BUNGA UNTUK IBUKU 04

 BUNGA UNTUK IBUKU  04

(Tien Kumalasari)

 

Pak Raharjo tertegun. Memang benar, itu adalah suara istrinya, bukan? Masa dia tak mengenali suara istrinya sendiri. Tapi bagaimanapun dia tak begitu yakin. Masa istrinya sedang bersama Baskoro dan bicara seakrab itu?

“Apakah Bapak menginginkan sesuatu?” tanya Baskoro ketika untuk beberapa saat lamanya sang atasan itu diam saja.”

“Oh, iya … tentu saja, aku sedang memikirkan untuk menanyakan sesuatu tentang pekerjaan, yang seharusnya aku tanyakan dari tadi saat jam kantor.”

“Mohon maaf Pak, saya tidak ketemu Bapak sejak siang, karena_”

“Karena istri kamu sakit?”

“Iya benar Pak, karena itulah saya harus meninggalkan kantor, agak lama.”

“Yang tadi ngomong tadi siapa?”

“Yang mana Pak?”

“Yang tadi, terdengar oleh saya, suara perempuan, seperti sedang memilih sesuatu.”

“Oh, itu istri saya Pak?”

“Bukankah istri kamu sedang sakit? Suaranya begitu segar, seperti baik-baik saja.”

“Ini Pak, tadi sudah saya bawa ke dokter, dan sekarang sudah baik. Jadi besok saya bisa bekerja dengan tanpa hambatan.”

Pak Raharjo bicara agak lama, tentang pekerjaan dan kondisi cabang yang baru dibukanya. Beberapa saat ketika masih bicara itu, istrinya masuk ke dalam rumah.

“Bapak, maaf aku terlambat pulang,” katanya dengan sikap manis, lalu duduk menggelendot di samping suaminya. Pak Raharjo mendorong tubuhnya karena ia masih bicara.

“Ya sudah Bas, besok ketemu di kantor, dan bicara lebih banyak.”

“Baik Pak, besok akan saya laporkan semuanya.”

“Bapak bicara sama siapa? Kelihatannya asyik.”

“Bicara soal pekerjaan, tentu saja dengan orang kantor. Aku menelpon dia sejak siang, tapi dia tidak ada di tempat, katanya istrinya sakit.”

“Siapa Pak?”

“Baskoro.”

“Oh, istrinya sakit apa? Kasihan.”

“Katanya sekarang sudah baikan. Kamu dari mana?”

“Ya ampun Pak, arisan, yang menerima bu Mukti, rumahnya jauh di luar kota, mana jalanan macet pula. Jadi deh, sampai di rumah saat Bapak sudah pulang. Sudah lama Bapak sampai di rumah?”

“Lumayan, sempat mandi juga.”

“Ya ampuun, maaf ya Pak,” katanya sambil mencium tangan suaminya, tentu dengan sikap yang sangat manis.

“Sudah sana, mandi juga, tubuhmu bau keringat,, nggak enak banget,” kata pak Raharjo dengan wajah muram. Bagaimanapun ia kesal, istrinya pergi seharian, dan belum ada di rumah saat dia sudah sampai di rumah.

Ketika masuk ke kamarnya, didengarnya Rusmi berteriak.

“Hasti juga belum pulang?”

“Belum Bu,” terdengar jawaban bibik dari dapur.

***

Wijan sedang menyirami tanaman, ketika tiba-tiba Nilam mendekat, sambil membawa sepiring kecil pisang goreng. Ada empat biji di atasnya, lalu diletakkannya di bangku yang ada di bawah pohon belimbing.

“Mas Wijaaan ….”

Wijan menoleh, lalu melihat Nilam mengacungkan piring kecil itu ke arahnya.

“Pisang goreng, masih anget. Ayo, makan dulu, sini,” teriaknya riang.

“Nanti saja, tanganku kotor.”

“Cuci sebentar kenapa, kan ada kran air di situ?” Nilam memaksa.

“Sebentar lagi.”

“Maaas, keburu dingin, nggak enak.”

Wijan terpaksa mendekat, soalnya Nilam sudah berteriak-teriak. Ia mencuci tangannya, lalu duduk di dekat Nilam.

