BERSAMA HUJAN 38
(Tien Kumalasari)
Dokter Faris menatap wajah Kinanti yang matanya terbelalak sementara bibirnya melongo seperti orang melihat sesuatu yang mengejutkan.
Wajah yang mendatangkan iba, mengingat laki-laki yang menghamilinya ingkar dan membiarkannya hidup menderita. Tapi kali ini ada harapan di hati dokter Faris. Mendengar nama Romi, pastilah hatinya terguncang, dan pastilah dia tidak menyangka seandainya Romi mau menikahinya. Bukankah itu yang diharapkan sejak kehamilannya?
“Apa jawabmu?” kata dokter Faris menghentikan keterkejutan yang masih melanda perasaan Kinanti.
Kinanti menutup mulutnya, dan tiba-tiba wajahnya berubah datar. Tak ada sinar kegembiraan pada matanya. Tak ada senyum bahagia tersungging di bibirnya. Langit yang semula semarak dengan taburan bintang, tiba-tiba gelap bagai tertutup mendung. Dokter Faris mengerutkan keningnya. Sesuatu akan dikatakannya, dan itu adalah penolakan. Itu benar.
“Tidak,” kata Kinanti singkat.
Sekarang dokter Faris yang membelalakkan matanya dan melongo. Wanita yang hampir menemukan seseorang yang akan bisa menemaninya dalam hidup, ternyata mengucapkan sepatah kata, tidak.
“Apa maksudmu, Kinan?”
“Maksud saya, tidak.”
“Bukankah dia sebenarnya ayah dari bayi yang kamu kandung? Beberapa hari yang lalu dia datang, penuh penyesalan, dan menyadari telah berbuat banyak dosa. Dia sudah berubah, dan sedang mencari kamu.”
“Tidak.”
“Kinanti, kamu sungguh-sungguh tidak mau menerimanya? Apakah maksud kamu, dia harus datang sendiri kepadamu dan mengutarakan semua yang disandangnya sekarang ini? Mengatakan semua penyesalannya, dan_”
”Tidak, Dokter. Bukan karena dia tidak datang sendiri kepada saya. Luka itu masih menganga. Penghinaan itu masih menggoreskan luka yang amat dalam. Jangan sampai saya melihatnya lagi.”
“Kinanti, dia sudah berubah.”
“Dokter, ini sudah malam, saya mohon diri,” kali ini Kinanti benar-benar berdiri, membuat dokter Faris kehabisan kata-kata untuk membujuknya. Ketika punggung Kinanti hampir lenyap di balik pintu, dokter Faris berteriak.
“Andin, masukkan motor kamu ke garasi, aku antar kalian pulang.”
Andin tidak membantah. Ia menatap wajah Kinanti yang tampak sendu, tapi belum sempat menanyakan apapun. Ia segera memasukkan sepeda motornya yang semula diparkir di depan, ke dalam garasi yang terletak di samping rumah.
Sambil menunggu dokter Faris mengeluarkan mobil, Andin mendekati Kinanti.
“Ada apa?”
Tapi Kinanti hanya menggelengkan kepalanya.
Andin juga heran, ketika sebelum menurunkan Kinanti di rumah kostnya, dokter Faris mengucapkan kata maaf padanya.
Andin yang merasa heran atas sikap dokter Faris, segera menanyakannya.
“Ada apa Mbak Kinanti tadi?”
“Aku menanyakannya, apakah dia mau menerima seandainya Romi mau kembali kepadanya, dan bertanggung jawab atas bayi yang dikandung, tapi dia menolak.”
“Mengapa Dokter bertanya seperti itu pada Mbak Kinanti? Laki-laki itu tidak akan bisa menjadi ayah bagi bayinya.”
“Beberapa hari yang lalu, Romi menemui aku.”
Andin menoleh ke arah samping, tidak yakin apa yang dikatakan dokter yang semakin lama menumbuhkan rasa cinta di hatinya.
