BUNGA UNTUK IBUKU 03

 BUNGA UNTUK IBUKU  03

(Tien Kumalasari)

 

Wijan menarik tubuhnya agak ke belakang, supaya seandainya bu Rusmi menoleh, tak akan melihat dirinya. Kecuali itu ia juga bisa mengawasi apa yang mereka lakukan. Ada perasaan tak enak di hati Wijan. Kenapa ibu tirinya bisa bergayut lekat di lengan orang yang bukan suaminya. Saudara kandungnya kah? Tidak, setahunya, dia tak punya saudara kandung, dan itu sikapnya sangat berlebihan dan terus terang Wijan menjadi muak.

Lalu dilihatnya mereka memasuki sebuah rumah makan, sambil tak melepaskan dirinya antara satu dan lainnya. Seperti sepasang kekasih yang baru dimabuk cinta, pikir Wijan yang sama sekali belum pernah jatuh cinta.

Wijan mengangkat bahunya, lalu tiba-tiba petugas bengkel sudah selesai merakit kembali sepedanya setelah kedua ban nya dilepas.

“Sudah selesai mas.”

“Oh, baiklah, terima kasih," jawab Wijan sambil mengamati sepedanya, dengan ban yang baru dan juga standart yang baru pula.

“Nanti kalau ada yang dirasa kurang pas, Mas bisa kembali lagi ke sini.”

Wijan tersenyum dan mengangguk. Dia meletakkan tas sekolahnya di keranjang yang ada di depan sepedanya, kemudian menaikinya dan membawanya pulang. Rasanya lebih nyaman. Barangkali petugas bengkel juga sekalian menservis sepedanya, dengan memberi minyak agar jalannya lebih ringan.

Wijan memasuki halaman rumah, dan melihat Nilam duduk sendirian di teras. Nilam langsung berlari mendekati begitu melihat Wijan.

“Ada yang baru nih?” pekik Nilam sambil mengamati sepeda kakaknya.

“Iya, Nilam, ban nya yang baru, dan standartnya ini.”

“Waah, bagus banget, seperti sepeda baru saja. Bisa distandartkan tanpa harus mencari sandaran ya Mas?”

“Iya. Biar aku masukkan ke garasi belakang sekalian,” kata Wijan sambil menuntun sepedanya. Nilam mengikutinya sambil memegangi boncengan sepeda itu.

“Mas, aku tuh nggak bisa naik sepeda, besok Minggu ajarin ya?”

“Nggak ah, takut jatuh,” jawab Wijan.

“Namanya juga belajar, jatuh itu wajar kan?”

“Nanti mas Wijan kena marah dong.”

“Nggak apa-apa, kita nanti jalan-jalan, ditempat sepi, Mas ajarin Nilam. Ya Mas?” Nilam terus saja merengek.

Dari dapur, bibik berteriak.

“Mbak Nilam katanya mau makan, kok malah ditinggal ke mana-mana.”

“Aku nungguin mas Wijan, nggak enak makan sendiri,” kata Nilam.

“Ya sudah, duluan sana, Mas mau cuci tangan cuci kaki, lalu ganti baju dulu,” kata Wijan sambil menstandartkan sepedanya. Senang rasanya, tidak usah mencari sandaran untuk membuat sepedanya tetap tegak berdiri.

“Ayo, cepat Mas, aku tungguin.”

Wijan mengangguk, lalu berjalan ke arah kamarnya. Di rumah sepi. Tentu saja ibunya tidak ada, karena tadi sedang bersama seorang laki-laki yang entah siapa. Hasti juga tidak ada, rupanya setelah menjemput adiknya dan mengantarkannya ke rumah, lalu dia pergi lagi. Tak apa, rumah jadi lebih tenang, bukan?

Wijan sudah mengganti bajunya, dan menyusul Nilam ke ruang makan.

Sebenarnya Wijan belum lapar benar, karena bibik menyisipkan bekal makan  siang di dalam tasnya. Tapi kasihan Nilam kalau tidak ditemani, nanti dia berteriak sambil merengek-rengek. Dasar anak manja, gumam Wijan dalam hati.

***

“Bibiik, memangnya ibu pergi ke mana?” tanya Nilam tiba-tiba.

