BUNGA UNTUK IBUKU 12

 BUNGA UNTUK IBUKU  12

(Tien Kumalasari)

 

Rusmi terkejut ketika menyadari sang suami sudah berdiri di tengah-tengah pintu. Dengan menampakkan wajah sedih dia memegang pundak Wijan.

“Saking sayangnya pada kakaknya ini, Nilam selalu minta bonceng dia saat pergi dan pulang sekolah. Itu pasti karena Wijan sangat menyayanginya. Ya kan Jan?” katanya lembut kepada Wijan.

Raharjo tak menggubris apa yang dikatakan sang istri. Ia mendekati ranjang dimana Nilam berbaring, dengan tempelan lap basah di dahinya. Raharjo mengambilnya, mengganti dengan lap baru yang disediakan bibik di atas nakas.

“Kamu kenapa?”

“Nilam hanya merasa lemas. Tadi ekstrakurikuler sampai sore,  Nilam capek.”

“O, jadi kalian baru pulang agak sore? Memangnya kamu mengikuti ekstrakurikuler apa?”

“Menari?”

“Wow, kamu suka menari rupanya. Menari apa? Balet? Tari-tari modern? Baru sekarang bapak mendengar kamu suka menari.”

“Tari Jawa.”

“Haaa, tari Jawa? Bagus sekali. Bapak suka kebudayaan Jawa.”

“Kalau sudah sembuh, Nilam mau menari buat Bapak.”

Raharjo tertawa. Entah mengapa, anak tirinya yang satu ini selalu membuatnya senang.

“Benar? Bibik, apa Nilam sudah diberi obat?”

“Belum Pak, mbak Nilam juga belum makan.”

“Lhoh, kenapa belum makan? Wijan tidak mengajak adiknya makan?” tanyanya kepada Wijan.

“Kami baru datang.”

“Makan dulu ya?” kata Raharjo sambil memberi isyarat kepada bibik agar mengambilkan makan untuk Nilam.

“Nggak mau, perutnya mual.”

”Ini karena kamu terlambat makan. Apa kamu tidak membawa bekal?”

“Membawa dong Pak, tadi ibu bawakan dua potong roti dengan potongan besar. Biasanya juga begitu." Sambung Rusmi

“Nilam berikan kepada teman.”

“Apa? Kenapa diberikan teman? Dan kamu sendiri kelaparan?”

“Kasihan sama dia.”

Bibik masuk ke ruangan dengan membawa makanan, dengan kuah sup hangat.

“Mbak Nilam makan dulu, ya.”

“Perutnya mual.”

“Harus makan dulu, sedikit juga nggak apa-apa.”

“Mau makan sama mas Wijan.”

Bibik mundur, menoleh kepada Wijan. Tapi Wijan bergeming. Ada ibunya di situ, pasti akan melarangnya mendekat. Tadi saja dia sudah didorong kesamping agak menjauh.

”Kamu manja sama kakakmu ya. Kamu itu sudah besar. Wijan, sini,” kata Raharjo sambil melambaikan tangan ke arah Wijan. Wijan pun mendekat.

“Suapin adikmu.”

Nyatanya Nilam mau dua tiga sendok setelah Wijan menyuapinya. Pada suapan ke empat, Nilam menolaknya.

“Sudah, aku mau muntah.”

Wijan terpaksa tak berani memaksanya.

“Jangan beri obat apapun. Kita panggil dokter langganan saja,” perintah Raharjo.

Rusmi bergegas menelpon dokter.

“Bibik, sebaiknya baju Nilam diganti dulu,” kata Wijan yang kemudian membawa sisa makanan Nilam keluar dari kamar. Raharjo mengikutinya.

“Kamu sudah makan?”

“Nanti saja.”

“Ayo makan bareng bapak. Bapak juga belum makan,” kata Raharjo yang kemudian menggandeng tangan Wijan ke arah ruang makan.

***

Setelah suaminya pergi, Rusmi mengomeli Nilam dengan nada kesal.

