BERSAMA HUJAN 41
(Tien Kumalasari)
Bu Rosi dan Romi saling pandang. Wajah Romi tampak pias, ia tak mengira Kinanti akan menolaknya. Ia sudah meminta maaf, sudah melakukan yang terbaik untuknya dan berjanji akan menyayangi serta mencintainya. Bahkan sang mama ikut membujuknya, tapi sepatah jawaban ‘tidak’ membuatnya tiba-tiba seperti kehilangan, entah apa. Seperti ada yang terbang dari hatinya, membuatnya serasa kosong tak bermakna. Bu Rosi menatapnya iba, kemudian beralih menatap Kinanti yang sekarang bahkan memejamkan mata. Tapi dari sudut mata itu tampak setitik air mata yang kemudian meleleh membasahi pipinya. Bu Rosi mengusapnya lembut.
“Kami memang bersalah, tapi tak adakah sedikit saja belas di hati kamu melihat penderitaan Romi yang terbebani oleh dosa-dosanya?”
Kinanti tampak menarik napas panjang, tapi tetap memejamkan matanya, seakan tak ingin melihat keduanya. Ia tak ingin hatinya runtuh melihat wajah-wajah penuh harap yang menatapnya sendu.
Bu Rosi menatap Romi lagi, lalu berucap lembut.
“Baiklah, Kinanti, barangkali kamu memerlukan waktu untuk memikirkannya. Kami akan pergi, tapi yang perlu kamu tahu adalah, Romi sangat berharap bisa menebus dosanya dengan menikahi kamu. Ia begitu menyayangi bayimu, yang baru sesaat dilihat dan didekapnya.”
Bu Rosi melepaskan tangan Kinanti, tak membutuhkan jawaban untuk kemudian membalikkan badannya.
Ada rasa tak menentu dihati Kinanti. Ia mengira mereka sudah pergi, tapi ketika ia membuka matanya, dilihatnya Romi masih berdiri di sampingnya. Laki-laki tampan yang pernah digilainya, sekarang berdiri menatapnya dengan mata sayu. Tapi Kinanti berusaha menguatkan hatinya. Tak mudah meluluhkan hati yang sudah terbalut besi duka lara yang sudah lama membelenggunya.
“Kinanti, aku pergi dulu, tapi aku akan kembali,” katanya, lalu ia membalikkan tubuhnya dan pergi meninggalkan Kinanti yang masih termangu di atas ranjang. Ada perasaan aneh yang menyelimutinya. Apa ini? Kinanti merasa ada yang hilang dari hatinya. Ia meraba dengan rasa, semuanya kosong tanpa makna.
Sebuah isak kemudian terdengar, bergema di dalam ruangan itu.
***
Romi menyusul ibunya ke arah ruang bayi. Bayi mungil yang mirip dirinya itu tergolek nyenyak, persis di depan jendela, dimana mereka melihatnya dari balik kaca. Hati Romi serasa tersayat.
“Anakku,” bisiknya lirih.
Keduanya tak bosan menatap bayi yang wajahnya adalah wajah Romi saat masih bayi. Bayi yang tergolek manis, terkadang mulutnya bergerak-gerak lucu.
“Apa dia lapar?” gumam Romi.
“Saatnya minum, dia pasti akan dibawa kepada ibunya,” kata bu Rosi dengan mata berbinar.
“Kamu ingin tahu anak Elisa? Di sana, mama sudah melihatnya,” kata Bu Rosi sambil menarik tangan Romi ke arah jendela yang lain.
Ada bayi mungil berrambut pirang, berhidung mancung, dan mata kecilnya menampakkan warna kebiruan.
“Jelas dia bukan anakku,” bisik Romi.
“Tapi ibunya juga bermata biru. Bisa jadi dia mirip ibunya. Apa kamu masih ingin tes DNA untuk dia?”
“Apakah dia lahir prematur?”
“Tidak, mama sudah menanyakannya. Dia lahir normal, sembilan bulan lebih dua minggu, agak mundur dari jadwal yang diperkirakan dokter.
“Romi kira kita tidak usah melakukan tes DNA. Elisa belum delapan bulan pulang ke Indonesia, bukan? Kalau begitu sudah jelas dia sudah hamil saat kembali kemari. Untuk apa tes DNA? Romi justru akan mengurus perceraian dengannya.”
