BUNGA UNTUK IBUKU 01
(Tien Kumalasari)
Tokoh :
Pak Raharjo : Ayah kandung Wijanarko
Rusmini : Istri baru pak Raharjo, jahat, sadis.
Wijanarko, dipanggil Wijan: pemuda, anak kandung Raharjo, baik hati.
Prahasti, dipanggil Hasti : anak kandung Rusmini, kasar, jahat.
Nilam : Anak kandung Rusmini, gadis kecil, manja, baik hati
(tokoh sementara)
Angin lembut di siang hari itu menurunkan sedikit hawa panas yang menerjang di saat kemarau tahun itu. Burung-burung kecil beterbangan diantara padi yang mulai menguning, lalu di seberang sana, seorang gadis dengan topi lebar menggoyang-goyangkan boneka dari ranting dan dedaunan, setinggi manusia, yang terletak di sudut-sudut sawah, yang dihubungkan dengan tali-tali, sehingga kalau ditarik, maka boneka atau orang-orangan itu akan bergerak, seperti orang yang sedang menghalau burung-burung pemangsa tanamannya. Lalu mereka berterbangan menjauh.
Wijanarko, anak muda belasan tahun itu duduk di tepi parit yang ada ditepi sawah itu. Disebelahnya adalah pohon asam yang sangat rindang, menaunginya dari panas yang menyentak. Angin lembut yang bertiup menambah kesejukan yang nyaman. Tapi hati Wijan tidak sesejuk angin yang berembus mengelus tubuhnya. Ia baru kelas dua SMA, dan baru pulang sekolah. Ia merasa enggan pulang, yang dianggapnya selalu membuatnya sedih dan nelangsa.
Sepeninggal ibunya beberapa tahun lalu, ayahnya, pak Raharjo menikah lagi, dengan bu Rusmini, janda beranak dua. Yang satu adalah Prahasti, sudah beranjak dewasa, satunya adalah Nilam, gadis mungil yang masih duduk di bangku SMP kelas tiga.
Kalau Prahasti mewarisi sifat ibunya yang keras dan mau menang sendiri, Nilam adalah gadis yang lembut dan baik hati. Ia sangat menyayangi Wijan, kakak tirinya, yang dianggapnya sebagai kakak kandungnya sendiri.
Kebalikannya, Hasti begitu jahat terhadap Wijan. Kalau ayahnya ada, dia bersikap manis, tapi kalau sang ayah tak ada, dia memperlakukan Wijan dengan semena-mena, bahkan didukung oleh ibunya.
Wijan bahkan diperlakukan seperti pembantu di rumah itu. Kalau pagi, sebelum berangkat sekolah, dia harus menyapu, membersihkan perabotan, dan mengepel. Sore hari sepulang dari sekolah, ia harus menyiram tanaman dan membersihkan halaman. Belum lagi kalau ada belanjaan yang kurang, Wijan lah yang mereka suruh untuk belanja keluar.
Wijan sebenarnya tidak keberatan melakukan itu semua. Ia hanya merasa sakit kalau cara menyuruh itu dengan membentak-bentak sementara kalau dihadapan sang ayah, mereka berpura-pura bersikap manis terhadapnya.
“Kalau saja ibu masih ada,” rintihnya lirih.
Wijan menatap tanaman padi yang terbentang, kekuningan bagaikan emas. Ada gelombang meliuk-liuk tatkala angin berembus. Alangkah nyaman rasanya duduk diam menikmati indahnya alam. Rasa sakit yang selalu menggigit seakan terlepas dari jiwanya. Ia pulang agak siang di hari itu, karena gurunya sedang rapat. Daripada langsung pulang untuk menghirup udara panas yang berembus menyakitkan di rumah, lebih baik duduk dulu di tepi sawah yang hembusan anginnya menyegarkan. Wijan sedang menggigit-gigit sebatang rumput di sampingnya, yang baru saja diraihnya, ketika tiba-tiba sebuah lengkingan terdengar di telinganya.
“Mas Wijaaan! Kenapa nggak mau nungguin aku sih!”
Wijan menoleh, dan melihat Nilam berlari kecil mendekatinya.
“Nilam? Kenapa jalan kaki?”
“Aku belum dijemput, lalu aku melewati sekolah Mas, ternyata sudah pada pulang,” keluhnya sambil duduk di samping kakaknya.