“Ini, cepat dimakan, kalau dingin nggak enak.”

“Nggak ada bedanya,” sahut Wijan sambil mencomot sepotong.

“Beda dong, enakan kalau panas begini.”

“Wijan tak menjawab, asyik mengunyah pisang kepok goreng buatan bibik. Bagi Wijan, makanan seperti tidak ada bedanya, yang dingin atau yang panas, sama saja. Yang penting adalah suasana hati. Kalau hati senang, makanan yang bagaimanapun pasti enak. Tapi kalau hati sedang kusut, makanan enakpun terasa sekam. Pisang goreng ditangan Wijan tinggal satu gigitan. Ia akan menghabiskannya setelah mengunyah dan menelan gigitan sebelumnya, ketika tiba-tiba terdengar bentakan. Tidak begitu keras, tapi serasa tersayat mendengarnya.

“Hm, enak ya. Saat bekerja, enak-enak makan di bawah pohon, seperti tuan besar saja,” itu kata Hasti yang baru pulang, dan memasukkan mobilnya ke garasi, lalu langsung ke arah belakang rumah. Kesal hatinya melihat sang adik sedang bercengkerama bersama Wijan sambil makan pisang goreng.

Wijan segera berdiri, tak mempedulikan sepotong pisangnya yang terjatuh. Ia menghampiri selang, dan kembali melanjutkan menyiram tanaman.

“Mbak Hasti jahat!” pekik Nilam mendengar kata-kata kakaknya, yang kemudian tanpa malu mengambil sisa pisang yang masih ada di piring.

“Ini saatnya Wijan bekerja, bukan duduk santai seperti juragan,” katanya sambil berlalu. Nilam membanting-banting kakinya dengan marah.

“Orang jahat!! Aku benci orang jahat!!” teriaknya.

Hasti berhenti melangkah, menoleh ke arah adiknya.

“Apa kamu bilang? Kamu benci orang jahat? Setiap pagi kamu berangkat sekolah, siapa yang mengantar, siapa pula yang menjemput? Ayo bilang benci, bilang!”

“Aku benci!!”

“Awas kamu, besok berangkat sendiri, jangan harap aku mau mengantar, apalagi menjemput kamu!”

“Aku bilang sama bapak!!” Nilam tak mau kalah.

“Apa? Bapak?” Hasti masuk ke rumah sambil mencibir. Tampaknya dengan mendengar nama ‘bapak’, Hasti tak perlu takut. Hasti lupa bahwa semua yang dinikmatinya adalah pemberian ayah tirinya. Ayah Wijan yang ditindasnya.

“Mas Wijaaan, aku ambilkan lagi ke dapur ya,” kata Nilam sambil berlari ke dapur.

“Tidak usah Nilam, yang tadi sudah cukup,” teriak Wijan, tapi Nilam sudah memasuki dapur, melihat bibik masih menggoreng pisang.

“Bibik, aku mau lagi dong. Buat aku, sama mas Wijan.”

“Mbak Nilam, nanti makan pisang di ruang tengah saja, sama ibu, sama bapak. Mas Wijan biar bibik yang menyiapkannya di meja dapur,” kata bibik yang sudah tahu peristiwa pisang direbut Hasti yang baru saja terjadi. Dapur itu kan dekat kebun. Ia melihat semuanya dan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Aku mau makan pisangnya sama mas Wijan,” Nilam masih ngeyel.

“Kalau sekarang mbak Nilam membawa lagi pisang goreng ke kebun, nanti mas Wijan kena marah. Biar nanti setelah mandi mas Wijan makan di meja dapur. Itu lebih aman.”

“Kalau begitu siapkan untuk aku juga di meja dapur.”

“Nanti mbak Nilam kena marah.”

“Biar saja, masa makan pisang dimarahin. Aku mau mandi dulu, sepertinya mas Wijan juga hampir selesai,” kata Nilam sambil beranjak ke kamarnya.

Bibik tersenyum tipis. Bibik tahu, Nilam sangat menyukai kakak tirinya, dan selalu membelanya setiap kali Wijan dibentak-bentak.