“Sudah dari pagi Non, bibik tidak tahu,” jawab bibik sambil membersihkan meja makan, setelah keduanya makan. Wijan pun makan dengan nikmat karena tidak ada yang mengganggunya, baik dengan kata menyakitkan, maupun dengan cara menyomot lauk yang akan diambil Wijan.

“Kenapa ibu akhir-akhir ini sering bepergian sih? Kalau aku pulang sekolah, jarang sekali ibu ada di rumah.”

"Namanya orang tua itu pasti banyak urusannya, mbak Nilam kan masih kecil, jadi nggak punya urusan.”

Wijan hanya terdiam. Dia tahu ibu tirinya pergi bersama seseorang, tapi dia merasa tak perlu mengatakan apapun. Bisa gawat nanti. Bukan hanya seisi rumah akan ribut, tapi dirinya juga pasti akan disiksa sampai tak bisa bangun.

“Mas Wijan, aku mau tidur dulu, mas Wijan juga harus istirahat. Jangan lupa besok Minggu sepedaan sama Nilam ya,” katanya sambil berlalu.

Wijan tak menjawab. Mungkin saja bisa, kalau ayahnya ada di rumah, tapi kalau hari itu karena suatu keperluan maka ayahnya harus pergi, maka mana mungkin dia bisa jalan-jalan dengan sepeda, bersantai ria dengan adiknya? Nggak mungkin lah, sudah sering terjadi, dia malah mendapat pekerjaan yang lebih berat. Membersihkan rumah, menyetrika pakaian, padahal bibik sudah melarangnya.

“Mas Wijan kok bengong, sana , istirahat sana. Mumpung nyonya tidak ada, pergunakan untuk istirahat, kalau tidak pasti akan disuruh-suruh sampai capek,” kata bibik.

“Mau belajar sebentar saja bik, tak lama lagi kenaikan kelas.”

“Benar Mas, belajar yang rajin, biar nilainya bagus, pintar.”

“Terima kasih Bik.”

“Ini, jus mangga diminum dulu.”

“Tapi ….” Wijan ragu-ragu, karena biasanya bibik dilarang memberikan minuman yang enak-enak untuk Wijan.

“Ayolah, diminum saja. Nggak ada siapa-siapa, jangan takut. Besok pagi bibik buatkan lagi bekal makan untuk mas Wijan. Yang tadi enak tidak?”

“Enak Bik, nasi sama ayam goreng.”

“Besok bibik bawakan lele goreng sama lalapan. Pokoknya bibik akan melakukan yang terbaik untuk Mas Wijan. Bibik tidak pernah melupakan almarhumah ibu, yang sangat baik pada bibik, seperti kepada keluarga sendiri,” kata bibik sendu, sambil menepuk bahu Wijan lembut.

Mata Wijan berkaca-kaca, tiba-tiba iapun teringat pada almarhumah ibunya.

“Dulu tidak pernah ada kata kasar di rumah ini. Ibu begitu lembut dan baik hati. Rupanya Mas Wijan mewarisi watak ibu. Lembutnya, baik hatinya.”

“Sudahlah Bik, ada-ada saja Bibik ini. Wijan ke kamar dulu ya.”

“Ya, Mas. Istirahat saja dulu, belajar nanti malam, ditemani bibik.”

Wijan tersenyum, kemudian berlalu.

Bibik menatap punggungnya dengan haru yang memuncak. Ingatan tentang nyonya majikan yang telah tiada, membuatnya tiba-tiba menjadi sedih.

Bibik kemudian melanjutkan bersih-bersih. Tapi kemudian didengarnya mobil memasuki halaman.

Bibik mengira Hasti yang datang bersama ibunya, tapi kemudian terdengar langkah-langkah berat memasuki rumah. Bibik beranjak ke depan, melihat tuannya yang datang.

“Bapak sudah pulang?”

“Iya Bik, dari luar kota, capek sekali. Kok sepi, pada ke mana?”

“Mbak Nilam di kamarnya, mas Wijan juga. Tapi ibu sama mbak Hasti belum pulang. Saya ambilkan minum Pak, ada jus mangga?”

“Iya Bik, aku mau,” kata sang tuan majikan sambil duduk di atas sofa.

Ketika dia membungkuk akan membuka sepatunya, tiba-tiba Nilam muncul dari dalam kamarnya.

