BUNGA UNTUK IBUKU 09

 BUNGA UNTUK IBUKU  09

(Tien Kumalasari)

 

Nilam heran mendengar dering ponsel dari dalam kamar Wijan. Ia segera menarik tangan Wijan untuk masuk ke dalamnya.

“Mas Wijan punya ponsel?” tanya Nilam heran.

“Iya, baru saja bapak memberikannya. Tapi kok sudah ada yang menelpon? Memangnya siapa yang tahu nomor kontak aku? Aku saja belum tahu.”

“Coba lihat Mas, dan angkat.”

Wijan mengambil ponselnya dari dalam tas sekolahnya. Dengan heran dia membaca si pemanggil adalah Hasti. Kok dia tahu nomornya ya. Walau heran Wijan mengangkatnya. Baru saja diangkat, seseorang berteriak dari seberang.

“Wijan! Kamu tuli ya?”

Wijan menghela napas, itu suara Hasti, kakak tirinya. Bagaimana dia bisa mengetahui nomor kontaknya?

“Mbak Hasti ya?”

“Iya. Kamu heran aku bisa menelpon kamu? Bapak yang memberi tahu bahwa kamu sudah dibelikan ponsel dan ini nomor kontakmu.”

“Iya, Mbak, memangnya ada apa, Mbak menelpon aku?”

“Kamu itu anak kecil, nggak pantas pakai ponsel baru, nanti kamu berikan ponsel itu ke aku lho. Awas kalau tidak.”

“Apa maksudnya Mbak? Mengapa aku harus memberikan ponselnya pada Mbak Hasti?”

“Kamu masih kecil. Cukup ponsel bekas aku. Sama saja kok.”

Tiba-tiba suara bibik menjenguk ke kamar Wijan.

“Mas Wijan sama Mbak Nilam ditunggu bapak di ruang makan,” kata bibik.

“Ya sudah Mbak, kami dipanggil bapak," kata Wijan sambil mengakhiri pembicaraan yang membuatnya kesal itu. Sesabar-sabarnya Wijan, permintaan Hasti dianggapnya keterlaluan.

“Kenapa mbak Hasti? Mau menukar ponsel Mas yang baru?”

“Iya.”

“Jangan diberikan Mas, dia itu memang jahat,” kata Nilam sambil bersama-sama melangkah ke ruang makan.

“Siapa yang jahat?” tanya pak Raharjo yang mendengar perkataan Nilam.

“Itu Pak, mbak Hasti, tadi menelpon mas Wijan.”

“Oh iya, bapak juga memberi tahu nomor kontak kamu kepada Hasti dan ibunya,” kata pak Raharjo kepada Wijan yang mulai duduk di depan ayahnya.

“Mbak Hasti mau, ponsel mas Wijan diberikan sama dia,” kata Nilam dengan mulut mengerucut.

“Lhoh, diberikan bagaimana?”

“Maksudnya menukar ponsel mas Wijan dengan ponsel mbak Hasti.”

"Apa?"

“Jangan. Jangan boleh Mas, mbak Hasti itu suka cari menang sendiri,” sela Nilam yang kesal menyaksikan kakaknya selalu menindas Wijan.

“Mengapa dia mau menukarnya?”

“Nggak apa-apa Pak, bukankah sama saja?”

“Tidak. Hasti tidak boleh mau menang sendiri. Tetaplah ponsel itu menjadi milik kamu. Bapak sudah membelikan dia lebih dulu, lama sebelum ini.”

“Betul.” kata Nilam sambil mengacungkan jempolnya.

“Kalau dia nekat, suruh bilang sama Bapak, ya kan Pak?”

“Ya sudah, ayo kita makan dulu. Lupakan masalah ponsel.”

“Mas Wijan itu selalu mengalah Pak. Nanti mbak Hasti pasti akan memaksa.”

“Nanti bapak bilang sama dia. Tidak boleh ponsel ditukar-tukar. Dia sudah punya sendiri yang tidak kalah bagus kok.”

“Tuh, dengar Mas,” kata Nilam sambil meraih sepotong tempe goreng di piring di depannya.

***

Suri adalah istri Baskoro, yang kesal menunggu kepulangan suaminya yang pergi sejak pagi hari. Ketika dia datang, Suri sempat melihat mobil berhenti di depan pintu pagar, dan sang suami turun dari dalamnya.