Tak lama kemudian Wijan sudah selesai membersihkan kebun. Ia beranjak ke kamar, tapi bertemu pak Raharjo yang baru keluar dari kamarnya.

“Kamu dari mana?”

“Mas Wijan dari menyiram tanaman dan membersihkan kebun, Pak,” Nilam lah yang menjawab, saat dia juga mau masuk ke kamarnya.

“Mengapa kamu? Bukan bibik saja yang mengerjakannya?”

“Yang menyuruh-” Nilam ingin menjawab, tapi Wijan memotongnya.

“Wijan suka kebun, suka bunga-bunga. Itu sebabnya Wijan yang memelihara semua tanaman itu,” jawab Wijan.

“Apa kamu tidak capek? Pulang dari sekolah yang lumayan jauh, bersepeda pula, harusnya beristirahat saja.”

“Tidak Pak, kan Wijan sudah bilang bahwa Wijan menyukainya,” kata Wijan sambil melanjutkan langkahnya.

Pak Raharjo tersenyum. Mana tahu bahwa apa yang dilakukan Wijan adalah perintah dari sang istri yang sangat membenci Wijan. Beruntung, Wijan adalah anak muda yang baik, dan selalu menjaga ketenangan di dalam rumah, sehingga dia tak pernah mengadu kepada sang ayah tentang perilaku ibu dan kakak tirinya.

***

 Pagi itu wajah Nilam cemberut. Sang kakak yang marah sejak sore harinya, tak peduli padanya. Ia sudah mengatakan tak akan mau mengantarkannya ke sekolah. Nilam diam saja. Ia juga tak akan mengadu pada ayahnya kalau kakaknya tak mau mengantar. Tapi pak Raharjo heran, ketika Hasti sudah siap di depan, Nilam masih enak-enak memakai sepatunya, itupun tidak tampak tergesa-gesa.

“Nilam, kamu kok enak-enak begitu, itu kakakmu sudah menunggu,” tegur ibunya.

“Nilam nggak bareng sama mbak Hasti.”

“Apa? Lalu kamu mau naik apa? Kalau bareng bapak, nanti kesiangan.”

“Nilam mau mbonceng mas Wijan.”

“Apa?” bu Rusmi sampai berteriak karena kaget. Masa gadis kecilnya mau sekolah diboncengin sepeda?

“Tidak boleh Nilam. Cepetan, itu ditunggu kakakmu,” hardik sang ibu, tapi Nilam bergeming.

“Mas Wijaaaan, boncengin aku mas Wijan, boleh kan?” teriaknya kepada Wijan, yang baru keluar dari dapur, tapi sudah menggendong tas sekolahnya. Rupanya bibik memberikan lagi bekal untuk momongan kesayangannya.

“Tidak boleh!” bentak ibunya lagi.

“Ada apa, pagi-pagi sudah teriak-teriak?” pak Raharjo yang masih duduk di ruang tengah kaget mendengar teriakan istrinya.

“Itu, Nilam nggak mau bareng kakaknya.”

“Kenapa Nilam?”

“Nggak mau Pak, mbak Hasti jahat. Nilam mau bareng mas Wijan saja.”

“Kalau bareng mas Wijan itu nanti kepanasan lho, nggak biasa kan kamu bonceng sepeda?”

“Nggak apa-apa Pak, ayo Mas, boncengin aku,” kata Nilam yang sudah menyiapkan tas sekolahnya, lalu mengikuti Wijan keluar.

“Nilam!!”

“Ya sudah, anaknya mau bonceng kakaknya, kenapa kamu berteriak-teriak?”

Bu Rusmi menyurutkan rasa marahnya. Ia lupa bahwa suaminya ada. Hampir saja dia menghardik Wijan yang disangkanya membujuk Nilam agar ikut bersamanya.

Nilam mencium tangan ibunya dengan merengut, kemudian mencium tangan ayahnya.

“Hati-hati Wijan,” pesan sang ayah kepada Wijan, ketika Nilam sudah duduk di boncengan. Sebenarnya Wijan tak mau, tapi karena ada sang ayah yang mendukungnya, jadi dengan suka cita dia memboncengkan adiknya.