“Mengapa duduk di sini?”
Wijan menatap gadis kecil di sampingnya, yang sedang merogoh ke dalam tas, lalu memberikan sepotong roti kepadanya.
“Ini apa?” tanya Wijan heran.
“Bukankah itu roti? Enak, isinya coklat.”
“Kenapa kamu berikan sama aku?”
“Itu roti bekal aku. Tadi ada dua, yang satu sudah aku makan. Makanlah.”
Wijan tersenyum. Ibu tirinya selalu membawakan bekal makanan kepada Nilam, tapi tidak kepada dirinya. Wijan tak pernah membawa bekal. Ia punya sedikit uang saku, yang diberikan ayahnya, tapi tidak pernah dibelikannya makanan. Ia hanya makan pagi sebelum berangkat, dan makan lagi setelah sampai di rumah.
“Makanlah.”
“Kamu saja yang makan, ini kan bekal untuk kamu.”
“Aku sudah makan. Untuk Mas saja. Ayolah.”
“Jangan, nanti kamu lapar.”
“Nggak kok. Aku nggak lapar. Mas makan saja.”
“Ini bekal untuk kamu, kalau diberikan ke mas, nanti ibu marah.”
“Nggak akan marah, kan ibu nggak tahu,” katanya sambil mendorong bungkusan roti itu ke arah sang kakak.
“Begini saja. Roti ini kita bagi dua, separo kamu, separo lagi aku.”
“Nggak mau. Aku sudah kenyang.”
“Kalau nggak mau, aku juga nggak mau makan.”
Nilam merengut, tapi roti itu kemudian dimintanya. Ia mengambil sebagian kecil, lalu sisanya diberikan kepada sang kakak.
“Ini untuk Mas.”
“Kamu hanya mengambil sedikit.”
“Ini sudah cukup, kalau nggak mau aku nangis nih.”
Wijan sangat menyayangi adik tirinya ini, seperti Nilam juga menyayanginya. Ia tak suka melihat air mata adiknya. Kalau dia sedang kena marah atau bertengkar dengan Hasti, kakaknya, ujung-ujungnya pasti Nilam akan menangis. Saat itu hati Wijan ikut merasa sedih, dan dengan kasih sayang, ia selalu menghiburnya.
Wijan tersenyum, dengan terpaksa dia memakan roti itu, dan sesungguhnya memang Wijan merasa lapar. Tapi saat roti itu belum habis dimakannya, ia merogoh tas sekolahnya, mencari botol minumnya. Tapi ternyata botol berisi air putih yang selalu dibawanya itu sudah kosong.
“Mas haus? Nih … masih ada minum Nilam,” kata Nilam sambil mengulurkan botolnya.
“Kamu … ?”
“Aku sudah minum. Minum saja.”
Wijan menerimanya dengan rasa terima kasih, karena sesungguhnya dia keseretan.
Nilam mencopot sepatunya, lalu mencelupkan kakinya di dalam air, menggoyang-goyangkannya sehingga menimbulkan suara air yang berkecipak nyaring.
Nilam tertawa-tawa karena cipratan air itu mengenain wajahnya dan wajah Wijan, yang ikut berteriak-teriak kegirangan.
“Nilaaam! Kamu nakal ya.”
Nilam terkekeh, dan melanjutkan aksinya memukul-mukulkan kakinya di air itu.
“Kenapa kamu tidak dijemput?” karena senang bertemu adik tirinya, Wijan lupa menanyakannya ketika Nilam baru datang.
“Tidak, aku kelamaan menunggu, ogah,” sungutnya.
"Nanti mbak Hasti pasti mencari-cari karena kamu tidak ada di sekolah.”
“Biarin aja. Salah sendiri terlambat menjemputnya. Pasti dia pacaran. Ini kan hari Sabtu, pacarnya pulang, lalu mbak Hasti lupa menjemput aku.”
“Isssh, nggak boleh begitu, Siapa bilang mbak Hasti punya pacar?”
“Emang punya, kok.”
“Anak kecil tahu apa tentang orang pacaran?”
“Yeeei, aku bukan anak kecil, aku sudah hampir lulus, setelah ini aku sudah SMA seperti mas Wijan."
Wijan tersenyum, sementara itu matahari sudah condong ke barat.
“Ini sudah sore, ayo pulang.”
“Iya, memang sudah sore.”