“Bapak sudah pulang? Kirain ibu,” katanya sambil berjongkok, kemudian membantu mencopot sepatu ayah tirinya, lalu meletakkannya di rak sepatu.

Pak Raharjo tersenyum senang. Ketika Nilam kembali mendekatinya, pak Raharjo mengelus kepalanya dengan kasih sayang.

“Anak baik, anak pintar.”

Nilam tersenyum, lalu duduk di sampingnya.

“Mengapa ibu akhir-akhir ini sering bepergian?” sungutnya.

“Benarkah?”

“Iya. Tapi biasanya sebelum Bapak pulang, ibu sudah sampai di rumah. Kok ini belum. MBak Hasti juga begitu.”

“Ya sudah, biarkan saja. Mereka pergi, pasti karena punya keperluan. Kakakmu belum pulang?”

“Mas Wijan? Sudah kok. Tadi pulang, sepedanya baru. Eh, ban sepedanya baru, standartnya juga baru, bagus. Besok Minggu boleh kan, Nilam jalan-jalan pakai sepeda dengan mas Wijan?”

“Boleh. Mana sekarang dia?”

“Di kamarnya, Nilam panggil ya,” kata Nilam sambil beranjak, dan setengah berlari menuju kamar kakaknya. Tapi dilihatnya Wijan berbaring sambil memeluk buku. Rupanya tadi dia belajar, kemudian ketiduran. Karenanya dia menutup kembali pintunya perlahan. Tapi suara yang pelan itu membuat Wijan terbangun. Mungkin sudah terbiasa, ketika lagi enak-enak tidur lalu ibu tirinya membangunkannya.

“Siapa? Ibu?” Wijan terbangun, lalu dengan cepat menuju pintu. Takutnya ibunya marah kalau dia terlambat datang menemuinya. Tapi ketika pintu dibuka, Nilam ternyata masih ada di depan pintu, sehingga tubuhnya terdorong ke depan dan jatuh di atas tubuh kakaknya.

“Aauuuwww, mas Wijaaan!”

Wijan dengan cepat membangunkan Nilam, lalu keduanya duduk terkekeh berdua, merasa lucu jatuh saling timpa di depan pintu.

“Ada apa?” pak Raharjo yang mendengar teriakan Nilam segera berbebas menghampiri. Merasa aneh melihat keduanya terkekeh lucu.

“Ada apa kalian ini?”

“Ini pak, mas Wijan, Nilam masih ada di depan pintu, dia membuka pintunya. Jatuh dong Nilam, menimpa tubuh mas Wijan,” katanya sambil bangkit.

“Kamu itu ada-ada saja. Kirain ada apa,” gerutu pak Raharjo sambil berjalan kembali ke ruang tengah. Bibik sedang meletakkan segelas jus mangga ke atas meja. Dia tahu kedua majikan mudanya saling jatuh di depan pintu, dan hanya merasa lucu, karenanya dia terus saja berlalu.

“Mbak Nilam, mas Wijan, mau lagi, jus mangganya?” bibik menawarkan.

Nilam berteriak senang.

“Mauuuu.”

“Mas Wijan?” tanya bibik sambil menatap Wijan.

“Aku nggak Bik, tadi kan sudah.”

“Lagi nggak apa-apa kan Mas, buah itu kan sehat? Ambilkan saja Bik, mas Wijan ini kalau nggak dipaksa, nggak akan mau,” perintah si kecil. Bibik tersenyum, kemudian beranjak ke belakang.

“Tadi kamu mau membangunkan aku?” tanya Wijan kepada Nilam.

“Tadinya, iya. Tapi melihat mas Wijan tidur sambil menutupkan buku di wajah, Nilam nggak tega. Tapi ketika Nilam mau pergi diam-diam, malah Mas Wijan bangun.”

“Kamu sedang belajar, Wijan.”

“Maksudnya iya, Pak. Tapi ketiduran.”

“Pasti kamu sangat lelah. Sepeda kamu sudah beres?”

“Sudah Pak,” jawab Wijan yang sangat khawatir dan bingung menjawabnya, kalau sang ayah bertanya tentang uangnya. Tak mungkin dia mengatakan apa yang telah dilakukan ibunya.

“Uangnya kurang?”