“Diantar siapa, Mas?”

“Mobil kantor,” kata Baskoro sambil mengulurkan sebuah bungkusan untuk istrinya.

Suri hampir mengomel ketika tiba-tiba Baskoro memberikan bungkusan itu.

“Mau marah kan? Nih, aku yakin kamu tak jadi marah setelah membuka isinya."

“Apa ini? Baunya seperti ayam goreng,” kata Suri sambil tersenyum. HIlang rasa kesal, yang tadi sudah hampir ditumpahkannya.

“Bukankah kamu ingin makan ayam goreng? Aku ingat itu, makanya kamu aku belikan, tadi,” kata Baskoro sambil masuk ke dalam rumah.

“Ih, keringat Mas kok bau sekali sih? Habis nyangkul di sawah ya?”

“Enak aja,” kata Baskoro yang kemudian langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri, dan menghilangkan bau keringat seperti yang diucapkan sang istri.

“Dari mana sih sebenarnya dia? Katanya rapat sebentar di kantor, pulangnya sudah hampir sore, trus bawa oleh-oleh ayam goreng pula. Aku sih seneng, sudah lama ingin, kata mas Baskoro suruh nunggu gajian. Makan ayam goreng secuil saja, harus  nunggu gajian,” omel Suri sambil menata makan di meja.

Tapi ketika sang suami muncul, dia menolak untuk makan.

“Makan saja sendiri, aku sudah kenyang.”

“Makan di kantor?”

“Di kantor?” tanya Baskoro yang lupa bahwa tadi pamit untuk rapat di kantor.

“Bukankah Mas dari kantor?”

“Oh, iya sih.”

“Jadi bukan makan di kantor?”

“Makan di rumah makan. Makanya sambil makan bersama para staf, aku pesan ayam goreng untuk kamu, biar sekalian dibayar orang kantor,” jawab Baskoro yang sekarang sudah pintar berbohong.

“Oh, gitu. Pinter ya suamiku ini.” katanya sambil mencomot paha, sebelum menyendokkan nasi ke piringnya.

“Bener, Mas nggak mau makan?”

“Memangnya kamu tadi masak apa?”

“Hanya sayur urap sama balur goreng. Tapi sekarang aku mau makan ayam gorengnya saja dulu. Enak, beli di mana?”

“Kamu tuh banyak tanya. Lanjutin makannya, aku mau tidur, capek sekali.”

“Cuma rapat saja capek. Kirain mencangkul di sawah,” ledek sang istri.

“Udara sangat panas. Wajar kan kalau di mana-mana terasa gerah,” katanya sambil ngeloyor pergi.

Suri yang asyik makan lauk kesukaannya, tak peduli. Badannya yang sedikit gemuk memang tidak bisa menahan lapar, jadi walaupun sudah makan di siang harinya, begitu melihat ada ayam goreng, dia langsung makan lagi dengan lahap.

***

Baskoro membaringkan tubuhnya di ranjang. Ia memang bukan karyawan yang punya kedudukan tinggi di perusahaan Raharjo. Ia hanya kepala gudang. Tapi Raharjo sangat dekat dengannya, karena dia pintar meladeni, dan selalu siap kalau di suruh-apapun. Baskoro sebenarnya punya penghasilan yang baik, tapi dia lebih banyak menghabiskan uang gajinya untuk bersenang-senang, sehingga uang yang tersisa tak seberapa itulah yang diberikan kepada sang istri untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Sang istri yang dinikahinya sejak sepuluh tahun lalu, belum juga melahirkan seorang anakpun untuk mereka. Terkadang Baskoro menyesalinya, tapi kesenangan diluar, membuatnya terhibur, dan sang istri cukup untuk dijadikan penunggu rumah dan pelayan yang menyiapkan segala kebutuhannya. Tapi pertemuannya dengan Rusmi, membuat Baskoro melupakan kesenangan lainnya. Rusmi bukan hanya memuaskannya tapi juga memberinya uang dan apa yang diinginkannya. Bibirnya mengulaskan senyum, ketika teringat bahwa Rusmi ingin menikah dengan dirinya. Tak semudah itu, bukan? Kalau hal itu terjadi, dia akan kehilangan semuanya. Rusmi bukan lagi wanita kaya yang bisa memanjakannya setelah bercerai dengan Raharjo, nanti. Jadi hal terbaik adalah mengadakan hubungan dengan sembunyi-sembunyi. Toh yang mereka inginkan hanyalah kesenangan dan kepuasan, dan itu bisa didapatnya dengan sembunyi-sembunyi. Bukankah Rusmi selalu punya waktu, dan dirinya siap melayani kapanpun diperlukan? Terkadang keinginan memiliki anak itu juga tersirat di pikirannya, tapi hamba nafsu seperti Baskoro tidak terlalu memikirkannya.