“Iya. Dia datang dan meminta maaf. Dia terbebani atas dosa yang pernah diperbuatnya. Dia akan meminta maaf kepada semua orang yang pernah dilukainya. Aku terharu melihatnya tampak penuh sesal.”
“Dokter percaya?”
“Aku mempercayainya. Dia bersungguh-sungguh. Dia juga menyebut nama kamu.”
Andin membuang muka. Merasa tak penting namanya disebut oleh laki-laki yang pernah menyakitinya, dan membuatnya terluka.
“Dia hanya ingin meminta maaf. Maafkanlah, aku sudah bilang pada dia bahwa kamu sudah memaafkannya.”
“Saya sudah bilang memaafkannya, bukan? Tapi tidak usah diulang-ulang lagi menyebut nama dia.”
“Kamu tadi bertanya. Memang tadi aku bicara tentang Romi sama Kinanti.”
Andin terdiam. Dalam hati dia membenarkan sikap Kinanti yang menolak berbaikan pada laki-laki jahat itu, karena Andin juga tidak yakin pada ketulusan hatinya. Karenanya Andin tetap diam sampai kemudian dokter Faris pulang setelah mengantarkannya sampai ke rumah.
***
Bu Rosi merasa iba, ketika Elisa mengatakan akan periksa kandungan siang hari itu. Perutnya sudah kelihatan besar, tapi dia mengatakan bahwa kandungannya baru berumur tujuh bulan.
“Untuk kandungan seumur tujuh bulan, perutmu itu terlalu besar. Mungkin bayinya akan besar nanti, jadi sebaiknya kamu mengurangi makan nasi, perbanyak buah dan sayur.”
“Maksud Mama, Elisa terlalu banyak makan?”
“Bukan karena mama melarang kamu makan banyak, tapi kalau bayinya terlalu besar, nanti lahirnya susah. Mungkin harus caesar, tapi melahirkan yang terbaik adalah melahirkan secara normal.”
Elisa diam. Ia sudah tahu kalau kehamilannya memang lebih tua dari yang dikatakannya, jadi bukan karena anaknya yang terlalu besar. Karenanya ia hanya mengangguk, tak begitu mengacuhkannya.
“Jam berapa kamu akan periksa kandungan? Biar Romi mengantarkan kamu.”
“Biar Elisa sendiri saja Bu, biasanya juga sendiri.”
“Tapi kandungan kamu sudah besar. Kalau begitu biar mama yang mengantarkan kamu saja, biar Romi ke kantor sendiri, nanti kalau sudah mengantar kamu, baru mama menyusul.”
“Jangan Ma, kasihan Mama. Dokternya sudah seperti keluarga, jadi Elisa pasti akan baik-baik saja,” kata Elisa yang selalu menolak diantarkan, karena takut usia kandungannya ketahuan.
“Sejak kamu hamil, mama belum pernah mengantarkan kamu, biarlah kali ini mama mengantarkan.
“Jangan Ma, sungguh, Elisa bisa sendiri.”
Bu Rosi menarik napas panjang, dan tak lagi memaksa untuk mengantarkan. Menurutnya, Elisa pasti kesal karena Romi tak pernah mau mengantarkannya.
Ketika dalam perjalanan ke kantor, bu Rosi menegur Romi.
"Kandungan Elisa sudah semakin besar, tapi sedikitun kamu tidak pernah menaruh perhatian.”
"Dia bukan anak kecil, masa ke dokter saja harus diantar.”
“Ini masalah bayi yang dikandungnya. Pasti hanya dia, ibu mengandung tanpa diantar suami."
Romi hanya diam. Dia tetap tak percaya bayi itu darah dagingnya.
“Kamu harus menghilangkan kecurigaan kamu, sebelum benar-benar mengetahui buktinya,” sambung bu Rosi lagi. Tapi Romi tetap bergeming. Hanya dirinya yang meyakini keadaan sesungguhnya, bukan sang mama.
