Bapak. Oh ya, apakah itu Wijanarko?”

“Ya, Wijan selalu naik sepeda setiap sekolah. Baiklah, akan aku telpon dia.

Tapi yang menjawab adalah Nilam.

“Hallo, Bapak. Mas Wijan kecelakaan,” jawabnya dengan tangis.

***

Besok lagi ya.

 

 

 


Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

Previous Post Next Post