Baskoro hampir terlelap ketika tiba-tiba merasa sesosok tambun menindihnya.

“Hei, apakah kamu sudah gila? Aku mau tidur,” katanya sambil mendorong tubuh sang istri.

“Ini bukan waktunya tidur. Lebih baik kita berbincang-bincang.”

Baskoro meraih dompet yang diletakkannya di bawah bantal, lalu memberikan sejumlah uang kepada sang istri, kemudian mendorongnya semakin jauh. Suri hampir terguling ke lantai karena dorongan suaminya terlampau keras.

“Ya ampun Mas, aku hampir jatuh, tahu.”

Suri cemberut, tapi ketika melihat genggaman uang yang baru saja diberikan suaminya, bibirnya langsung tersenyum lebar.

“Tumben, belum gajihan sudah memberi aku uang?”

“Aku kan kerja lembur, apa kamu lupa?”

“Iya, aku lupa. Terima kasih ya Mas, uang ini bisa aku bayarkan kepada tukang warung sebelah.”

“Kamu ngutang?”

“Bagaimana tidak ngutang? Mas memberi gaji sangat minim, sekarang semuanya mahal. Belum untuk bayar kontrakan rumah dan bayar listrik, dan masih banyak lagi kebutuhan kita.  Memangnya cukup, uang yang Mas berikan setiap bulannya?”

“Mulai sekarang aku akan memberi kamu lebih banyak.”

“Benarkah? Kalau uang bulanan bertambah banyak, dan sering-sering ada uang lembur pula, setiap hari aku akan memasak untuk kamu, lauk yang enak-enak.”

“Ya sudah sana, aku mau tidur, aku lelah.”

“Aku sebenarnya ingin ngomong.”

“Apa lagi?”

“Bagaimana kalau besok kita ke dokter? Kata ibuku, kita harus periksa ke dokter kandungan, untuk melihat kemungkinan kita untuk mempunyai anak itu sejauh apa?”

“Aduh, sudah. Jangan lagi memikirkan anak, aku bisa bertambah pusing.”

“Bukankah kamu pernah bilang kalau ingin segera punya anak?”

“Sekarang keinginan itu sudah tak ada lagi.”

“Nanti kamu cari istri lagi, yang bisa mengandung anak kamu, bagaimana?”

“Kalau aku mencari istri lagi, bukan karena aku ingin punya anak, tapi karena kamu menyebalkan,” kesal Baskoro.

“Apa? Aku menyebalkan? Kamu punya istri yang sangat penerima, tidak pernah menuntut apapun, kamu masih bilang menyebalkan?”

Baskoro menatap istrinya, karena sekarang dia duduk di atas pembaringan dan memukulkan guling ke tubuhnya.

Dulu, Suri lumayan cantik. Itu sebabnya dia bersedia dinikahkan dengannya oleh orang tuanya. Tapi semakin ke sini, kecantikan itu pudar dengan menggelembungnya si tubuh, karena Suri kurang merawat diri. Dia paling suka makan, dan tidur setelah menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, Memang sih, sebagai pengatur rumah tangga, Suri tidak mengecewakan. Dia terima gaji yang diberikannya tanpa mengeluh, walau sebagian besar gajinya lebih banyak dipergunakan untuk bersenang-senang. Tapi dia bukan lagi istri yang memuaskan diatas ranjang. Apalagi setelah bertemu Rusmi, yang walau tidak muda lagi tapi bisa melakukan hal yang membuatnya mabuk kepayang. Perempuan-perempuan lain, lewat. Yang ada hanyalah Rusmi. Rusmi yang menyenangkan dan royal soal uang, apa lagi yang kurang?