Nilam mengentas kakinya dari dalam parit, lalu mengambil tissue untuk mengeringkannya, kemudian dikenakannya sepatunya.
“Taliin …” pintanya kepada sang kakak agar menalikan tali sepatunya.
“Nggak apa-apa ya, kamu Mas boncengin pakai sepeda?”
“Nggak apa-apa, aku suka,” kata Nilam riang, sambil berdiri.
Wijan mengambil sepedanya yang bersandar di pohon asam, tapi Nilam tampak sedang membungkuk-bungkuk mengambil sesuatu.
“Hei, ngapain kamu?”
“Ini, buah-buah asam, nanti Nilam berikan sama bibik.”
“Aduh, sudah. Nanti pulang kesorean, kita dimarahin sama ibu.”
***
Wijan mengayuh sepedanya pelan, tapi begitu memasuki halaman, dilihatnya sang ibu sedang duduk di teras, lalu ketika melihat keduanya, langsung dia berdiri dengan tangan berkacak pinggang.
“Dari mana kalian?” suara itu menggelegar seperti guntur di musim hujan. Wijan menyandarkan sepedanya di pohon dengan tangan gemetar.
Nilam langsung naik ke teras, dan sang ibu menjewer kupingnya.
“Aaauuuwww, Ibuuuu … sakit dong Bu,” teriak Nilam sambil memegangi kupingnya yang memerah.
“Kemana saja kamu? Pulang sekolah, kenapa bisa bersama Wijan?” hardik sang ibu.
“Mbak Hasti tidak menjemput, jadi Nilam jalan kaki, lalu ketemu mas Wijan,” katanya hampir menangis, lalu berlari ke dalam.
Bu Rusmi belum beranjak, ia masih menatap Wijan yang sedang menyandarkan sepedanya, karena sepeda itu sudah tak ada standartnya lagi.
“Dan kamu!! Enak saja kamu pulang sudah sore. Kamu ajak kemana Nilam tadi?” suaranya masih sangat keras.
“Maaf, Bu. Tidak ke mana-mana, hanya berhenti di pingir sawah.”
“Apa katamu? Berhenti di pinggir sawah? Jadi kamu melewati jalan kampung yang berbelok-belok dan melewati persawahan?”
“Iya, Bu,” kata Wijan sambil menundukkan wajahnya. Sungguh bukan seperti perlakuan seorang ibu. Iyalah, Wijan tahu, karena perempuan berwajah garang itu memang bukan ibunya.
“Bagaimana Nilam bisa melewati jalan itu juga?”
“Ibu jangan marah sama mas Wijan. Nilam melewati jalan kecil bersama teman Nilam, karena jalan besar sangat panas.”
“Dan kamu bertemu dia di pinggir sawah? Apa kamu sering melewati jalan itu, dan tahu bahwa Wijan pasti melewati persawahan?”
“Iya. Ketika mbak Hasti menjemput pakai mobil, pernah melewati jalan itu, dan ketemu mas Wijan. Jadi Nilam tahu, kalau lewat jalan itu pasti ketemu mas Wijan,” kata Nilam menggebu-gebu demi membela kakaknya.
Ketika itulah sebuah mobil yang dikendarai Hasti memasuki halaman.
“Tuh, mbak Hasti, pasti dia pacaran, lalu lupa menjemput Nilam,” seru Nilam.
“Diam kamu!!”
Wijan dan Nilam masuk ke dalam.
“Bibiiik, aku sama mas Wijan mau makaaan, teriak Nilam dari dalam, sementara bu Rusmi menunggu Hasti memasuki rumah.
“Kemana saja kamu?” tanya sang ibu dengan wajah muram.
“Nilam sudah pulang?”
“Apa kamu tidak menjemputnya?”
“Hasti jemput dia, tapi dia sudah tidak ada di sekolah.”
“Tentu saja tidak ada, saat dia pulang, kamu belum menjemput,” sungut ibunya sambil masuk ke dalam rumah.
“Jadi dia belum pulang?” Hasti mengikuti ibunya masuk. Tapi dia tak membutuhkan jawaban, karena di ruang makan dia melihat Nilam dan Wijan sedang makan berdua.
“Kamu pulang sama siapa?” bukannya merasa bersalah, Hasti malah membentak adiknya.