Bu Rosi mengangguk mengerti.
***
Elisa sedang terisak di kamar inapnya. Sang mama yang sudah beberapa hari lalu datang untuk menemaninya, duduk di sampingnya dengan gelisah. Ia sudah bersiap melakukan sesuatu seandainya Romi akan melakukan tes DNA atas cucunya, tapi ternyata tidak. Usia kehamilan Elisa dan saat kelahirannya sangat meyakinkan Romi bahwa Elisa hamil sejak kedatangannya. Apa lagi yang akan dilakukannya untuk mempertahankan bahtera rumah tangga anaknya?
“Romi pasti akan menceraikan Elisa,” kata Elisa diantara isak.
“Ya. Dia sudah mengatakannya ketika bertemu mama.”
Isak Elisa semakin keras.
“Elisa sangat mencintai dia Mama.”
Sang mama menatapnya haru, dan juga sedih. Kebahagiaan seorang anak adalah juga kebahagiaan orang tua. Tapi ketika sang anak terpuruk dalam lobang yang kotor dan penuh noda, harusnya sang mama mengentaskannya sebelum hal terburuk itu terjadi. Sekarang hanya penyesalan yang menghimpitnya.
“Lupakan cinta itu. Kita kembali ke Amerika. Papamu juga mengatakan itu, dia pasti sedang menunggu kepulangan kamu.”
Saat itu, dilihatnya Romi memasuki ruangan, dengan wajah datar. Hatinya tak terusik melihat Elisa terisak di ranjangnya. Romi menyalami ibu mertuanya, kemudian mendekat ke arah ranjang.
“Elisa, aku minta maaf. Pernikahan ini tidak bisa kita lanjutkan. Aku akan segera menceraikan kamu.”
“Romi, apakah kamu tak bisa memaafkan aku? Aku sangat mencintai kamu, Romi.”
“Sudah sangat lama kebohongan itu aku rasakan, dan tak ada maaf untuk kebohongan yang sangat keterlaluan ini. Aku menamakannya, kamu bukan hanya bohong, tapi juga memperdayaiku.”
“Maaf Romi, semua itu aku lakukan, karena aku hanya mencintai kamu.”
Romi bergeming, ia bersiap akan membalikkan badannya, ketika sang ibu mertua memegangi lengannya.
“Romi, maafkanlah dia,” bisiknya sendu.
“Baiklah Ma, Romi maafkan dia. Tapi Romi tetap akan menceraikannya. Maafkan Romi, Ma.”
Romi berlalu, meninggalkan dua orang wanita yang gagal menjadi keluarganya.
***
Pagi hari itu, Romi sudah datang lagi ke rumah sakit. Ia tak akan berhenti membujuk Kinanti agar mau menerima lamarannya. Romi bukan orang yang gampang menyerah. Ia tak pernah berhenti sebelum keinginannya terkabul.
Ketika itulah tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya.
“Mas Romi? Siapa yang sakit?”
Romi terkejut, melihat dokter Faris.
“Dokter?”
“Siapa yang sakit?”
Romi ragu menjawab. Ia tak tahu kalau Kinanti adalah pembantu dokter Faris.
“Ini … ada … yang melahirkan.”
“Oh, saya sebelum praktek juga akan menengok pegawai saya yang melahirkan juga di sini.”
“Oh …”
Keduanya berjalan ke arah ruang bersalin, dan terus melangkah, tapi kemudian dengan heran mereka saling berhenti di kamar yang sama.
“Lho.” keduanya berseru hampir bersamaan.
“Ini … teman saya …”
“Kinanti? Jadi mas Romi sudah tahu kalau Kinanti melahirkan?”
“Dokter tahu tentang Kinanti?”
“Dia asisten saya saat saya praktek di rumah.”
Romi membelalakkan matanya. Ia tak percaya, sudah begitu dekat ketika itu, tapi tak bisa melihatnya, apalagi menyapanya.
“Saya senang kalian berbaikan, semoga segera terlaksana,” ujar dokter Faris sambil memegang pegangan pintu.
“Susah dok, dia masih mengatakan tidak.”
“Oh ya? Saya ingin tahu kejadiannya, tapi ayolah kita masuk dulu, semoga dengan adanya saya, hatinya bisa luluh.”