“Bagaimana kalau dia sakit? Kan tidak biasa panas-panas begitu,” gerutu bu Rusmi yang sebenarnya tak rela anak gadisnya membonceng sepeda. Di halaman, dilihatnya Hasti sudah keluar dari halaman dengan mobilnya.

“Bapak berangkat siang?”

“Hari ini tidak keluar kota, ada urusan di kantor.”

Bu Rusmi teringat keinginannya memiliki mobil. Ia duduk di dekat suaminya, dan menggelendot manja. Pak Raharjo masih asik mengutak atik ponselnya.

“Bapak …. “ rengeknya merayu.

“Hm …”

“Bagaimana tentang pembicaraan kemarin?”

“Pembicaraan apa?”

“Itu, ibu kan minta mobil.”

“Apa itu sangat perlu?”

“Perlu dong Pak. Kalau ibu bawa mobil sendiri, kalau bepergian tidak usah tergantung taksi. Hasti sudah lebih padat acaranya.”

“Acara main?”

“Acara di kampusnya. Dia sedang belajar lebih keras, supaya segera selesai, ibu tak mau mengganggu. Nggak apa-apa kan Pak, ibu janji nggak akan pergi kalau tidak sangat perlu.”

“Buktinya ibu tiap hari pergi.”

“Ibu banyak kegiatan juga Pak. Ibu nggak mau menjadi tua tanpa melihat dunia luar. Ada teman-teman ibu yang banyak melakukan kegiatan sosial juga, dan ibu sungkan kalau setiap kali harus menumpang. Pulang dan pergi tergantung orang lain, kan nggak enak.”

Pak Raharjo masih mengutak atik ponselnya.

“Bagaimana Pak?” kali ini bu Rusmi mengelus punggungnya, dadanya, sambil mengulaskan senyum menawan.

“Ya sudah, nanti bapak lihat dulu mobil di tempat langganan bapak.”

“Ibu ikut ya.”

“Kenapa harus ikut? Yang penting ada mobil kan?”

“Barangkali ibu bisa memilih warna, atau modelnya.”

“Bukan mobil yang mahal-mahal. Yang penting bisa digunakan.”

“Jangan yang murahan dong Pak.”

Pak Raharjo diam. Ia meletakkan ponselnya ke dalam tas kerja yang sudah disiapkannya. Tak tahan mendengar rengekan istrinya, sesampainya di kantor, setelah menyelesaikan berkas-berkas yang harus ditanda tanganinya, ia segera memanggil Baskoro.

Baskoro memang kepala gudang, tapi dia adalah orang kepercayaan pak Raharjo, karena dia selalu bisa menjalankan tugas yang diberikan dengan baik.

“Ya Pak,” katanya setelah Baskoro masuk ke dalam ruangannya.

“Antarkan aku,” katanya sambil berdiri.

“Ke mana? Apa Bapak ada janji?”

“Ke dealer mobil.”

“Haa, Bapak ingin membeli mobil baru?”

“Bukan untuk aku. Untuk istriku.”

“Waah, bukan main. Ternyata Bapak sangat menyayangi istri Bapak.”

“Bukan karena sayang. Merengek-rengek terus seperti anak kecil,” gerutunya sambil menyerahkan kunci mobil, dan meminta Baskoro mengemudikannya.

Baskoro tersenyum lebar. Entah mengapa, dia merasa senang mengantarkan sang bos ke dealer mobil.

Mereka memilih-milih. Tapi memang pak Raharjo tidak ingin beli yang mahal. Yang penting pantas digunakan.

“Apa ibu Raharjo pasti senang dengan pilihan Bapak?”

“Yang penting bagus. Aku suka warna silver ini.”

“Sepertinya ibu suka yang hijau. Hijau lumut.”

“Hijau?” tiba-tiba pak Raharjo teringat kata-kata ‘hijau’ yang dia dengar dari seorang perempuan, ketika dirinya sedang bertelpon dengan Baskoro.

Entah mengapa, perasaan pak Raharjo tiba-tiba menjadi tidak nyaman. Bagaimana Baskoro tahu kalau istrinya suka warna hijau?

***

Besok lagi ya.

 

 

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

Previous Post Next Post