“Janganlah belum-belum kamu sudah menyakitinya. Nanti kalau terbukti dia yang benar, dan anak yang dikandung terbukti anak kamu, bukankah kamu akan menanggung malu?”
“Iya Ma, Romi sudah mengerti. Kalau benar bayi itu darah daging Romi, Romi akan meminta maaf.”
“Semudah itu?”
“Hanya itu yang bisa Romi lakukan.”
Bu Rosi menggeleng-gelengkan kepalanya, tapi ia merasa senang, bahwa akhir-akhir ini Romi bisa bersikap lebih santun kepada dirinya. Walaupun menentang, terutama soal bayi yang dikandung Elisa, tapi Romi mengatakannya dengan lebih halus, biarpun rasa tak senangnya tetap tampak pada raut wajahnya.
“Begitu bayi itu lahir, Romi akan melakukan tes DNA, bukankah itu keinginan Mama? Jadi untuk sekarang ini Mama jangan memaksa Romi untuk melakukan hal yang tidak Romi sukai.”
“Kandungannya sudah kelihatan besar. Katanya baru tujuh bulan,” gumam bu Rosi pelan, seperti kepada dirinya sendiri.
“Romi yakin, sebentar lagi bayi itu lahir.”
“Jangan begitu, kamu mendoakan bayi itu lahir prematur? Supaya kamu bisa segera melakukan tes DNA?”
“Bukan mendoakan Ma, Romi yakin, itulah yang akan terjadi.”
Bu Rosi terdiam. Terkadang ia kesal kepada jawaban Romi, tapi melihat fisiknya, memang seperti sudah lebih dari tujuh bulan. Tapi bu Rosi bukan orang yang suka sembarang menuduh. Sejauh ini, dia masih ingin membuktikan apa yang diyakini anaknya, dan berusaha selalu bersikap baik kepada menantunya.
***
Saat makan siang, bu Rosi dan Romi pulang, untuk menikmati masakan bibik, seperti biasanya mereka lakukan akhir-akhir ini. Tapi makan siang kali itu hanya mereka berdua, tak ada Elisa yang biasanya ikut nimbrung bersama mereka. Romi tak peduli, tapi bu Rosi menanyakannya pada bibik.
“Apa Elisa masih tidur?”
“Tidak Nyonya, non Elisa pergi sudah agak lama. Katanya periksa kandungan. Tapi kok agak lama perginya. Barangkali mampir belanja atau apa,” jawab bibik.
“Kandungannya sudah semakin membesar. Tapi katanya baru tujuh bulan.”
“Menurut saya Nyonya, kandungan non Elisa itu sudah menginjak sembilan bulan.”
“Waduh, sembilan bulan Bik? Tapi itu kan karena bayinya besar. Aku justru khawatir bayinya kebesaran, sehingga nanti keluarnya susah,” jawab bu Rosi.
“Betul Nyonya, kalau tujuh bulan segede itu, besok kalau sembilan bulan seperti apa ya. Non Elisa selalu makan banyak sih, selama mengandung.”
“Aku sudah mengingatkan. Kurangi nasi, banyak sayur dan buah. Apa dokternya tidak mengingatkan ya, kalau bayinya kebesaran?”
“Pastinya sudah Nyonya, mungkin non Elisa yang tidak tahan untuk tidak makan banyak. Soalnya wanita hamil tua, bawaannya lapar melulu, sementara kalau lagi hamil muda, makannya susah.”
“Semoga lahir gampang. Tolong Bibik ingatkan kalau dia lagi makan, jangan sampai kebablasan.”
“Baik, Nyonya.”
Sementara itu, Romi yang sedang asyik makan sama sekali tidak tertarik dengan obrolan tentang kehamilan istrinya. Ia begitu yakin bahwa kandungan Elisa memang jauh lebih tua dari yang dikatakannya. Tapi ia tak mengucapkan sepatah katapun untuk ikut membahasnya. Baginya saat yang ditunggu akan segera tiba, dan dia akan segera menentukan nasib Elisa nantinya.