“Ini semua karena kamu tidak menurut apa kata ibu. Membonceng sepeda itu terkena angin, dan panas. Bahkan hujan, kalau sedang musim hujan. Dan itu tidak baik untuk kesehatan kamu. Kenapa kamu tidak mendengar kata-kata ibu? Sebegitu besarnya pengaruh Wijan atas diri kamu?”

Sebenarnya Nilam enggan untuk berkata-kata, karena tubuhnya terasa lemas. Tapi ia sangat tidak menyukai apa yang dikatakan ibunya. Karena itu walau dengan suara lirih, maka dia mengatakannya.

“Ibu lupa ya? Waktu saya masih SD, saya bahkan berjalan kaki setiap berangkat dan pulang sekolah. Kita tidak punya sepeda, apalagi mobil,” katanya sambil membalikkan tubuhnya memunggungi ibunya.

“Apa? Kamu sekarang pintar berkata-kata. Siapa mengajari kamu?”

“Nilam sudah besar. Nilam tahu apa yang baik dan buruk,” katanya lalu menutupi kepalanya dengan bantal.

Rusmi membanting banting kakinya dengan marah. Ketika itulah suaminya masuk, diiringi dokter yang dipanggilnya.

“Kamu kenapa?”

“Ini … Nilam itu kan sangat bandel. Eh, selamat datang dokter, silakan diperiksa, itu, anak saya yang bandel.”

Dokter perempuan langganan keluarga Raharjo itu segera memeriksa Nilam. Rusmi keluar untuk mencari bibik, agar membuatkan minuman. Di ruang makan ia berhenti sejenak untuk memelototi Wijan yang sedang duduk di meja makan. Ia sudah hampir menyemburkan kata-kata menyakitkan ketika tiba-tiba suaminya muncul di belakangnya.

“Maaf Wijan, bapak tinggal sebentar, karena harus mempersilakan dokter yang akan memeriksa Nilam,” katanya sambil kembali duduk.

Rusmi segera merubah wajahnya yang semula menyala, menjadi lembut.

“Wijan, makan yang banyak. Ini sudah terlambat waktunya makan. Mulai besok ibu akan membawakan kamu bekal agar bisa dimakan di sekolah, jadi tidak sampai menjadi sakit perut seperti Nilam tuh,” katanya sambil menyentuh bahu Wijan.

Wijan hanya mengangguk. Tapi Raharjo tak terusik dengan ucapan manis itu. Rupanya ia sudah tahu apa yang sebenarnya ada di dalam hati istrinya, dan bagaimana sikap sebenarnya sang istri dan Hasti kepada anak semata wayangnya itu.

Rusmi menemaninya duduk.

“Ibu makan nanti saja, menunggu dokternya selesai memeriksa Nilam. Katanya sambil meletakkan sepotong paha ayam di piring Wijan.

“Wijan sudah hampir selesai, Bu,” kata Wijan yang ingin mengembalikan paha ayam itu, tapi Rusmi menahannya.

“Makan saja, dan habiskan. Badan kamu kurus ceking begitu. Makan yang banyak, biar gemuk. Kalau kamu agak gemukan sedikit, kamu pasti bertambah ganteng,” katanya manis.

Wijan menggigit paha ayam itu, yang serasa tersekat di tenggorokan. Ia sadar semua itu tidak tulus. Hanya sebuah pameran yang diperlihatkannya di depan ayahnya. Wijan paham benar.

“Apa kamu ingin agar bapak membelikan kamu mobil?” tanya Raharjo tiba-tiba.

Bukan hanya Wijan yang terbelalak, tapi Rusmi pun begitu. Mobil untuk Wijan?

“Bapak bicara sama Wijan?” tanya Wijan heran.

“Iya, tentu saja. Kan kamu yang belum punya mobil di rumah ini. Supaya kamu tidak kelihatan seperti gembel,” katanya tajam, tapi wajah Rusmi menjadi pucat. Dia baru saja mengatakan ungkapan gembel itu ketika mengomeli Nilam.

Wijan tertawa lirih.

“Bapak ada-ada saja. Memangnya gembel itu apa? Seseorang menjadi gembel, bukan karena dia menginginkannya. Itu adalah takdir yang harus diterimanya, dan bukan berarti dia adalah manusia hina,” katanya, lalu kembali menggigit paha ayamnya.