Sekali lagi Suri memukulkan guling ke wajahnya, tapi kemudian ia merosot turun dari ranjang dan keluar dari kamar. Baskoro tahu, Suri marah, tapi itu tak akan lama. Lebih baik Baskoro mengistrahatkan raga, karena ia sungguh-sungguh merasa lelah.

***

Hari sudah sore ketika bu Rusmi dan Hasti pulang hampir bersamaan., walau kepergian mereka berbeda. Saat itu pak Raharjo sedang menikmati kopi buatan bibik, sambil menyaksikan acara televisi.

“Kok pulangnya bisa bareng?” tegur pak Raharjo melihat istrinya masuk ke rumah bersama Hasti.

“Kebetulan saja bareng. Ibu kan pergi lebih dulu, tadi,” kata Hasti yang terus beranjak ke kamarnya, demikian juga Rusmi yang langsung masuk ke kamarnya dan mandi. Khawatir sang suami mencium bau tubuhnya yang berkeringat.

Hasti tidak langsung menuju ke kamarnya. Dia berbelok masuk ke kamar Wijan terlebih dulu, saat Wijan mau keluar untuk menyiram tanaman di kebun.

“Mana?” langsung Hasti mengacungkan tangannya ke depan Wijan.

“Apanya Mbak?”

“Kamu tuli ya, bukankah tadi aku bilang bahwa kita bertukar ponsel saja?”

“Tapi ….”

“Kamu itu  masih kecil, untuk apa pakai ponsel baru?”

Wijan membalikkan tubuhnya, mengambil tas sekolahnya, ingin mengambil ponselnya. Tapi tiba-tiba pak Raharjo muncul di depan pintu.

“Ada apa?” tegur pak Raharjo dengan wajah muram, karena dia sudah tahu apa yang akan dilakukan Hasti.

“Itu, Wijan bilang nggak suka ponselnya, jad_”

“Tidak ada tukar menukar ponsel. Yang sudah aku berikan kepada kamu, ya itulah  milik kamu. Yang ada pada Wijan, akan tetap menjadi milik Wijan.”

“Ya sudah, itu tadi Wijan yang mau kok,” kata Hasti sambil berlalu. Pak Raharjo menatap anak tirinya tak senang. Sejak siang dia sudah tahu karena Nilam mengatakannya, bahwa Hasti ingin menukar ponselnya dengan ponsel Wijan. Jadi itu bukan kemauan Wijan. Sebuah kebohongan ditangkap oleh Raharjo, dan Raharjo yakin bahwa pasti masih banyak kebohongan yang disembunyikan. Entah itu apa, Raharjo belum mengetahuinya. Tapi bahwa tiba-tiba timbul kecurigaan diantara hubungan anak tiri dan anak kandungnya yang tidak wajar, perasaan itu tiba-tiba menggayuti hati Raharjo.

***

Wijan sedang membersihkan kebun bunga di halaman belakang, sementara Nilam membantunya dengan menyemprotkan air dari selang, ke arah tanaman-tanaman itu.

Keduanya melakukannya sambil tertawa-tawa, apalagi ketika Nilam dengan sengaja mengganggu kakaknya dengan menyemburkan air ke arahnya. Wijan pun berteriak, dan Nilam terkekeh senang.

Tiba-tiba Hasti mendekat dengan berkacak pinggang di hadapan Wijan.

“Dasar mulut busuk?” katanya sambil menatap Wijan penuh kebencian.

Wijan menatapnya tak mengerti, tapi matanya menatap tajam kakaknya dengan perasaan tidak senang.

“Ada apa dengan mulutku Mbak?”

“Kamu sudah pintar mengadu ya? Mengadu kepada bapak bahwa aku mau menukar ponsel kamu? Mentang-mentang kamu adalah anak kandung? Huh, jangan mengira kamu akan mendapat kemuliaan di rumah ini. Kamu pantasnya menjadi gembel, dan akan tetap menjadi gembel,” hardiknya sambil satu tangannya  terus berkacak pinggang, dan jari telunjuknya mengarah kepada wajah Wijan yang diam terpaku di tempatnya.

Tapi tanpa mereka sadari, ada pak Raharjo berdiri di balik sebuah pohon besar, dan mendengar semua yang diucapkan Hasti. Lalu dengan diam-diam pak Raharjo meninggalkan tempat itu.

***

Besok lagi ya.

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

Previous Post Next Post