***
Siang itu Elisa tidak makan dirumah. Ia sudah makan di restoran ketika pulang memeriksakan kandungan. Ia agak gelisah karena dokter mengatakan bahwa dia akan melahirkan pada minggu-minggu terakhir ini, berarti tidak genap sebulan dia sudah akan melahirkan. Ia sudah mereka-reka jawaban saat melahirkan nanti, bahwa bayinya lahir prematur. Tapi bagaimana caranya membungkam mulut para perawat dan bidan supaya tidak mengatakan usia kehamilannya kepada Romi maupun ibu mertuanya? Saat seperti itu, tempatnya berkeluh hanyalah ibu kandungnya.
“Minggu depan?” tanya sang mama dari seberang sana.
“Iya Ma, Elisa takut sekali. Apa yang harus Elisa lakukan saat merasa mau melahirkan, nanti?”
“Kamu jangan khawatir. Dua tiga hari lagi mama mau pulang ke Indonesia, agar bisa menemani kamu saat melahirkan. Kecuali itu ada yang harus mama lakukan kalau mereka mau melakukan tes DNA atas anak kamu. Hal itu hanya bisa mama lakukan kalau mama ada di sini.”
“Baiklah Ma, Elisa akan merasa nyaman kalau ada Mama. Elisa yakin, Mama akan membantu Elisa mengatasi masalah ini. Elisa sungguh ketakutan.”
“Tenang saja, nanti Mama yang akan bicara sama mertua kamu, karena Mama akan selalu menemani kamu periksa kandungan sebelum melahirkan.”
“Sungguh ya Ma, Mama cepat datang, agar Elisa merasa tenang.”
Ketika itu terdengar pintu diketuk dari luar kamar, lalu tiba-tiba bu Rosi masuk begitu saja. Elisa segera mengakhiri pembicaraannya dengan sang mama.
“Baru telpon sama siapa El?”
“Ini Ma, barusan mama telpon, menanyakan kandungan Elisa.”
“Bagaimana tadi hasil pemeriksaannya?”
“Tadi dokter bilang … eh, benar seperti kata Mama, bahwa bayiku kebesaran, jadi Elisa harus mengurangi makan.”
“Karena itukah lalu kamu tidak turun untuk makan?”
“Iya Ma. Elisa takut makan jadinya.”
“Mengurangi makan, bukan tidak makan sama sekali. Kalau tidak makan, kamu juga tidak akan merasa kuat. Makanlah, mama akan kembali ke kantor lagi.”
“Iya Ma, sebentar lagi Elisa makan. Oh ya, tadi mama saya bilang bahwa dia mau datang kemari. Bolehkah kalau nanti mama saya datang, lalu ikut menginap di sini?”
“Tentu saja boleh. Tidak apa-apa. Ada baiknya saat melahirkan nanti, kamu juga ditungguin oleh mama kamu juga.”
“Benar, soalnya sesungguhnya Elisa takut juga.”
“Takut kenapa?”
“Menurut pemeriksaan tadi, kalau tidak hati-hati, kemungkinan Elisa akan melahirkan prematur.”
“Tuh, kamu harus hati-hati Elisa. Kalau begitu minta agar mama kamu datang secepatnya, agar bisa menjaga kamu saat menunggu kelahiran bayi kamu.”
“Terima kasih Ma, nanti Elisa bilang sama mama bahwa mama harus tidur di sini menemani Elisa.”
“Suruh bibik membersihkan kamar tamu, kalau begitu.”
“Tidak usah Ma, biar mama tidur bersama Elisa di kamar Elisa saja.”
“Baiklah, terserah kamu saja. Sekarang mama mau ke kantor dulu, Romi sudah menunggu.”
Elisa mengangguk. Ia merasa lega, akan ada mamanya yang menemani nanti saat dia melahirkan. Ia percaya, sang mama akan bisa mengatasi semuanya.
***
Besok lagi ya.