Raharjo yang sekarang membelalakkan matanya. Begitu takjub kata bijak itu keluar dari mulut seorang muda seumur Wijan. Siapa mengajarkannya?

Rusmi diam terpaku. Wajahnya pucat. Ia meraih minuman yang tersedia di depannya.

“Bukankah yang hina adalah perilaku yang tidak terpuji?”

“Baiklah. Tapi kamu mau kan?”

“Mau apa? Mobil? Tidak. Wijan belum memerlukannya. Naik sepeda lebih nyaman, dan lebih sehat lhoh,” kata Wijan sambil meletakkan tulang pahanya.

Raharjo tersenyum. Sesungguhnya Raharjo hanya mengatakan tentang beli mobil untuk Wijan itu, untuk menyindir istrinya yang tadi mengatakan bahwa naik sepeda itu seperti gembel. Satu demi satu catatan tentang istri dan anak-anak tirinya dirangkai di benaknya.

“Bapak bangga sama kamu,” katanya bergetar, penuh haru.

Rusmi segera berdiri, sebelum dia pingsan mendengar pembicaraan ayah dan anak yang serasa mengiris perasaannya itu.

“Ibu mau melihat dokternya dulu, barangkali sudah selesai,” katanya sambil berlalu.

***

Ternyata tidak ada yang mengkhawatirkan pada sakit yang diderita Nilam. Ia hanya telat makan dan tidak memperhatikan saat-saat makan dengan baik. Ada sedikit gangguan lambung yang kemudian dokter memberinya resep yang diberikannya kepada Rusmi.

“Apa kata dokter?” kata Raharjo di ruang makan, setelah dokter itu tergesa pulang karena sudah saatnya praktek di rumah.

“Ada gangguan di lambung. Dia memberikan resep, ini resepnya.”

“Wijan, setelah kamu makan, belikan obat untuk adik kamu di apotik,” perintah Raharjo kepada Wijan.

“Baik, Pak. Saya sudah selesai makan.”

Wijan bergegas berdiri sambil membawa ke belakang piring kotornya, lalu kembali kepada sang ayah untuk meminta resepnya.

“Tunggu, uangnya akan bapak ambilkan.”

***

Rusmi merasa, sikap Raharjo sangat berbeda beberapa hari terakhir ini. Ia menyesal telah kelepasan bicara yang nggak enak dan kedengaran oleh suaminya. Karenanya ia kemudian menebusnya dengan bersikap sangat manis, bahkan dengan Wijan yang selalu dianiaya.

Ketika pulang dari apotik, Rusmi bahkan memberikan segelas jus jeruk kepada anak tirinya, dengan sikap yang berbeda, walau suaminya tak ada di dekatnya. Siapa tahu tiba-tiba dia muncul dan memuji kebaikan hatinya.

“Wijan, udara sore sangat panas bukan?"

"Ya, bu."

 "Sudah obatnya?”

“Sudah, ini Bu,” kata Wijan sambil menyerahkan obatnya.

“Anak baik, terima kasih ya. Oh ya, ini ada jus jeruk, minumlah, agar gerahnya hilang. Bukankah apotik lumayan jauh dari rumah?”

“Sudah Bu, nanti Wijan ambil sendiri.”

“Jangan begitu, ibu sudah susah-susah menyiapkannya untuk kamu lhoh, ayo, minumlah.”

Wijan menerimanya dengan benak penuh tanda tanya. Tak kelihatan ada sang ayah, tapi sikap ibu tirinya begitu manis. Ia pun meneguk jus jeruk itu setelah mengucapkan terima kasih.

Rusmi memasuki kamar Nilam sambil membawa obatnya.

“Nilam, ini obatnya. Diminum ya, mas Wijan tadi yang membelikannya. Pasti manjur deh, karena yang membelikan adalah kakak yang menyayangi,” katanya sambil menyiapkan obatnya.

Nilam membuka matanya, menatap ibunya heran. Ia melongok ke pintu, ibunya menyebut kakak yang menyayanginya, pasti yang dimaksud adalah Wijan, mengapa begitu manis? Adakah sang ayah di kamar itu? Ternyata tidak. Ini terasa aneh. Tapi Nilam tak sempat berpikir lama, karena ibunya sudah membantunya duduk untuk meminumkan dua macam obat kepadanya.