Dokter Faris membuka pintu, lalu keduanya masuk. Kinanti tersenyum melihat dokter Faris, tapi senyuman itu menghilang ketika ada Romi datang bersamanya.
“Aku baru mendengar bahwa kamu melahirkan, pagi ini,” sapa dokter Faris.
“Terima kasih, dokter.”
“Kamu baik-baik saja?”
“Ya, saya baik-baik saja. Saya menyesal tidak bisa datang di acara pernikahan Aisah, soalnya saya sudah ada di rumah sakit, waktu itu.”
“Tidak apa-apa, semua berjalan baik. Kami mengerti kalau kamu tidak bisa datang. Tapi nanti ketika kamu menikah, mereka pasti datang,” canda dokter Faris, membuat Kinanti menatap bingung.
“Pastilah Kinanti, mengapa bingung? Suatu saat kamu juga pasti mengalaminya bukan? Tapi aku harap bisa secepatnya,” katanya sambil melirik ke arah Romi yang sedari tadi hanya terdiam.
“Saya harus praktek dulu, biarlah mas Romi menemani kamu,” kata dokter Faris sambil menepuk bahu Romi.
Kinanti hanya mengangguk. Hatinya berdebar tak karuan ketika dokter Faris sudah benar-benar pergi, dan Romi mendekatinya.
Kinanti memalingkan wajahnya, dan Romi dengan nekat duduk di sampingnya, menatap wajah yang mulai memerah, tak sepucat kemarin.
“Apa kabarmu hari ini?”
Tapi Kinanti tak menjawab.
“Baiklah, kalau kamu masih marah, aku akan tetap berada di sini sampai kemarahan kamu hilang.”
Tiba-tiba terdengar rengekan bayi. Seorang perawat membawanya masuk. Romi segera berdiri, dan meminta bayi itu dari tangan perawat.
“Saatnya minum ASI, Pak.”
“Biar saya menggendongnya sebentar.”
Bayi yang semula menangis, tiba-tiba diam ketika berada dalam gendongan Romi. Romi menatapnya dengan senyum bahagia.
“Anak bapak, anak cakep, kamu suka digendong bapak ya? Sukakah? Apa kamu be nci sama bapak?”
Bayi yang digendong itu menatap Romi. Entah mengerti atau tidak, tapi menurut Romi, tatapan itu adalah tatapan suka ketika digendongnya. Buktinya dia langsung diam. Kinanti menatapnya terharu. Tiba-tiba ia membayangkan sebuah keluarga yang sangat manis. Si istri terbaring setelah melahirkan, dan sang suami menimang bayi merah yang baru dua hari mengenal dunia. Begitu mengharukan ketika dengan lembut Romi mengayun anaknya, bahkan kemudian bayi itu tertidur.
Romi tak berhenti tersenyum. Ia mendekatkan sang bayi ke dekat Kinanti,
“Anakmu menyukai ayahnya, mengapa kamu tidak?”
Kinanti bangkit, lalu duduk di tepi pembaringan. Wajahnya datar, tak ada senyum disunggingkan. Kemudian kedua tangannya diangkatnya.
“Berikan anakku,” katanya singkat. Bayi itu sudah tertidur, Romi mengulurkannya pada Kinanti. Tapi begitu dilepaskan dari tangannya, bayi itu merengek, kemudian menangis keras. Kinanti berusaha nenenangkan.
“Dia lapar, barangkali,” kata Romi.
“Menyingkirlah, biar aku menyusukan bayiku.”
Romi mengerti. Ia pergi menjauh, dan duduk di sofa, membelakangi Kinanti yang berusaha menyusukan bayinya.
Tapi bayi itu tak berhenti menangis.
“Ssst… sst… minum ya .. sayang … ini ibu…”
Tangisan bayi melengking keras, Kinanti turun dan kemudian mengayun-ayunkan tubuh si kecil, tapi tangis itu tak mau berhenti.
Romi berdiri, lalu berjalan mendekat.
“Ada apa Nak? Coba, sini sama bapak,” kata Romi sambil mengulurkan tangannya. Kinanti tak mau memberikannya, tapi bayi itu semakin menjerit keras. Akhirnya Kinanti memberikan bayinya kepada Romi. Romi mendekapnya, dan mengayun perlahan, dan Kinanti sangat takjub, bayi itu berhenti menangis. Ia menyembunyikan wajahnya di dada Romi, membuat Romi tersenyum.