“Mbak Hasti tidak menjemput Nilam, kenapa marah-marah?” jawab Nilam sambil mencomot ayam goreng yang tinggal sepotong, lalu dibaginya berdua dengan Wijan.
“Eeeh, kenapa Wijan diberi ayam goreng? Kan sayurnya sudah ada ayamnya?” tiba-tiba sang ibu sudah masuk ke ruang makan juga.
“Kasihan, kenapa bibik hanya memberi sepotong, kan ada aku sama mas Wijan.”
“Memang ibu yang menyuruh. Wijan itu anak laki-laki, tubuhnya sudah kuat, tidak memerlukan banyak makan daging, baik ayam maupun sapi.”
Wijan mengembalikan seiris ayam goreng yang tadi diberikan adiknya, sambil tersenyum dalam hati. Senyum yang miris. Ada ya, teori anak laki-laki itu karena sudah kuat, maka tidak memerlukan makan daging. Tapi rasa sakit yang menderanya sudah terlalu sering di rasakan. Masih mending dia dibiarkan makan di meja makan. Pernah suatu kali, saat ayahnya tidak ada, maka dia disuruh makan di dapur bersama bibik.
“Mas Wijan, ini buat mas Wijan,” kata Nilam mengulurkan lagi separuh ayamnya, tapi lagi-lagi Wijan mengembalikannya.
“Untuk kamu saja,” kata Wijan pelan.
“Ada apa ini?” tiba-tiba sebuah suara terdengar. Tiba-tiba pak Raharjo memasuki ruang makan.
“Bapak sudah pulang? Kok ibu tidak mendengar suara mobilnya?”
“Bapak naik taksi, turun di jalan. Mobilnya masuk bengkel dan baru besok bisa diambil. Lagi pada makan? Kenapa tadi Nilam berteriak?”
“Itu Pak, Nilam ingin memberikan ayam kepadanya, tapi Wijan menolak,” kata ibunya yang sikapnya berubah manis.
“Wijan, terima saja. Adik kamu memang sangat menyayangi kamu,” kata sang ibu, tapi Wijan menolaknya.
“Ini sudah cukup, dan Wijan sudah selesai,” kata Wijan sambil berdiri.
“Wijan, kamu tadi ke sekolah naik sepeda lagi?”
Wijan berhenti melangkah.
“Iya.”
“Kan bapak sudah bilang, berangkat bareng Hasti saja, kan tiap pagi dia mengantar Nilam. Sepeda itu harus diperbaiki dulu, standartnya rusak. Bannya juga harus diganti, bukan?”
“Ibu sudah melarangnya, dan memintanya bareng Hasti, tapi dia menolak,” kata bu Rusmi sambil mengikuti suaminya masuk ke kamar.
“Kenapa ibu suka berbohong?” gumam Nilam sambil membawa piringnya ke belakang. Dilihatnya Wijan sedang duduk di kursi dapur, minum segelas air putih.
“Mas, ini mas,” lagi-lagi Nilam masih membawa sepotong ayamnya.
“Apa sih? Mas sudah selesai makan.” Wijan tentu saja menolaknya.
“Makan aja, tanpa nasi nggak apa-apa kok,” Nilam masih ngeyel, dan karena ayam goreng itu diberikan didepan wajahnya, maka Wijan terpaksa menerimanya. Nilam tersenyum senang, kemudian berjingkat ke arah wastafel untuk mencuci tangan.
Wijan memakan sepotong ayam itu sambil menahan air matanya. Nilam selalu menyayanginya, membuatnya terharu. Tak ada yang mengusik dan membentaknya, karena sang ayah sudah pulang.
“Mas Wijan, bibik sudah menyiapkan sepotong untuk mas Wijan, sebetulnya, cuma saja tadi dilarang oleh ibu,” tiba-tiba bibik berbisik di telinganya.
Wijan mengangguk.
“Nggak apa-apa kok bik, dimakan bibik saja.”
“Buat nanti malam saja.” kata bibik lagi.
Wijan hanya terdiam.
“Bibik, aku tadi mencari buah asam yang jatuh di bawah pohon, sebentar, ada di dalam tas sekolah aku. Besok bisa buat masak sayur asam kan?”
Bibik tersenyum. Majikan kecilnya ini sungguh hatinya baik dan menyenangkan.
“Wijaaan.” tiba-tiba terdengar sang ayah memanggilnya dari ruang tengah.
***
Besok lagi ya.