***

Pagi itu Wijan bersiap untuk berangkat ke sekolah sendirian, karena Nilam tidak diijinkan masuk sekolah terlebih dulu, walau badannya sudah merasa lebih enak.

“Kamu harus istirahat dulu, paling tidak sehari ini, supaya benar-benar sembuh,” kata sang ayah ketika menjenguk ke dalam kamarnya.

“Baik, Pak. Apa mas Wijan sudah berangkat?”

“Sepertinya belum. Dia baru selesai sarapan. Nanti akan bapak suruh dia pamit sama kamu.”

Nilam mengangguk sambil tersenyum.

Raharjo masuk ke dalam kamarnya, sayup didengarnya sang istri sedang bicara dengan Wijan. Begitu bersahabat, seperti ibu dan anak.

“Wijan, ini bekal untuk kamu. Jangan sampai pulang dengan rasa lapar. Nanti perut kamu sakit seperti Nilam.”

“Terima kasih Bu.”

Bibik yang sudah menyiapkan bekal untuk Wijan seperti biasa dilakukannya, urung menyisipkan bekal ke dalam tas sekolah Wijan, karena nyonya majikannya sudah menyiapkan nasi dan ikan goreng yang diberikannya kepada anak tirinya. Bibik pun merasa heran. Sepertinya tak ada sang tuan, tapi ibu tiri yang biasanya kejam itu bersikap sangat manis.

“Tumben. Apakah ada setan lewat?” gumam bibik dalam hati.

Ia kemudian melihat Wijan masuk ke kamar Nilam untuk berpamitan.

“Baik-baik di rumah ya, istirahat saja, jangan keluar dari kamar,” pesan Wijan sambil mengacak rambut adiknya.

“Iya, tapi aku sebenarnya sudah nggak sakit.”

“Jangan bandel,” kata Wijan sambil memelototi adiknya.

Nilam tersenyum.

“Galak benar. Hati-hati ya Mas,” pesannya sambil melambaikan tangan.

***

Raharjo bersiap untuk berangkat ke kantor, Rusmi menyerahkan kunci  mobilnya.

“Mobil Bapak kan belum jadi? Pakai saja mobil ini, aku tidak akan pergi ke mana-mana.”

Raharjo menerima kunci mobil itu. Memang sebelumnya dia akan memakai mobil istrinya karena mobilnya belum jadi.

“Jacket itu masih tertinggal di kantor satpam. Aku lupa menanyakannya, dan satpam juga agaknya lupa menyerahkannya.”

“Tidak apa-apa, nanti aku bilang pada Pingkan tentang jacket itu,” katanya sambil mencium tangan suaminya.

Raharjo tak menanggapi. Ia masih saja merasa bahwa sikap istrinya tampak dibuat-buat. Ia langsung menuju ke mobil, dan membawanya keluar tanpa mengucapkan apapun.

Namun begitu suaminya sudah tak kelihatan lagi, Rusmi segera masuk ke kamarnya, mengambil ponselnya dan menelpon Baskoro.

Tapi lama sekali panggilan itu tidak segera diangkat. Rusmi sudah merasa kesal. Seperempat jam kemudian panggilan itu baru tersambung.

“Kenapa lama sekali?” tegurnya.

“Aku sedang di jalan, mana berani mengangkat telpon. Jalanan ramai sekali.”

“Sekarang kamu sudah di kantor?”

“Di parkiran. Ada apa? Aku harus buru-buru masuk ke dalam, jangan sampai keduluan pak Raharjo.”

“Oh, begitu ya. Ya sudah. Nanti saja saat istirahat aku menelpon lagi.”

“Sudah sangat kangen, baru sehari saja tidak ketemu? Nanti mau mengajak ketemuan?”

“Tidak. Aku sudah bilang, jangan dulu.”

“Lalu kenapa menelpon?”

“Aku akan membicarakan sebuah rencana. Perasaanku mulai gerah.”

***

Besok lagi ya.

 

 

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

Previous Post Next Post