“Mm, tidak Pak … tidak kurang saya minum jusnya dulu ya Pak,” kata Wijan yang ingin mengalihkan perhatian sang ayah tentang uang itu. Kebetulan bibik sedang meletakkan dua gelas jus di depannya.

“Kalau kurang, bilang saja kurang, kamu nombok dengan uang saku kamu kan?”

“Tidak Pak.”

“Kok kamu kelihatan bingung?”

“Haus Pak,” jawab Wijan sekenanya.

Ketiganya menghirup jus buatan bibik dengan nikmat.

“Bapak mau makan sekarang?”

“Tidak Bik, aku sudah makan di kantor tadi.”

Bibik beranjak ke belakang. Ada senyuman senang ketika melihat keakraban ketiganya. Bibik juga senang melihat Nilam sangat menyayangi Wijan, dan juga menghormati sang ayah, seperti keluarganya sendiri. Satu-satunya orang baru yang berhati baik, hanyalah Nilam.

“Sekolahmu bagaimana?”

“Baik Pak.”

“Kalau tidak salah, mau kenaikan kelas ya?”

“Iya Pak.”

“Belajar yang rajin, setelah lulus kamu harus kuliah., Nanti setelah kamu selesai kuliah, kamu harus menggantikan bapak mengemudikan perusahaan bapak ini.”

“Apa Wijan mampu?”

“Kamu harus mampu. Kamu satu-satunya anak laki-laki di rumah ini, jadi kamulah yang harus mewarisi dan mewakili apa yang menjadi tugas bapak sepeninggal ibumu. Kamu tahu, perusahaan ini semula adalah milik ibumu, yang diwarisi dari almarhum kakek kamu. Jadi sudah sewajarnya kalau nanti kamu yang akan mengendalikan perusahaan ini.”

“Mengendalikan itu bagamana Pak?” tanya Nilam yang sedari tadi hanya mendengarkan.

“Kamu tahu delman? Delman itu kan ada kudanya? Nah, kuda itu berjalan sesuai dengan perintah kusirnya. Harus ke kiri, harus ke kanan, jangan sampai nabrak kalau di depan ada kendaraan, dan sebagainya. Nah tugas sang kusir mengatur jalannya kuda itu, namanya mengendalikan.”

“Jadi, nanti mas Wijan akan jadi kusir dong.”

“Yah, semacam itulah, cuma … bukan kusir delman, tapi kusir perusahaan. Kamu bisa mengerti?”

“Mengerti dong Pak. Nanti Nilam juga mau membantu mas Wijan di kantornya Bapak. Boleh kan?”

“Tentu saja boleh. Usaha ini akan maju dan berkembang, di tangan anak-anak pintar seperti kalian.”

Nilam menatap kakaknya yang menunduk tanpa mengucapkan sepatah katapun. Benarkah dia bisa menjalani apa yang dikatakan sang ayah, sementara ibu tirinya sangat berkuasa di rumah ini?

***

Hari sudah hampir gelap, tapi bu Rusmi belum juga pulang ke rumah. Pak Raharjo sudah mandi dan duduk di ruang tengah sendirian. Ia teringat pembantunya di kantor, yang bertanggung jawab atas barang yang keluar masuk setiap harinya. Sejak pagi dia menelpon, tapi dia tidak ada di tempat. Sore ini dia akan menegurnya.

“Ya Pak, selamat sore,” suara dari seberang ketika pak Raharjo menelponnya.

“Baskoro, kamu ke mana saja?”

“Saya di kantor Pak, cuma maaf, ponsel saya mati, lupa ngecas karena sibuk dengan pekerjaan.”

“Yang benar saja. Aku menelpon ke kantor dan orang kantor bilang bahwa kamu keluar sejak pagi.”

“Oh, anu Pak … itu, saya sedang keluar sebentar, karena istri saya … sakit.”

“Istri kamu sakit?’

Tiba-tiba terdengar suara mendekat, suara seorang wanita.

“Bas, yang warna hijau saja ya? Lihat, buk_”

Baskoro sepertinya menghentikan ucapan wanita itu, tapi pak Raharjo keburu mendengarnya. Itu seperti suara istrinya, benarkah? Batinnya.

***

Besok lagi ya.

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

Previous Post Next Post