“Anak ganteng, anak cakep, nggak boleh rewel ya.”
Kinanti menatapnya tak berkedip. Kesal juga melihat bibir Romi tersenyum-senyum sambil menatap bayinya. Kenapa? Kenapa harus dengan dia? Kenapa? Pekik batin Kinanti.
Romi terus mengayunkannya, dan bocah itu kembali tertidur.
Kinanti mengulurkan tangannya lagi.
“Biar dia minum.”
Romi menyerahkan bayi itu ketangan Kinanti.
“Anak pintar tidak boleh menangis ya, minum dulu sama ibu,” bisiknya ditelinga si bayi, baru kemudian menyerahkannya kepada ibunya.
Bayi itu merengek sedikit, tapi kemudian mencari sesuatu didada ibunya. Sepertinya pesan sang ayah yang dibisikkannya, didengar dan dituruti olehnya. Ia tak lagi menangis. Romi yang tahu diri menyingkir, dan kembali membelakanginya, membiarkan Kinanti memberi minum anaknya.
Kinanti mengelus kepala anaknya pelan. Menatap wajahnya dengan berbagai rasa yang berkecamuk dalam hatinya. Wajahnya yang mirip Romi, mengingatkan bahwa memang dia adalah darah dagingnya. Hidungnya, dagunya, bibirnya.
“Ya Tuhan … apa yang harus hamba lakukan?” bisiknya sangat pelan, sambil terus mengelus kepala anaknya.
Mengapa bayi ini mengerti, bahwa laki-laki itu adalah orang yang membuatnya hadir di dunia ini. Bahkan yang membuatnya tenang ketika dia sedang rewel karena lapar.
Romi sabar menunggui sampai Kinanti selesai menyusukan anaknya. Ada rasa bahagia ketika menyadari bahwa sang anak sangat nyaman berada dalam dekapannya, lalu seperti menuruti pesan ayahnya, bahwa dia tak boleh menangis dan harus menyusu dulu pada sang ibu.
Tiba-tiba Romi mendengar langkah kaki, rupanya Kinanti mau ke kamar mandi. Romi memburunya.
“Mau ke kamar mandi? Bisa sendiri? Boleh aku bantu?”
“Biar aku sendiri,” jawab Kinanti tak acuh.
Romi menghela napas panjang, berusaha sabar. Ia mendekati ranjang, dimana bayi itu tergolek nyenyak.
“Alangkah tampan wajah kamu, Nak. Bujuk ibumu supaya mau menerima bapak ya? Katakan bahwa bapak laki-laki yang baik. Setidaknya akan menjadi baik. Menjadi suami yang baik, dan menjadi ayah yang baik. Sungguh ya, kamu harus membantu bapak, ya Nak.”
Bayi itu bergerak, dan tersenyum dalam tidurnya.
“MasyaAllah, anakku tersenyum, tampan sekali kamu saat tersenyum,” bisik Romi gemas. Kalau tak melihat bahwa sang anak sedang terlelap, pasti Romi sudah mengangkatnya dan mendekapnya erat di dadanya.
“Hm ..hm …” Kinanti berdehem sambil mendekat ke arah ranjang. Ada rasa aneh melihat Romi seperti sedang bicara dengan anaknya, dan melihat si anak tersenyum-senyum.
Bayi itu senang berada di dekat ayahnya. Ada perasaan aneh yang mengetuk-ngetuk dadanya. Apakah dia suka? Apakah itu adalah bahagia? Entahlah, Kinanti sendiri tak tahu apa artinya.
“Lebih baik kamu pulang, aku harus berkemas, besok boleh pulang,” katanya dingin.
“Bolehkah sebelum pulang aku berikan nama untuk anakku?”
“Anakku,” sahut Kinanti tandas.
“Baiklah, anakmu dan anakku. Aku beri nama dia, Ksatria Adhyaputra.”
Diluar terdengar geledeg berbunyi, sang bayi membuka matanya, ketika Romi mencium lembut pipinya
“Bapak pulang dulu ya, ingat pesan bapak tadi ya, jangan lupa. Dan ingat juga, jangan rewel setelah bapak pulang.”
Romi membalikkan tubuhnya, ia merasa, jiwanya tertinggal di sana.
***
besok lagi ya.